Sabtu, 15 Juni 2024

POLITIK PRAKTIS [2]

Oleh: Hendy UP *) 

     Sungguh tidak terlalu ingat, sejak kapan pertama kali saya memahami kata politik praktis. Mungkin, rasa-rasanya ketika saat itu tak sengaja 'nimbrung-nguping'  diskusi para aktivis HMI di tahun 1975.  Ya, diskusi santai-rutin di ruang tamu, sebuah rumah kost-kostan para mahasiswa,  nun jauh di jalan Kebondalem IV,  Kaumanlama, Purwokerto. 
      Saat itu saya masih siswa SLTA, bertetangga kost dengan para mahasiswa IAIN dan UNSOED dari berbagai daerah dan pulau. Salah satu aktivis itu bernama Mas Noer, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, yang juga ketua HMI Cabang Purwokerto. Masih terngiang-ngiang, dalam diskusi-panjangnya mereka sering menyebut tokoh-tokoh HMI semisal: Nurcholis Madjid, Akbar Tanjung, Ridwan Saidi, Chumaidi Syarif, Abdullah Hehamahua dan tokoh-tokoh lainnya. 
      Menjadi semakin agak faham akan makna kata politik, ketika kemudian saya ikut nimbrung di komunitas Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Yogyakarta Besar.  Sungguh sebuah pengalaman baru, manakala bisa mengikuti 'Basic Training' (Batra) dan Diklat Jurnalistik-nya yang diselenggarakan di Balai Muslimin Kompleks Masjid Agung Purwokerto.
     Kala itu, salah seorang narasumber dari HMI Yogyakarta, dengan super-semangat menguraikan anatomi persoalan politik nasional dan hal-ikhwal politik praktis yang harus difahami oleh warga PII (dan HMI). Akumulasi makna kosa politik  yang berserakan kala itu, rupanya mampu menembus bagian dalam otak, lalu mengendap di penampungan "lobus temporal"  hingga membentuk persepsi khusus tentang politik praktis hingga saat ini. 
     Suasana politik di kalangan mahasiswa kala itu masih agak membara api, sebagai dampak dari Fusi Parpol 1973, peristiwa Malari 1974 dan  lahirnya UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedudukan  Golkar  dalam konstelasi politik nasional sangat kuat, dan kata 'oposisi' dalam perpolitikan Indonesia  sudah berlumuran tipp-ex dan mendekati haram jika diucapkan secara vulgar. 
     Ketika pesta Pemilu 2 Mei 1977, saya sempat 'diperingatkan' oleh aparat Koramil di kampung saya, agar tidak menyebarkan faham-faham anti-Golkar selama liburan menjelang Pemilu. Untunglah saya mendapat jaminan dari Kakek saya yang kala itu sebagai ASN di kantor Camat. 
      Afiliasi politik  warga PII (dan HMI) kala itu, secara mayoritas adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berfusi pada 5 Januari 1973. Partai baru ini merupakan hasil fusi dari 4 partai lama yaitu: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti). 
     Pada Pemilu 1977 itu, walaupun diintai dan dimata-matai oleh aparat Koramil, anak-anak muda perkotaan merasa bangga membawa kartu "KABAH" di sakunya. Dan atas dukungan mayoritas anak muda (pelajar dan mahasiswa) suara PPP pada Pemilu 1977 naik 2,17% dari Pemilu 1971 menjadi 29,29% (99 kursi), Golkar tetap unggul di angka 62,11% dan PDI menjadi juru kunci di angka 8,60%.
      Namun, seiring berjalannya waktu dan terjadinya gelombang reformasi, maka pada Pemilu 1999 (48 Parpol) dan hingga era post-reformasi  kini, ketertarikan anak muda dalam berpolitik praktis semakin terbuka lebar. Pilihan moralnya adalah, apakah hendak melibatkan diri dalam area: nasionalis, relijius, atau sekuleris? Atau penggabungan dari  ketiga karakter dasar itu. 
     Apapun pilihan kita, yang harus diingat adalah: bahwa permainan politik ini hanyalah sesaat. Esok lusa akan kita tinggalkan. Kemenangan dalam perhitungan suara  akan tak bermakna, dan siap-siaplah menghadapi metodologi perhitungan amal (hisab) mahakarya Gusti Allah yang tak mengenal margin-eror. Sekecil apapun. Allohu'alam bishshowab!! 
       
*) Muarabeliti SUMSEL, 3 Mei 2023

POLITIK PRAKTIS [1]

Oleh: Hendy UP *) 

     Politik menurut Ridwan Saidi (almarhum), pada dasarnya adalah bagaimana ikhtiar-ikhtiar  perumusan kehendak dilakukan, dan bagaimana pula proses perumusan itu berlangsung (Tempo,  9 Mei 1987). 
     Tentu saja, pada saat itu Ridwan Saidi sedang berbicara tentang idealitas kinerja politisi yang sudah duduk di kursi parlemen dan sedang berjuang keras merealisasikan ide dan gagasannya dalam paket praktis-ideologis yang disebut program partai politik.  
     Untuk mewujudkan cita-cita para politisi yang berjiwa negarawan (bukan petugas parpol an-sich), diperlukan prasyarat keilmuan dasar tentang politik dan kaidah  terapannya. Misalnya, harus faham tentang konsep bernegara (yang berke-Tuhanan), bagaimana beramaliyah dalam melaksanakan kekuasaan yang diamanahkan, bagaimana adab dalam mengambil keputusan, dan bagaimana menyusun dan menerapkan publik-policy,  serta bagaimana pula memprioritaskan alokasi sumberdaya yang serba terbatas.
     Semakin tinggi level kedudukan para  politisi (DPR, DPD, DPRD),  seyogyanya semakin tinggi pula prasyarat  keilmuan dan wawasannya. Keilmuan dan wawasan, biasanya dikaitkan dengan  jenjang kesarjanaan yang diperoleh dari bangku sekolah. Walaupun, seringkali tidak selalu linier antara tingginya jenjang pendidikan (formal) dengan tingginya keilmuan dan luasnya wawasan; apatah lagi jika dihubungkan dengan adab dan perilaku politiknya. Itu setidaknya menurut  Bung Miriam Budiardjo (2008) seorang pakar ilmu politik yang khatam berbagai teori politik berikut  kebusukannya. 
      Lantas apa itu Politik Praktis? 
Menurut sohib saya yang jebolan FISIF-UGM tapi  tetap qona'ah sebagai "petani totok" di kebun ortunya: "Adalah aktivitas politik yang terkait langsung dengan lembaga politik yang legal-konstitusional". Tentu saja, tambah sohib saya: "amaliyah tersebut berkelindan dengan urusan penyelenggaraan negara dalam proses pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, baik di level pemerintah pusat maupun daerah. Termasuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik di tingkat akar rumput di setiap jengkal tanah air kita".
     Agar tidak terjadi in-efisiensi sumberdaya, dibuatlah instrumen politik praktis yang disebut Daerah Pemilihan (Dapil). Tapi peta 'perdapilan' itu tidak harus menggugurkan idealisme dan tanggung jawab moral dalam berjihad di medan politik. Misalnya, jika terjadi aneksasi wilayah oleh negara asing di Pulau Talihe dan Pulau Bangka di utara Provinsi Sulawesi Utara, maka para politisi di parlemen dari Dapil manapun harus ikut bersuara dan berjuang mengenyahkan penjajah itu. 
      Menjadi politisi, masih kata sohib saya, sangat berpeluang menjadi orang mulia dengan jaminan sorga, tetapi sekaligus bisa sengsara dengan predikat kandidat penghuni neraka. Dan, jangan lupa, yang kelak panjang hisabnya di padang masyar, mungkin amaliyah politisi yang berkaitan dengan politik praktis. Seperti pertanyaan: apa motivasi awal antum   masuk politik praktis? Mengapa antum sebagai politisi yang beragama X, kok memilih partai Y dalam berjihad membela rakyat konstituennya?  Berapa habis biaya untuk melobi pengurus partai di berbagai level sehingga memperoleh selembar rekomendasi dari Ketum Partai antum? Dari mana uang antum peroleh? Dari mertua kaya atau oligarki hitam? 
      Sebelum sempat minum dan menyeka keringat di pelipis, disambung pertanyaan dari Malaikat lainnya: Dari mana uang yang antum peroleh untuk mengisi amplop serangan petang, dini hari dan utamanya di waktu fajar hingga syuruk? 
      Dan, sedemikian lamanya durasi hisab bagi para politisi kelak, maka seyogyanya LURUSKAN DULU NIAT ANTUM, UNTUK APA MENJADI POLITIKUS sebelum terjun ke kolam politik praktis!  Allohu'alam bishshowab! 

 *) Muarabeliti SUMSEL,  3 Mei 2023

Jumat, 14 Juni 2024

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [1]

Catatan: Hendy UP *)

A. Mukadimah
     Jika kita menggunakan 'search engine' dengan kueri Karangketuan, maka pertama-tama  yang akan muncul  adalah frasa Kelurahan Karangketuan, berikut peta wilayahnya.  Berarti hanya satu-satunya Kelurahan Karangketuan, Lubuklinggau di hamparan bumi Tuhan seluas ini.
     Dalam catatan sejarah, trukah (pembukaan) Dusun Karangketuan terjadi pada tahun 1956-an dan merupakan pemekaran dari Dusun Tanahperiuk Marga Proatinlima, Kec. Muarabeliti Kab. Musirawas. Pada tahun 2001, Dusun Karangketuan  berubah status menjadi Kelurahan Karangketuan Kecamatan Lubuklinggau Selatan, Kota Lubuklinggau. 
      Al-kisah, jika kita lacak agak  ke belakang, ternyata ada kait-kelindan antara aspek pembangunan infrastruktur ekonomi dan transportasi di wilayah Muarabeliti-Lubuklinggau,  dengan masuknya para perantau dari berbagai wilayah. Seperti pepatah, jika ada gula, maka datanglah semut. 
       Pasca~dibukanya Onderneming Tabapingin (1919) dan Kolonisasi Tugumulyo (1937-1940) serta diresmikannya jalur kereta api Muarasaling - Lubuklinggau (1 Juni 1933), maka Muarabeliti dan Lubuklinggau semakin dikenal oleh masyarakat Sumatera Selatan, tak terkecuali masyarakat dari Kabupaten Lahat. Kemajuan dan prospek kemakmuran kawasan Muarabeliti- Lubuklinggau semakin menggaung di mana-mana. Salah satu desa yang masyarakatnya sedang mencari peluang untuk mencoba penghidupan baru di daerah lain adalah masyarakat desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim dan Saling Ulu (PSEKSU). 
     Patut diduga, keputusan para tokoh Lubuktube untuk bermigrasi ke Karangketuan itu terinspirasi oleh tetangga desanya dari Gumay Ulu yang dianggap telah sukses bermigrasi dan membentuk Desa Siringagung  Marga Proatinlima beberapa tahun sebelumnya. 

B. Migrasi nan Visioner
     Untuk melacak jejak awal sejarah Kelurahan Karangketuan, saya menemui  tiga tokoh yang sekaligus pelaku sejarah keberadaan  desa Karangketuan. Saya mewawancarainya pada tanggal 5 dan 7 Agustus 2023,  dan diulang beberapa kali  kepada tokoh kunci untuk konfirmasi. Ketiga narasumber tersebut adalah: (1) Sdr. Djawaludin bin Genti (77 tahun), Bawaludin (60 th) dan Deroh (82 th). Ketiganya adalah mantan Kades dan/atau Lurah Karangketuan. 
     Dikisahkan oleh Sdr. Djawaludin, bahwa pada akhir tahun 1956, datanglah ke kampung Airketuan (kini Karangketuan), rombongan imigran lokal dari Dusun Lubuktube, Marga PSEKSU, Kecamatan  Lahat. Rombongan imigran  tahap pertama ini  terdiri dari 18 KK (secara bertahap) berikut anak-istrinya. Mula-mula berangkat 5 KK sebagai pioner, lalu disusul yang lain hingga berjumlah 18 KK hingga akhir tahun 1956. 
    Menurutnya, perjuangan para orangtua berpindah ke Karangketuan sangatlah gigih,  penuh harapan dan sekaligus melelahkan.  Kala itu, berangkat dari dusun Lubuktube menggunakan rakit bambu, berhanyut di sungai Kikim menuju Desa Bungamas. Kemudian dengan menyewa kendaraan truk mengangkut  seluruh properti rumah tangga dan alat-alat pertanian menuju Karangketuan. Ke-18 KK ini secara bergantian menyewa mobil truk dalam bulan yang sama berpindah ke Karangketuan yang saat itu disebut  Airketuan. 
     Sebelum keberangkatan rombongan, terlebih dahulu  dilakukan survei awal oleh tiga tokoh, yakni Saudara Kisum, Uni dan Sumbat. 
      Ke-18 KK  tersebut adalah: (1) Kisum, (2) Uni, (3) Sumbat, (4) Amal, (5) Ba'al, (6) Maradin, (7) Djamil, (8) Toni, (9) Sum, (10) Unip, (11) Satip, (12) Barun, (13) Juni, (14) Giwas, (15) Djohim, (16) Genti, (17) Hamidun, dan (18) Muhamad. 
      Pada saat wawancara berlangsung,   ke-18 KK  yang merupakan pioner  penghuni Desa Karangketuan tersebut ternyata telah wafat semua. Allohumaghfirlahum warhamhum wa afihi wa'fu anhum. Semoga kegigihannya dalam memperjuangkan keberlangsungan hidup generasi dzuriyatnya, mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala. [Bersambung... ]
     
*) Muarabeliti SUMSEL, 7 Agustus 2023
    Resunting 6 Mei 2024

DOA & DUKA UNTUK PROF. SALIM

Catatan : Hendy UP *) 

     Ahad pagi ba'da ritual Subuh dan ikutannya, aku dikejutkan oleh sebaris berita duka di sebuah portal berita. Aroma asap secangkir kopi di meja baca, seakan menghadirkan kembali "quotes bijak" dari catatan sejarah yang ditulis oleh seorang pakar Politik, Tentara dan sekali gus pemerhati film Nusantara. 
     Yaa, beliau adalah Prof. Salim Said, PhD, yang wafat di Jakarta, pada Sabtu petang, 18 Mei 2024. Allohummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu, wa akrim nuzulahu wawassi'u mudkholahu. Semoga dilapangkan kuburnya dan dirahmati arwahnya, serta dikuat-sabarkan keluarga yang ditinggalkan. 
     Aku mulai mengenal nama Salim Said sekitar tahun 1980-an, ketika beliau setiap pekan muncul di Majalah Tempo sebagai penjaga rubrik  seni dan film. Majalah itu pernah menghilang menjelang Pemilu 1982. Kabarnya dibredel oleh pemerintah. Lalu terbit lagi, tetap tajam dan lebih kritis, untuk kemudian dibredel lagi oleh Menteri Harmoko pada 21 Juni 1994, dan terbit lagi pada 6 Oktober 1998 di tengah euforia reformasi. 
       Namanya semakin kesohor dan dijadikan rujukan penguasa sipil pasca-reformasi 1998,  seiring dengan keterbukaan pers dalam bingkai "demokrasi liberal" yang kebablasan arah. Salah satu pernyataan yang mengejutkan kala itu adalah bahwa "kondisi masyarakat Indonesia hingga era reformasi masih bersifat 'fragmented society', yakni absennya kepercayaan (trust) di antara elemen-elemen masyarakat kita".
      Beliau lahir pada 10 November 1943 di dusun Amparita, eks wilayah Afdeeling Pare-pare Sulsel, yang kini menjadi bagian Kabupaten Sidenreng Rappang. Istrinya yang bernama  Herawaty, adalah orang dari Muaradua Kisam, Kab. OKU Selatan, Sum-Sel. 
       Sekadar mengingat jejaknya, Salim kecil bersekolah SR dan SMP di Pare-pare, lalu melanjutkan SMA di Solo. Kemudian melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional (1946-1965), Fak. Psikologi UI (1966-1967), dan Fak. Sospol UI (tamat 1977). Gelar PhD-nya diperoleh dari Ohio State University (1985) dengan judul "Sejarah dan Politik Tentara Indonesia".
        Dalam sebuah podcast Helmi Yahya (2023), beliau mengkalim bahwa hingga pecahnya reformasi 1998, beliaulah satu-satunya orang Indonesia yang fokus mengkaji perilaku Tentara dan Pemerintah sejak terbentuknya TNI. Karya-karya bukunya di bidang politik dan militer laris-manis di lapak-lapak market place dan  toko buku. 
        Kebetulan, pada era pandemi Covid-19, saya mengoleksi dua bukunya yang fenomenal untuk melengkapi bacaan di bidang tentara dan rezim militer.  Karya bukunya yang fenomenal dan langka tersebut adalah "Militer Indonesia dan Politik; Dulu, Kini dan Kelak" (378 hal), yang merupakan elaborasi dan penyempurnaan disertasinya. Lalu buku itu terus disempurnakan dengan buku barunya "Ini Bukan Kudeta" (159 hal). 
     Ternyata buku itulah karya terakhir  Prof. Salim, jika proyek buku "Tafsir Sosial Islam" tak sempat diselesaikan oleh Tim-nya. Semoga Prof. Salim damai-nikmat di alam barzahnya! Aamiin  yaa Robbal'alaamiin. 


*) Muarabeliti SUMSEL, 20 Mei 2024