Senin, 19 Agustus 2024

MENJENGUK GEDUNG TUA BAPPEDA MURA

Catatan: Hendy UP *) 

   Sepanjang karierku sebagai ASN,  aku pernah singgah tugas di Bappeda Musirawas. Tidak terlalu lama. Lalu ditugasi Diklat SPAMEN-LAN di Jakarta selama 9 pekan; kemudian digeser ke dinas teknis hingga pensiun pada tahun 2012.
    Dalam catatan, Bappeda Mura dibentuk pada akhir 1980-an, berdasarkan Keppres No. 27/1980 dan Kepmendagri No. 185/1980 yang mencabut Keppres RI No. 15/1974 & Kepmendagri No. 142/1974. Mula-mula berkantor di Lapangan Merdeka yang kini menjadi Masjid Agung As-Salam Lubuklinggau. Pada tahun 1985-an, pada era  Bupati Syueb Tamat (1980-1990), Bappeda menempati gedung baru di Kompleks Pemda Tabapingin. 
    Aku berkantor di lantai dua, sebuah gedung megah nan berwibawa kala itu, di kompleks perkantoran Pemda Musirawas yang kini nyaris tak terpelihara, ditumbuhi  repuh dan aneka gulma.
     Gedung itu beradu punggung dengan Auditorium yang menjadi saksi bisu aneka aktivitas kepamongprajaan: rapat akbar, seminar, pelantikan pejabat, hingga acara hingar-bingar yang kadang irasional. 
   Hari-hari ini, di penghujung  tahun 2023 ini ~  sejak statusnya tak jelas milik siapa ~ gedung jangkung itu tampak lusuh-kusut berbalut lumut. Sekililing fondasinya bertumbuh perdu apit-apit yang liar menjalar. Juga di seputar teras balkon yang melingkari muka gedung itu. Dinding temboknya dirayapi akar-akar herbal yang merepuh, mengundang burung emprit dan puyuh semakin betah berteduh. 
   Jika kita menjejak dari dekat, gedung itu menguar aura horor. Di sekeliling halamannya terasa denyut-getar bagaikan tremor. Mungkin geliat molekul fosil di bawah subsoil yang merekah, yang dulunya tak rela dilibas buldozer pongah. Yaa, derap pembangunan, kadang seperti mengubur bongkah sejarah. Lalu musnah, karena  sedikit orang yang peduli untuk sekadar mencatatkan kisah. 
    Gedung ini membelakangi lapangan upacara Pemda. Di pagi hari, di sorot mentari, dindingnya tampak comeng, suram-pucat bagai berpupur-bedak kadaluwarsa. Tampak belepotan sengkarut warna, mirip anak ikan semah  hasil berkawin dengan sepat  di sungai Endikat. Dari jauh tampak menggigil menahan dingin, agak-agak doyong menahan beban.
    Menjelang petang, tampak gerah, berlumur keringat busuk yang menguar dari pori-pori kusen pintu dan jendela kaca. Di bekas  ruang rapat lantai dua, daun pintu   dan plafonnya mulai terjungkal berjatuhan. Miring centang- perenang. Ini semua adalah  ulah para kumbang yang  ulang-alik tanpa mematuhi rambu-rambu penerbangan di ruangan khusus. Mungkin serangga itu tahu bahwa aset gedung ini tak jelas dan tanpa status. 
     Halaman gedung tua itu seperti meronta pasrah. Mungkin ingin kembali menjadi huma yang subur di tengah hutan adat marga Proatinlima dahulu kala. Atau, setidaknya menjadi area Onderneming Tabapingin ketika pertama kali dimanjakan Kolonial Belanda sebagai kebun  sawit di tahun 1919.
   Pada dekade tahun  1990-an  hingga 2015-an, gedung itu sungguh sangat bergengsi. Aku adalah salah satu ASN yang wajib bersaksi. Dari sisi sivil-arsitekturalnya, bangunan itu tampak modern. Anggun  nan kokoh.
     Konstruksinya menjulang tinggi, dengan kalkulasi lengkung geometriknya  yang bersudut lembut di atas pintu utama. Terasa luas walau ukurannya terbatas.  Desain eksteriornya sederhana, namun terkesan perkasa. Dipandang  dari arah depannya, akan tampak lebih berwibawa jika dipadukan dengan cat warna apa saja, asal tidak berafiliasi dengan warna partai politik yang suka memaksa berkuasa. Yang cenderung  arogan dan rada-rada klenik serasa zaman baheula. 
    Gedung Bappeda itu diapit dua gedung kokoh lainnya; yang di hulu kantor para birokrat-eksekutif yang selalu sibuk menata administrasi dan duit; dan di hilirnya kantor  anggota parlemen-legislatif yang wajib bermata jeli nan cerdik untuk mengendus mata-anggaran mana saja yang krusial dikotak-katik dan potensial menjadi incaran penyidik.
    Hari itu, aku memandang dari halaman kantor SAMSAT, tertegun dan menunduk pasrah. Dulu, kami sering lembur malam hingga menjelang subuh. Kini menjadi habitat burung puyuh. Inikah nasib bangunan pemerintah yang terbengkelai akibat mis-manajemen pusat dan daerah? 

*] Muarabeliti SUMSEL, Kamis 9 November 2023. Resunting 6 Juli 2024.

0 komentar:

Posting Komentar