About

Aku Andika. Aku menyukai nama ini. Setidaknya aku senang ketika tetanggaku dan teman-teman memanggil nama itu: Andi. Seorang lelaki, muslim. Aku tak pernah meminta kepada Tuhan: apa jenis kelaminku, siapa ayah-ibuku; kapan dan di belahan bumi mana aku dilahirkan. Aku menerima total apa yang diberikan-Nya. Kita kadang tak sadar akan kemahaluasan wilayah otoritas Tuhan, sang Kreator Agung, Allah SWT; untuk menciptakan makhluknya, kapan dan di mana. Jika ada sementara orang masih membanggakan etnik-sukubangsanya - dan sibuk membangun stereotip negatif atas sukubangsa lain - maka sesungguhnya pemahaman keilmuan (dan agamanya) masih melayang di awang-awang, belum membumi-tanah yang kelak niscaya menjadi rest area pungkasan bagi jasadnya. Wallohu’alam…!

Selamat datang di rumahku…! Jikalau Anda hadir dengan santun, maka aku akan sangat senang menyambutmu. Barang tentu tak banyak jamuan yang mampu kusajikan, tapi setidaknya aku pasti berusaha memanjakan tamu dengan senyum. Lihatlah…! Rumah ini sangat sederhana. Aneka tanaman buah dan bunga-bunga perdu kampungan yang kujejerkan di pojok-pojok halaman, di bawah teritisan teras-beranda, hanyalah sekadar menambah kesejukan siang dan keasrian suasana petang. Ya, sedikit mengusir kesan kegersangan nuansa. Jujur, sudah cukup lama memimpikan rumah ini. Di era kesibukan bertualang, berkarya mencari ‘bekal pulang’, aku tak sempat membangun rumah. Rumah virtual. Alhamdulillah, kini kesampaian juga. Dan insya Allah, Anda akan senang berkunjung ke beranda rumahku…!


Tak pernah jelas betul kapan aku dilahirkan. Ayahku – dan sebagian besar orangtua di kampungku waktu itu – tidak memandang penting selembar akta kelahiran untuk anak-anaknya. Satu-satunya catatan yang menunjukkan kapan aku terlahir adalah goresan potlot di balik pintu tua kamar ibuku. Rebo manis, 20 Mei. Dalam kosmologi Jawa, jika jabang bayi terlahir Selasa petang, sesudah waktu shalat asar, maka weton bayinya jatuh pada Rabu. Jadi, sesungguhnya aku lahir hari Selasa sore. Dan sial, tanggal keramat itu pun tertukar dengan pamanku, ketika mendaftar SD di tahun 1965. Celakalah sejarah hidupku, karena seluruh dokumen kehidupanku mengutip ijazah SD tahun 1970 itu. Dan aku sering tersenyum dalam hati ketika teman-teman sibuk menyalami dan mengucapkan selamat di tanggal ulang tahunku yang salah. Catatan sejarah, kadang menyesatkan umat jika tersalah dari awal sebuah peradaban.

Aku merasa beruntung, bahwa sepanjang sejarah hidupku pernah mukim di berbagai kota di Jawa dan Sumatera; mengunjungi berbagai wilayah hingga pelosok-pelosok kampung, dukuh, dusun, hutan, gunung dan tempat-tempat yang jarang dijamah orang. Sejatinya aku suka mencari pengalaman unik, bertualang yang cukup menantang untuk mencari dan menggapai ‘sesuatu’ yang sulit didefinisikan.

Di tahun 1976, aku pernah ‘bertapa’ di lereng gunung terbesar di Jawa yang tingginya 4.328 m. Entah mencari apa. Yang kurasakan adalah dingin menggigil di tengah malam seakan merontokkan seluruh belulang persendian, membekukan aliran darah dan menghalau gejolak kesombongan diri. Riuh rendah sautan binatang malam yang ditimpal suara benturan air, menajamkan mataku akan hadirnya milyaran bintang di atas langit. Aku masih terlentang, menerawang langit kelam. Allahu akbar! Betapa kecilnya manusia di Bumi. Dan aku tertidur lelah di atas batu, di tengah aliran sungai curam di punggung Baturaden yang menjadi saksi bisu. Tak ada hantu gunung yang berkunjung, pun tak ada peri yang menghampiri. Atau, mungkin mereka menghindar-lari demi melihat makhluk nekad yang tak jelas apa yang dicari.

Di saat liburan sekolah, aku pernah nekad melancong ke berbagai kota, dan kehabisan uang di jalanan, terdampar, terlunta-lunta di kawasan Gubeng Surabaya. Aku nekad menumpang gerbong KA ‘Biru Malam’ jurusan Surabaya-Jakarta tanpa tiket. Tentu saja, aku diturunkan paksa di tengah malam buta di ‘hutan tebu’ Kediri. Aku kelimpungan tak tahu arah, terseok-seok menyusuri rel di derasnya hujan malam. Kilatan petir sesekali, menunjuki kemana kaki melangkah. Kini, aku sulit membayangkan kekonyolan diri. Berapa kilometer tertatih-tatih di antara dua besi panjang di gulita malam.

Dan aku pun menemukan lintasan jalur bus, menyetop bus, untuk kemudian diturunkan paksa oleh kondektur wanita karena tak punya uang. Yang kuingat malam itu, lapar menggigit, dingin, kuyup menggigil dan sebuah papan nama: “Selamat Datang di Kota Pare”. Sungguh, petualangan masa remaja itu membuat aku cukup tegar menghadapi keprihatinan hidup di kemudian hari.

Dalam kelindan hidup di perantauan, aku terbiasa bergaul dengan berbagai etnis-sukubangsa, strata sosial, budaya dan bahkan berlainan agama. Dalam keakraban pergaulan, aku sering kali numpang shalat di rumah teman yang tak faham arah kiblat, apatah lagi memiliki sajadah. Tahukan Anda, doa apa yang kumohonkan pascashalatku? Memang, tampaknya aku agak terpengaruh oleh pemikiran Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dan Cak Nur (Nurcholis Madjid) dalam memahami konsep hablun minnanas dan hablun minallah.

Di dunia pemikiran, sungguh aku sangat mengagumi kecerdasan Harun Yahya yang dengan kejernihan hati dan kecerdasan akal-pikirnya mampu menumbangkan teori Darwinisme yang bertahun-tahun diyakini oleh komunitas intelektual non-Muslim. Aku terkesan dengan pemikiran agungnya tentang penciptaan Tuhan yang dikutip Andrea Hirata dalam Edensor: “Hidup dan nasib bisa tampak berantakan, misterius, fantatis dan sporadis. Namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang mahasempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apa pun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan”.

Aku juga sangat kagum dengan keberanian seorang Ali Shariati dalam memetakan persoalan sosio-kultural bangsa-bangsa Asia dan membangun ideologi Islam modernisme untuk melawan rezim penguasa Shah Iran. Dalam bukunya yang sangat monumental, “Man and Islam” (1982), beliau memaksa para ilmuwan Barat mengkaji ulang teori-teori yang pernah mereka agung-agungkan. Revolution en massre yang menumbangkan Shah Iran di tahun 1979 itu, bukan saja menggemparkan umat manusia di dunia, akan tetapi juga berhasil menggoyahkan seluruh sendi-sendi ilmu sosial Barat dan meruntuhkan berbagai asumsi yang mendasarinya. Sungguh mencengangkan!

Sedangkan di dunia sastra aku mengagumi daya hayal yang menjelajah; dan kepiawaian bertutur seorang Ashadi Siregar, Karl May (Winnetou), Paul I Wilman (The Woman) dan si ‘Laskar Pelangi’ Andrea Hirata. Empat puluh tahun yang lalu, aku terkesan kepiawaian Ashadi Siregar dalam novel Warisan Sang Jagoan ketika mencandra suasana kesedihan Mardan di atas gundukan tanah merah kuburan Nancy – kekasihnya, Noni Belanda – yang justru anak dari musuh beratnya dalam memperjuangkan nasib inlander. Karya-karya mereka sangat menggugah, mencengangkan dan sekali gus menyadarkan. Dan aku sangat terinspirasi oleh para tokoh dunia, atau siapa pun tokoh yang tak sempat kusebutkan: untuk menghayal, bermimpi, berkarya dan menulis apa pun sekadar untuk berbagi.

Modalku untuk berbagi adalah semangat. Memang, aku pernah menimba (sedikit) ilmu tulis menulis. Sewaktu klas satu SMP, tulisanku pernah dimuat di Majalah Pelajar “Gairah” yang diterbitkan Kanwil Depdikbud Provinsi Jawa Tengah. Di kala ikut ‘basic training’ PII Cabang Yogyakarta Besar, pernah pula diajari teknik mewawancarai narasumber di sebuah Pesantren di Banyumas. Dan di sela-sela kesibukan kuliah di Bogor, aku pernah ikut Pelatihan Jurnalistik Ilmiah Populer yang diselenggarakan HIMABIO-IPB. Dan modalitas itulah yang menambah keberanianku membuka lapak virtual dalam ajang Kontemplasi Megatruh.

Demi meneruskan jejak tokoh-tokoh dunia atau siapa saja yang telah dan terus berbagi pemikiran dan pengalamannya, maka aku membuka pintu rumahku lebar-lebar. Aku gelar tikar-diskusi di beranda rumahku. Aku senantiasa memohon hidayah-Nya untuk gusar jika tak membaca, merasa beku jemariku jika tak menulis. Aku ingin terus membaca, menulis dan berbagi, atas secuil pengalaman dan secercah pengetahuan yang dititipkan Tuhan dalam diriku.

Akan kuhamparkan peta dunia berskala 1 berbanding 500 ribu, untuk melihat lebih detail kisi dan lekuk geografi kehidupan yang sangat dinamik. Dan kuajak berkontemplasi di beranda rumahku. Mari bermenung seraya berdiskusi dalam nuansa Mocopat atau Megatruh, atau bahkan Keroncong-Metropop tentang berbagai topik: SEJARAH dan BUDAYA, hal-ihwal OTONOMI DAERAH dan DESA, GEOGRAFI & LINGKUNGAN HIDUP, HAZANAH ISLAMIYAH dan apa pun tentang HUMANIORA. Aku ingin, di lemari kamarku ada tersimpan CATATAN HARIAN sepanjang hidupku yang kelak akan menjadi bacaan humanis bagi anak-cucu, teman seperjuangan dan siapa pun yang hasrat beramal saleh. Insya Allah!

***(*)***