Jumat, 14 Juni 2024

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [1]

Catatan: Hendy UP *)

A. Mukadimah
     Jika kita menggunakan 'search engine' dengan kueri Karangketuan, maka pertama-tama  yang akan muncul  adalah frasa Kelurahan Karangketuan, berikut peta wilayahnya.  Berarti hanya satu-satunya Kelurahan Karangketuan, Lubuklinggau di hamparan bumi Tuhan seluas ini.
     Dalam catatan sejarah, trukah (pembukaan) Dusun Karangketuan terjadi pada tahun 1956-an dan merupakan pemekaran dari Dusun Tanahperiuk Marga Proatinlima, Kec. Muarabeliti Kab. Musirawas. Pada tahun 2001, Dusun Karangketuan  berubah status menjadi Kelurahan Karangketuan Kecamatan Lubuklinggau Selatan, Kota Lubuklinggau. 
      Al-kisah, jika kita lacak agak  ke belakang, ternyata ada kait-kelindan antara aspek pembangunan infrastruktur ekonomi dan transportasi di wilayah Muarabeliti-Lubuklinggau,  dengan masuknya para perantau dari berbagai wilayah. Seperti pepatah, jika ada gula, maka datanglah semut. 
       Pasca~dibukanya Onderneming Tabapingin (1919) dan Kolonisasi Tugumulyo (1937-1940) serta diresmikannya jalur kereta api Muarasaling - Lubuklinggau (1 Juni 1933), maka Muarabeliti dan Lubuklinggau semakin dikenal oleh masyarakat Sumatera Selatan, tak terkecuali masyarakat dari Kabupaten Lahat. Kemajuan dan prospek kemakmuran kawasan Muarabeliti- Lubuklinggau semakin menggaung di mana-mana. Salah satu desa yang masyarakatnya sedang mencari peluang untuk mencoba penghidupan baru di daerah lain adalah masyarakat desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim dan Saling Ulu (PSEKSU). 
     Patut diduga, keputusan para tokoh Lubuktube untuk bermigrasi ke Karangketuan itu terinspirasi oleh tetangga desanya dari Gumay Ulu yang dianggap telah sukses bermigrasi dan membentuk Desa Siringagung  Marga Proatinlima beberapa tahun sebelumnya. 

B. Migrasi nan Visioner
     Untuk melacak jejak awal sejarah Kelurahan Karangketuan, saya menemui  tiga tokoh yang sekaligus pelaku sejarah keberadaan  desa Karangketuan. Saya mewawancarainya pada tanggal 5 dan 7 Agustus 2023,  dan diulang beberapa kali  kepada tokoh kunci untuk konfirmasi. Ketiga narasumber tersebut adalah: (1) Sdr. Djawaludin bin Genti (77 tahun), Bawaludin (60 th) dan Deroh (82 th). Ketiganya adalah mantan Kades dan/atau Lurah Karangketuan. 
     Dikisahkan oleh Sdr. Djawaludin, bahwa pada akhir tahun 1956, datanglah ke kampung Airketuan (kini Karangketuan), rombongan imigran lokal dari Dusun Lubuktube, Marga PSEKSU, Kecamatan  Lahat. Rombongan imigran  tahap pertama ini  terdiri dari 18 KK (secara bertahap) berikut anak-istrinya. Mula-mula berangkat 5 KK sebagai pioner, lalu disusul yang lain hingga berjumlah 18 KK hingga akhir tahun 1956. 
    Menurutnya, perjuangan para orangtua berpindah ke Karangketuan sangatlah gigih,  penuh harapan dan sekaligus melelahkan.  Kala itu, berangkat dari dusun Lubuktube menggunakan rakit bambu, berhanyut di sungai Kikim menuju Desa Bungamas. Kemudian dengan menyewa kendaraan truk mengangkut  seluruh properti rumah tangga dan alat-alat pertanian menuju Karangketuan. Ke-18 KK ini secara bergantian menyewa mobil truk dalam bulan yang sama berpindah ke Karangketuan yang saat itu disebut  Airketuan. 
     Sebelum keberangkatan rombongan, terlebih dahulu  dilakukan survei awal oleh tiga tokoh, yakni Saudara Kisum, Uni dan Sumbat. 
      Ke-18 KK  tersebut adalah: (1) Kisum, (2) Uni, (3) Sumbat, (4) Amal, (5) Ba'al, (6) Maradin, (7) Djamil, (8) Toni, (9) Sum, (10) Unip, (11) Satip, (12) Barun, (13) Juni, (14) Giwas, (15) Djohim, (16) Genti, (17) Hamidun, dan (18) Muhamad. 
      Pada saat wawancara berlangsung,   ke-18 KK  yang merupakan pioner  penghuni Desa Karangketuan tersebut ternyata telah wafat semua. Allohumaghfirlahum warhamhum wa afihi wa'fu anhum. Semoga kegigihannya dalam memperjuangkan keberlangsungan hidup generasi dzuriyatnya, mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala. [Bersambung... ]
     
*) Muarabeliti SUMSEL, 7 Agustus 2023
    Resunting 6 Mei 2024

DOA & DUKA UNTUK PROF. SALIM

Catatan : Hendy UP *) 

     Ahad pagi ba'da ritual Subuh dan ikutannya, aku dikejutkan oleh sebaris berita duka di sebuah portal berita. Aroma asap secangkir kopi di meja baca, seakan menghadirkan kembali "quotes bijak" dari catatan sejarah yang ditulis oleh seorang pakar Politik, Tentara dan sekali gus pemerhati film Nusantara. 
     Yaa, beliau adalah Prof. Salim Said, PhD, yang wafat di Jakarta, pada Sabtu petang, 18 Mei 2024. Allohummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu, wa akrim nuzulahu wawassi'u mudkholahu. Semoga dilapangkan kuburnya dan dirahmati arwahnya, serta dikuat-sabarkan keluarga yang ditinggalkan. 
     Aku mulai mengenal nama Salim Said sekitar tahun 1980-an, ketika beliau setiap pekan muncul di Majalah Tempo sebagai penjaga rubrik  seni dan film. Majalah itu pernah menghilang menjelang Pemilu 1982. Kabarnya dibredel oleh pemerintah. Lalu terbit lagi, tetap tajam dan lebih kritis, untuk kemudian dibredel lagi oleh Menteri Harmoko pada 21 Juni 1994, dan terbit lagi pada 6 Oktober 1998 di tengah euforia reformasi. 
       Namanya semakin kesohor dan dijadikan rujukan penguasa sipil pasca-reformasi 1998,  seiring dengan keterbukaan pers dalam bingkai "demokrasi liberal" yang kebablasan arah. Salah satu pernyataan yang mengejutkan kala itu adalah bahwa "kondisi masyarakat Indonesia hingga era reformasi masih bersifat 'fragmented society', yakni absennya kepercayaan (trust) di antara elemen-elemen masyarakat kita".
      Beliau lahir pada 10 November 1943 di dusun Amparita, eks wilayah Afdeeling Pare-pare Sulsel, yang kini menjadi bagian Kabupaten Sidenreng Rappang. Istrinya yang bernama  Herawaty, adalah orang dari Muaradua Kisam, Kab. OKU Selatan, Sum-Sel. 
       Sekadar mengingat jejaknya, Salim kecil bersekolah SR dan SMP di Pare-pare, lalu melanjutkan SMA di Solo. Kemudian melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional (1946-1965), Fak. Psikologi UI (1966-1967), dan Fak. Sospol UI (tamat 1977). Gelar PhD-nya diperoleh dari Ohio State University (1985) dengan judul "Sejarah dan Politik Tentara Indonesia".
        Dalam sebuah podcast Helmi Yahya (2023), beliau mengkalim bahwa hingga pecahnya reformasi 1998, beliaulah satu-satunya orang Indonesia yang fokus mengkaji perilaku Tentara dan Pemerintah sejak terbentuknya TNI. Karya-karya bukunya di bidang politik dan militer laris-manis di lapak-lapak market place dan  toko buku. 
        Kebetulan, pada era pandemi Covid-19, saya mengoleksi dua bukunya yang fenomenal untuk melengkapi bacaan di bidang tentara dan rezim militer.  Karya bukunya yang fenomenal dan langka tersebut adalah "Militer Indonesia dan Politik; Dulu, Kini dan Kelak" (378 hal), yang merupakan elaborasi dan penyempurnaan disertasinya. Lalu buku itu terus disempurnakan dengan buku barunya "Ini Bukan Kudeta" (159 hal). 
     Ternyata buku itulah karya terakhir  Prof. Salim, jika proyek buku "Tafsir Sosial Islam" tak sempat diselesaikan oleh Tim-nya. Semoga Prof. Salim damai-nikmat di alam barzahnya! Aamiin  yaa Robbal'alaamiin. 


*) Muarabeliti SUMSEL, 20 Mei 2024