Kamis, 19 September 2019

KISAH HAYYA: SEJENGKAL DARI TANAH


      Hanya sejengkal dari tanah. Durianku berbuah. Sudah limatahunan selalu memutik walau tak selalu membuah. Sengaja tak kupupuk, kuserahkan kepada kearifan alamiah-tanah. 

       Kutanam dari biji, sepuluh polibag, sekitar tahun 2005-an. Aku agak lupa persis bulannya! Buahnya relatif kecil, sebesar tampukan dua telapak tangan yang dilembungkan. Merona bunganya memerah saga. Tak menyengat aroma dagingnya, menyembunyikan bijinya yang mungil, kadang sukun alias kempet. Warna daging merah kekuningan; mirip kombinasi bendera PDIP dan GOLKAR yang sudah berumur belasan tahun, belum ganti baru dan selalu kibar tiap hari di pucuk  bambu gantar.


         Muasal sejarah biji-biji itu dari Kalimantan. Tepatnya dari pulau Bunyu, dibawa Bibinda yang pernah mukim di sana. Orang Bunyu menjolokinya Buah Lay. Mungkin juga aku salah eja. Lalu disemaikan, tumbuh melembaga dan dijaga oleh pamanku:  pensiunan birokrat yang rajin tirakat dan selalu semangat menebar manfaat, serta menghindari obrolan umpat.


       Mininya durian Lay itu tentu tak linier dengan sebutan keren: "The King of Fruit". Tapi tetap saja disebut Durio zibethinus. Masih famili Malvaceae, tetap ordo Malvales walau mukim di Borneo. Memang, di dunia nyata ini selalu ada eksepsion, keanehan, kekecualian. Selalu begitu! Dan kekecualian itu senantiasa berhenti, menyisakan tanya keilmuan. Semangat scientis di syaraf otak manusia yang mungil ini selalu tak sanggup mendefinisikan kenapa selalu muncul kondisi "kekecualian"  secara alamiah dalam karakteristik flora. Bahkan fauna, dan semua yang bertumbuh. Sungguh, teks book setebal bantal pun tak pernah tuntas menjelaskannya. 
Mungkin perlu metode yang lebih Illahiyah utk merancang rumpun matakuliah baru di IPB, sebutlah rumpun MKDU "Agrofilosofia"  atau rumpun MKDK "Metafisik-Agronomia". Ah... entahlah. Itu urusan para pakar profesor!

       Yang pasti durianku telah berbuah. Menyembul dari pangkal batang, sejengkal dari tanah. 
Kini aku hanya berwenang menjaga putik itu. Kendati sangat berat, mengingat 'circumstances' hari-hari ini sangat panas. Klimatologi kekurangan dalil untuk merumuskan pranata mangsa, memrediksi awal musim hujan, apatah lagi menghalau pekatnya asap. Bahkan geofisikawan tampak gagap mendefinisikan gumpalan awan, uap air dan proses kondensasi di lapis awal atmosfir.  Padahal ada tujuh lapis langit, "sab'as- samawatu". Sudah berulang menebar garam berton-ton; kadang hujan, kadang banyak alasan. Akhirnya para Umaroh dan Ulama menggelar shalat istisqa di lapangan bola atau alun-alun. Bagus juga! Ternyata teknologi bukan segalanya.

       Yaa... sangat berat menjada putik durianku! Seberat menjaga HAYYA,  generasi mungil di belahan Bumi Palestin yang potensial punah. Bukan oleh asap KARHUTLA, tapi oleh asap mesiu gerombolan Zionis. Yaa... hanya sejengkal,  jarak keceriaan anak-anak dari Astana. Tanah kuburan yang melukiskan obsesi husnul khotimah. Kita dihimbau untuk menjaganya.

      Ohhh... aku teringat Bung BennyArnas, dengan obsesinya  mewujudkan cerita heroik bertajuk Jihad Budaya. Lahirlah sebuah novel yang akan dibentangkan di layar lebar.  Bersama Helvi Tiana Rosa, berjudul "HAYYA, THE POWER OF LOVE 2"; yang akan mulai tayang hari ini, 19 September 2019. Di 140 bioskop Indonesia, dari 1.700 bioskop yang ada. 

      Sungguh, nasib film HAYYA sangat memprihatinkan! Dan kokohnya tembok otoritas-korporasi  hanya mengijinkan 140 sinnemax dari seribu tujuh ratus bioskop di Indonesia, utk tayangnya HAYYA. Perlu banyak tangan dan hati untuk menyelamatkan HAYYA yang hanya sejengkal dari tanah. Tanah yang potensial menjadi lobang astana. Kuburan di lahan suci: Palestina!

       Belumlah punah traumatika HAYYA, ada kegaduhan 'tangis' lain di Bumi Nusantara. Ia bertajuk keren: "THE SANTRI".  Film yang mengusung background  kesantrian nan kontroversial itu, nasibnya mulus nan manja, tidak sesial HAYYA. Ia bisa tayang leluasa di 1.700 an Bioskop manapun di Bumi Nusantara dengan kawalan korporasi  bertaji. HAYYA, .... oh..  HAYAA!  Mungkin jawabnya ada di kata negeri  Palestina. Allohu'alam... (*)

[Muarabeliti, 19 Sept 2019, 12.19 WIB]