Tampilkan postingan dengan label BUDAYA-SASTRA-BAHASA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BUDAYA-SASTRA-BAHASA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 21 Juli 2020

TANTANGAN KORAN LOKAL

TANTANGAN KORAN LOKAL DI ERA MILENIAL

Oleh: Hendy UP *)

     Mengamati berita Lipos Online (Senin 20 Juli 2020) tentang acara Gathering Tim Linggau Pos (LP) dan Linggau Pos Online (LPO), ada metafora tergantung dari statement GM-LP Budi Santoso. Rombongan sedang berada di perbukitan Danau Mas Harun Bastari. "Kita sedang berada di wisata perbukitan, maka lihatlah ke bawah agar mengetahui apa yang harus kita lakukan ke depan". Begitu kira-kira makna verbatimnya.

      Sebagai peminat bahasa dan pemerhati koran lokal, saya menangkap ada semiotika tantangan dan harapan dari pelaku bisnis koran (kertas). Ada semacam 'kegalauan' akan nasib koran kertas. Di Ultah Mureks ke-12 tempo hari, saya menulis artikel bersambung tentang ideologi dan bisnis media lokal di era pascakorona. Ada pesaing baru hadir: medsos!

     Kasus 'Koin Prita' yang dikabulkan MA, mengukuhkan medsos sebagai pilar demokrasi kelima. Sedangkan pers konvensional tetap diakui para ahli sebagai pilar ke-4. Bisakah kelak berubah? Bisa. Jika koran tidak lagi peduli menempatkan bisnis tanpa ideologi.

     Tidak hanya itu, melimpahnya informasi hingga dusun-teluk, ternyata mengancam eksistensi koran dan TV. Kendati pun, ruahnya info medsos itu lebih banyak sumpah-serapah, ketimbang berita yang patut dipercaya. Konon, di medsos itu lebih banyak 'ghibah' dan 'pamer-diri' ketimbang aspek edukasi dan literasi.

      Saya sungguh prihatin terhadap koran lokal yang harus berperang melawan 'makhluk medsos' yang liar nirkendali, delirium, merampok jam produktif masyarakat hingga lupa diri. Bahkan, segmen masyarakat tertentu (terpelajar?) mirip alumni RS Jiwa yang kehabisan stok valium jika ketinggalan ponsel atau baterainya ngedrop.

      Jika koran lokal (kertas) ingin bertahan hidup di "ERA NDAK KARUAN PASCAKORONA", maka harus tetap menggenggam ideologi pers dalam keseimbangan bisnis. Ideologi pers yang utama adalah edukasi dan literasi. Pengelola industri koran wajib cerdas mengelola informasi yang bermutu: nirhoaks, nirsara, bernilai moral-edukatif, santun-humanis, tegas dan teruji validitas/kredibilitas data yang dipublish. Kecepatan waktu siar menjadi pemicu kredibilitas koran.

     Prinsip dasar "bisnis" koran niscaya harus jalan untuk mengelola kehidupan: demokrasi, perusahaan dan karyawan. Jika tiras koran Lipos antara 5-9 ribu eksemplar, harga koran sekian, maka untungnya mudah dikalikan. Income utama koran adalah jasa iklan, pungutan langganan tetap dan jual eceran. Berapa totalnya, mudah dikalkulasi!

     Sekadar kritik, iklan di Lipos Online sungguh variatif. Tapi saya menyangkan! Prihatin berat: kok ada iklan seronok yang tak santun. Pornografis! Subhanalloh!

     Tapi ingat, di era teknologi analog- digital kini dan kelak, informasi akan cenderung gratis. Maka, para penjual informasi non-virtual akan kehilangan pelanggan. Jadi jasa iklan akan lebih dominan asalkan banyak pengunjung yang 'like and share' dan lamanya durasi.

     Jangan bermimpi Lipos akan mampu bersaing dengan koran nasional yg semakin mengglobal; maka perbanyaklah konten lokal yang dikemas secara cerdas. Butuh SDM wartawan, redaktur dan news editor yang militan dan anti 'kopipaste' kebablasan. Litbang Lipos harus diperkuat, data updating tak boleh henti dan rajin sharing dengan tokoh lokal. Bila perlu sediakan RUBRIK EDITORIAL yang menunjukkan idealisme dan entitas ideologi Lipos.

     Yang perlu dipikirkan petinggi Lipos kini: menyusun desain bisnis lokal model milenial yang memungkinkan MERGER ASET KORPORASI antara teknologi ANALOG dengan DIGITAL. Bahasa lugasnya: GABUNGKAN MANAJEMEN Mureks, LinggauPos, Silampari Post dan TVSilampari.

     Saya sangat yakin, ide dan gagasan ini sudah ada dilaci Bung Dahlan Iskan. Tapi ibarat eskalasi pandemi Korona, perlu transisi NEW NORMAL sembari mengamati geriyak Kabinet Jokowi yang agak mutung pascarapat "kemarahan" bulan lalu. Allohua'lam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 20 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan..net

Selasa, 30 Juni 2020

HUT MUREKS 12TH (3)

TANTANGAN MUREKS 12TH: IDEOLOGI, BISNIS & STRATEGI

Oleh: Hendy UP *)

      Kasus 'koin Prita' yang dikabulkan MA pada 7 Agustus 2012, mengukuhkan medsos sebagai pilar demokrasi kelima. Sedangkan pers konvensional tetap diakui para ahli sebagai pilar ke-4. Bisakah kelak berubah? Bisa. Jika koran tidak lagi peduli menempatkan bisnis tanpa ideologi.

      Tidak hanya itu, melimpahnya informasi hingga ke gang buntu, dusun-teluk dan ume-talang, ternyata mengancam eksistensi koran dan TV. Kendati pun, ruahnya info medsos itu lebih banyak sumpah-serapah yang menyampah, ketimbang sari berita yang patut dipercaya. Konon, di medsos itu lebih banyak 'ghibah' dan 'pamer-diri' ketimbang aspek edukasi dan literasi.

     Sebagai 'insan pembaca', setiap pagi saya wajib membuang sampah dengan cara membuka menu: pilih lainnya dan bersihkan chat di 17 WAG aneka segmen!

     Saya sungguh prihatin terhadap koran Mureks dkk! Baru berumur 12 tahun, menjelang akil balig, sudah harus berperang melawan 'makhluk medsos' yang liar nirkendali, manyong, delirium dan merampok jam produktif masyarakat hingga lupa diri. Bahkan, segmen masyarakat tertentu (terpelajar?) mirip alumni RS Jiwa yang kehabisan stok valium jika ketinggalan ponsel atau baterai ngedrop.

     Seorang psikolog kondang jebolan UGM yang lahir di F. Trikoyo Musirawas (Nita Subarjo, MPsi) dalam artikelnya (22 Juni 202o) menguraikan bahwa 'gangguan' jiwa yang terkait dengan ketergantungan gadget-ponsel ada 4 grade, yaitu: selfitis, nomopobia, technoference dan cyberchondria. Sungguh sangat berbahaya: seperti bahaya laten narkoba dan ideologi Neo-PKI.

     Jika Mureks ingin bertahan hidup di "ERA NDAK KARUAN PASCAKORONA", maka harus tetap menggenggam ideologi pers dalam keseimbangan bisnis. Ideologi pers yang utama adalah edukasi dan literasi. Pengelola industri koran wajib cerdas mengelola informasi yang bermutu: nirhoaks, nirsara, bernilai moral-edukatif, santun-humanis, tegas dan teruji validitas/kredibilitas data yang dipublish. Kecepatan waktu siar menjadi pemicu kredibilitas koran.

     Prinsip dasar "bisnis" koran niscaya harus jalan untuk mengelola kehidupan: demokrasi, perusahaan dan karyawan. Jika tiras koran Mureks antara 3 - 5 ribu eksemplar, harga koran sekian, maka untungnya mudah dikalikan. Di mana-mana, income utama koran adalah jasa iklan, pungutan langganan tetap (kantor Pemda/Desa) dan jual eceran. Berapa totalnya, mudah dikalkulasi!

     Tapi ingat, di era teknologi analog- digital kini dan kelak, informasi akan cenderung gratis. Maka, para penjual informasi non-virtual akan kehilangan pelanggan. Jadi jasa iklan akan lebih dominan asalkan banyak pengunjung yang 'like and share' dan lamanya durasi.

     Jangan bermimpi Mureks akan mampu bersaing dengan koran nasional yg semakin mengglobal; maka perbanyaklah konten lokal yang dikemas secara cerdas. Butuh SDM wartawan, redaktur dan news editor yang militan dan anti 'kopipaste' kebablasan. Litbang Mureks harus diperkuat, data updating tak boleh henti dan rajin sharing dengan tokoh lokal. Bila perlu sediakan RUBRIK EDITORIAL yang menunjukkan idealisme dan entitas ideologi Mureks.

     Yang perlu dipikirkan petinggi Mureks dan JPG kini: menyusun desain bisnis lokal model milenial yang memungkinkan MERGER ASET KORPORASI antara teknologi ANALOG dengan DIGITAL. Bahasa lugasnya: GABUNGKAN MANAJEMEN Mureks, LinggauPos, Silampari Post dan TVSilampari.

      Saya sangat yakin, ide dan gagasan ini sudah ada dilaci Bung Dahlan Iskan. Tapi ibarat eskalasi pandemi Korona, perlu transisi NEW NORMAL sembari mengamati geriyak Kabinet Jokowi yang agak mutung pascarapat "kemarahan" pekan ini. Allohua'lam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 30 Juni 2020

*) Blogger: www.andikatuan..net

HUT MUREKS 12TH (1)

MUREKS 12th: LEGASI UNTUK DIs-WAY

Oleh : Hendy UP *)

     Rabu 1 Juli 2020, koran Musirawas Ekspres (Mureks) genap berusia 12 tahun. Ditakdirkan sebagai 'adik kandung' Linggau Pos yang lahir 7 tahun lebih tua (Senin, 12 Feb 2001). Berbeda dengan kakaknya, Mureks memilih frasa "Koran Kebanggaan Masyarakat Silampari" sebagai tagline; komplementer dengan Sang Kakak yang mengklaim "Pertama dan Terbesar di Bumi Silampari".

     Niscaya sebuah kebetulan, bahwa HUT Mureks ke-12 bersamaan dengan HUT Bhayangkara ke-74, yang mengingatkan kita akan sebuah peristiwa penyatuan (sentralistik) manajemen kepolisian yg semula bersifat 'kedaerahan' lalu diikat oleh PP No. 11 Tahun 1946. Mungkin kelak akan ada sinergi perayaan HUT kedua institusi ini.

     Masyarakat Silampari niscaya mafhum bahwa jaringan koran~koran (dan TV): LinggauPos - Mureks - Silampari - Sumeks - Jawa TV (JTV) dan puluhan lainnya mutlak di bawah kendali 'manajemen agung' Jawa Pos Grup (JPG) dan Jawa Post National Network (JPNN). Soal modal awal dan 'kompetisi' bisnis, niscaya 'dijamin' aman oleh sistem manajemen DIs Way di Graha Pena, yang mangkal di kawasan Ketintangbaru Surabaya.

     Tapi masyarakat mungkin banyak belum tahu bahwa sejarah 'nenek~moyang' koran Mureks sebenarnya sangat panjang. Di pangkal riwayat ada: The Chung Shen, Eric Samola dan Dahlan Iskan yang agaknya ditakdirkan sebagai 'wirausahawan koran'.

     Adalah seorang bernama The Chung Shen (lahir 1893) dengan kepiawaian bisnisnya, mendirikan koran 'Djava Post' di Surabaya pada 1 Juli 1949. Untuk melayani aneka segmen, diterbitkan pula koran Hwa Chiao Sien Wen (berbahasa Mandarin) dan koran de Vrije Pers (berbahasa Belanda) dan Daily News (Inggris).

     Dalam perjalanannya, karena dinamika politik dan bisnis, akhirnya tiga korannya tutup; tersisa Djawa Post sebagai metamorfosis dari Djava Post plus 3 koran mendiang. Untuk mengelola koran~korannya ditunjuk Pemred Goh Tjing Hok (1953) dan diteruskan oleh Thio Oen Sik. Konon, selama 4 tahun, Chung Shen mengelola sendiri dari: mencari, menyeleksi, mengompilasi dan mengedit hingga proses pencetakan koran.

     Ketika tahun 1982 nyaris bangkrut (tersisa 6.800 eks/hari), maka diserahkan kepada teman bisnisnya di Majalah Tempo (Grup) yakni Bung Eric FH Samola. Dahlan Iskan kala itu menjabat Kabiro Tempo di Surabaya, dan dikenal sebagai wartawan 'kawakan' yang tahan banting plus memiliki karakter petarung tak kenal menyerah. Tanggal 1 April 1982 adalah hari bersejarah bagi Dahlan ketika menerima mandat sebagai Manajer Jawa Post.

     Duet Eric~Dahlanlah prestasi Jawa Post melejit membumbung langit. Di luar dugaan banyak pihak, oplahnya melejit hingga 300 ribu eksemplar hanya dalam tempo 5 tahun (1987). Tidak hanya itu, dalam tahun itu juga terbentuk JPNN yang memiliki 40 jaringan percetakan, menerbitkan aneka produk: tabloid, majalah dan koran lokal di 80 kota di seantero Nusantara. Luar biasaaa!

     Kepiawaian Sang Dahlan Iskan yang cerdas~tawadu dan 'super~inovatif' telah teruji oleh waktu. Kariernya merambah aneka gelanggang, menginspirasi banyak petinggi hingga kaum millenial. Dari memotong 'kabel PLN' yang kusut-berbelit, hingga mengudek manajemen BUMN yang lamban nan koruptif.

     Namun 'segerombolan' orang yang iri-dengki merasa gerah dan menghadang di tengah jalan. Menjegal di tikungan kala Dahlan melaju dg 'mobil listrik'nya. Tergelincir gara2 kulit pisang yang sengaja di lempar di jalanan nan licin. Syukurlah doa~doanya makbul. Alhamdulillah. Si pelempar kulit pisang patah arang. Orang jujur ternyata lebih makmur! Semoga Bung Dahlan tetap istiqomah.

     Sebagai pembaca Mureks, saya berharap agar Keluarga Besar Mureks wajib meneladani 'ghiroh' Bung Dahlan dalam berjibaku menggelorakan nilai-nilai filosofi dan sejarah pers nasional dengan konten kearifan lokal. Terus senantiasa menjadi kebanggaan masyarakat Bumi Silampari.

     Dirgahayu Mureks! Tegaklah di depan memandu generasi millenial; bukan mengekor di buritan..! [*]

Muarabeliti, 29 Juni 2020.

*) Blogger: www.andikatuan.net

HUT MUREKS 12TH (2)

MUREKS 12TH: TANTANGAN DI ABAD MILENIAL

Oleh: Hendy UP *)

     Di tahun 1995, karena terikat tugas riset lapangan, saya harus kulu-kilir Bogor-Karawang selama satu smester. Ba'da subuh Senin gelap, saya sudah nongkrong di Terminal Baranangsiang (Tugu IPB) untuk menunggu Bus Agra Mas atau Rosalia Indah yang terpagi menuju Karawang. Di bawah temaram neon, di bangku tunggu terminal, mayoritas penunggu asyik-masyuk membaca koran.

     Riuh-rendah logat Sunda yang menjajakan kopi hangat dan koran pagi, seakan menjadi elegi nan harmonis kendati partiturnya agak berantakan. Saya menghabiskan waktu hampir dua jam utk melahap Kompas hingga turun di Pasar Johar Karawang menuju lokasi riset di Lemahabang dekat Pantai Cilamaya.

     Beberapa tahun yang lalu, sengaja saya napak-tilas di Terminal Baranangsiang ~ setelah jenuh muter-muter di Botanical Square, mall tebesar di seberang Tugu IPB ~ ternyata sungguh sangat mengejutkan! Nyaris tak ada lagi orang membaca koran. Setiap orang asyik dengan gadgetnya, ponselnya atau hand book. Tukang jaja koran masih ada, tapi orang agaknya tak peduli, karena isi koran sudah tergenggam di handphone cerdasnya.

     Setahun terakhir ini, saya pun hampir tak lagi 'mencari' koran Mureks, Lipos, Kompas, Republika, atau Majalah Tempo. Hampir setiap pagi buta, pascaritual pagi usai, sembari menunggu asap kopi menipis di atas gelas; saya bisa membaca DIs'Way yang dikirim Mas Sugi (Diseminator Mureks) ba'da subuh.

     Atau setiap saat bisa membaca berita lokal Silampari di LinggauPos Online yang disebarkan oleh Bung Endang Kusmadi. Sedangkan untuk jenis berita sosio-politik dan gonjang-ganjing kabinet Jokowi dari sumber yang kredibel bisa dilacak di Majalah Tempo.Co atau Tempo.Pdf dengan harga langganan cukup murah.

     Jadi siapakah, hari ini yang masih membaca koran kertas? Strategi Mureks untuk bertahan hidup di era milenial pasti sudah dipikir matang oleh para petinggi JPG dan JPNN-nya. Siap-siaplah menggudangkan 'mesin cetak' yang mungkin masih milik aset bersama JPG Lokal Silampari. Kalau dulu strategi "SPLIT MANAJEMEN" lagi ngetrend dan menguntungkan secara bisnis, era ke depan mungkin sebaliknya.

     Kabarnya, dulu, Split manajemen Linggau Pos melahirkan: Mureks, Silampari Post dan TVSilampari. Di era milenial, barangkali strategi merger-korporat akan lebih menjanjikan keutuhan bisnis kosa-kata. Mirip-mirip situasi Jerman pasca runtuhnya Tembok Berlin pada November 1991, setelah era 'political spliting' selama 30 tahun.

      Kunci sukses bisnis apapun di era milenial adalah SDM Unggul nan bermutu. Mureks memerlukan SDM yang profesional di bidangnya, tangguh menjaga visinya dan ulet memperjuangkan amalan misinya. Karena Mureks adalah entitas bisnis KOSA-KATA, maka SDM-nya wajib unggul nan mumpuni di bidang bahasa komunikasi tulisan, inovatif dalam menerjemahkan situasi dan kebutuhan (informasi) masyarakat yang dinamis-fluktuatif, serta senantiasa berlari mengejar rujukan informasi yang kredibel. Tidak bermental 'kopipaste' hanya mengejar full-rubrik halaman yang telah dimuat di media lain dua-tiga hari yang lalu.

     Sungguh, persaingan bisnis koran (nasional dan daerah) ke depan sangat multi tantangan. Maka hanya orang-orang yang piawai dalam mengolah kata-kata, yang bisa bertahan maju; bukan jalan di tempat sembari mengunyah aset yang lama kelamaan akan susut. Niscaya DIs'Way telah menyiapkan pedoman praktis: BERTAHAN BISNIS KORAN DI ERA NDAK KARUAN! [*]

Muarabeliti, 30 Juni 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Rabu, 25 Maret 2020

FILM HAYYA: MELEPAS KORTISOL & ENDORFIN

FILM HAYYA: MELEPAS KORTISOL & GUGUS ENDORFIN

Oleh: Hendy UP *)

     Seratusan menit menikmati Film Hayya, aku mengalami tiga hal: ejakulasi batin, permenungan jiwa dan pelepasan endorpin otak yang mangkal pada sirkuit kegembiraan. Aku tak tahu, apakah penonton lain termasuk Benny Arnas yang duduk di depanku meraih pengalaman yang sama? Entahlah! Sepuluh menit pertama, dalam kegelapan gedung Sinemaxx Lippo, penonton disuguhi adegan sedih. Keceriaan gadis kecil Hayya dan puluhan anak Palestin di Pasar Jabalia melambungkan rasa bersalah kita.

     Kegembiraan anak-anak kita di pedesaan Musirawas: dari Muarabeliti  hingga dusun Selangit, adalah kegembiraan otentik-genuin yang tak terbeban kemungkinan tertembus peluru atau desing mesiu di atas ubunnya. Kerekatan gadis kecil Hayya dengan Rahmat selama di barak pengungsian, tiba-tiba harus ditetak jiwanya, karena Rahmat akan kembali ke Indonesia. Hayya kecil memberontak, tak terima.

      Inilah awal kisah yang membuat gadis kecil  Hayya nekad masuk ke koper besar Rahmat, terikut serta berlayar kapal  ke Indonesia. Memang potongan episode yang ini agak melawan rasionalitas penonton.

      Tanpa sadar, ada kilatan bayang fotopsia menghalangi layar lebar. Aku menahan air bening yang menggelayuti kelopak mata, seakan sedang menderita ablasio retina; sejurus kemudian syaraf simpatetik mataku menegang, kemudian melepaskan hormon kortisol. Dan jatuhlah lelehan air kesedihan itu!

     Sebaliknya, ada adegan kocak Adhin, berlari menyungging Hayya ketika menyelamatkannya dari kejaran Polisi. Ada hiruk-pikuk para 'Banci' yang menggelakkan beruyak-tawa. Penonton terpingkal-pingkal histeria! Background kampung kumuh dan "AWAS ANJING GALAK", mampu melupakan sejenak jejak keprihatinan nasib Hayya. Syaraf penonton dipaksa melepas endorfin dan memainkan sirkuit kegembiraan yang meluap-luap.

     Agaknya sutradara Jastis Arimba sangat mumpuni dalam menakar harmonik osilasi jiwa penonton, dan menghitung ujung amplitudonya: titik ekstrim syaraf jiwa-sedih dan titik ekstrim bahak- kegembiraan. Tentu saja, sutradara telah mengalkulasi potensi populasi penontonnya, yakni kaum milenial dan generasi-Z yang kini dominan dalam statistik demografi Indonesia.

     Kejelian sang sutradara Jastis niscaya selaras dengan kepiawaian produser Erik Yusuf bersama Helvy TR di bawah bendera Warna Pictures. Pasti bukan tanpa alasan ketika setting-place yang dipilih adalah Pasar Jabalia, Gaza Palestina dan kota Tasikmalaya Jawa Barat, dengan riak-dialek Priangan Timur yang agak vulgar dan kadang khas mendayu-dayu.

    Sungguh selaras, kompromi pemilihan para bintang yang pas dalam memerankan karakter yang dibangun penovelnya: Helvy dan Benny. Tokoh Rahmat Asyraf Pranaja (Fauzi Baadila) seorang jurnalis sang pendosa yang bersemangat menebus masa lalunya, mampu mengekspresikan kegelisahan dan irrasionalitas tindakannya. Sementara tokoh Hayya Qasim (Amna Hasanah Shahab) dipoles karakternya persis sebagaimana persepsi kita terhadap anak-anak Palestin yang full-traumatik, sarat bully dan nyaris kehilangan masa kanaknya karena direnggut Zionis super-biadab.

       Tokoh penting lain yang menyempurnakan multi adegan itu adalah: Adhin Abdul Hakim sebagai Adhin, sangat berhasil meluruhkan 'pembrontakan' jiwa Rahmat dan mampu menyuguhkan banyolan-intelek dalam kebersamaan peran di pelataran jihadnya. Bintang-bintang berbakat lain yang mendukung keberhasilan HAYYA ini adalah mereka yang terbukti mampu memerankan sekuel The Power of Love 2. Mereka adalah novelis Asma Nadia, Meyda Sefira, Ria Ricis, Humaidi Abas dan Hamas Syahid.

       Betapapun, film HAYYA adalah simbol kebangkitan ghiroh ummat dunia, beragama apa pun, yg masih peduli akan peri kemanusiaan dan peri keadilan demi mendukung eksistensi Bangsa Palestin. Lebih dari itu, bagi "Wong Linggau" novel dan film HAYYA adalah menjulang-tingginya bendera SILAMPARI yang bertajuk #JIHADBUDAYA.

       Yang menjulangkannya adalah seorang sarjana pertanian: BENNY ARNAS. Bukan yang lain! Allohu'alam bishowab.

[Muarabeliti, September 24, 2019] *) Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 24 Maret 2020

TENGGELAMNYA VAN DER WIJK (2)

MENGENANG ROMAN BARI: TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK (2)

Oleh: Hendy UP *)

      Pada mozaik ke-26 (hal 204), dituturkan bahwa pada 20 Oktober 1936, Zainuddin pulang dari Malang utk tugas jurnalistiknya. Masuk ke rumahnya di sudut gang di Surabaya dengan wajah muram nan murung. Sungguh jiwanya sangat menyesali. Akan tetapi, dendam kesumat cintanya dan arogansi kelelakianya telah mampu membentengi dan meredam getaran sinyal ketulusan jiwa yg sesungguhnya, kepada Hayati.

     Kemarin pagi, di rumah ini, dengan tegas nan ketus setengah mengusir Hayati yg memasrahkan cintanya dengan bahasa yang dalam, dari jiwa yang bertimbun luka nan ringkih terkoyak adat kampungnya; dari kegagalan perkawinannya dengan Azis atas pilihan tradisi lingkungannya, ninik-mamaknya.

     Dan pagi ini, di kamarnya, Zainuddin menerima surat panjang terakhir Hayati, berangkai 20 paragraf, yang dititipkan kepada sahabatnya Muluk. Maka dibacalah dengan perasaan nan gusar lagi bergetar:

      "Pergantungan jiwaku, Zainuddin! Kemana lagi langit tempatku bernaung, setelah engkau hilang dari padaku Zainuddin. Apakah artinya hidup ini bagiku kalau engkau pun telah memupus namaku dari hatimu!

      Sungguh besar sekali harapanku hendak hidup di dekatmu, akan berkhidmat kepadamu dg segenap daya dan upaya, supaya mimpi yg telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dpt segala kesalahan yg besar2 yg telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi.

     Tetapi cita2ku itu tinggal selamanya menjadi cita2, karena engkau sendiri yg menutupkan pintu di hadapanku: saya kau larang masuk, sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam kesakitan yg telah sekian lama bersarang dalam hatimu, yg selalu menghambat2 perasaan cinta yang suci.

     Zainuddin! Apakah artinya harta dan perbantuan itu bagiku, kalau bukan dirimu yg ada di dekatku? Saya turutkan permintaan itu, saya akan pulang. Tetapi percayalah Zainuddin bhw saya pulang ke kampungku, hanya dua yg kunantikan. Pertama kedatanganmu kembali, menurut janjiku yg bermula, yaitu akan menunggumu, biar berbilang tahun, biar berganti musim. Dan yg kedua, ialah menunggu maut, biar saya mati dg meratapi keberuntungan yg hanya bergantung di awang2 itu.

       "  .......... "

     Selamat tinggal Zainuddin! Selamat tinggal, wahai orang yg kucintai di dunia ini. Seketika saya meninggalkan rumahmu, hanya namamu yg tetap jadi sebutanku. Dan agaknya kelak, engkaulah yg akan terpatri dlm do'aku, bila saya menghadap Tuhan di akhirat.....

      Mana tahu, umur di dlm tangan Allah! Jika saya mati dahulu, dan masih sempat engkau ziarah ke tanah pusaraku, bacakanlah doa di atasnya, tanamkan di sana daun puding panca warna dari bekas tanganmu sendiri, utk jadi tanda bhw di sanalah terkuburnya seorang perempuan muda, yg hidupnya penuh dg penderitaan dan kedukaan, dan matinya diremuk rindu dan dendam.

       Mengapa suratku ini banyak membicarakan mati? Entahlah Zainuddin, saya sendiri pun heran, seakan2 kematian itu telah dekat datangnya. Kalau kumati dahulu dari padamu, jangan kau berduka hati, melainkan sempurnakanlah permohonan doa kpd Tuhan, moga2 jika banyak benar halangan pertemuan kita di dunia, terlapangkanlah pertemuan kita di akhirat, pertemuan yg tdk akan diakhiri lagi dg maut dan tdk dipisahkan oleh rasam-basi manusia....

       Selamat tinggal Zainuddin! Dan biarlah penutup surat ini kuambil perkataan yg paling enak kuucapkan di mulutku dan agaknya entah dg itu kututup hayatku ~ di samping menyebut kalimat syahadat ~ yaitu: aku cinta akan engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenangkan engkau...."

      Sambutlah salam dari: HAYATI.

*) Muarabeliti, Selasa 24 Maret 2020.

[Sumber: idem Novel HAMKA 1938-1]

ROMAN BARI: TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJK (1)

Oleh: Hendy UP *)

     Pada tahun 1938, adalah karya sastra monumental dari seorang ulama besar yang bernama HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Terbit pertama kali di majalah "Pedoman Masyarakat" yang dipimpin oleh HAMKA sendiri. Usia beliau saat itu 31 tahun. Karya monumental lainnya, antara lain adalah "Di Bawah Lindungan Ka'bah".

     Kemudian diterbitkan dlm bentuk buku roman oleh M. Syarkawi dua kali (1939 & 1949); dan mendapat kritikan keras dari kalangan agamawan karena dianggap menyalahi kebiasaan dan kelaziman adat tradisi kala itu (1938-1948). 

    Penerbitan selanjutnya dikelola oleh PN. Balai Pustaka hingga ke-7. Mulai penerbitan ke-8 (1961) hingga ke-17 diurus oleh Penerbit Nusantara (swasta). Dan cetakan ke-18 (1986) dan seterusnya diterbitkan oleh PT. Bulan Bintang, yang dicetak oleh PT Midas Surya Grafindo, Jakarta dengan ISBN- 979-418-055-6.

     Roman kasih yang terkelindan antara Pemuda malang Zainuddin, 'gadih Minang' Hayati, Azis dan Khadijah dan Muluk itu terserak dalam 28 mozaik kisah, yakni:

1. Anak orang terbuang;
2. Yatim piatu;
3. Menuju negeri nenek moyang;
4. Tanah asal;
5. Cahaya hidup;
6. Berkirim-kiriman surat;
7. Pemandangan di dusun;
8. Berangkat;
9. Di Padangpanjang;
10. Pacu kuda dan pasar malam;
11. Bimbang;
12. Meminang;
13. Pertimbangan;
14. Pengharapan yang putus;
15. Perkawinan;
16. Menempuh hidup;
17. Jiwa pengarang;
18. Surat-surat Hayati kkp Khadijah;
19. Club anak Sumatera;
20. Rumah tangga;
21. Hati Zainuddin;
22. Dekat, tetapi berjauhan;
23. Surat cerai;
24. Air mata penghabisan;
25. Pulang;
26. Surat Hayati yang penghabisan;
27. Sepeninggal Hayati;
28. Penutup.

       Pada mozaik ke-25 "Pulang", dikisahkan begini: "Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936 kapal Van der Wijck yang menjalani ijin KPM dari Mengkasar telah berlabuh di Pelabuhan Tanjungperak. Kapal itu akan menuju Semarang, Tanjungpriuk dan terus ke Palembang. Penumpang-penumpang yg akan meneruskan pelayaran ke Padang harus pindah kapal di Pelabuhan Tanjungpriuk".

     Dan Hayati akan menaiki kapal itu, niatnya berlayar pulang ke Padang. Ternyata, qodarullah, di tengah laut Jawa 35 mil di barat Surabaya, Hayati menjemput ajalnya; setelah cintanya yang tulus ditolak dengan kejam-setikam oleh Zainuddin, karena dendam lelaki yang beralasan.

      Padahal, merongga di lubuk hati Zainuddin, sungguh hanya mencintai Hayati sepanjang hayatnya. Tetapi, gumpalan dendam cinta itu bergelulung berbuntal-buntal mengebat jantungnya, melingkari nuraninya. Dan diusirlah Hayati dengan sepedih hati. Sungguh kelak, sebuah penyesalan yg tak pernah dibayangkan akan membawa ajal kekasih satu-satunya sepanjang hidupnya.

      Pascaditolak cintanya, Hayati menorehkan seluruh cinta-jiwanya dalam berlembar-lembar kertas, yang ditinggalkan di ruang-tulis Zainuddin. Itulah lelehan jiwa Hayati yang menularkan virus kematian utk lelaki idamannya: Zainuddin ahli waris budaya dari Negeri Batipuh X Koto wilayah Padangpanjang.

[Bersambung ...]

*) Muarabeliti, Senin 23 Maret 2020.

[Ditukil dari Roman Bari "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck", Penerbit Bulan Bintang, Jkt; Cet ke-18, 1986, 224 hal: 21 cm].

Senin, 23 Maret 2020

KAKAWIN HARIWANGSA

KAKAWIN HARIWANGSA
GUBAHAN: MPU PANULUH

Hana desa lengong leyep langonya/
Ri Yawadwipa kasankhya nusa sasri/ Palupuy Hyang Agastya tan hanoli/
Ya tika trasa hilang halepnya mangke//

Umuwah ta sira ng watek hyang aswi/ Anuduh te ri bhatara padmanabha/
Ya tika pulihen langonya raksan/
Ri sira, hyang hari tan wihang lumampah//

Irikan dadi bhupati prasiddha/ Maripurnnaken ikang prajatisobha/ Subhaga n madhusudanawatara/
Sira ta sri jaya-satru kaprakasa//

Tuwi sang Hyang Agastya yatna sighra/ Atemah bhiksuka pandhitadhikara/ Guru de haji manggehing pangajyan/ Sira teka pinatihnikang sarajya//

Apageh pangadeg haji n haneng rat/ Samusuh sri naranatha kapwa bakti/ Anubhawa munindra karananya/ Kawidagdhanira ring bhayatisuksma//

Nda tan adwa muwah kretanikang rat/ Pada yatneng yasa-dana-dharmma-sastra/
Wwang angasraya mula-hina-dina/ Dumadak wreddhi sukanya ring samangka//

Ya ta kaprihati manah nararyya/
Ri masantananing artha tulya warsa/ Awaneh naranatha ring bhinukti/ Lilalila ta sira hyun ing kalangwan//.

(Ada sebuah negeri yg indah/ Keindahannya laksana di dlm impian, disebut Pulau Jawa, sebuah pulau yg megah/ Jawa adalah kitab dari Agastya yg sakti tiada bandingan/ pulau itu sekarang dihinggapi ketakutan, sehingga keindahannya lenyap//

Kemudian berkumpul dewa-dewa bersama Hyang Aswi/ bersama-sama memohon dg sangat kepada Bhatara Padmanabha/ untuk memperbaiki dan menjaga keindahan pulau tersebut/ Dewa Hari ikut serta pergi ke sana//

Kini Dia telah benar-benar menjadi raja/ yang menyempurnakan lagi kehidupan hamba sahayanya/ Dia adalah inkarnasi dari Madhusudana-awatara/ Dia termashur dengan nama Sri Jaya-satru (Jayabhaya)//.

Menurut Prof. Dr. Poerbatjaraka dlm "Agastya in de Archipel" ada hubungan antara Jayabhaya (titisan Wisynu) dg gurunya (titisan Agastya), yang terkait-hubung dg Tokoh Syaikh Syamsuddin al-Wasil (penyebar Islam di pedalaman Kediri) dg Sri Mapanji Jayabhaya.

*) Muarabeliti, Ahad 22 Maret 2020.

[Ditukil dari Buku ATLAS WALISONGO, Karya Agus Sunyoto, Penerbit Pustaka Iiman, Trans Pustaka & LTN PBNU, Cetakan ke-1, 2012. Hal 59-60 [406 hal].

Senin, 23 September 2019

FILM HAYYA: VITALISME BENNY ARNAS

Oleh: Hendy UP

    Alhamdulillah aku telah menyaksikan film HAYYA: THE POWER OF LOVE 2. Film berdurasi sekitar 100 menit itu mulai tayang serempak di 140 bioskop Indonesia pada Kamis, 19 September 2019. Diangkat dari novel "HAYYA" karya Helvy Tiana Rosa & Benny Arnas.  Aku sungguh beruntung mendapat undangan khusus dari penulisnya, Benny Arnas, untuk Nobar di Bioskop Lippo Lubuklinggau, kota kecil di ujung Barat Sumsel.

       Sepuluh tahun yang lalu aku diperkenalkan nama Benny Arnas oleh anakku Setta yang tengah 'glomat' menimba ilmu di Bulaksumur Yogya.  Mereka sama-sama aktif di Forum Lingkar Pena (FLP), sebuah wadah pengkaderan penulis muda yang digagas oleh Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Maimon Herawati dkk (Fak. Sastra UI) sekitar tahun 1997-an. FLP kemudian tumbuh merambah ke berbagai perguruan tinggi dan kota-kota di seluruh Indonesia.

     Karena aku menyukai dunia sastra, hampir setiap saat aku mengunjungi blog sastra [https://www.lakonhidup.com] yang rutin setiap minggu memublikasikan cerpen yang dimuat di lebih lima koran nasional. Di blog sastra yang kini pengunjung setianya  mencapai 9 juta lebih itu, bertengger teratas nama Benny Arnas sebagai PENULIS PALING PRODUKTIF. Ah... ternyata, penulis Lubuklinggau ini mengalahkan produktivitas penulis mana pun!

    Di awal tahun 2019 ~ sepuluh tahun kemudian ~ qodarulloh aku dipertemukan dengan Benny di rumah seorang teman di Watervang, Tegi Bayuni. Pertemuan tak terduga itu menyita hampir 4 jam untuk ngobrol ngalor-ngidul seputar sastra-bahasa. Ada kesamaan obsesi bahwa sastra dan budaya Silampari harus diangkat ke galeri budaya nasional, bahkan portal sastra dunia internasional.

     Sungguh aku bangga dan mengapresiasi Benny karena dua hal. Genuin lokal ini tegar nan tangguh mendobrak karang Bukit Sulap yang memadas-batu untuk membangun lorong pencerahan menuju kawasan ujung lain yang benderang. Tak lelah melepuh tulang sendi nafasnya, ia merayap menapaki puncak bukit Sulap, menyapa liukan nyiur pedesaan di bawah sana sembari menghitung gugus gumpalan awan-gemawan. Mengamati lengkung geometrik derasnya angin, bahkan menghadang puting-beliung dengan rapal-ritual yang meyakinkan jati dirinya: bahwa masa depan wajib diperjuangkan, bukan menunggu di bawah batang durian sembari berharap liukan angin meluruhkan buah di cabang-rimpang!

      Kedua, sosok Benny adalah sebuah vitalisme. Jauh melampaui idealisme dan materialisme kehidupan. Tampaknya Benny meyakini bahwa kenyataan hidup yang sejati adalah energi, daya-kekuatan, bahkan gaya yang melecut nafsu berkarya merasuki jiwa irrasional. Lalu melahirkan konsep elan-vital demi meraih kejayaan, meninggalkan sekat-sekat ras-etnologia yang menggelayuti budaya lokal yang cenderung pasrah menyerah.

    Benny bergegas mendedag, meronta dari cengkeraman dimensi inderawi. Memang secara filosofis, kehidupan dan energi tidak musti saling intervensi. Dan Benny tegak di tengah medan juang, mendamaikan norma kehidupan dusun moyangnya dengan energi vitalisme yang bergolak dalam jiwanya. Dua puluh dua lebih karya sastranya adalah bukti sejarah yang mengukuhkannya.

     Puluhan karya dan dua filmnya adalah monumen JIHAD BUDAYA atas nama Benny. Novel dan film HAYYA adalah puncak prestasi yang terus akan ditindih oleh prestasi barunya. Kepiawaian Benny merumuskan strategi juang-jihadnya sungguh tampak irrasional; tapi tak segera menanggalkan aksioma besaran sudut yang memagari isu utama: JEJAK KEMANUSIAAN.

      Isu baku yang tak akan pernah basi itu harus terus digelorakan, agar kaum milenial tak kehilangan pegangan dalam meniti kesalehan hidupnya. Menebar kebaikan kepada semua kaum, demi kebaikan bagi dirinya. Itulah inti pesan Film HAYYA dalam tagline #JIHAD BUDAYA!

[Blogger: https://www.andikatuan.net]

Kamis, 19 September 2019

KISAH HAYYA: SEJENGKAL DARI TANAH


      Hanya sejengkal dari tanah. Durianku berbuah. Sudah limatahunan selalu memutik walau tak selalu membuah. Sengaja tak kupupuk, kuserahkan kepada kearifan alamiah-tanah. 

       Kutanam dari biji, sepuluh polibag, sekitar tahun 2005-an. Aku agak lupa persis bulannya! Buahnya relatif kecil, sebesar tampukan dua telapak tangan yang dilembungkan. Merona bunganya memerah saga. Tak menyengat aroma dagingnya, menyembunyikan bijinya yang mungil, kadang sukun alias kempet. Warna daging merah kekuningan; mirip kombinasi bendera PDIP dan GOLKAR yang sudah berumur belasan tahun, belum ganti baru dan selalu kibar tiap hari di pucuk  bambu gantar.


         Muasal sejarah biji-biji itu dari Kalimantan. Tepatnya dari pulau Bunyu, dibawa Bibinda yang pernah mukim di sana. Orang Bunyu menjolokinya Buah Lay. Mungkin juga aku salah eja. Lalu disemaikan, tumbuh melembaga dan dijaga oleh pamanku:  pensiunan birokrat yang rajin tirakat dan selalu semangat menebar manfaat, serta menghindari obrolan umpat.


       Mininya durian Lay itu tentu tak linier dengan sebutan keren: "The King of Fruit". Tapi tetap saja disebut Durio zibethinus. Masih famili Malvaceae, tetap ordo Malvales walau mukim di Borneo. Memang, di dunia nyata ini selalu ada eksepsion, keanehan, kekecualian. Selalu begitu! Dan kekecualian itu senantiasa berhenti, menyisakan tanya keilmuan. Semangat scientis di syaraf otak manusia yang mungil ini selalu tak sanggup mendefinisikan kenapa selalu muncul kondisi "kekecualian"  secara alamiah dalam karakteristik flora. Bahkan fauna, dan semua yang bertumbuh. Sungguh, teks book setebal bantal pun tak pernah tuntas menjelaskannya. 
Mungkin perlu metode yang lebih Illahiyah utk merancang rumpun matakuliah baru di IPB, sebutlah rumpun MKDU "Agrofilosofia"  atau rumpun MKDK "Metafisik-Agronomia". Ah... entahlah. Itu urusan para pakar profesor!

       Yang pasti durianku telah berbuah. Menyembul dari pangkal batang, sejengkal dari tanah. 
Kini aku hanya berwenang menjaga putik itu. Kendati sangat berat, mengingat 'circumstances' hari-hari ini sangat panas. Klimatologi kekurangan dalil untuk merumuskan pranata mangsa, memrediksi awal musim hujan, apatah lagi menghalau pekatnya asap. Bahkan geofisikawan tampak gagap mendefinisikan gumpalan awan, uap air dan proses kondensasi di lapis awal atmosfir.  Padahal ada tujuh lapis langit, "sab'as- samawatu". Sudah berulang menebar garam berton-ton; kadang hujan, kadang banyak alasan. Akhirnya para Umaroh dan Ulama menggelar shalat istisqa di lapangan bola atau alun-alun. Bagus juga! Ternyata teknologi bukan segalanya.

       Yaa... sangat berat menjada putik durianku! Seberat menjaga HAYYA,  generasi mungil di belahan Bumi Palestin yang potensial punah. Bukan oleh asap KARHUTLA, tapi oleh asap mesiu gerombolan Zionis. Yaa... hanya sejengkal,  jarak keceriaan anak-anak dari Astana. Tanah kuburan yang melukiskan obsesi husnul khotimah. Kita dihimbau untuk menjaganya.

      Ohhh... aku teringat Bung BennyArnas, dengan obsesinya  mewujudkan cerita heroik bertajuk Jihad Budaya. Lahirlah sebuah novel yang akan dibentangkan di layar lebar.  Bersama Helvi Tiana Rosa, berjudul "HAYYA, THE POWER OF LOVE 2"; yang akan mulai tayang hari ini, 19 September 2019. Di 140 bioskop Indonesia, dari 1.700 bioskop yang ada. 

      Sungguh, nasib film HAYYA sangat memprihatinkan! Dan kokohnya tembok otoritas-korporasi  hanya mengijinkan 140 sinnemax dari seribu tujuh ratus bioskop di Indonesia, utk tayangnya HAYYA. Perlu banyak tangan dan hati untuk menyelamatkan HAYYA yang hanya sejengkal dari tanah. Tanah yang potensial menjadi lobang astana. Kuburan di lahan suci: Palestina!

       Belumlah punah traumatika HAYYA, ada kegaduhan 'tangis' lain di Bumi Nusantara. Ia bertajuk keren: "THE SANTRI".  Film yang mengusung background  kesantrian nan kontroversial itu, nasibnya mulus nan manja, tidak sesial HAYYA. Ia bisa tayang leluasa di 1.700 an Bioskop manapun di Bumi Nusantara dengan kawalan korporasi  bertaji. HAYYA, .... oh..  HAYAA!  Mungkin jawabnya ada di kata negeri  Palestina. Allohu'alam... (*)

[Muarabeliti, 19 Sept 2019, 12.19 WIB]

Selasa, 16 Juli 2019

PALEMBANG - DURENREMUK

Hampir setiap hari kerja ASN, saya membaca rambu lalu-lintas penunjuk arah: Palembang - Durenremuk. Posisinya di tanjakan pascajembatan sungai Temam yang terjun ke sungai Kelingi antara Dusun Muarabelitibaru dengan Kelurahan Pasarmuarabeliti. Pertigaan arah ke Dusun Durianremuk. Hati nakal saya bergumam: pasti yang bikin konsep rambu lalin ini orang Jawa atau orang Gayo Aceh. 

Selama lebih 40 tahun saya bergaul dengan 'orang asli' Muarabeliti, menyelami dan belajar ttg budaya (dan bahasa) lokal Lembak Silampari - khususnya eks Marga Proatin V - jarang terdengar kosa kata DUREN kecuali sedang ngobrol dengan perantau atau keturunan etnis Jawa.

Sependek pengetahuan saya, untuk menyebut buah yang nama Latinnya Durio zibethinus Murr ini, orang Sumatera (kecuali suku Gayo Aceh) menyebutnya durian. Bahkan dalam dialek 'wang' dusun Lembak menyebutnya 'diyan' atau 'dian'.


Varian nama Nusantara atas buah ini sangat banyak: duren (Jawa, Betawi, Gayo), kadu (Sunda), duriang (Menado), duliang (Toraja), doriang (Ambon) dan banyak lagi. Jadi secara kajian etimologi-fonologis, khususnya aspek fonetik dan fonemik, penulisan rambu lalu-lintas itu keliru dan melenceng dari tradisi dan budaya lokal. Apatah lagi jika Kabupaten Musirawas ingin mengangkat dan menggaungkan budaya lokal Silampari ke persada Nusantara. Langkah taktis utk mengikhtiarkan obsesi itu bermula dari aspek yang paling asasi dan paling gampang, yakni aspek bahasa kemudian budaya dan peradaban.


Mohon maaf, kajian ini bersifat ilmiah kebahasan dengan argumen fonologis; sama sekali tidak bersifat sentimen - etnikalitas sebagaimana nuansa politik nasional sekarang ini yang agak gonjang-ganjing di dunia maya-sosialita.


Harapan kita, muatan otonomi daerah yang membuka ruang ekspresi warganya dalam "berkebudayaan" demi membangun peradaban yang lebih berkemajuan, bisa ditangkap secara bestari oleh pejabat dan tokoh 'genius lokal' di wilayah ini.. Mudah-mudahan pihak instansi OPD yang berwenang di Pemda Musirawas akan memahaminya dan bertindak secara cerdas nan bijak-bestari. Allohu'alam bishowwab..!


*) Pemerhati bahasa dan budaya lokal Silampari

TATABAHASA: MENYUKSESKAN, BUKAN MENSUKSESKAN

Di suatu petang ba'da magrib, secara 'empatmata' saya menghadap atasan langsung saya, Pak Sekda. Saya menyodorkan draf final pidato Bupati Musirawas yang akan dibacakan pada acara kunjungan Gubernur Syahrial Usman di Muaralakitan besok paginya. Itu terjadi antara tahun 2006 - 2007, kalau tak salah ingat. 

Mungkin karena perubahan jadwal kunjungan gubernur yang mendadak, saya menerima tugas yang sama sekali bukan Tupoksi saya. Tidak ada hubungan sama sekali antara jabatan saya dengan tugas 'suddenly' itu. Ba'da ashar tugas itu muncul. Mendadak... dak. Tapi... Okelah! Bukankah di poin terakhir Tupoksi setiap pejabat Republik ini ada frasa "melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan"?

Pada momen hisapan terakhir rokok 'SURYA-16' Pak Sekda, yang asapnya membumbung langit-langit ruang tamu, dia menyerahan konsep pidato itu. Bersegeralah saya mencermati hasil koreksian di depan Sang Bigboss. Dari 6 halaman kuarto dengan 26 paragraf, ternyata ada dua kata yang dicoret Pak Sekda. Dua kata itu adalah kata "menyukseskan" dan "menyosialisasikan".


Merasa punya dalil tatabahasa yang cukup valid, saya mencoba menyodorkan argumen morfologis dengan sesantun mungkin. Saya pikir, kalau pun 'dimarah' dengan bahasa Pagaralam yang 'medok', saya sudah sangat siap. Saya katakan secara verbatim begini: "Kata jadian (konfiks) dengan pola 'me - kan', jika mengimbuh kata dasar yang diawali konsonan 's', maka huruf 's' nya luluh menjadi 'ny'.


Contohnya: sapu - menyapu; sisir - menyisir; sikat - menyikat; sembelih - menyembelih, dst. Kata sukses dan sosialisasi itu, walau diserap dari bahasa asing, namun sudah masuk ke dalam entri kosa kata Indonesia. Dengan demikian pola pembentukan konfiksnya wajib tunduk dg dalil baku Tatabahasa Indonesia, kecuali ada eksepsi atau alomorf yang diterakan di dalam KBBI.


Saya hitung, memerlukan tiga kali hisapan SURYA-16 untuk mengangguk- angguk agak kebingungan; sekilas ada 'kegalauan jiwa' Pak Seka. Antara percaya dan tidak akan argumen si 'HINDI' ini yang basis ilmunya 'sekadar' pertanian dan pedesaan.


Semburat keraguan ta' mampu ia sembunyikan; terlukis dalam 'mehan' Sang Bigboss. Akhirnya ia berfatwa: "Tapi kata menyukseskan itu belum lazim nDi..... yang biaso itu mensukseskan. Aku pecayo dengan Kabah, tapi gantilah sajeu... ".


Maka, sebagai 'anak-buah' yang loyal, dan demi mempercepat keputusan, saya terima 'dengan ikhlas' saran Sang Bigboss. Petang itu alhamdulillah saya mendapat ibroh dan himah. Betapa seorang anak buah seringkali harus memenuhi 'selera' Bigboss kendati tak masuk di hati. Dan ternyata dalil hukum bahasa yang benar harus dilanggar ketika dianggap menabrak tradisi kelaziman dalam 'politik birokrasi'. Allohu'alam bishowab..!


*) Pemerhati bahasa dan budaya lokal

KRITIK PEDAS: AMBURADULITAS BAHASA KORAN

Aku mengenal Sang GM Mureks, Panca Riatno sekitar tahun 2005. Seorang sarjana teknik mesin, yang 'nyasar- nyungsep' di rawa jurnalistik, sebagai wartawan Linggau Pos. Mungkin karena proses 'combustion' mesin dieselnya mengalami 'material-fatik', sehingga gerak sentrifugalnya kedodoran dan akhirnya migran ke dunia kata-kata. 

Sedangkan Sang Pemred Dedy Kariema Jaya, rasanya aku belum pernah berjabat tangan, kendati sering bercanda-ria di dunia WA. Titelnya sarjana pertanian. Mungkin alumni jurusan "agro-publisistik" yang piawai berbagi info teknologi muta'akhir kepada generasi 'agro-millenial' yang kini semakin 'sophisticated' mampu menyulap hamparan sawah Mirasi menjadi area "Celosia Argentea" (gulma bulu ayam).

Mungkin pula karena 'sok kenal' dengan kedua petinggi Mureks itu (sorry Bung Solihin, Anda kuanggap atasannya petinggi), maka aku sering kali terlalu lancang mengritik langsung secara persona kepada kedua orang ini. Prinsip dasarku hanyalah menyampaikan kebenaran 'tata bahasa' yang aku yakini sangat berdasar dalilnya dan bisa dirujuk pada literatur resmi.


Dalam batas tertentu aku memahami bahwa SDM (terutama wartawan) Mureks perlu terus belajar. Mungkin juga Mureks memerlukan News Editor sebagai final sensor. Aku berpikir, karena bisnis koran adalah 'bisnis kosa kata', maka produknya (gugus rangkaian frasa, kalimat, paragraf dan kesatuan makna tema dan subtema) wajib "enak dibaca dan tertib bahasa". Barang pasti, sekadar usul, para awak Mureks mesti 'diupdate' secara berkala di bidang perbahasaan, khususnya bahasa koran millenial tanpa mengubah tata bahasa baku kecuali dalam konteks tertentu.


Mungkin diperlukan Diklat kilat tentang: sekilas Anatomi-Morfologi bahasa, Pilihan Diksi-Narasi dan Gaya Bahasa dan hal lain ttg kebahasaan. Kepiawaian menyusun struktur kalimat dengan bahasa efektif adalah modal dasar wartawan (dan Tim News Editing) utk menghitung kebutuhan milimeter kolom sebelum pracetak. Apatah lagi awak media selalu gelisah 'diteror' deadline di tengah dalu.


Salah satu 'kelakuan' Mureks yang selalu bikin gue 'gemes nan jengkel' adalah penulisan nama desa, kota dan/atau tempat geografis. Dalilnya sangat jelas: "nama tempat/geografi seperti nama desa, nama kota dan lainnya, penulisannya digabung kecuali diikuti angka Romawi dan/atau arah mata angin (utara, selatan, timur, barat)".


Contoh: Muarabelitibaru, Muararupit, Muaralakitan, Tuahnegeri, Muarakelingi, Lubuklinggau Utara I, Muaraaman Ilir, Rejanglebong, dan lain•lain. Aku berharap, koran Mureks menjadi rujukan valid bagi anak-anak sekolahan dan generasi millenial, yang lebih gampang mengingat koran (media massa) ketimbang buka Kamus Bahasa yang setebal Quran. Dan, koran Mureks sebagai pilar penting dalam mencerdaskan bangsa Silampari, wajib hukumnya untuk berlari di depan, sebagai rujukan. Bukan membeo, sebagai follower perusak tata bahasa dengan alasan apa pun.


"Tuliskan (katakan) yang benar, walau kini tak didengar. Niscaya puluhan tahun kemudian, orang akan mencatat bahwa kita pernah mengingatkan". Atau, setidaknya kita potensial memperoleh pahala amal yang akan didaftar di register "Malaikat Pengawas Media Lokal". Allohu'alam bi showab.


*) Pemerhati koran lokal

MUREKS: MEDIA LOKAL DI ERA MILLENIAL

Aku belum pernah menyambangi dapur Mureks hingga dirinya berumur 11 tahun. Apa lagi 'ngopi' bareng dan 'menikmati' kuah tempoyaknya. Sejujurnya aku menunggu undangannya. Tapi buah fikiran dan gagasan liarku, puluhan kali menyambangi ruang tamu Mureks melalui tiket maya-digitalik, berupa e-mail. 

Aku memang suka menulis (apa saja), walau tak punya modal jurnalistik, sebagaimana orang-orang media yang khatam nan mumpuni. Memang ada secuil 'ngelmu' dasar jurnalistik, ketika bergabung di PII Cab. Yogyakarta Besar (1976) dan nimbrung Diklat Jurnalistik HIMABIO-IPB tahun 1990-an. Tapi sejujurnya, aku hanya menulis dan 'melukis', mengeluarkan kristal-gagasan yang terendap di ubun kepala. Gagasanku tak lebih hanya sebagai 'respublica litteraria'. Sekadar membuka kunci susastra peradaban semesta.

Sering kali ide-ideku sangat liar nan utopia, cenderung futuristik dan jauh melampaui batas imajener peradaban hari ini. Tapi setidaknya, aku pernah berpikir tentang sesuatu, jauh sebelum 'hominess-novi' mendiskusikannya. Gugus manusia baru yang dikenal sbg millenial, memang suka 'heboh' ketika api sudah melahap dapur.


Artikel 'cengengku' pertama kali dimuat, di majalah pelajar Djawa Tengah "Gairah" sewaktu klas satu SMP tahun 1971. Di era 1978-1985 aneka artikel: cerbung humaniora hingga teknologi terapan bidang sosial perdesaan dimuat di koran Sinar Tani yang diterbitkan Departemen Pertanian Jakarta. Dari honor 3.000 hingga 15.000 rupiah per artikel.


Di akhir 80-an hingga awal 1990-an, beberapa artikel opiniku sering dimuat Sriwijaya Post. News editornya Mas Suwidi Tono (kini penulis produktif dan owner penerbit Vision-3). Honornya 25.000 hingga 30.000 rupiah per artikel. Bahkan di tahun 1998 atau 1997 (?) pernah menjadi juara satu Lomba Cerpen Remaja koran Sripo yang diikuti 515 peserta.


Di koran Linggau Pos (dan kemudian Mureks), artikel opiniku sering kali muncul. Mungkin mendekati 70-an judul, dari tahun 2004 hingga 2019 ini. Tapi pertanyaan yang mendasar: "Apakah artikel opini dibaca orang? Atau, seberapa banyak kini orang membaca koran kertas? Atau sampai kapan orang bertahan membaca koran? Atau yang lebih tragis, berapa tahun lagi koran kertas bertahan hidup di era digitalis ini?


Tampaknya manajemen Mureks sudah menyadari tantangan peradaban abad ini. Ini terbukti dari diluncurkannya produk Mureks.id dalam bentuk PDF. Dan aku berlangganan "murah" sejak 10 Januari 2019. Dan sangat terasa, betapa mengakses "Dunia Silampari" semakin dimanjakan teknologi fiber-digitalis. Cukup bermodal Android plus paket data. Semua jenis berita di dunia (plus info akherat, berupa da'wah digital) ada di genggaman tangan. Allohu akbar.


Selamat ber-HUT- ria MUREKS yang ke-11. Semoga secara manajerial mampu bertahan di era "digital-millenial"ini. Insya Alloh.


*)Pemerhati koran lokal

Selasa, 09 Juli 2019

TATABAHASA: PEDESAAN, BUKAN PERDESAAN

Rasanya sejak era reformasi - dlm beberapa aspek - banyak inovasi 'ngawur- kebablasan', termasuk dalam hal perbahasaan. Inovasi dlm bidang bahasa adalah sebuah keniscayaan, akan tetapi tidak menabrak dalil asasi yang sudah baku dan menjadi konsensus para ahli bahasa: Contoh yang salah kaprah adalah kata "perdesaan".

Mari kita belajar morfologi bahasa dari ahlinya: Gorys Keraf, Slamet Mulyana, Anton M. Muliono yang kesemuanya profesor bahasa. Tatabahasa adalah merupakan himpunan berdasarkan dalil umum kebahasaan berdasarkan struktur bahasa, yakni bidang: tata bunyi(fonologi), tata bentuk (morfologi), dan tata kalimat (sintaksis).

Kata "pedesaan" adalah bentuk konfiks "per - an"; bukan "pe - an". Dalam tatabahasa Indonesia tidak ada dalil konfiks "pe - an". Hal ini sering terjadi kekeliruan morfologis, sebagaimana tidak ada dalil konfiks "me - an", tapi yg ada konfiks "me - kan".

Kata "pedesaan" berasal dari kata dasar "desa" yang mendapat awalan (prefiks) per, dan akhiran (sufiks) an. Pengertian ttg konfiks (sering disebut kata jadian) adalah gabungan dua macam imbuhan (afiks) atau lebih yang secara bersama-sama membentuk "satu arti".

Konfiks "per - an" dalam praktek sering kali mengalami varian bentuk berdasarkan: (1) lingkungan (perjumpaan, persatuan, perjanjian, pelajaran, pekerjaan, pemurnian, dll); (2) dasar kata pembentuknya. Jika pembentukannya menggunakan kata benda sebagai kata dasar, maka konfiksnya berubah menjadi pola varian "pe - an". Contoh: pekuburan, pedesaan, pedukuhan, dll. Jika pembendaan itu berasal dari kata kerja berawalan "ber", maka akan berbentuk konfiks "per - an" atau "pe - an"; atau kadang-kadang "pel - an" sesuai dg awalan "ber", dengan alomorfnya: perbuatan, persatuan, pekerjaan, pelayaran, dll.

Sedangkan jika pembendaan itu berasal dari satu kata kerja yg berawalan "me", maka polanya menjadi: "pe + kata dasar + an". Contoh: penyatuan, penguburan, pembaharuan, pemburuan, dll. Dengan demikian, kita mampu membedakan dg tegas antara kata: - perbedaan vs pembedaan, - persatuan vs penyatuan, - perburuan vs pemburuan, dan - pekerjaan vs pengerjaan.

Dengan sedikit belajar tatabahasa ini, mudah-mudahan para: wartawan, news editor, guru, dosen, pejabat negeri Republik Indonesia atau siapa saja, mampu mengendalikan jari-jemari dan tutur katanya untuk membumikan BAHASA RESMI NEGARA dengan baik dan benar sesuai dengan "konstitusi bahasa". Allohu'alam..!

*) Pemerhati bahasa dan budaya lokal