Selasa, 23 Juli 2019

KOALISI: MEKANIKA FLUIDA & DALIL RHEALOGI (2)

Misteri di statsiun MRT Lebakbulus (13 Juli 2019), yang mensyaratkan koalisi kursi 45 : 55 di tubuh eksekutif, terlanjur melanda ke mana-mana. Baik di prapatan dunia maya maupun di Padepokan Eyang Wangsakrama. Padahal itu jelas hoaks! Masa bagi2 kursi di 'warung sate'? Mereka kan LEADER bukan DEALER yg berunding margin fee..! Kata temen gue. Konon misteri ini diinisiasi oleh segelintir elit PDIP, Tokoh BG~BIN dan Ketua TKN secara senyap. Bung Paloh, Mas Ranto, Cak Imin dan Mas Airlangga kabarnya blm diajak. Banyak reaksi tokoh dengan aneka kepentingan, dengan gestur dan semiotika politik yg serba mungkin. 

Hari-hari ini, elit PDIP dkk di kubu KJ versus elit Gerindra dkk di kubu KP, saling intip dan saling hunus pedang, sembari browsing frasa argumen untuk saling tekan. Mas Amin Rais tampak gelisah dan kekurangan data lapangan utk merumuskan dalil politik minggu ini, sehingga buru-buru terbang ke Hambalang utk tandang makan siang, walau akhirnya ketemuan di tempat lain. Hasilnya disimpan di 4 kantong: celana , baju, jacket dan kantong plastik. Di depan wartawan baru dikeluarkan secuil, hanya warna kantongnya. Itu pun diucapkan dengan metafora: kadang amelioratif, kadang peyoratif, dan esok harinya mirip sinestesia.

Yang tampak paling sungkan rekonsiliasi dengan kubu Jokowi (yg dimotori PDIP) adalah PKS. Kita semua mafhum dan buku sejarah belum terlalu tebal untuk dibaca ulang. Secara genetikal-origin, PDIP memang berjarak jauh dengan PKS.


Menengok ke belakang, PDI (belum PDIP) adalah hasil fusi 5 partai di tahun 1973, yakni: PNI, Murba, IPKI, Parkindo dan Partai Katolik. PDI ini dibubarkan 10 Jan 2003. Dan pasca-peristiwa 'kerusahan' 27 Juli 1996, dibentuklah PDI-Perjuangan pada 1 Feb 1999, dengan ideologi Pancasila, Marhaenisme dan Sosialisme.


Adapun PKS (awalnya PK) didirikan 20 April 1998 hasil kristalisasi model dakwah Islam dari kampus yg dimotori kaum cendekiawan muslim yg bergerak tahun 1980-an. Tegas berideologi Islam. Di awal riwayat, ada peran besar Muhammad Natsir dan yuniornya: Imaduddin Abdulrohim aktivis dawah Masjid Salman ITB. PKS agaknya mengadopsi model partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pola rekruitmen kadernya berprinsip sangat ketat: al-da'wah al-fardhiyyah. Melalui model marhalah, muncullah nama-nama besar: Mustafa Kamal, Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, Nur Mahmudi Ismail, Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq, Zulkieflimansyah (Ketua Senat UI), Salim Segaf, Hilmi Aminuddin dll. Jadi secara psiko- ideologis, memang cukup berjarak antara PKS dengan PDIP.


Namun demikian, tiga tahun terakhir ini PKS diselimuti cuaca agak berasap, ditambah arus angin agak memuting, sehingga terbatuk-pileg. Lalu agak 'mriyang'. Di internal PKS muncul istilah "OSAN-OSIN". Orang sana~orang sini. Dan klimaksnya, terhengkangnya (Trio Anfahma): Bung Anis, Fahri dan Mahfudz yg kemudian menggelar deklarasi GARBI (Gerakan Arah Baru Indonesia). Hal ini agaknya menimbulkan kohesivitas kader di daerah sedikit tergoyang.


Tapi untuk menyikapi polemik rekonsiliasi-koalisi, saya yakin PKS akan istiqomah untuk tetap oposan. Dan itulah 'branding' utama utk pasar demokrasi masa depan. Bahkan jika pun PAN & Demokrat mengikuti dalil rhealogi politik. Dan saya yakin, elit PDI tetap enggan 'berteman' dengan PKS yg hanya meraup 8,21% dengan suara yg kadang keras melengking. Membuat gatal-panas kuping para elit di seberang siring.


Hanya saja, kalkulasi politik bukanlah dalil mekanika fluida dan rhealogi, melainkan mirip 'ngelmu' dukun santet 'sinkretisme' yang menggabungkan ramuan material dan imaterial: rapalan potongan ayat suci, ritual klenik Kapitayan dan wangsit dari Padepokan serta bungkusan klembak-menyan dari Pasar Klewer. Klimaknya: pembakaran dupa Jumat kliwon yang 'mengelunkan' asap halus merah-putih NKRI, sembari meramal sasmita arah angin menjelang dini hari! Allohu'alam bishowab..!


*) Pemerhati sosial politik dan budaya pedesaan

KOALISI: MEKANIKA FLUIDA & DALIL RHEALOGI (1)

Artikel ini bukan analisis politik, tapi hanya sekadar 'gumam' politik kampungan. Boleh jadi dari kampung Muarabelitibaru eks ibumarga Proatinlima di jaman bari Sriwijaya. Konteks gumamannya sekitar koalisi Parpol pasca-Pilpres 2019. 

Secara awam ada koalisi Parpol pendukung Jokowi-Makruf (Jokruf) dan ada koalasi Prabowo~Sandy (Prandy).

Koalisi Jokruf 'ditakdirkan' sangat tambun, consist of: PDIP, Golkar, Nasdem, PKB dan PPP (yg masuk Parlemen). Sisanya: Hanura, Perindo, PSI, PKPI, dan PBB masih parkir di luar gedung.


Sedangkan koalisi Prandy cukup ramping: Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat (yang masuk Parlemen). Sisanya, Partai Berkarya yg senasib dengan Hanura dan PBB, nongkrong di halaman parkir. Bahwa ada cerita Demokrat dianggap zig~zag di sela~sela maraton pagi, itu soal lain. Adapun partai yg tdk jelas koalisinya adalah Partai Garuda besutan Harmoko, yg hanya mendapat 0,50% suara, senasib sial dengan PKPI (0,22%) dan PBB (0,79%).


Untuk menggambarkan potensi pergeseran anggota koalisi, saya meminjam istilah Prof. Bruce R. Munson, tentang mekanika fluida dan derivasinya, yakni cabang ilmu rhealogi. Mekanika fluida mengkaji perilaku zat cair dan gas dalam keadaan statik atau dinamik. Secara spesifik, fluida didefinisikan sbg zat yg berdeformasi (berubah bentuk) terus-menerus selama dipenguruhi tegangan geser. Daya geser akan muncul jika gaya tangensialnya bekerja kuat di permukaan.


Sedangkan rhealogi memfokuskan kajian atas perilaku benda yg bukan persis cair, dan bukan pula benda padat. Misalnya: lumpur, aspal atau odol dan beberapa bahan obat. Zat-zat ini akan berperilaku seperti benda padat jika gaya gesernya kecil; sebaliknya akan mengalir seperti benda cair jika gaya gesernya mencapai titik kritis tertentu.


Para tukang insinyur dengan mudah bisa menghitung kecepatan gaya gesernya, karena standar dimensi sebuah kecepatan adalah panjang dibagi waktu. Rhealogi banyak digunakan di bidang kefarmasian, khususnya desain peralatan medis utk mentransfer obat ke tubuh pasien.


Dalam konteks karakterisasi Parpol, sebutlah koalisi Jokruf kita simbolkan KJ dan koalisi Prandy (oposisi) kita sebut KP. Di masa sebelum penetapan pasangan Capres, baik partai di KJ maupun partai di KP pada umumnya potensial bersifat fluida-deformatif (gampang mengubah dukungan) kecuali PDI, Nasdem dan Hanura karena sudah punya Ruang Terbuka Hijau dg kursi santainya. Sebaliknya kadar viskositas antara Gerinda dan PKS (dan PAN?) sedemikian rekat karena diikat oleh ijtima ulama dan semangat anti Jokowi serta faktor lain.


Dalam hiruk-pikuk pra-Capres, PKB dan Demokrat mirip mekanika fluida; kadang condong ke KJ, lain hari melirik ke KP. Barangtentu Cak Imin merasa punya massa besar Nahdliyin, sehingga ke-PD-an dan berani main ancam. Sementara Demokrat merasa sbg kampiun dua musim Pemilu sehingga merasa 'tinggihati' melibihi lima senti dari jantung koalisi yg terus berdenyut.


Pascapenetapan hasil suara oleh KPU, koalisi Parpol relatif statik. Yang masih gaduh adalah Demokrat dengan manuver zig-zag AHY, sementara PAN tampak ada 'riak' dampak pergeseran generasi pemikiran. Ada 'tarik-tambang' antara: Pak Amin cs, Bung Zul dkk, serta Tulang Bara Hasibuan sekonconya. Agaknya Bung Zul lebih kohesif bersama Bara.


Diprovokasi oleh para aktivis demokrasi semisal Rocky Gerung dkk, agar tidak perlu rekonsiliasi antara Jokruf yg punya legalisasi pemenang versi KPU/MK dengan Prasandy yang 'memegang' legitimasi rakyat; just suddenly muncul 'misteri MRT' yg menggoyahkan koalisi Parpol.


Bocoran dari 'dapur kotor' berhembus kabar bahwa telah terjadi "undertable transaction" utk rekonsiliasi. Ada tokoh 'the hidden' sbg desainer, ada kemarahan terpendam, ada kekhawatiran kehilangan jatah kursi, ada juga kegamangan komunikasi karena terlanjur saling 'mengampret-cebong'. Pendek kata, ada riuh kasak-kusuk di sudut kamar partai, baik di KJ maupun di KP. Allohu'alam..! (Bersambung)


*) Pemerhati sosial politik dan budaya pedesaan