Selasa, 23 Juli 2019

KOALISI: MEKANIKA FLUIDA & DALIL RHEALOGI (2)

Misteri di statsiun MRT Lebakbulus (13 Juli 2019), yang mensyaratkan koalisi kursi 45 : 55 di tubuh eksekutif, terlanjur melanda ke mana-mana. Baik di prapatan dunia maya maupun di Padepokan Eyang Wangsakrama. Padahal itu jelas hoaks! Masa bagi2 kursi di 'warung sate'? Mereka kan LEADER bukan DEALER yg berunding margin fee..! Kata temen gue. Konon misteri ini diinisiasi oleh segelintir elit PDIP, Tokoh BG~BIN dan Ketua TKN secara senyap. Bung Paloh, Mas Ranto, Cak Imin dan Mas Airlangga kabarnya blm diajak. Banyak reaksi tokoh dengan aneka kepentingan, dengan gestur dan semiotika politik yg serba mungkin. 

Hari-hari ini, elit PDIP dkk di kubu KJ versus elit Gerindra dkk di kubu KP, saling intip dan saling hunus pedang, sembari browsing frasa argumen untuk saling tekan. Mas Amin Rais tampak gelisah dan kekurangan data lapangan utk merumuskan dalil politik minggu ini, sehingga buru-buru terbang ke Hambalang utk tandang makan siang, walau akhirnya ketemuan di tempat lain. Hasilnya disimpan di 4 kantong: celana , baju, jacket dan kantong plastik. Di depan wartawan baru dikeluarkan secuil, hanya warna kantongnya. Itu pun diucapkan dengan metafora: kadang amelioratif, kadang peyoratif, dan esok harinya mirip sinestesia.

Yang tampak paling sungkan rekonsiliasi dengan kubu Jokowi (yg dimotori PDIP) adalah PKS. Kita semua mafhum dan buku sejarah belum terlalu tebal untuk dibaca ulang. Secara genetikal-origin, PDIP memang berjarak jauh dengan PKS.


Menengok ke belakang, PDI (belum PDIP) adalah hasil fusi 5 partai di tahun 1973, yakni: PNI, Murba, IPKI, Parkindo dan Partai Katolik. PDI ini dibubarkan 10 Jan 2003. Dan pasca-peristiwa 'kerusahan' 27 Juli 1996, dibentuklah PDI-Perjuangan pada 1 Feb 1999, dengan ideologi Pancasila, Marhaenisme dan Sosialisme.


Adapun PKS (awalnya PK) didirikan 20 April 1998 hasil kristalisasi model dakwah Islam dari kampus yg dimotori kaum cendekiawan muslim yg bergerak tahun 1980-an. Tegas berideologi Islam. Di awal riwayat, ada peran besar Muhammad Natsir dan yuniornya: Imaduddin Abdulrohim aktivis dawah Masjid Salman ITB. PKS agaknya mengadopsi model partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pola rekruitmen kadernya berprinsip sangat ketat: al-da'wah al-fardhiyyah. Melalui model marhalah, muncullah nama-nama besar: Mustafa Kamal, Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, Nur Mahmudi Ismail, Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq, Zulkieflimansyah (Ketua Senat UI), Salim Segaf, Hilmi Aminuddin dll. Jadi secara psiko- ideologis, memang cukup berjarak antara PKS dengan PDIP.


Namun demikian, tiga tahun terakhir ini PKS diselimuti cuaca agak berasap, ditambah arus angin agak memuting, sehingga terbatuk-pileg. Lalu agak 'mriyang'. Di internal PKS muncul istilah "OSAN-OSIN". Orang sana~orang sini. Dan klimaksnya, terhengkangnya (Trio Anfahma): Bung Anis, Fahri dan Mahfudz yg kemudian menggelar deklarasi GARBI (Gerakan Arah Baru Indonesia). Hal ini agaknya menimbulkan kohesivitas kader di daerah sedikit tergoyang.


Tapi untuk menyikapi polemik rekonsiliasi-koalisi, saya yakin PKS akan istiqomah untuk tetap oposan. Dan itulah 'branding' utama utk pasar demokrasi masa depan. Bahkan jika pun PAN & Demokrat mengikuti dalil rhealogi politik. Dan saya yakin, elit PDI tetap enggan 'berteman' dengan PKS yg hanya meraup 8,21% dengan suara yg kadang keras melengking. Membuat gatal-panas kuping para elit di seberang siring.


Hanya saja, kalkulasi politik bukanlah dalil mekanika fluida dan rhealogi, melainkan mirip 'ngelmu' dukun santet 'sinkretisme' yang menggabungkan ramuan material dan imaterial: rapalan potongan ayat suci, ritual klenik Kapitayan dan wangsit dari Padepokan serta bungkusan klembak-menyan dari Pasar Klewer. Klimaknya: pembakaran dupa Jumat kliwon yang 'mengelunkan' asap halus merah-putih NKRI, sembari meramal sasmita arah angin menjelang dini hari! Allohu'alam bishowab..!


*) Pemerhati sosial politik dan budaya pedesaan

KOALISI: MEKANIKA FLUIDA & DALIL RHEALOGI (1)

Artikel ini bukan analisis politik, tapi hanya sekadar 'gumam' politik kampungan. Boleh jadi dari kampung Muarabelitibaru eks ibumarga Proatinlima di jaman bari Sriwijaya. Konteks gumamannya sekitar koalisi Parpol pasca-Pilpres 2019. 

Secara awam ada koalisi Parpol pendukung Jokowi-Makruf (Jokruf) dan ada koalasi Prabowo~Sandy (Prandy).

Koalisi Jokruf 'ditakdirkan' sangat tambun, consist of: PDIP, Golkar, Nasdem, PKB dan PPP (yg masuk Parlemen). Sisanya: Hanura, Perindo, PSI, PKPI, dan PBB masih parkir di luar gedung.


Sedangkan koalisi Prandy cukup ramping: Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat (yang masuk Parlemen). Sisanya, Partai Berkarya yg senasib dengan Hanura dan PBB, nongkrong di halaman parkir. Bahwa ada cerita Demokrat dianggap zig~zag di sela~sela maraton pagi, itu soal lain. Adapun partai yg tdk jelas koalisinya adalah Partai Garuda besutan Harmoko, yg hanya mendapat 0,50% suara, senasib sial dengan PKPI (0,22%) dan PBB (0,79%).


Untuk menggambarkan potensi pergeseran anggota koalisi, saya meminjam istilah Prof. Bruce R. Munson, tentang mekanika fluida dan derivasinya, yakni cabang ilmu rhealogi. Mekanika fluida mengkaji perilaku zat cair dan gas dalam keadaan statik atau dinamik. Secara spesifik, fluida didefinisikan sbg zat yg berdeformasi (berubah bentuk) terus-menerus selama dipenguruhi tegangan geser. Daya geser akan muncul jika gaya tangensialnya bekerja kuat di permukaan.


Sedangkan rhealogi memfokuskan kajian atas perilaku benda yg bukan persis cair, dan bukan pula benda padat. Misalnya: lumpur, aspal atau odol dan beberapa bahan obat. Zat-zat ini akan berperilaku seperti benda padat jika gaya gesernya kecil; sebaliknya akan mengalir seperti benda cair jika gaya gesernya mencapai titik kritis tertentu.


Para tukang insinyur dengan mudah bisa menghitung kecepatan gaya gesernya, karena standar dimensi sebuah kecepatan adalah panjang dibagi waktu. Rhealogi banyak digunakan di bidang kefarmasian, khususnya desain peralatan medis utk mentransfer obat ke tubuh pasien.


Dalam konteks karakterisasi Parpol, sebutlah koalisi Jokruf kita simbolkan KJ dan koalisi Prandy (oposisi) kita sebut KP. Di masa sebelum penetapan pasangan Capres, baik partai di KJ maupun partai di KP pada umumnya potensial bersifat fluida-deformatif (gampang mengubah dukungan) kecuali PDI, Nasdem dan Hanura karena sudah punya Ruang Terbuka Hijau dg kursi santainya. Sebaliknya kadar viskositas antara Gerinda dan PKS (dan PAN?) sedemikian rekat karena diikat oleh ijtima ulama dan semangat anti Jokowi serta faktor lain.


Dalam hiruk-pikuk pra-Capres, PKB dan Demokrat mirip mekanika fluida; kadang condong ke KJ, lain hari melirik ke KP. Barangtentu Cak Imin merasa punya massa besar Nahdliyin, sehingga ke-PD-an dan berani main ancam. Sementara Demokrat merasa sbg kampiun dua musim Pemilu sehingga merasa 'tinggihati' melibihi lima senti dari jantung koalisi yg terus berdenyut.


Pascapenetapan hasil suara oleh KPU, koalisi Parpol relatif statik. Yang masih gaduh adalah Demokrat dengan manuver zig-zag AHY, sementara PAN tampak ada 'riak' dampak pergeseran generasi pemikiran. Ada 'tarik-tambang' antara: Pak Amin cs, Bung Zul dkk, serta Tulang Bara Hasibuan sekonconya. Agaknya Bung Zul lebih kohesif bersama Bara.


Diprovokasi oleh para aktivis demokrasi semisal Rocky Gerung dkk, agar tidak perlu rekonsiliasi antara Jokruf yg punya legalisasi pemenang versi KPU/MK dengan Prasandy yang 'memegang' legitimasi rakyat; just suddenly muncul 'misteri MRT' yg menggoyahkan koalisi Parpol.


Bocoran dari 'dapur kotor' berhembus kabar bahwa telah terjadi "undertable transaction" utk rekonsiliasi. Ada tokoh 'the hidden' sbg desainer, ada kemarahan terpendam, ada kekhawatiran kehilangan jatah kursi, ada juga kegamangan komunikasi karena terlanjur saling 'mengampret-cebong'. Pendek kata, ada riuh kasak-kusuk di sudut kamar partai, baik di KJ maupun di KP. Allohu'alam..! (Bersambung)


*) Pemerhati sosial politik dan budaya pedesaan

Selasa, 16 Juli 2019

KUDETA KLENIK ALA MANG WITO

Istilah kudeta yang berasal dari bahasa asing 'coup d'Etat', sudah muncul sejak sebelum Republik ini tegak berdiri. Makna harfiah-leksikalnya: perebutan kekuasaan dengan cara paksa baik dalam koridor konstitusi atau inkonstitusional. Apakah ada kudeta inkonstitusional? Ada. Dan ternyata, konon hanya ada di Indonesia yang dikomandoi oleh Sawito Kartowibowo. 

Rosihan Anwar sang wartawan kawakan, menulis untuk Straits Times, 4 Oktober 1976 dengan judul "The Bizarre (keunikan) anti Soeharto Plot"; walau kemudian diganti judul oleh Pemrednya menjadi: "The Anatomy of a Power Ploy" (Anatomi Permainan Kekuasaan). Bagi generasi yang lahir pasca-80-an, mungkin tak pernah tersirat nama Sawito, karena mungkin tak muncul di materi kurikulum SMA atau FIB/FISIPOL; atau barang kali gadget kaum milenial lebih sibuk utk swafoto dan 'berpamer-ria' ketimbang utk 'mengarungi' samudera ilmu.

Adalah bermula dari munculnya dokumen tahun 1976, "Menuju Keselamatan" karya RM Sawito Kartowibowo (45 th), walaupun kala itu tidak digubris oleh petinggi negeri. Sawito adalah alumni IPB, asli Kebumen yang kala itu menjadi pejabat di Kementerian Pertanian. Orangnya cerdas, tapi hobinya naik gunung untuk bertapa mencari wangsit plus wahyu 'keprabon'; demi 'menyelamatkan' negeri Nusantara yang dianggapnya mulai melenceng dari cita-cita "the founding father".


Diduga kuat, Sawito adalah seorang 'mistik', sakti, mirip penyulap Haudini yang mampu menghipnotis para petinggi negeri sehingga mereka dg suka rela membubuhkan tanda tangannya pada dokumen 'kudeta' yang dirancang Sawito. Sebutlah: Dr. Moh. Hatta, Dr. TB Simatupang, Kardinal Darmoyuwono, Dr. Hamka, Jend. Said Sukanto, Singgih, Karna Radjasa dan para petinggi lainnya. Isi dokumen itu antara lain: perlunya menyelamatkan rakyat dg menegakkan Pancasila dan UUD 1945 serta mengganti Presiden Soeharto. Oleh karena itu diperlukan pemindahan kekuasaan dari Soeharto kepada Moh. Hatta.


Pada 23 September 1976, Pemerintah RI mengumumkan bahwa telah berhasil meringkus komplotan yang hendak menggulingkan Presiden Soeharto secara inkonstitusional yang dipimpin RM Sawito. Tidak sulit menangkap Mang Wito dkk utk diadili dan dipenjarakan.


Langkah unik Sawito ternyata menginspirasi Marle Ricklef utk menulis keunikan varian politik Indonesia dalam buku "Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2008" yang ditulis tahun 2008. Kudeta klenik ala Sawito, dikategorikan sbg varian dari 'veto coup d'etat' yang hanya mengandalkan partisipasi dan mobilisasi massa, tanpa campur tangan militer bersenjata. Biasanya ditunggangi oleh kaum oposisi utk memperbesar daya tekanan politik. Di luar negeri, faktor kleniknya memang tidak ada.


Menurut Huntington (1996) sang pakar politik, menyebutkan bhw kudeta dan revolusi utk menggulingkan pemerintahan, hanya terjadi jika ada kedzoliman rezim yang memicu gerakan militer bersenjata serta didukung massa (rakyat, mahasiswa, kaum intelek, dan lain-lain).


Untuk kasus 'Nusantara- Indonesia' sejarah mencatat lebih 7 kali terjadi kudeta atau prakudeta. Simaklah: (1) Ken Arok tahun 1222 terhadap raja Singosari Tunggul Ametung, (2) Ra Kuti thn 1319 terhadap raja Majapahit, (3) Aryo Penangsang thn 1549 terhadap Sultan Demak, (4) Kapiten Jonker thn 1689 thd VOC, (5) Pieter Erbeveld thn 1721 terhadap VOC, (6) Supriyadi di era Jepang tahun 1942, (7) PKI Muso terhadap NKRI, (8) PKI tahun 1965 terhadap NKRI, (9) Sawito dkk tahun 1976 terhadap Presiden Soeharto.


Ibroh dan hikmah yang bisa dipetik oleh bangsa ini adalah: "JANGANLAH REZIM INI MENDZOLIMI RAKYAT, JIKA SEJARAH KUDETA TAK INGIN BERULANG; APATAH LAGI JIKA KUDETA ALA KEN AROK YANG BERSIMBAH DARAH MERAH". Semoga Alloh Subhanahu wa ta'ala senantiasa memberikan taufik, rahmat dan barrokah-Nya kepada kaum petinggi negeri ini. Aamiin.


*) Pemerhati sejarah dan budaya lokal

PALEMBANG - DURENREMUK

Hampir setiap hari kerja ASN, saya membaca rambu lalu-lintas penunjuk arah: Palembang - Durenremuk. Posisinya di tanjakan pascajembatan sungai Temam yang terjun ke sungai Kelingi antara Dusun Muarabelitibaru dengan Kelurahan Pasarmuarabeliti. Pertigaan arah ke Dusun Durianremuk. Hati nakal saya bergumam: pasti yang bikin konsep rambu lalin ini orang Jawa atau orang Gayo Aceh. 

Selama lebih 40 tahun saya bergaul dengan 'orang asli' Muarabeliti, menyelami dan belajar ttg budaya (dan bahasa) lokal Lembak Silampari - khususnya eks Marga Proatin V - jarang terdengar kosa kata DUREN kecuali sedang ngobrol dengan perantau atau keturunan etnis Jawa.

Sependek pengetahuan saya, untuk menyebut buah yang nama Latinnya Durio zibethinus Murr ini, orang Sumatera (kecuali suku Gayo Aceh) menyebutnya durian. Bahkan dalam dialek 'wang' dusun Lembak menyebutnya 'diyan' atau 'dian'.


Varian nama Nusantara atas buah ini sangat banyak: duren (Jawa, Betawi, Gayo), kadu (Sunda), duriang (Menado), duliang (Toraja), doriang (Ambon) dan banyak lagi. Jadi secara kajian etimologi-fonologis, khususnya aspek fonetik dan fonemik, penulisan rambu lalu-lintas itu keliru dan melenceng dari tradisi dan budaya lokal. Apatah lagi jika Kabupaten Musirawas ingin mengangkat dan menggaungkan budaya lokal Silampari ke persada Nusantara. Langkah taktis utk mengikhtiarkan obsesi itu bermula dari aspek yang paling asasi dan paling gampang, yakni aspek bahasa kemudian budaya dan peradaban.


Mohon maaf, kajian ini bersifat ilmiah kebahasan dengan argumen fonologis; sama sekali tidak bersifat sentimen - etnikalitas sebagaimana nuansa politik nasional sekarang ini yang agak gonjang-ganjing di dunia maya-sosialita.


Harapan kita, muatan otonomi daerah yang membuka ruang ekspresi warganya dalam "berkebudayaan" demi membangun peradaban yang lebih berkemajuan, bisa ditangkap secara bestari oleh pejabat dan tokoh 'genius lokal' di wilayah ini.. Mudah-mudahan pihak instansi OPD yang berwenang di Pemda Musirawas akan memahaminya dan bertindak secara cerdas nan bijak-bestari. Allohu'alam bishowwab..!


*) Pemerhati bahasa dan budaya lokal Silampari

TATABAHASA: MENYUKSESKAN, BUKAN MENSUKSESKAN

Di suatu petang ba'da magrib, secara 'empatmata' saya menghadap atasan langsung saya, Pak Sekda. Saya menyodorkan draf final pidato Bupati Musirawas yang akan dibacakan pada acara kunjungan Gubernur Syahrial Usman di Muaralakitan besok paginya. Itu terjadi antara tahun 2006 - 2007, kalau tak salah ingat. 

Mungkin karena perubahan jadwal kunjungan gubernur yang mendadak, saya menerima tugas yang sama sekali bukan Tupoksi saya. Tidak ada hubungan sama sekali antara jabatan saya dengan tugas 'suddenly' itu. Ba'da ashar tugas itu muncul. Mendadak... dak. Tapi... Okelah! Bukankah di poin terakhir Tupoksi setiap pejabat Republik ini ada frasa "melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan"?

Pada momen hisapan terakhir rokok 'SURYA-16' Pak Sekda, yang asapnya membumbung langit-langit ruang tamu, dia menyerahan konsep pidato itu. Bersegeralah saya mencermati hasil koreksian di depan Sang Bigboss. Dari 6 halaman kuarto dengan 26 paragraf, ternyata ada dua kata yang dicoret Pak Sekda. Dua kata itu adalah kata "menyukseskan" dan "menyosialisasikan".


Merasa punya dalil tatabahasa yang cukup valid, saya mencoba menyodorkan argumen morfologis dengan sesantun mungkin. Saya pikir, kalau pun 'dimarah' dengan bahasa Pagaralam yang 'medok', saya sudah sangat siap. Saya katakan secara verbatim begini: "Kata jadian (konfiks) dengan pola 'me - kan', jika mengimbuh kata dasar yang diawali konsonan 's', maka huruf 's' nya luluh menjadi 'ny'.


Contohnya: sapu - menyapu; sisir - menyisir; sikat - menyikat; sembelih - menyembelih, dst. Kata sukses dan sosialisasi itu, walau diserap dari bahasa asing, namun sudah masuk ke dalam entri kosa kata Indonesia. Dengan demikian pola pembentukan konfiksnya wajib tunduk dg dalil baku Tatabahasa Indonesia, kecuali ada eksepsi atau alomorf yang diterakan di dalam KBBI.


Saya hitung, memerlukan tiga kali hisapan SURYA-16 untuk mengangguk- angguk agak kebingungan; sekilas ada 'kegalauan jiwa' Pak Seka. Antara percaya dan tidak akan argumen si 'HINDI' ini yang basis ilmunya 'sekadar' pertanian dan pedesaan.


Semburat keraguan ta' mampu ia sembunyikan; terlukis dalam 'mehan' Sang Bigboss. Akhirnya ia berfatwa: "Tapi kata menyukseskan itu belum lazim nDi..... yang biaso itu mensukseskan. Aku pecayo dengan Kabah, tapi gantilah sajeu... ".


Maka, sebagai 'anak-buah' yang loyal, dan demi mempercepat keputusan, saya terima 'dengan ikhlas' saran Sang Bigboss. Petang itu alhamdulillah saya mendapat ibroh dan himah. Betapa seorang anak buah seringkali harus memenuhi 'selera' Bigboss kendati tak masuk di hati. Dan ternyata dalil hukum bahasa yang benar harus dilanggar ketika dianggap menabrak tradisi kelaziman dalam 'politik birokrasi'. Allohu'alam bishowab..!


*) Pemerhati bahasa dan budaya lokal

PLAT KENDARAAN SEUMUR-UMUR

Suatu hari di minggu-minggu hangat menjelang 'debat capres' kedua, saya mereposisi barang-berong di 'dapur kotor'. Dapur kotor itu istilah khas masyarakat Silampari, yang secara fungsional-historik bermakna gudang, ruang belakang atau 'blandongan' dalam bahasa Sunda- Priangan. Semacam ruang khusus yang berada di belakang; lazimnya centang- perenang, akibat menampung aneka spesies barang bekas dan barang sisa yang sayang dibuang. 

Saya tertegun demi melihat tumpukan plat kendaraan, baik yang kecil maupun yang lebar seukuran 395 mm x 135 mm. Plat-plat yang masih bagus itu membuat overload wadah kotak kayu, karena nyaris non-fungsional setelah diganti lima tahunan oleh SAMSAT - KORLANTAS.

Padahal, tahun 2018 kemarin, saya membayar seratus ribu utk plat kendaran mobil dan enampuluh ribu utk motor; dibayar di SAMSAT pada saat ganti STNKB. Kata kuncinya adalah bahwa bekas plat kendaraan itu masih sangat layak pakai, hanya angka masa laku (bulan dan tahun) di plat itu yang berubah.


Mengapa harus ganti plat? Setelah dilacak dasar hukumnya, ternyata bersumber dari UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ yang diperinci oleh PP No. 55 dan PP No. 80 Tahun 2012 tentang Kendaraan dan tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan. Untuk pedoman teknikalitas di lapangan, digunakan aturan derivasinya yakni Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor.


Di dalam Pasal 4 ayat (3) PP No. 80 Tahun 2012 memang mewajibkan agar terpenuhinya: (a) spesifikasi teknis Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB), (b) masa berlakunya TNKB, dan (c) Keaslian TNKB.


Secara logika awam, pemahaman masa berlakunya TNKB itu adalah tulisan kode bulan dan tahun yang tertera di bawah nomor plat utk memudahkan petugas Korlantas ketika merazia di jalan raya. Sedangkan keaslian TNKB itu maksudnya ada cap Korlantas di plat kendaraan. Padahal, di jaman kini, betapa mudahnya meniru cap Korlantas di kaki lima.


Jika kita mencoba menganalisis tekstual di dalam PP No. 80 Thn 2012 dan derivasinya, kemudian kita bongkar psikologi pejabat pembuat aturan di era itu, maka tampak jelas bhw perspektif berpikirnya adalah 'birokrat-sentris', bukan perspektif kesejahteraan rakyat. Akibatnya setiap 5 tahunan, rakyat dibebani kewajiban utk mengganti TNKB, padahal TNKB lama masih layak pakai. Ini mengandung tiga keborosan: uang rakyat, material plat seng yang terbuang sia-sia dan waktu pengurusan penggantian plat yang juga terbuang sia-sia juga.


Yang lebih tidak lucu, pengalaman seorang teman yang harusnya ganti plat motor Oktober 2014, sudah bayar 60 ribu, sampai 2019 ini tidak pernah ganti plat motor, karena alasan kehabisan bahan baku plat di tahun itu. Sewaktu dirazia Polisi, suruh ganti plat baru, dan..... suruh bayar lagi karena sdh terlambat satu perode TNKB. Tentu saja, teman saya 'bertengkar keras' di jalanan, karena merasa didzolimi oleh sistem administrasi negara yang dirasakan tidak berpihak kepada "oknum" teman saya tadi.


Masa berlaku TNKB memang ada sedikit manfaatnya, karena mempermudah Polantas pada saat "memelototi" kendaraan yang lewat di "musim razia". Tapi saya pikir, "mudhorotnya" jauh lebih besar karena membebani rakyat banyak. Bukankah paradigma berpikir negara harusnya berpihak kepada "keringanan beban rakyat" ketimbang kepada kepentingan aparat?


Konklusi rasionalnya adalah: kaji ulang beberapa pasal dalam UU No. 22 Tahun 2009, PP No. 80 Tahun 2012 dan Per-Kapolri No. 5 Tahun 2012. Idealnya utk mengurangi beban rakyat dan asas manfaat material plat kendaraan, penggantian plat bisa per 10-15 tahun. Syukur-syukur seumur-umur kendaraan, kecuali terjadi mutasi wilayah, ada mutasi pemilik dan proses balik nama. Mirip-mirip "pola pikir nalar sehat" ketika mengubah KTP seumur hidup. Allohua'lam bishowab.


*) Penulis adalah pemerhati sosial-budaya lokal

MUREKS: OBSESI THE CHUNG SHEN & DAHLAN ISKAN

Koran Musirawas Ekspres (Mureks) ditakdirkan lahir sebagai 'anak kandung' Linggau Pos (Lipos) pada Selasa, 1 Juli 2008. Berbeda dengan induknya, Mureks memilih frasa "Koran Kebanggaan Masyarakat Silampari" sebagai tagline. Yaa... komplementer dengan Sang Induk yang mengklaim "Pertama dan Terbesar di Bumi Silampari". Lipos lahir pada Senin, 12 Februari 2001. 

Masyarakat Silampari agaknya cukup faham bahwa koran-koran dan jaringan TV: LinggauPos - Mureks - Silampari - Sumeks - Jawa TV (JTV) dan puluhan yang lainnya mutlak di bawah kendali 'manajemen agung' Jawa Pos Grup (JPG) dan Jawa Post National Network (JPNN)-nya. Soal modal awal dan 'kompetisi' bisnis serta kemandirian wirausaha, sangat 'dijamin' aman oleh sistem manajemen Graha Pena di kawasan Ketintangbaru Surabaya.

Tapi masyarakat mungkin banyak belum tahu bahwa sejarah 'nenek-moyang' koran Mureks sebenarnya sangat panjang dan telah berumur cukup tua. Di pangkal riwayat ada: The Chung Shen, Eric Samola dan Dahlan Iskan yang agaknya ditakdirkan sebagai 'wirausahawan koran'.


Adalah seorang bernama The Chung Shen alias Soeseno Tedjo (lahir 1893) dengan kepiawaian bisnisnya, mendirikan koran Djava Post di Surabaya pada 1 Juli 1949. Untuk melayani aneka segmen, diterbitkan pula koran Hwa Chiao Sien Wen (berbahasa Mandarin) dan koran de Vrije Pers (berbahasa Belanda) dan Daily News (Inggris).


Dalam perjalanannya, karena dinamika politik dan kompetisi bisnis, akhirnya tiga korannya tutup; tersisa Djawa Post sebagai metamorfosis dari Djava Post plus 3 koran mendiang. Untuk mengelola koran-korannya ditunjuk Pemred pertama Goh Tjing Hok (1953) dan diteruskan oleh Cina Republiken Thio Oen Sik. Konon, selama 4 tahun, The Chung Shen mengelola sendiri dari: mencari, menyeleksi, mengkompilasi dan mengedit hingga proses pencetakan.


Ketika di tahun 1982 tirasnya nyaris bangkrut dan tersisa 6.800 eksemplar per hari, maka tidak ada pilihan lain, kecuali 'menyerahkan diri' kepada teman bisnisnya di Majalah Tempo (Grup) yakni Bung Eric FH Samola. Bung Eric meyakini kegigihan Dahlan Iskan yang kala itu menjabat Kabiro Tempo di Surabaya, wartawan 'kawakan' yang tahan banting plus memiliki karakter petarung tak kenal menyerah. Tanggal 1 April 1982 adalah hari bersejarah bagi Dahlan ketika menerima mandat sebagai Manajer Jawa Post.


Dan di tangan duet Eric- Dahlanlah prestasi Jawa Post melejit membumbung langit. Di luar dugaan banyak pihak, oplahnya melejit hingga 300 ribu eksemplar hanya dalam tempo 5 tahun (1987). Tidak hanya itu prestasinya, dalam tahun itu juga terbentuk JPNN yang memiliki 40 jaringan percetakan, menerbitkan aneka produk: tabloid, majalah dan koran lokal di 80 kota di seantero Nusantara. Luar biasaaa...!


Kepiawaian Sang Dahlan Iskan yang cerdas-tawadu dan 'super-inovatif' telah teruji oleh waktu. Kariernya di aneka gelanggang, menginspirasi banyak petinggi negeri hingga kalangan millenial. Dari mengudek-udek 'kabel PLN' yang kusut berbelit-belit, hingga mengobok-obok manajemen BUMN yang lamban dan cenderung korup. Namun 'segerombolan' orang yang tak mampu bersaing dg Dahlan merasa gerah kepanasan, merasa perlu menghadang di tengah jalan. Menjegal..!


Dan di akhir kariernya di birokrasi, Bung Dahlan nyaris 'kepleset' menginjak kulit pisang yang sengaja di lempar orang di depan gerbang rumahnya. Syukurlah doa-doanya makbul. Alhamdulillah. Si pelempar kulit pisang patah arang. Orang jujur ternyata lebih makmur umurnya. Semoga Bung Dahlan tetap istiqomah.


Sebagai pencinta Mureks, saya berharap agar Keluarga Besar Mureks wajib hukumnya untuk meneladani Bung Dahlan dalam berjibaku menggelorakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai filosofi dan sejarah pers nasional dengan konten kearifan lokal. Agar senantiasa menjadi kebanggaan masy Bumi Silampari. Dirgahayu Mureks...!!! Berlarilah di depan generasi millenial. Bukan mengekor di buritan..!


*) Pemerhati surat kabar lokal

KRITIK PEDAS: AMBURADULITAS BAHASA KORAN

Aku mengenal Sang GM Mureks, Panca Riatno sekitar tahun 2005. Seorang sarjana teknik mesin, yang 'nyasar- nyungsep' di rawa jurnalistik, sebagai wartawan Linggau Pos. Mungkin karena proses 'combustion' mesin dieselnya mengalami 'material-fatik', sehingga gerak sentrifugalnya kedodoran dan akhirnya migran ke dunia kata-kata. 

Sedangkan Sang Pemred Dedy Kariema Jaya, rasanya aku belum pernah berjabat tangan, kendati sering bercanda-ria di dunia WA. Titelnya sarjana pertanian. Mungkin alumni jurusan "agro-publisistik" yang piawai berbagi info teknologi muta'akhir kepada generasi 'agro-millenial' yang kini semakin 'sophisticated' mampu menyulap hamparan sawah Mirasi menjadi area "Celosia Argentea" (gulma bulu ayam).

Mungkin pula karena 'sok kenal' dengan kedua petinggi Mureks itu (sorry Bung Solihin, Anda kuanggap atasannya petinggi), maka aku sering kali terlalu lancang mengritik langsung secara persona kepada kedua orang ini. Prinsip dasarku hanyalah menyampaikan kebenaran 'tata bahasa' yang aku yakini sangat berdasar dalilnya dan bisa dirujuk pada literatur resmi.


Dalam batas tertentu aku memahami bahwa SDM (terutama wartawan) Mureks perlu terus belajar. Mungkin juga Mureks memerlukan News Editor sebagai final sensor. Aku berpikir, karena bisnis koran adalah 'bisnis kosa kata', maka produknya (gugus rangkaian frasa, kalimat, paragraf dan kesatuan makna tema dan subtema) wajib "enak dibaca dan tertib bahasa". Barang pasti, sekadar usul, para awak Mureks mesti 'diupdate' secara berkala di bidang perbahasaan, khususnya bahasa koran millenial tanpa mengubah tata bahasa baku kecuali dalam konteks tertentu.


Mungkin diperlukan Diklat kilat tentang: sekilas Anatomi-Morfologi bahasa, Pilihan Diksi-Narasi dan Gaya Bahasa dan hal lain ttg kebahasaan. Kepiawaian menyusun struktur kalimat dengan bahasa efektif adalah modal dasar wartawan (dan Tim News Editing) utk menghitung kebutuhan milimeter kolom sebelum pracetak. Apatah lagi awak media selalu gelisah 'diteror' deadline di tengah dalu.


Salah satu 'kelakuan' Mureks yang selalu bikin gue 'gemes nan jengkel' adalah penulisan nama desa, kota dan/atau tempat geografis. Dalilnya sangat jelas: "nama tempat/geografi seperti nama desa, nama kota dan lainnya, penulisannya digabung kecuali diikuti angka Romawi dan/atau arah mata angin (utara, selatan, timur, barat)".


Contoh: Muarabelitibaru, Muararupit, Muaralakitan, Tuahnegeri, Muarakelingi, Lubuklinggau Utara I, Muaraaman Ilir, Rejanglebong, dan lain•lain. Aku berharap, koran Mureks menjadi rujukan valid bagi anak-anak sekolahan dan generasi millenial, yang lebih gampang mengingat koran (media massa) ketimbang buka Kamus Bahasa yang setebal Quran. Dan, koran Mureks sebagai pilar penting dalam mencerdaskan bangsa Silampari, wajib hukumnya untuk berlari di depan, sebagai rujukan. Bukan membeo, sebagai follower perusak tata bahasa dengan alasan apa pun.


"Tuliskan (katakan) yang benar, walau kini tak didengar. Niscaya puluhan tahun kemudian, orang akan mencatat bahwa kita pernah mengingatkan". Atau, setidaknya kita potensial memperoleh pahala amal yang akan didaftar di register "Malaikat Pengawas Media Lokal". Allohu'alam bi showab.


*) Pemerhati koran lokal

MUREKS: MEDIA LOKAL DI ERA MILLENIAL

Aku belum pernah menyambangi dapur Mureks hingga dirinya berumur 11 tahun. Apa lagi 'ngopi' bareng dan 'menikmati' kuah tempoyaknya. Sejujurnya aku menunggu undangannya. Tapi buah fikiran dan gagasan liarku, puluhan kali menyambangi ruang tamu Mureks melalui tiket maya-digitalik, berupa e-mail. 

Aku memang suka menulis (apa saja), walau tak punya modal jurnalistik, sebagaimana orang-orang media yang khatam nan mumpuni. Memang ada secuil 'ngelmu' dasar jurnalistik, ketika bergabung di PII Cab. Yogyakarta Besar (1976) dan nimbrung Diklat Jurnalistik HIMABIO-IPB tahun 1990-an. Tapi sejujurnya, aku hanya menulis dan 'melukis', mengeluarkan kristal-gagasan yang terendap di ubun kepala. Gagasanku tak lebih hanya sebagai 'respublica litteraria'. Sekadar membuka kunci susastra peradaban semesta.

Sering kali ide-ideku sangat liar nan utopia, cenderung futuristik dan jauh melampaui batas imajener peradaban hari ini. Tapi setidaknya, aku pernah berpikir tentang sesuatu, jauh sebelum 'hominess-novi' mendiskusikannya. Gugus manusia baru yang dikenal sbg millenial, memang suka 'heboh' ketika api sudah melahap dapur.


Artikel 'cengengku' pertama kali dimuat, di majalah pelajar Djawa Tengah "Gairah" sewaktu klas satu SMP tahun 1971. Di era 1978-1985 aneka artikel: cerbung humaniora hingga teknologi terapan bidang sosial perdesaan dimuat di koran Sinar Tani yang diterbitkan Departemen Pertanian Jakarta. Dari honor 3.000 hingga 15.000 rupiah per artikel.


Di akhir 80-an hingga awal 1990-an, beberapa artikel opiniku sering dimuat Sriwijaya Post. News editornya Mas Suwidi Tono (kini penulis produktif dan owner penerbit Vision-3). Honornya 25.000 hingga 30.000 rupiah per artikel. Bahkan di tahun 1998 atau 1997 (?) pernah menjadi juara satu Lomba Cerpen Remaja koran Sripo yang diikuti 515 peserta.


Di koran Linggau Pos (dan kemudian Mureks), artikel opiniku sering kali muncul. Mungkin mendekati 70-an judul, dari tahun 2004 hingga 2019 ini. Tapi pertanyaan yang mendasar: "Apakah artikel opini dibaca orang? Atau, seberapa banyak kini orang membaca koran kertas? Atau sampai kapan orang bertahan membaca koran? Atau yang lebih tragis, berapa tahun lagi koran kertas bertahan hidup di era digitalis ini?


Tampaknya manajemen Mureks sudah menyadari tantangan peradaban abad ini. Ini terbukti dari diluncurkannya produk Mureks.id dalam bentuk PDF. Dan aku berlangganan "murah" sejak 10 Januari 2019. Dan sangat terasa, betapa mengakses "Dunia Silampari" semakin dimanjakan teknologi fiber-digitalis. Cukup bermodal Android plus paket data. Semua jenis berita di dunia (plus info akherat, berupa da'wah digital) ada di genggaman tangan. Allohu akbar.


Selamat ber-HUT- ria MUREKS yang ke-11. Semoga secara manajerial mampu bertahan di era "digital-millenial"ini. Insya Alloh.


*)Pemerhati koran lokal

BALIHO ITU TERTUNGGING-TUNGGING

Alih-alih menikmati siluet petang yang membumbung di langit kuning hamparan persawahan, mata ini justru dipaksa utk memelototi centang- perenang baliho, di sepanjang Jalan Raya Lubuklinggau - Tugumulyo Musirawas. 

Masyarakat lantas memaklumi bahwa bulan depan, pada 17 April 2019 akan ada pesta demokrasi yg 'super akbar nan unik' dan baru pertama kali terjadi sejak Republik ini tegak merdeka. Yakni secara bersamaan memilih: Presiden dan Wakil Presiden, Anggt DPR RI, Anggt DPD, Angg DPR Prov dan Angg DPR Kab/Kota. Sebuah anomali sistem demokrasi yg baku, hanya utk alasan transisional.

Secara 'ngelmu' klasik pemasangan baliho, posisi yg tepat bersifat "eyecatching". Mudah ditangkap mata dan terbaca berulang-ulang oleh orang yg 'kulu-kilir' di kawasan itu. Tapi kalau yg terpampang luar biasa banyak dan centang-perenang saling berdesakpan, maka tujuan dasarnya pasti tidak tercapai. Orang malah pusing menatap aneka foto miring kiri-kanan dengan 'backdrop' aneka warna nir-estetika.


Minggu petang yg cerah itu, kami lagi nongkrong di mulut Jln. Kartomas Karangketuan, menyaksikan lalu-lalang kendaraan dan 'kreto' rakyat pedesaan. Maka terjadilah obrolan kaki lima yg 'ngalor-ngidul' tak karuan.


Mula-mula Mang Zuhar berkomentar tegas bernada kapitalis. "Sekarang nih.. walaupun caleg nyembur duit.... belum tentu dipilih. Apolagi kalau caleg dak pakai duit. Pasti dak 'kan dipilih". Lik Paimin nyambar: "Orang milih Caleg itu, pertama karena jasa, kedua karena kasih uang lebih dari Caleg lain, yang terakhir baru pertimbangan keluarga dan pertemanan yg sudah lama dan akrab".


Tiba-tiba datang Kuyung Jemat yg mantan preman merangkap LSM nimpal: "Alangkah banyak yang dungu sekarang ini. Sudah jelas tidak pakai foto di surat suara, masih saja membesarkan gambar foto ketimbang namanya di baliho itu...mendingan 'dortudor' ke rumah. Bawa gulo-kopi atau buah tangan lainnyo. Itu akan lebih memikat ketimbang pasang baliho di jalanan". Mungkin ungkapannya benar juga.


Diskusi kami beralih. Membahas foto baliho dan warna simbol partai yg dipilih sebagai 'back-drop' untuk mengantarkan obsesi caleg ke kursi tahtanya. Agaknya masyarakat awam tidak banyak mengenal tokoh2 itu, tidak familiar dengan nama2nya; apatah lagi tentang kredibilitas dan dari partai apa mereka.


Kesan saya, sebagian masyarakat bawah 'kurang peduli' dengan hiruk-pikuk kampanye Pileg dan Pemilu Presiden. Agak berbeda dengan gairah massal ketika akan digelar Pemilukada Gubernur pada 27 Juni 2018 kemarin, Pilkada Bupati/Walikota tempo hari.


Justeru yang membuat sumpah- serapah masyarakat adalah pemasangan baliho caleg yg nir-etika dan estetika. Tidak taat, sebagaimana diatur PKPU No. 23 Thn 2018 khususnya pasal 34 ayat (5). Yang dianggap biadab adalah Caleg yg menggelayutkan poster-balihonya di pepohonan, dipaku sekuat-kuatnya atau numpang ngikat di tiang listrik atau tiang apa saja yang berada di sepanjang jalan.


Psikologi para Caleg dlm hal metode pemasangan Baliho agaknya seragam. Yang dianggap paling strategis adalah di simpang tiga, disusul tikungan, di jalanan lurus dengan kondisi kiri kanan terbuka-hijau, dan terakhir di depan rumah Timses, rumah simpatisan 'high-loyal' atau di hutan- repuhan yang dianggap tak bertuan. Abrakadabra....! Just suddenly, minggu kemarin, Langit marah besar terhadap PARA BALIHO. Maka, dikirimlah puting-beliung yang dahsyat. Baliho semakin oleng. Ada yang terlempar ke jalan aspal, seolah putus asa ingin dilindas roda truk pasir. Ada pula yang terlempar ke siring irigasi seakan ingin menghanyutkan diri ke Dapil yang jauh. Takut malu di Dapilnya karena suaranya tak paralel dengan ongkos provokasi berbulan-bulan. Subhanalloh..!


*) Penulis adalah pemerhati sosial-politik perdesaan

MELACAK SEJARAH IBUKOTA MUARABELITI (2)

Ibukota Muarabeliti sesungguhnya adalah dusun baru, pindahan dari Muarabelitilama yang dahulu merupakan ibumarga Proatin V, berlokasi di seberang sungai Kelingi (belakang eks Kontrolir/kantor Camat) yang kini menjadi KPU Mura. Kapan perpindahan itu terjadi?

Fakta sejarah mencatat bahwa ketika kekuasaan Belanda mulai memerhatikan daerah luar Jawa sbg potensi pengembangan ekonomi, penataan sistem pemerintahan mulai merambah wilayah Sumatera termasuk daerah Musi Uluan. Pada 1907, terjadi penggabungan Onderdistrict Muarabeliti dan Muarakelingi menjadi Onderafdeeling Musi Ulu dg ibukota Muarabeliti. Pada era itulah diduga dibangun Pusat Controleur di Muarabeliti yang jejak bangunannya masih dpt kita saksikan hingga kini.

Namun segera setelah terbangunnya rel KA dari Palembang - Lahat ke Lubuklinggau (1933), serta merta ibukota pemerintahan Onderafdeeling Musi Ulu berpindah ke Lubuklinggau; dan sejak saat itulah Muarabeliti praktis menjadi "dusun-tuo" yang tak diminati.


Roda sejarah kembali berputar, ketika di tahun 2001 terjadi pemekaran wilayah Musirawas dan melahirkan DOB Kota Lubuklinggau (UU No. 7 Thn 2001). Dengan keputusan Bupati Mura No. 385/Kpts/2003 yang dikuatkan keputusan DPRD Mura No. 08/Kpts/DPRD/2004, maka Muarabeliti kembali muncul sebagai "dusun-tuo" yang rejuvenasi dan menjelma sebagai ibukota Musirawas "Agropolitan". Jadi secara faktum-historical, keberadaan ibukota Muarabeliti terkait erat dengan: Bupati Ibnu Amin, Ridwan Mukti dan Hendra Gunawan.


Selama era kemargaan (1875-1983) tercatat setidaknya ada 10 figur pesirah/depati. Menurut Sofian Zurkasie (2018) perkiraan masa kekuasaannya adalah: Depati Abdullah Bute (1875-1880), Trusin (1880-1890), Azis (1890-19900), Kodir (1900-1905), Depati Achmad bin Tigar (Pedang) (1905-1907), Djuragan (1907-1909), Mohd. Amin Ratoe Asmaraningrat (1909-1946), M. Daiman (1946-1950), Bachtiar Amin (1950-1967), dan terakhir Oemar Hasan (1967-1983). Dihapusnya sistem pemerintahan kemargaan pada tahun 1983 adalah konsekuensi terbitnya UU No. 5 Thn 1979 ttg Pemerintahan Desa dan Kpts Gub. Sumsel No. 142/Kpts/III/1983 tgl 24 Maret 1983.


Perpindahan ibumarga ke Muarabelitibaru diduga kuat di era Pangeran M. Amin, pasca dibangunnnya kantor Controleur Muarabeliti sejalan dengan pembukaan jalur darat dari Tebingtinggi-Muarabeliti-Muaraaman (pusat pertambabgan emas) di era Belanda. Namun bisa jadi, perpindahan ibumarga dari Muarabelitilama ke Muarabelitibaru diselingi era perpindahan ke Pasarmuarabeliti sebelum akhirnya digunakan sebagai markas perang Belanda dan dibangun Controleur Onderafdeeling Musi Ulu.


Di akhir era kemargaan (1970an-1983), sejalan dg kemajuan dan terbentuknya 3 marga baru (1 April 1978) di wilayah eks Kolonisasi Tugumulyo (Marga Ekamulya, Dwimulya dan Trirahayu), ibumarga Proatin V telah berpindah ke Simpangperiuk dengan Pasirah Oemar Hasan sebagai pesirah terakhir dan penutup era kemargaan.


Semenjak Muarabeliti naik kelas menjadi ibukota Musirawas, telah terjadi perubahan tata ruang wilayah yang memungkinkan pertumbuhan kawasan ekonomi baru walaupun menuntut kecerdasan ekstra dan kearifan lokal adiluhung dari pejabat Pemerintah Daerah dlm penataan wilayahnya sehingga mampu belajar dari "cerita buruk" kota-kota lama yang terlanjur mengabaikan keseimbangan lingkungan.


Ada baiknya, sebelum ibukota Muarabeliti terlanjur "crowded dan centang- perenang" dalam penataan kawasan: permukiman, industri, kawasan terbuka hijau, daerah tangkapan air dan kawasan komoditas pertanian dan lain-lain, perlu disiapkan desain "LAND CONSOLIDATION (LC)" yang menjadi rujukan dasar dalam pengembangan tata ruang wilayah. Desain LC adalah dokumen dan peta detail penataan ibukota yang perlu diperjuangkan serius oleh Pemerintah Daerah dan DPRD.


Seperti kata pepatah: "... pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mampu meninggalkan legasi utk senantiasa di kenang sepanjang masa...".


*) Penulis adalah peminat sejarah dan budaya lokal Silampari

MELACAK SEJARAH IBUKOTA MUARABELITI (1)

Kajian ahli geologi Oki Oktariadi (2010) bertajuk "Awal Peradaban Atlantis vs Sundaland" yang membentangkan peta sejarah sebaran gen Indonesia, kini menjadi basis rujukan rekonstruksi sejarah peradaban kota-kota tua Indonesia, yang diyakini awalnya merupakan desa-desa di pinggiran pantai, dan muara-muara sungai besar yang bisa dilayari 'perahu jukung' bahkan 'kapal lambung' di era bari prasejarah.

Bermula dari tesis Stephen Openheimer (1998) dalam "Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia", diyakini bhw nenek moyang bangsa- bangsa Eurasia berasal dari Sundaland (Nusantara). Hipotesis Heimer yang kontroversial itu dibangun dari riset yang ilmiah- kredibel nan holistik atas aspek: geologi, arkeologi, genetika, linguistik dan folklore serta mitologi Yunani kuno.

Dalam konteks kota-kota tua di Sumatera khususnya kawasan Silampari Raya yang merupakan wilayah Musi Uluan, Openheimer memperkuat temuan kajian lama George Coedes (1918) bhw kejayaan Sriwijaya setidaknya mulai terpancar pada tahun 671 M ketika Dapunta Hyang Sri Jayanasa berkuasa.


Dalam perkembangannya, wilayah Silampari merupakan posisi strategis karena memiliki potensi komoditas lada dan beras huma yang merupakan bahan pangan penduduk dan komoditas ekspor rempah ke manca negara. Belakangan, potensi emas di Muaraaman-Lebong, kopi dan karet di kawasan Musi Uluan menjadi pemacu berkembangnya kawasan Silampari baik dari jalur transportasi sungai Musi dan anak-anaknya maupun jalur darat dari Bengkulu yang lama dikuasai Inggris di era Raffles.


Belum ditemukan manuscrip kuno tentang keberadaan Muarabeliti secara detail di era kejayaan Sriwijaya, era VOC dan Kolonialisme Belanda hingga Kesultanan Palembang. Hanya saja, ketika Sultan Machmud Badaruddin II naik tahta 1803, desa Muarabeliti sudah tercatat sebagai batas wilayah pengendalian keamanan di Musi Uluan yang dirongrong oleh penguasa Inggris di Bengkulu.


Ketika pada 21 Juni 1818 terjadi perjanjian yang menyakitkan antara Belanda dg dua Sultan Palembang yang bermusuhan (SMB II sebagai Sultan Tua dan Najamuddin II sebagai Sultan Muda), penguasa Inggris di Bengkulu mengirimkan pasukannya ke Muarabeliti dan menancapkan bendera Inggris di Muarabeliti. Kemudian Muarabeliti dijadikan markas militer Inggris yang dipimpin oleh Letnan Haslam.


Patut diyakini bahwa pascaruntuhnya Sriwijaya, kemudian dikuasai "perompak Cina" selama ratusan tahun, muncullah Kerajaan Dharmasraya dan hegemoni Singasari dan Majapahit dari Jawa, desa-desa tua di muara sungai sudah bertumbuh secara tradisional. Pertumbuhan desa-desa tradisional itu mulai tertata ketika muncul Kesultanan Palembang di tahun 1552 di era penguasa pertama Ki Gede Ing Suro.


Pada era Aburahman Cinde Walang (1659 - 1706) mulai diperkenalkan UU Simbur Cahaya yang bernuansa Islam, dan era itulah mulai dikenal Depati yang membawahkan para Pesirah sebagai kepala marga sekaligus kepala adat. Pada tahun 1662 diresmikan (dikukuhkan?) tiga Pasirah di Musi Uluan yakni: Pasirah Marga Tanjungraya, Semangus dan Mandiaur. Pada tahun 1883 Marga Mandiaur berubah menjadi Marga Proatin XI beribukota di Muarakelingi.


Munurut catatan Drs. Sofian Zurkasie (2018), diduga kuat Marga Proatin V terbentuk pada 1875 dan beribukota di Muarabelitilama; jadi kelang beberapa tahun setelah pembentukan marga-marga di kawasan hilir Musi. Muarabeliti lama adalah dusun awal yang berlokasi di seberang sungai Kelingi (kini di seberang KPU Mura). Dahulu kala, Marga Proatin V terdiri atas 5 proatin yakni: Dusun Muarabelitilama, Pedang, Tanahperiuk, Tabapingin dan Kayuara. Belakangan, pada tahun 1929, dimekarkan menjadi Marga Sindangkelingi Ilir yang mencakup Kayuara hingga Gang Kelabat Talangjawa Lubuklinggau.


*) Penulis adalah pemerhati sejarah dan budaya lokal

HENDRA GUNAWAN: BUPATI MURA KE-22

Saya mengenal H. Hendra Gunawan (H2G) sekitar tahun 1990-an, ketika beliau sebagai insinyur muda mulai mengabdi di Dinas Pertanian Kab. Tk II Musirawas. Kami berkantor di Talangjawa Lubuklinggau. Tidak terlalu lama kami sekantor, karena beliau pindah ke Karangjaya dan Sarolangun untuk menjabat sebagai Kacabdin Pertanian di kecamatan.
Setelah beliau berpindah-pindah tugas ke beberapa instansi, kami dipertemukan kembali di Dinas Perkebunan (2002-2004) dan Bappeda (2007-2009). Ketika beliau menjabat Wabup di era Bupati Ridwan Mukti, saya menjadi bawahannya di Dinas Pertanian.


Sepanjang yang saya kenal, beliau adalah orang yang sangat teliti dlm membaca dokumen apa pun; dari perihal redaksional surat, sumber data yang digunakan, apatah lagi tentang substansinya. Beliau figur yang lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Sering kali beliau bertanya kepada bawahan, pura-pura tidak tahu, utk memastikan validitas informasi yang diterima sembari mengkonfirmasi kebenaran data dari aneka sumber. Karena tingkat kehati-hatiannya itu, ada kalanya keputusannya terkesan tidak tergesa-gesa, walaupun sementara orang menganggapnya kurang cepat.


Pertama masuk gelanggang politik, beliau mendampingi Bupati Ridwan Mukti sebagai Wabup semenjak 5 September 2010 hingga 2015. Dan ketika menjabat Bupati Musirawas bersama Wabup Hj. Suwarti (2016-2021), maka beliau adalah merupakan Bupati Musirawas yang ke-22.


Menurut buku "Dari Periode ke Periode Bupati Mura 1945-2015" karya M. Nizar dan Suganda Pasaribu (2014), ke duapuluh figur Bupati Mura itu adalah:


1. Raden Ahmad Abusamah (1945-1946);
2. Amaludin (1946-1947);
3. Muhd. Hasan (Bupati perang; 1947);
4. A. Azis (1947-1952);
5. Muhammad Arif (1952-1958);
6. Bachtiar Amin (1958-1961);
7. Zainal Abidin Ning (1961-1964);
8. Abdoel Ro'i (1964-1966);
9. H. Abdoes Somad Mantap (1966-1967);
10. Masdan, SH (1967-1968);
11. H. Muhammad Yoenoes/Plt (1968);
12. H. Mochtar Aman (1968-1979);
13. H. Cholil Azis, SH/Plt (1979-1980);
14. Drs. H. Syueb Tamat (1980-1990);
15. H. Nang Ali Solichin, SH (1990-1995);
16. Drs. Radjab Semendawai (1995-2000);
17. H. Suprijono Joesoef (2000-2004);
18. Ir. H. Ibnu Amin (2004-2005);
19. Drs. Zurkarnain/Plt (2005);
20. Drs. Ridwan Mukti (2005-2015);
21. Riki Junaidi/Plt (2015);
22. Ir. H. Hendra Gunawan, SH, MM (2015- sekarang).


Sebagai figur bupati Musirawas ke-20, niscaya keberadaan pemerintahan ini semakin dewasa dalam meghadapi karakter generasi millenial yang menghendaki pelayan serba cepat dan nyaris sempurna. Barang tentu, keberadaan birokrasi Pemda Musirawas beserta DPRD-nya wajib lebih cerdas dalam merespon dinamika sosial-ekonomi, dan keadilan hukum serta kesantunan berpolitik yang amanah demi kesejahteraan ummat Silampari. Insya Alloh.


*) Penulis adalah peminat sejarah dan budaya lokal Silampari

Selasa, 09 Juli 2019

TATABAHASA: PEDESAAN, BUKAN PERDESAAN

Rasanya sejak era reformasi - dlm beberapa aspek - banyak inovasi 'ngawur- kebablasan', termasuk dalam hal perbahasaan. Inovasi dlm bidang bahasa adalah sebuah keniscayaan, akan tetapi tidak menabrak dalil asasi yang sudah baku dan menjadi konsensus para ahli bahasa: Contoh yang salah kaprah adalah kata "perdesaan".

Mari kita belajar morfologi bahasa dari ahlinya: Gorys Keraf, Slamet Mulyana, Anton M. Muliono yang kesemuanya profesor bahasa. Tatabahasa adalah merupakan himpunan berdasarkan dalil umum kebahasaan berdasarkan struktur bahasa, yakni bidang: tata bunyi(fonologi), tata bentuk (morfologi), dan tata kalimat (sintaksis).

Kata "pedesaan" adalah bentuk konfiks "per - an"; bukan "pe - an". Dalam tatabahasa Indonesia tidak ada dalil konfiks "pe - an". Hal ini sering terjadi kekeliruan morfologis, sebagaimana tidak ada dalil konfiks "me - an", tapi yg ada konfiks "me - kan".

Kata "pedesaan" berasal dari kata dasar "desa" yang mendapat awalan (prefiks) per, dan akhiran (sufiks) an. Pengertian ttg konfiks (sering disebut kata jadian) adalah gabungan dua macam imbuhan (afiks) atau lebih yang secara bersama-sama membentuk "satu arti".

Konfiks "per - an" dalam praktek sering kali mengalami varian bentuk berdasarkan: (1) lingkungan (perjumpaan, persatuan, perjanjian, pelajaran, pekerjaan, pemurnian, dll); (2) dasar kata pembentuknya. Jika pembentukannya menggunakan kata benda sebagai kata dasar, maka konfiksnya berubah menjadi pola varian "pe - an". Contoh: pekuburan, pedesaan, pedukuhan, dll. Jika pembendaan itu berasal dari kata kerja berawalan "ber", maka akan berbentuk konfiks "per - an" atau "pe - an"; atau kadang-kadang "pel - an" sesuai dg awalan "ber", dengan alomorfnya: perbuatan, persatuan, pekerjaan, pelayaran, dll.

Sedangkan jika pembendaan itu berasal dari satu kata kerja yg berawalan "me", maka polanya menjadi: "pe + kata dasar + an". Contoh: penyatuan, penguburan, pembaharuan, pemburuan, dll. Dengan demikian, kita mampu membedakan dg tegas antara kata: - perbedaan vs pembedaan, - persatuan vs penyatuan, - perburuan vs pemburuan, dan - pekerjaan vs pengerjaan.

Dengan sedikit belajar tatabahasa ini, mudah-mudahan para: wartawan, news editor, guru, dosen, pejabat negeri Republik Indonesia atau siapa saja, mampu mengendalikan jari-jemari dan tutur katanya untuk membumikan BAHASA RESMI NEGARA dengan baik dan benar sesuai dengan "konstitusi bahasa". Allohu'alam..!

*) Pemerhati bahasa dan budaya lokal

NTP DAN TUNGGAKAN WONG CILIK

Dalam beberapa bulan ini, kita disuguhi aneka berita "menyedihkan" yang disajikan koran lokal terbitan Bumi Silampari. Secara tiras-konvensional, Koran-koran itu hanya beredar di kawasan Silampari. 

Namun secara online, - dalam kode id.maya - berita itu bisa dibaca oleh warga Dusun Edensor di Inggris Utara hingga suku Maori di Negeri Aotearoa Pasifik, sekitar seribu kilometer di selatan Kepulauan Fiji. 

Judul berita itu adalah: tunggakan listrik, pemutusan air PAM dan pajak kendaran yg menunggak. Simaklah: (1) Tunggakan listrik Rayon Muarabeliti per 22 November 2018 mencapai Rp. 4,8 milyar, dari total pelanggan 14.004. Pada 19 Januari 2019 telah diputus 64 sambungan pelanggan, dan akan menyusul 544 pelanggan. Dominasi penunggak adalah di  Megangsakti, Muaralakitan dan Tugumulyo. (2) Tunggakan pajak kendaraan bermotor per 22 Feb 2019 wilayah SAMSAT Musirawas mencapai Rp. 4.491.821.500,- (29.075 kendaraan) include denda Rp. 1.185.443.375,- Didominasi kendaraan umum sebanyak 22.058 unit (76%). (3) Tunggakan air bersih BLUD-SPAM Muarabeliti per 25 Feb 2019 mencapai Rp. 241.968.451,- Pada tahun 2018 telah diputus sambungan  SPAM  sebanyak 47 pelanggan dari total pelanggan 7.111. 

Di sisi lain, kita membaca Berita Resmi Statistik (https://musirawaskab.bps.go.id) bahwa: Nilai Tukar Petani (NTP) Sumsel utk Oktober 2018 naik 0,16%; ekonomi Sumsel TW 4-2018 tumbuh 6,04%; inflasi Sumsel Jan 2019 sebesar 0,15% dan NTP Sumsel Des 2018 turun 0,98%. 

Berita tentang aneka tunggakan itu, jika kita lacak di wilayah Sumsel, rupanya setali tiga uang dengan kondisi mayoritas kabupaten di Sumsel. Artinya secara umum kondisi masyarakat Sumsel  mengalami penurunan daya beli. 

Nggak usah pakai riset mendalam, hampir pasti ini akibat rendahnya harga-harga komoditas rakyat utamanya karet dan sawit yg terpuruk dalam beberapa tahun ini; tidak seimbang dg naiknya aneka harga barang-jasa yg harus dibeli oleh masyarakat. Rantai lapangan kerja di perdesaan menyempit, karena produktivitas investasi sektor riil menurun. Secara alamiyah, biasanya menyuburkan illegal trading barang haram plus meningkatnya potensi kriminalitas di siang hari apatah lagi di malam kelam. 

Dari dua jenis berita itu: tunggakan rakyat dan data rilis BPS, sekilas ada yg tidak paralel dalam logika awam. Logika wong cilik tidak perlu-perlu 'amat' diuji statistik; cukup dirasakan dan diciumi nafas pagi rakyat perdusunan. Bukan hanya sekadar mengotak-atik aneka variabel independen nonparametrik mengikuti teori rumit Mang Kruskal Wallis. 

Data  statistik itu kadang hanya laris berbuih-buih di ruang seminar, dan segera sirna tak bermakna manakala menyaksikan betapa kini kaum proletar antri berdesakan di sudut kelam di bawah "baleho agung" para Caleg, bersiul sunyi menunggu "sedekah rupiah utk elektabilitas". 

Kata kuncinya adalah ketidakmampuan membayar tagihan akibat menurunnya daya beli, yakni kemampuan keluarga/masyarakat utk memperoleh suatu barang/jasa guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan yg paling mendasar adalah: pangan, sandang, papan, air bersih, listrik dan lapangan kerja. Untuk melakukan ikhtiar kinerja sehari-hari diperlukan kendaraan bermotor atau alat transportasi umum. 

Karena lokus tiga jenis tunggakan itu ada di Musirawas, saya membayangkan teori matematik himpunan-irisan, begini:  seandainya Rumah Tangga A adalah yg diputus saluran listriknya, juga telah diputus aliran SPAM-nya, sialnya dia juga yang nunggak bayar pajak motornya. Jika dia akan berikhtiar  mencari pekerjaan, niscaya tidak leluasa menaiki motornya karena berpeluang besar ditangkap Polisi di jalanan. 

Dan perlu dicatat bahwa dari tiga jenis tunggakan itu, jumlah RT yang potensial diputus "nyawa" hidupnya niscaya semakin banyak. Pertanyaan simpelnya: "sudahkah negara berpihak kepada kaum tani dan rakyat perdesaan yang kini 'terendam air hingga ke leher' dan terseok-seok di lumpur demokrasi ekonomi?". 

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial-budaya lokal