Jumat, 11 November 2022

JEJAK PESIRAH & MARGA DI SUMBAGSEL [1]

Oleh: Hendy UP *) 

     Generasi milenial Sumatera Selatan kini, niscaya mengenal kata 'pesirah' sebagai produk jasa Bank Sumsel-Babel dalam bentuk tabungan. Padahal, kata 'pesirah'  itu sejatinya diadopsi dari bahasa asli daerah Sumbagsel yang bermakna pejabat kepala Marga sekaligus ketua adat di wilayah Marga tersebut. 
     Kata 'marga' sendiri dalam KBBI memiliki banyak makna. Dalam artikel ini, kata  marga dimaknai sebagai sistem pemerintahan otonom   di tingkat pedusunan yang awalnya diikat secara genealogis (kekerabatan) dan/atau teritorial (wilayah geografis) dengan menjunjung tinggi norma adat (berbasis syariat agama Islam) serta melestarikan  tutur bahasa lokal (sukubangsa) yang berasaskan Undang- undang Simbur Cahaya. 
     Namun demikian, pasca-intervensi Kolonial Belanda, pemahaman tentang sistem pemerintahan Marga mengalami pergeseran, sehingga seolah-olah Marga itu hanya  sebuah entitas administratif pemerintahan an sich di tingkat Onderdistrik di bawah pengawasan pejabat Belanda terendah  yakni Controleur. 
      Kapan sistem Pemerintahan Marga dimulai? 
Belum diketemukan secara pasti kapan sistem pemerintahan Marga dimulai. Arlan Ismail (2004) dalam bukunya "Marga di Bumi Sriwijaya: Sistem Pemerintahan, Kesatuan Masyarakat Hukum Daerah Uluan Sumatera Selatan", tidak menuliskan secara pasti kapan sistem Marga mulai terbentuk. 
      Ada sementara dugaan, bahwa sistem Pemerintahan Marga dalam bentuknya yang sederhana telah ada  jauh sebelum era Kesultanan Palembang (1629-1825), terutama di wilayah Uluan Palembang. Setelah era Kesultanan Palembang, lembaga pemerintahan adat  asli  tersebut dipayungi dan berlandaskan UU Simbur Cahaya. 
      Namun demikian, kodifikasi hukum adat Simbur Cahaya mulai dilaksanakan oleh Kol. De Brauw pada 1854 atas perintah Residen Palembang Van Den Bosche. 
     Pada tahun 1865 mulai dilakukan pencetakan kodifikasi UU Simbur Cahaya dengan aksara Arab-Melayu (Arab pegon),  terdiri dari 5 bab dengan 178 pasal,  dengan rincian sebagai berikut: 
[1] Bab I, terdiri 32 pasal, tentang Adat  Bujang-Gadis dan Kawin (Verloving Huwelijh, Echtscheiding); 
[2] Bab II, terdiri 29 pasal, tentang  Aturan  Marga (Marga Verordeningen);
[3]  Bab III, terdiri 34 pasal, tentang Aturan Dusun dan Berladang (Doesoen en Landbouw Verordeningen); 
[4] Bab IV, terdiri 19 pasal, tentang  Aturan  Kaum (Gaestelijke Verordeningen);
[5] Bab V, terdiri 64 pasal, tentang Adat  Perhukuman (Strafwetten).
    Seiring dengan dinamika kepentingan penguasa Kesultanan Palembang dan intervensi Kolonial Belanda dari era VOC hingga  Pemerintah Hindia Belanda, UU Simbur Cahaya mengalami beberapa kali revisi. Perubahan terakhir adalah atas putusan dan permusyawaratan utusan para Kepala Anak Negeri di Palembang pada tanggal 2 ~ 6 September 1927. 
     Menurut K. Wantjik Saleh, S.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Palembang yang mengantarkan  edisi baru per 5 Februari 1970 (terbitan Badan Penerbit Suara Rakjat, dicetak NV Meru Palembang), bahwa UU Simbur Cahaya adalah merupakan "Hukum Adat Tertulis" karya Sinuhun Sesuhunan Palembang bersama para menteri dan alim ulama di tahun 1630-an. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti, Hari Pahlawan 2022



Kamis, 20 Oktober 2022

PARA CAMAT MUARABELITI (1)

Oleh: Hendy UP *) 

     Sebutan jabatan "camat" secara yuridis-konstitusional, baru dikenal sejak diundangkannya  PP No. 50 Tahun 1963 tentang Pernyataan Mulai Berlakunya Penyerahan Pemerintahan Umum Kepada Daerah  sebagaimana diamanatkan oleh  UU No. 6 Tahun 1959.    Di dalam Pasal 3 ayat (2) antara lain disebutkan bahwa Asisten Wedana disetarakan dengan jabatan Camat. Di era Kolonial Belanda, jabatan Wedana adalah Kepala Distrik, dan Asisten Wedana setara dengan Kepala Onderdistrik. 
     Dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, struktur-hierarkis jabatan Camat dalam susunan organisasi Pemda Tk II semakin jelas dan kuat. UU tersebut berpasangan dengan UU No. 19 Tahun 1965 yang sama-sama ditandatangani  pada 1 September 1965. UU ini berjudul "Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tk. III di Seluruh Wilayah RI". Namun sayang, kedua UU yang disahkan pada 1 September 1965 tersebut belum sempat dilaksanakan karena terjadi tragedi G-30S/PKI.
     Kedua UU tersebut merupakan amanat atas Tap MPRS No. II/MPRS/1960, yang merespon gejolak di beberapa daerah yang tidak puas dengan rumusan UU tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebelumnya (UU No. 1 Tahun 1957) yang dianggap terlalu sentralistik dan belum memberikan otonomi secara penuh kepada daerah swatantra (daerah otonomi). 
     Sekadar kilas-balik, sejak proklamasi RI, UU yang secara substansial  mengatur otonomi daerah adalah UU No. 1 Tahun 1945 tanggal 23 November  1945 tentang Komite Nasional Daerah, terdiri atas 6 pasal dan bersifat darurat untuk merespon gejolak di daerah agar mendukung NKRI. Tiga tahun kemudian terbit UU No. 22 Tahun 1948, dan khusus untuk wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) diundangkan UU No. 44 Tahun 1950 yang secara substansial nyaris tidak berbeda. Kedua UU tersebut, kala itu sudah sangat desentralistik (otonomi) dalam bentuk "swapraja" dan "swatantra". Hal inilah yang dikhawatirkan oleh beberapa pejabat pusat berpotensi akan terjadinya gejolak perpecahan di daerah. Oleh karena itu, diterbitkanlah UU Pemda yang kembali "sentralistik" yakni UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 
     Jika kita telaah secara tekstual, di dalam UU No. 18 Tahun 1965 Pasal 2 ayat (1)  disebutkan bahwa: "Wilayah NKRI terbagi habis dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan sbb: (a) Provinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tk I; (b) Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Dati II; (c) Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Dati III".
     Artinya, sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga tahun 1965, sebutan jabatan "camat" belum secara legal-formal diterapkan dalam sistem kepemerintahan daerah. Namun demikian, pada tahun 1955, Prof. Mr. Soenarko dalam bukunya "Susunan Negara Kita Jilid IV" sudah menyebutkan: "... swatantra tingkat ketiga yang terendah dapat berwujud sebagai kota kecil, mungkin kecamatan, himpunan  beberapa desa, suatu marga, dsb".
     Semenjak terbentuknya Provinsi Sumatera Selatan pada 15 Agustus 1950 (PP No. 21 Tahun 1950) hingga tahun 1965, kedudukan Pasirah/Kepala Marga selaku kepala adat masih sangat dominan di masyarakat. Bahkan dalam beberapa sektor pemerintahan khususnya pelaksanaan bidang hukum pidana/perdata di wilayah marga, lebih berperan Pasirah ketimbang pejabat Wedana dan Asisten Wedana/Camat. Oleh karena itu , pasca-diundangkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah pun jabatan Pasirah lebih populer ketimbang Camat atau Asisten Wedana. [Bersambung]


*) Muarabeliti, 17 Oktober 2022

JEJAK PEJUANG BRN AIRTEMAM (2)

Oleh: Hendy UP  *) 

     Pada awalnya, lembaga ini bernama Dewan Rekonstruksi Nasional (1951-1952), kebijakannya bersifat sentralistik, berada di bawah Perdana Menteri dengan melibatkan 8 kementerian. Maklumlah pada saat itu sistem ketatanegaraan kita menganut asas demokrasi  parlementer (1949-1959). 
     Terbentuknya DRN ini merupakan pengejawantahan dari tugas-tugas Biro Demobilisasi Nasional (PP No. 15 Th 1950) yang berhasrat ingin segera mengembalikan para eks pejuang kemerdekaan ke tengah-tengah masyarakat pasca-Agresi Militer Belanda ke-1 dan ke-2. Namun upaya ini dianggap gagal karena terlalu banyak yang mengatur (8 kementerian) dan tidak melibatkan kepala daerah yang berada di lokasi penampungan para eks pejuang BRN. 
     Dengan terbentuknya BRN yang hanya berada di bawah Mendagri dan difungsikannya Cabang/Anak Cabang BRN di kabupaten yang dikepalai oleh bupati, maka koordinasi di lapangan lebih solid dan penyediaan lahan untuk anggota BRN mulai menemui titik terang. 
     Pasca-terbitnya PP No. 16 Th 1954, Bupati selaku Ketua Anak Cabang BRN Musirawas telah menyiapkan calon lokasi BRN di Eks Erpacht Airtemam. Namun masih terkendala oleh status kepemilikan lahan (masih milik perusahan asing). Baru pada tahun 1958 kelak, dengan terbitnya UU No. 86 Th 1958 tentang Nasionalisasi Perusahan Belanda, maka kejelasan status calon lokasi BRN mulai terang benderang. 
     Maka mulailah dipetakan calon lahan BRN seluas lk 450 hektar. Yakni, jika dari arah Lubuklinggau menuju Muarabeliti, maka mulai dari Jln. Simpang Airtemam (sebelah kanan) masuk ke dalam, menyeberangi jembatan Mesat (SMPN No. 9) terus ke SD Negeri Airtemam, terus lagi menyeberangi sungai Temam hingga ke Blok 20.
     Kemudian, mulai dari jalan Simpang Temam ke arah  hilir sepanjang Jalinteng Sumatera hingga sekitar SDN No. 63 Lubukkupang, adalah lokasi BRN. Adapun lahan di sebelah kiri jalan raya adalah berstatus tanah marga yang kini menjadi perkampungan dan beberapa bangunan lain, seperti SPBU Lubukkupang, Kompleks Pendidikan Yadika, Perumahan Citra Regency dan RM Singgalang. Adapun lokasi Hotel Dafam adalah eks lokasi  BRN yang telah dijual oleh pemiliknya. 
      Ketika mBah Suwarto ditanya tentang keberadaan para pejuang BRN  kini, dengan nada sedih mBah Warto mengisahkan bahwa hanya tinggal dirinya yang masih  hidup. Adapun para anggota BRN yang masih mampu diingat mBah Warto adalah: (1) Hardjo Bandowi selaku koordinator, (2) Supardi (sebagai Lurah BRN), (3) Soewarto pengurus BRN, (4) Soehoed, (5) Mar'an, (6) Surono, kelak menjadi guru SD, (7) Parmanto, (8) Budi Santoso, (9) Soemitro, (10) M. Kadam, (11) Abukori, (12) Sukardjo, (13) Sumardi, (14) Sumardjo, (15) Sampan Haryanto, (16) Sukastin, (17) Sutiono, (18) Kosim, (19) Slamet Banyumas, (20) Suharto, (21) Sutisno, (22) Tengoredjo, (23) Suratno, (24) M. Banu, dan  (25) Markum. Sedangkan nama-nama pejuang sisanya perlu kesabaran kita untuk mengingatnya kembali! [Tamat]

*) Muarabeliti,  9 September 2022

JEJAK PEJUANG BRN AIRTEMAM (1)

Oleh: Hendy UP  *)
     
      Bagi generasi milenial kini, istilah BRN niscaya sangatlah asing. BRN adalah singkatan dari Biro Rekonstruksi Nasional, sebuah lembaga resmi Pemerintah yang dibentuk pada tahun 1951. Awalnya bernama Dewan Rekonstruksi Nasional, tapi kemudian direvisi  menjadi BRN (vide PP  Thn 1951 No. 12,  jo PP Thn 1954 No. 16).
     Tugas lembaga ini adalah menyelenggarakan  pembinaan dan/atau penampungan eks pejuang kemerdekaan RI (sociale instelling) khususnya dari Jawa yang tidak teregister ke dalam lembaga organik TNI. Bentuk penampungannya melalui program transmigrasi khusus ke pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Mereka adalah eks para anggota: (1) Badan Keamanan Rakyat (BKR), (2) Heiho, (3) Peta, (4)  Koninklijke Nederlands Indische Leger  (KNIL), (5) Laskar Hisbullah, dan laskar-laskar lainnya. 
     Di Sumatera yang ada hanya di Sumbagsel, yakni di Musirawas dan Lampung Barat. Di Musirawas berada di area eks Erpacht Perkebunan Airtemam. Sedangkan di Lampung Barat berada di Desa Sukapura Kec. Sumberjaya yang konon hingga kini masih memperjuangkan hak sertifikat tanahnya.
     Pada tahun 1954 hingga tahun 2001, Kampung Airtemam  ini termasuk ke dalam wilayah Dusun Loeboekkupang Kecamatan Muarabeliti.  Namun sejak terbentuk Pemkot Lubuklinggau (UU No. 7 Tahun 2001), Airtemam berstatus sebagai kelurahan dalam wilayah Kecamatan Lubuklinggau Selatan I. 
     Al-kisah, pada awal Agustus 1953, mBah Suwarto yang berasal dari kota Semarang diberangkatkan ke Sumatera bersama 124 orang veteran perang lainnya. Pada saat itu pemuda Suwarto baru berusia 27 tahun dan lajang. Ke-125 eks pejuang itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. 
      Saat ini, satu-satunya eks pejuang BRN yang masih hidup adalah Mbah Suwarto yang telah berusia 98 tahun, lebih tua dua tahun dari Ratu Elizabeth II yang baru saja wafat pada Jumat, 9 September 2022.
     "Mula-mula kami ditempatkan di barak penampungan di Metro Lampung. Pada hari 17 Agustus 1953, kami mengikuti upacara HUT RI ke-8 di Metro. Kami  diberi pelatihan tentang pertanian selama 3 bulan", cerita mBah Warto yang kini berusia 98 tahun, dengan 8 anak plus 24 cucu dan 21 cicit. Kendati keriput kulitnya tampak mengerut, dan gigi-giginya sudah mulai tanggal, namun semangat juangnya masih berbinar-binar demi mengingat masa lalunya. Daya ingatnya sungguh sangat menakjubkan! 
     "Sesampainya di Lubuklinggau pada sekitar  awal Januari 1954, kami ditampung di barak penampungan selama 3 bulan, yakni di depan Eks Gedung DPRD Musirawas di Tabapingin. Rupanya sedang dipersiapkan calon lokasi permukiman permanen untuk kami di Dusun Lubukkupang", tutur mBah Warto. 
     "Kami sebanyak 125 orang BRN memperoleh lahan seluas 450 hektar, tapi rumahnya bikin sendiri. Lokasinya adalah eks tanah Erpacht Perkebunan Karet Airtemam. Setiap KK memperoleh lahan sekitar 3,6 ha. Batas lokasi BRN adalah sebelah selatan jalan Raya Trans Sumatera. Mulai dari sekitar SDN No. 63 hingga ke jalan Simpang Airtemam. Terus masuk ke Temam Dalam  hingga ke Blok 20 di seberang sungai Temam", cerita Mbah Warto yang kini menggunakan tongkat untuk berjalan. 
     "Ketika Bung Karno meresmikan Jayaloka di Hutan Kungku pada hari Rabu, 11 April 1956, kami semua hadir pada upacara penyambutannya di Simpang Lubukbesar. Bupati Moesi Rawas pada waktu itu adalah Moch. Arief", sambung Mbah Warto. 
[Bersambung.... ]

*) Muarabeliti, 9 September 2022

ONDERNEMING TABAPINGIN 1870 (3)

Oleh: Hendy UP *) 

     Tabapingin, pada dekade awal abad ke-19 adalah sebuah dusun tua. Mungkin terbentuk sekitar tahun 1600-an, atau jauh sebelum itu. Sekirab dengan dusun-dusun tua lainya dalam Marga Proatinlima, yaitu: Muarabeliti, Pedang, Tanahperiuk,  dan Kayuara. Bayangkan, di kala itu dusun Kayuara masih masuk wilayah Marga Proatinlima, artinya belum terbentuk Marga Sindang Kelingi Ilir. 
     Pada tahun 1906, wilayah Dusun Tabapingin masih sangat luas. Di selatan berbatas dengan sungai Temam/Desa Jukung dan di utara berbatasan dengan sungai Megang. Kelurahan Rahmah kini (dulu Tabarejo) adalah areal Dusun Tabapingin.  
     Sedangkan Onderneming Tabapingin, yang pada tahun 1922 masih mencakup perkebunan karet Nv Airtemam, berada di dua wilayah marga yakni Marga Proatin Lima  (Tabapingin dan Tanahperiuk). Sedangkan di wilayah Marga Tiang Pungpung Kepungut mencakup Dusun Muarakati, Jukung dan Airkati.
      Izin pendirian Onderneming Tabapingin pada era Gubernur General (GG) AWF Idenburg (1909-1916), namun baru dilaksanakan  pada era GG JP Graaf Limburg Stirum (1916-1921). Ijin Onderneming Tabapingin adalah hak erfpacht  dengan masa sewa 75 tahun; bukan hak Opstal atau hak Eigendom. 
      Menurut M. Tauchid  dalam bukunya "Masalah Agraria" (1952; hal 41), istilah Erfpach berasal dari kata "erfelijk" (turun- temurun) dan "pacht" berarti persewaan. Jadi hak erfpacht adalah hak sewa atas tanah dengan kewajiban membayar sewa tiap-tiap tahun. 
      Dengan aturan Burgerlijk Wetboek Pasal 720 dan UU Erfpacht (Stbl. 1904 No. 304 juncto Stbl. 1912 No. 349), maka Gubernur General Kolonial di Batavia berhak menyewakan tanah kepada partikelir atau badan hukum.
      Di dalam dokumen "Memorie van Overgave" (dokumen serah terima aset), awal pemilik Onderneming Tabapingin adalah perusahan "Nederlandsch Indie Land Syndicaat" (NILS) dengan luasan 4.500 bouws (3.150 ha) pada tahun 1918.  Mulai membuka lahan untuk  sawit pada tahun 1919 dan untuk karet pada tahun 1922.
     Masa tanam sawit adalah mulai tahun 1920 hingga 1922 dengan total luas 573 hektar (59.399 batang). Sedangkan pembangunan pabrik minyak sawit dimulai pada tahun 1926 dan selesai pada September 1927 dengan total dana sebesar  f. 150.000. Mahalnya pabrik ini dikarenakan sulitnya mobilisasi alat karena belum ada jalan rel kerera api. 
     Sedangkan penanaman karetnya dimulai tahun 1922 dengan  luas 4.200 bouws (2.940 ha). Pada tahun 1926, perkebunan karet Onderneming Tabapingin dikelola oleh Siantar Cultuur Maatschappy yang berpusat di Amsterdam. Menurut penuturan Sofian Zurkasi  (85 tahun) yang diwawancarai pada Maret 2022, bahwa sebelum dibangun rel khusus (lori) untuk mengangkut Crude Palm Oil (CPO) dari Tabapingin (lokasinya kini di Kel. Rahma) ke Airkati, pengangkutan hasil kebun sawit Tabapingin dan karet Airtemam adalah melalui pelabuhan sungai Musi di Muarakelingi. 
      Namun setelah tahun 1933 dibangun rel KA Kertapati ~ Lubuklinggau, maka pengangkutan hasil kebun adalah melalui jalur kerera api ke Palembang. 
     Hingga tahun 1939, di Hindia Belanda tercatat sebanyak 66 perusahaan perkebunan besar dengan luas areal  sekitar 100.000 hektar. Beberapa maskapai yang terkenal adalah: HVA, RCMA, Socfin, Asahan Cultuur Mij, LCB Mayang, Deli Mij dan S. Liput Cultuur Mij. 
     Di era Jepang, Onderneming Tabapingin mulai direncanakan diganti tanaman pangan dan pabrik sawit dihentikan. Pada tahun 1947 ke bun milik Belanda dan orang asing dikembalikan ke pemiliknya, namun Onderneming Tabapingin rusak total, seperti di Oud Wassenar, Ophir Sumbar dan Karanginou Aceh. 
     Karena kerusakan kebun yang sangat parah, maka Onderneming Tabapingin diterlantarkan sebagai eks tanah erfpacht hingga dikuasai negara RI dan  dibagi-bagian kepada masyarakat serta lembaga pemerintah. [Tamat]
 
*) Muarabeliti, 21Juni 2022
    

ONDERNEMING TABAPINGIN 1870 (2)

Oleh: Hendy UP *) 

       Bagi pembaca di luar wilayah "Negeri Silampari Bari" (Musirawas, Lubuklinggau, Muratara), khususnya luar Sumatera Selatan, barangpasti perlu dipahamkam tentang apa ituTabapingin. Dahulu, setidaknya hingga tahun 1980, Tabapingin  adalah nama sebuah dusun dalam wilayah Marga Proatin Lima Kecamatan Muarabeliti, Kabupaten Musi Rawas. Kala itu, batas wilayah Kec. Muarabeliti dengan Kec. Lubuklinggau adalah jalan Kelabat Talangjawa ~ Lubuklinggau.
     Namun, semenjak Jumat 30 Oktober 1981 dengan terbitnya PP No. 38, DusunTabapingin menjadi bagian wilayah Kota Administratif Lubuklinggau, sebelum terbentuknya Kota Lubuklinggau sebagai daerah otonom pada 21 Juni 2001. 
     Pada era Bupati Syueb Tamat (1980-1990), Tabapingin naik status menjadi pusat pemerintahan (centrale overheid) Kabupaten Dati II Musirawas. Namun pada tahun 2004, secara  de jure pusat pemerintahan Kab. Musirawas dipindahkan ke Muarabeliti, walaupun secara de facto baru pindah pada tahun 2019. ***
      Keberadaan Onderneming (perkebunan) Tabapingin dalam peta ekonomi dunia pada abad ke-19, dapat dilacak pada era Kolonial Belanda khususnya pasca-bangkrutnya VOC pada 31 Desember 1799. 
      Dalam catatan Yudi Latif (2011) yang mengutip para tokoh "politik etik" semisal Peter Brooschooft wartawan koran "De Locomotief" dan Theodore van Deventer (partai Liberal Demokratik Belanda),  kita mendapat catatan bahwa antara tahun 1800-1840 pemerintah Belanda menghadapi berbagai persoalan pelik.
       Yakni perang dengan Prancis dan Inggris, menghadapi separatis di Provinsi Belgia (merdeka tahun 1830), perang dengan para mujahid di Nusantara (Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Palembang, dll). Hal ini diperparah oleh sisa hutang VOC hingga 40-an juta gulden serta tekanan Partai Liberal Demokratik di dalam internal pemerintahan. 
     Pasca-perjanjian London (17 Maret 1824) yang menyepakati pembagian wilayah jajahan antara Inggris dan Belanda, maka Pulau Jawa, Sumatera, Maluku dan Irian Barat dikuasai Belanda. Demi memulihkan kas negara, maka ditunjuklah Gubernur Jenderal (GG) Johannes Graaf van Den Bosch (1830-1833),  GG Baud (1833-1836), GG De Eerens (1836-1840), GG Graaf van Hogendorp (1840-1841) dst untuk melaksanakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang sangat menyengsarakan rakyat Nusantara. 
      Karena Cultuurstelsel dikritik habis-habisan oleh opisisi (Partai Liberal Demokratik),  maka pada 9 April 1870 Belanda mengubah kebijakan dengan menerbitkan UU Agraria (Agrarische Wet). UU ini sangat diskriminatif dan dualistik, di satu sisi mengatur hak tanah rakyat Nusantara dengan hukum adat, sementara bagi pemodal asing berlaku hukum perdata Eropa (Burgerlijk Wetboek) dengan HGU 75 tahun. 
     Demi menarik investasi besar-besaran di bidang perkebunan pasca-revolusi industri di Eropa, maka dibuat aturan pertanahan yang aneh-aneh. Yakni ada tanah hak partikelir (overheidsrechten), tanah hak benda (zakelijke rechten) dan tanah perseorangan (persoonlijke rechten). Jenis hak benda dirinci lagi menjadi: hak eigendom (masa selama-lamanya), hak opstal dengan masa kepemilikan 30-75 tahun, dan hak erfpach (75 tahun). 
       Onderneming Tabapingin (dan Airtemam) adalah jenis  tanah erfpach dengan HGU 75 tahun. Karena posisi Tabapingin dalam peta ekonomi Sumatera sangat jauh di hulu sungai Moesi dan terisolir (belum ada jalur kareta api), maka bagi investor Eropa relatif kurang menarik. Baru pada tahun 1919, perusahaan Land Syndicaat Hindia Belanda membuka areal onderneming seluas 4.500 bouws (3.150 hektar). 
       Penanaman dimulai pada tahun 1920 hingga 1922  dengan total luas 880 bouws (616 ha) sekitar 59.399 batang. Namun pada tahun 1922,  pihak manajemen membuka lagi perkebunan karet Aertemam. Pada tahun 1926-1927, perusahan membangun pabrik CPO (crude palm oil) dengan biaya f. 150.000  karena  mahalnya biaya angkut. Adapun total karyawannya: 4 orang administratur  bangsa Eropa, kuli kontrak 202 orang dan kuli bebas 25 orang. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti, 5 Juni 2022

ONDERNEMING TABAPINGIN 1870 (1)

Oleh: Hendy UP *) 

     Suatu hari di akhir Agustus 2004, aku menginap di gedung tua nan unik peninggalan  Belanda. Gedung itu dulu bernama RISPA: kokoh, agak-agak horor, namun tegak-tegap berwibawa. Menjulang tinggi di kompleks yang terawat rapi di jalan Brigjen Katamso Medan. Rasa-rasanya hanya sepelemparan batu dari Masjid Maimun yang legendaris itu. 
      Kala itu, tiba-tiba aku teringat gedung tua serupa, persis bersebelahan dengan tembok tinggi sekolahanku di Purwokerto. Gedung itu, seperti kehilangan keangkuhan masa lalunya, semayup menatap Tugu Bundaran yang gagah tinggi menjulang, membelah jalan  Gatot Subroto. Konon, gedung tua itu adalah eks kantor  Residen Banyumas di masa Kolonial Londo. Mirip-mirip desain arsitekturnya, sama-sama horor nan mengerikan! 
      Kembali ke gedung RISPA. Konon dibangun tahun 1916, untuk lembaga Algemeene Vereeniging van Rubber Planters ter Oostkust van Sumatera (AVROS), atau Perhimpunan Pengusaha Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatera. Kala itu, Gubernur Jenderal AWF Idenburg di kota hujan Buitenzorg sedang mimikul beban berat dari Ratu Wilhelmina binti Willem III, agar memacu produksi  karet, sawit dan teh di  tanah jajahan demi menumpuk pundi-pundi kas negara. 
      Ada trauma getir masa lampau, ketika kas negara defisit, provinsi Belanda Selatan memerdekakan diri menjadi negara  Belgia di tahun 1830, karena "nang adong hepeng" untuk menumpas separatisme. Maklum, kala itu kas Nederland terkuras, bahkan berhutang 40-an juta gulden untuk memberangus Pangeran Diponegoro dan Janissary terakhirnya.
      Pasca~kemerdekaan RI, di tahun 1957 lembaga itu menjadi Research Institut of the Sumatera Planters Association (RISPA). Pada 24 Desember 1992 berubah nama menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Dan entah sejak kapan, gedung tua itu difungsikan sebagai "basecamp" para peneliti Kebun Induk Marihat  atau para tamu dari Bogor dan Jakarta. ***
      Siang itu, setelah merampungkan pembicaraan awal tentang rencana kemitraan antara Dinas Perkebunan Musirawas dengan PPKS Medan, saya diajak keliling perpustakaan di kompleks lembaga penelitian itu. Saya membeli beberapa buku. Saat pamitan,  saya "disangoni" pula berbagai jurnal dan buku-buku terbitan PPKS. Salah satu bukunya adalah berisi tentang sejarah persawitan di Indonesia, yang menorehkan nama "Tabapingin" tahun 1870 di wilayah Onderafdeeling Moesi Oeloe. 
      Ternyata nama Tabapingin telah mendunia semenjak tahun 1870.  Kebetulan, saya pernah membaca arsip peta kuno Belanda di kantor BPN. Peta itu "me-refer map as Hindie" tahun 1906 sebagai wilayah Residentie Palembang & Benkoelen. Mengagetkan!        
      Ternyata dalam peta itu, hanya tertera: Tebingtinggi, Moearabeliti, Moearakelingi, Soeroelangoen, Tabapingin, dan Moearaaman. Tidak ada Loeboeklinggau atau Tjoeroep dalam peta.Agaknya, nama-nama desa tersebut berkaitan dengan jalur transportasi sungai dan potensi komoditas sawit, karet atau tambang emas. ***

Riwayat Sawit Tabapingin
      Al-kisah, pasca-Belanda menikmati hasil "Tanam Paksa" berupa limpahan uang dari menjual komoditas perkebunan di pasar dunia, merasa perlu menarik investor dari Eropa dengan cara mengundangkan Agrarische Wet, sebagai daya tarik usaha  sekaligus jaminan lamanya kepemilikan HGU. 
     Di sisi lain, para ahli botani di Kebun Raya Bogor telah berhasil mengembangbiakkan 4 biji sawit yang dibawa dari Bourbon Mauritius dan Hortus Amsterdam pada tahun 1848. Setelah cukup berumur, mulailah diujilapangankan di beberapa lokasi di Jawa dan Sumatera. 
     Mula-mula di Keresidenan Banyumas Jateng (1856-1870), Muaraenim Sumsel (1869), Tabapingin Sumsel (1870), Belitung Sumsel (1890) dan Banten (1895). Tampaknya sedari awal, kelima daerah ini adalah kawasan yang paling feasible dari aspek agroklimat dan kesuburan lahan untuk perkebunan sawit. Tapi mengapa pada fase-fase selanjutnya justeru daerah Sumatera Utara dan Riau  yang lebih berhasil mengembangkan sawit?  Pasti ada jawabnya!  [Bersambung... ]

*) Muarabeliti,  3 Juni 2022

Minggu, 06 Maret 2022

DISERTASI DUDUNG

Oleh: Hendy UP *) 

Dalam kajian etno-antropologis versi Indonesiawi, nama Dudung niscaya mengait-erat dengan peradaban Sunda. Tepatnya adat suku Sunda, atau lebih tepatnya lagi bahasa Sunda. 

Jika Anda iseng searching mengumpulkan KTP se-Nusantara (bukan nama ibukota baru RI), hampir dipastikan nama Dudung paling banyak ditemukan di wilayah Sunda Besar; dari West Preanger di Cianjur dan sekitarnya hingga Cilacap di kawasan Banyumas Barat yang berbahasa Ngapak. Konon, di awal-awal abad permulaan, Cilacap itu bahagian dari kerajaan Sunda. Apakah ada kaitannya dengan Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian? Wallohu a'lam bishshowab! 

Agaknya belum juga ada riset etnografis, kenapa sesudah nama Dudung sering diikuti kata Abdu. Yang saya tahu: Dudung Abdul Adjid, Dudung Abdurachman, Dudung Abdul Karim, dan dudung-dudung yang lain. Tapi juga ada yang exception! Tahun 1978-an, teman nongkrong saya di Gang Mama Iwa Dago Atas Bandung, namanya agak menyimpang: Dudung Ushuluddin. Nah, yang ini mungkin tugas Universitas Pasundan yang terlanjur mengklaim pewaris peradaban Sundaisme; setidaknya dari nama dan lokus kampusnya. 

Tapi bukan itu soal yang hendak saya gesahkan. Itu hanya prolog-pembukaan, sekadar segigit-lidah, sekunyah-ludah dan sekapur-sirih! 

Alkisah, ketika saya mengambil tugas riset kecil-kecilan dari sebuah lembaga pendidikan, saya ingin mencari tahu: kenapa ada trend penurunan produktivitas padi supra-insus di Musirawas sejak tahun 1985 hingga 1989? Sebagaimana di daerah lain di Indonesia? Pada saat itu, istilah kerennya adalah gejala levelling off. Agak-agak mirip dengan gejala involusi pertanian menurut teori ekolog Clifford Geertz. 

Pasca-olah data lapangan dan mencari rujukan literatur, ketemulah saya dengan nama Dudung. Lengkapnya: Dr. Ir. H. Dudung Abdul Adjid; anak guru ngaji H. Mahmudin, petani sederhana yang mukim di Desa Sukarindik, Kecamatan Indihiang Tasikmalaya. Pada tahun itu, tidak terlalu sulit mencari rujukan seberharga itu, karena karya disertasinya lagi ngetop-viral di kalangan masyarakat ilmuwan pertanian. 

Cukuplah datang ke Pusat Perpustakaan Pertanian di Jln. Ir. Djuanda Bogor, tepatnya di depan Kantor Pos Kebun Raya, sederetan dengan Gedung Herbarium Bogoriense. Dan Mang Dudung memang salah seorang petinggi Departemen Pertanian RI kala itu, sekolega dengan para profesor: Gunawan Satari, Herman Soewardi, Didi Atmadilaga, IGB Teken dan kawan-kawan. 

Disertasinya yang dicetak Penerbit Orba Shakti Bandung tahun 1985 itu berjudul "Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan Dalam Pembangunan Pertanian Berencana". Tebalnya 354 halaman, lengkap dengan lampiran olah data persamaan regresi untuk menguji lima hipotesis yang didalilkan, dengan lima landasan postulat yang dirasakan nyata di pedesaan. 

Kesimpulan penelitian Mang Dudung itu sangat berharga, dan kelak menjadi rujukan utama bagi Kementerian Pertanian dalam menyelenggarakan Tupoksinya. 

Adakah disertasi Dudung yang lain? Jawabnya ada! Tapi ini lain Dudung-nya, yakni Prof. Dr. Dudung Abdurrahman. Dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang kondang dengan disertasinya: "Suksesi Takhta Mataram, Antara Perang & Damai (1586 - 1755)". Saya ingin membaca buku ini, mungkin esok atau lusa. Atau di lain hari! 

Adakah Dudung yang lain? Jawabnya banyak! Salah satunya adalah petinggi ABRI yang lagi viral-naikdaun. Nama lengkapnya: Jenderal TNI Dudung Abdurachman, S,E., M.M, yang qodarulloh sejak 17 November 2021 menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Sungguh tugas yang mahaberat untuk menjaga kedaulatan NKRI, termasuk harus awas jika ada baleho liar yang bergambar provokatif. Hehe! 

Alumni SMA 9 Bandung yang lulus AKABRI tahun 1988 ini, lahir pada Jumat 19 November 1965 atau 25 Rejeb 1385 Hijriyah. Kabarnya sekitar tahun 2004-2006 pernah bertugas di Kodim 0406 Lubuklinggau. Wajar sekali, jika pekan-pekan ini sangat-super-sibuk para petinggi MLM (Musirawas-Linggau-Muratara) dalam rangka menerima tourni Sang Jenderal. Rencana awal 24 Januari 2022 kelak: "Marhaban yaa Jenderal! Semoga pulangnya lebih keren karena sudah disiapkan tanjak khusus ber-"BATIK-DUREN". [*]

*) Muarabeliti, 20 Januari 2022

Minggu, 02 Januari 2022

MENGGALI UNTUK SESUAP NASI


Jika hari~hari ini melintasi jalan raya Tugumulyo~Megangsakti, khususnya sekitaran SPBU Trikoyo, Anda akan menyaksikan 'rombongan' penggali kabel  raksasa oranye milik PT. Indosat.

Gambar: Anto dan Abi,  buruh pasang kabel Indosat di depan SPBU Trikoyo [4 Feb 2019].

Adalah Anto, Abi, Harun, Sakib dan tigapuluhan temannya yang mendapat 'kontrak kerja'  pembangunan jaringan kabel PT. Indosat. Kontrak memasang kabel sepanjang 25 km dari Srikaton ke Megangsakti. Mereka tiba pada 1 Januari 2019 lalu dan menetap di P2. Purwodadi menyewa rumah di dekat kantor desa.

Abi~Anto dan kawan~kawannya adalah perantau yg telah malang melintang dalam hal gali~menggali pinggiran jalan raya utk memasang kabel jaringan: Telkomsel, Indosat, Muratel dll. Mereka pernah menggali di seantero Nusantara dari Aceh hingga Flores NTT. Mengitari Sulawesi ~ Batam hingga Kalimantan.

Rupanya profesi 'menggali' jalanan utk memasang jaringan kabel ini ditekuni oleh warga Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes, khususnya desa Tegalreja. 

Ketika pada Senin siang  4 Feb 2019, saya wawancara dg mereka tentang upah kerja, dengan semburat sedih~memilu mengatakan bahwa upah per meter penggalian dan pemasangan kabel itu Rp. 11 ribu plus uang makan Rp. 50 ribu. Sehari bisa memasang sekitar 20 meter maju. Jadi perolehan kotor per hari 200 ribuan. "Yaa... bersihnya 100 ribuan, Pak", kata Abi memelas. Kalau penggalian ketemu batu atau akar kayu itu risiko sendiri dan pasti akan mengurangi pendapatan. Mereka kerja rata2 berpasangan dua orang. 

"Kami bekerja menggali ini sudah sejak tahun 2007~an. Pulang ke kampung menemui anak istri paling cepat dua bulan sekali. Di rumah paling lama semingguan", sambung Abi sambil memungut bongkahan tanah di lobang sedalam hampir dua meter berlumpur.


Gambaran kehidupan pekerja musiman itu menunjukkan bahwa lapangan kerja kini sedemikian sulit dengan upah yg rendah. Ketidakmampuan bersaing dalam merebut lapangan kerja yg 'lebih layak' adalah faktor un~skill pada mayoritas penduduk perdesaan. Di sektor industri mereka tak dikehendaki, sementara di sektor tani mereka tak punya lahan (dan modal). Maka, kita hanya berharap ada kebijakan Pemerintah RI yang mampu berfikir cerdas untuk menghalau 'kedunguan massal'. Allohua'lam...!!