Kamis, 20 Oktober 2022

JEJAK PEJUANG BRN AIRTEMAM (1)

Oleh: Hendy UP  *)
     
      Bagi generasi milenial kini, istilah BRN niscaya sangatlah asing. BRN adalah singkatan dari Biro Rekonstruksi Nasional, sebuah lembaga resmi Pemerintah yang dibentuk pada tahun 1951. Awalnya bernama Dewan Rekonstruksi Nasional, tapi kemudian direvisi  menjadi BRN (vide PP  Thn 1951 No. 12,  jo PP Thn 1954 No. 16).
     Tugas lembaga ini adalah menyelenggarakan  pembinaan dan/atau penampungan eks pejuang kemerdekaan RI (sociale instelling) khususnya dari Jawa yang tidak teregister ke dalam lembaga organik TNI. Bentuk penampungannya melalui program transmigrasi khusus ke pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Mereka adalah eks para anggota: (1) Badan Keamanan Rakyat (BKR), (2) Heiho, (3) Peta, (4)  Koninklijke Nederlands Indische Leger  (KNIL), (5) Laskar Hisbullah, dan laskar-laskar lainnya. 
     Di Sumatera yang ada hanya di Sumbagsel, yakni di Musirawas dan Lampung Barat. Di Musirawas berada di area eks Erpacht Perkebunan Airtemam. Sedangkan di Lampung Barat berada di Desa Sukapura Kec. Sumberjaya yang konon hingga kini masih memperjuangkan hak sertifikat tanahnya.
     Pada tahun 1954 hingga tahun 2001, Kampung Airtemam  ini termasuk ke dalam wilayah Dusun Loeboekkupang Kecamatan Muarabeliti.  Namun sejak terbentuk Pemkot Lubuklinggau (UU No. 7 Tahun 2001), Airtemam berstatus sebagai kelurahan dalam wilayah Kecamatan Lubuklinggau Selatan I. 
     Al-kisah, pada awal Agustus 1953, mBah Suwarto yang berasal dari kota Semarang diberangkatkan ke Sumatera bersama 124 orang veteran perang lainnya. Pada saat itu pemuda Suwarto baru berusia 27 tahun dan lajang. Ke-125 eks pejuang itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. 
      Saat ini, satu-satunya eks pejuang BRN yang masih hidup adalah Mbah Suwarto yang telah berusia 98 tahun, lebih tua dua tahun dari Ratu Elizabeth II yang baru saja wafat pada Jumat, 9 September 2022.
     "Mula-mula kami ditempatkan di barak penampungan di Metro Lampung. Pada hari 17 Agustus 1953, kami mengikuti upacara HUT RI ke-8 di Metro. Kami  diberi pelatihan tentang pertanian selama 3 bulan", cerita mBah Warto yang kini berusia 98 tahun, dengan 8 anak plus 24 cucu dan 21 cicit. Kendati keriput kulitnya tampak mengerut, dan gigi-giginya sudah mulai tanggal, namun semangat juangnya masih berbinar-binar demi mengingat masa lalunya. Daya ingatnya sungguh sangat menakjubkan! 
     "Sesampainya di Lubuklinggau pada sekitar  awal Januari 1954, kami ditampung di barak penampungan selama 3 bulan, yakni di depan Eks Gedung DPRD Musirawas di Tabapingin. Rupanya sedang dipersiapkan calon lokasi permukiman permanen untuk kami di Dusun Lubukkupang", tutur mBah Warto. 
     "Kami sebanyak 125 orang BRN memperoleh lahan seluas 450 hektar, tapi rumahnya bikin sendiri. Lokasinya adalah eks tanah Erpacht Perkebunan Karet Airtemam. Setiap KK memperoleh lahan sekitar 3,6 ha. Batas lokasi BRN adalah sebelah selatan jalan Raya Trans Sumatera. Mulai dari sekitar SDN No. 63 hingga ke jalan Simpang Airtemam. Terus masuk ke Temam Dalam  hingga ke Blok 20 di seberang sungai Temam", cerita Mbah Warto yang kini menggunakan tongkat untuk berjalan. 
     "Ketika Bung Karno meresmikan Jayaloka di Hutan Kungku pada hari Rabu, 11 April 1956, kami semua hadir pada upacara penyambutannya di Simpang Lubukbesar. Bupati Moesi Rawas pada waktu itu adalah Moch. Arief", sambung Mbah Warto. 
[Bersambung.... ]

*) Muarabeliti, 9 September 2022

0 komentar:

Posting Komentar