Tampilkan postingan dengan label SASTRA & BUDAYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SASTRA & BUDAYA. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 September 2025

TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK [2]

Catatan:  Hendy UP *]

   Setelah hampir 90 tahun lamanya, sebuah karya sastra monumental yang legendaris, kini dicetak ulang dengan desain sampul baru dan aneka kehebohannya.
    Roman bari itu bertemakan "kisah-cinta" dengan balutan friksi & dialektika pergeseran nilai budaya di sebuah negeri tua yang bernama Ranah Minang. 
    Yaa, sepenggal tanah Melayu yang menyimpan ragam heliks DNA & RNA semenjak dahulu kala. Dari heliks jeniusitas, sastrawan, pemikir, budayawan hingga politikus yang kontroversial di zaman ini. 
    Alkisah, pada tahun 1938, lahirlah karya sastra monumental dari seorang ulama besar bernama HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Terbit pertama kali di majalah "Pedoman Masyarakat" yang dipimpin oleh HAMKA sendiri. Usia beliau saat itu 31 tahun. Karya monumental lainnya, antara lain adalah "Di Bawah Lindungan Ka'bah".
    Kemudian diterbitkan dalam bentuk buku roman oleh M. Syarkawi dua kali (1939 & 1949); dan mendapat kritikan keras dari kalangan agamawan karena dianggap menyalahi kebiasaan dan kelaziman adat tradisi kala itu (1938-1948). 
    Penerbitan selanjutnya dikelola oleh PN Balai Pustaka hingga ke-7. Mulai penerbitan ke-8 (1961) hingga ke-17 dikelola oleh Penerbit Nusantara (swasta). Dan sejak cetakan ke-18 (1986) dan seterusnya diterbitkan oleh PT Bulan Bintang, yang dicetak oleh PT Midas Surya Grafindo, Jakarta dengan ISBN- 979-418-055-6.
    Roman kisah-kasih yang yang unik ini, terkelindan antara Pemuda malang Zainuddin, 'gadih Minang' Hayati, Azis dan Khadijah serta pemuda Muluk itu terserak pada 28 mozaik kisah, yakni:
1. Anak orang terbuang;
2. Yatim piatu;
3. Menuju negeri nenek moyang;
4. Tanah asal;
5. Cahaya hidup;
6. Berkirim-kiriman surat;
7. Pemandangan di dusun;
8. Berangkat;
9. Di Padangpanjang;
10. Pacu kuda dan pasar malam;
11. Bimbang;
12. Meminang;
13. Pertimbangan;
14. Pengharapan yang putus;
15. Perkawinan;
16. Menempuh hidup;
17. Jiwa pengarang;
18. Surat-surat Hayati kpd Khadijah;
19. Club anak Sumatera;
20. Rumah tangga;
21. Hati Zainuddin;
22. Dekat, tetapi berjauhan;
23. Surat cerai;
24. Air mata penghabisan;
25. Pulang;
26. Surat Hayati yang penghabisan;
27. Sepeninggal Hayati;
28. Penutup.
    Pada mozaik ke-25 "Pulang", dikisahkan begini: "Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936,  kapal Van der Wijck yang menjalani ijin KPM dari Mengkasar telah berlabuh di Pelabuhan Tanjungperak. Kapal itu akan menuju Semarang, Tanjungpriuk dan terus ke Palembang. Penumpang-penumpang yg akan meneruskan pelayaran ke Padang harus pindah kapal di Pelabuhan Tanjungpriuk".
    Dan Hayati akan menaiki kapal itu, niatnya berlayar pulang ke Padang. Ternyata, qodarullah, di tengah laut Jawa 35 mil di barat Surabaya, Hayati menjemput ajalnya; setelah cintanya yang tulus ditolak dengan kejam-setikam oleh Zainuddin, karena dendam lelaki yang beralasan.
    Padahal, merongga di lubuk hati Zainuddin, sungguh hanya mencintai Hayati sepanjang hayatnya. Tetapi, gumpalan dendam cinta itu bergelulung berbuntal-buntal mengebat jantungnya, melingkari nuraninya. Dan diusirlah Hayati dengan sepedih hati. Sungguh kelak, sebuah penyesalan yang tak pernah dibayangkan akan membawa ajal kekasih satu-satunya sepanjang hidupnya.
    Pascaditolak cintanya, sebelum hari kepulangannya, Hayati menorehkan seluruh cinta-jiwanya dalam berlembar-lembar kertas, yang ditinggalkan di ruang-tulis Zainuddin. Itulah lelehan jiwa Hayati yang menularkan virus kematian utk lelaki idamannya: Zainuddin ahli waris budaya dari Negeri Batipuh X Koto wilayah Padangpanjang.

[Bersambung ...]

*) Muarabeliti, Senin 23 Maret 2020; Resunting, Ahad, 7 Sept 2025.

[Ditukil dari "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck", karya HAMKA. Penerbit Bulan Bintang, Jkt; Cetakan ke-18, 1986, 224 hal].

TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK [1]

Catatan:  Hendy UP *]

   Setelah hampir 90 tahun lamanya, sebuah karya sastra monumental yang legendaris, kini dicetak ulang dengan desain sampul baru dan aneka kehebohannya.
    Roman bari itu bertemakan "kisah-cinta" dengan balutan friksi & dialektika pergeseran nilai budaya di sebuah negeri tua yang bernama Ranah Minang. 
    Yaa, sepenggal tanah Melayu yang menyimpan ragam heliks DNA & RNA semenjak dahulu kala. Dari heliks jeniusitas, sastrawan, pemikir, budayawan hingga politikus yang kontroversial di zaman ini. 
    Alkisah, pada tahun 1938, lahirlah karya sastra monumental dari seorang ulama besar bernama HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Terbit pertama kali di majalah "Pedoman Masyarakat" yang dipimpin oleh HAMKA sendiri. Usia beliau saat itu 31 tahun. Karya monumental lainnya, antara lain adalah "Di Bawah Lindungan Ka'bah".
    Kemudian diterbitkan dalam bentuk buku roman oleh M. Syarkawi dua kali (1939 & 1949); dan mendapat kritikan keras dari kalangan agamawan karena dianggap menyalahi kebiasaan dan kelaziman adat tradisi kala itu (1938-1948). 
    Penerbitan selanjutnya dikelola oleh PN Balai Pustaka hingga ke-7. Mulai penerbitan ke-8 (1961) hingga ke-17 dikelola oleh Penerbit Nusantara (swasta). Dan sejak cetakan ke-18 (1986) dan seterusnya diterbitkan oleh PT Bulan Bintang, yang dicetak oleh PT Midas Surya Grafindo, Jakarta dengan ISBN- 979-418-055-6.
    Roman kisah-kasih yang yang unik ini, terkelindan antara Pemuda malang Zainuddin, 'gadih Minang' Hayati, Azis dan Khadijah serta pemuda Muluk itu terserak pada 28 mozaik kisah, yakni:
1. Anak orang terbuang;
2. Yatim piatu;
3. Menuju negeri nenek moyang;
4. Tanah asal;
5. Cahaya hidup;
6. Berkirim-kiriman surat;
7. Pemandangan di dusun;
8. Berangkat;
9. Di Padangpanjang;
10. Pacu kuda dan pasar malam;
11. Bimbang;
12. Meminang;
13. Pertimbangan;
14. Pengharapan yang putus;
15. Perkawinan;
16. Menempuh hidup;
17. Jiwa pengarang;
18. Surat-surat Hayati kpd Khadijah;
19. Club anak Sumatera;
20. Rumah tangga;
21. Hati Zainuddin;
22. Dekat, tetapi berjauhan;
23. Surat cerai;
24. Air mata penghabisan;
25. Pulang;
26. Surat Hayati yang penghabisan;
27. Sepeninggal Hayati;
28. Penutup.
    Pada mozaik ke-25 "Pulang", dikisahkan begini: "Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936,  kapal Van der Wijck yang menjalani ijin KPM dari Mengkasar telah berlabuh di Pelabuhan Tanjungperak. Kapal itu akan menuju Semarang, Tanjungpriuk dan terus ke Palembang. Penumpang-penumpang yg akan meneruskan pelayaran ke Padang harus pindah kapal di Pelabuhan Tanjungpriuk".
    Dan Hayati akan menaiki kapal itu, niatnya berlayar pulang ke Padang. Ternyata, qodarullah, di tengah laut Jawa 35 mil di barat Surabaya, Hayati menjemput ajalnya; setelah cintanya yang tulus ditolak dengan kejam-setikam oleh Zainuddin, karena dendam lelaki yang beralasan.
    Padahal, merongga di lubuk hati Zainuddin, sungguh hanya mencintai Hayati sepanjang hayatnya. Tetapi, gumpalan dendam cinta itu bergelulung berbuntal-buntal mengebat jantungnya, melingkari nuraninya. Dan diusirlah Hayati dengan sepedih hati. Sungguh kelak, sebuah penyesalan yang tak pernah dibayangkan akan membawa ajal kekasih satu-satunya sepanjang hidupnya.
    Pascaditolak cintanya, sebelum hari kepulangannya, Hayati menorehkan seluruh cinta-jiwanya dalam berlembar-lembar kertas, yang ditinggalkan di ruang-tulis Zainuddin. Itulah lelehan jiwa Hayati yang menularkan virus kematian utk lelaki idamannya: Zainuddin ahli waris budaya dari Negeri Batipuh X Koto wilayah Padangpanjang.

[Bersambung ...]

*) Muarabeliti, Senin 23 Maret 2020; Resunting, Ahad, 7 Sept 2025.

[Ditukil dari "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck", karya HAMKA. Penerbit Bulan Bintang, Jkt; Cetakan ke-18, 1986, 224 hal].