IRIGASI AIR RAWAS: QUO VADIS? (2)
Oleh: Hendy UP *)
Pasca-terbentuknya DOB Muratara, Bupati Musirawas bersurat kepada Penjabat Bupati Muratara, bahwa demi keberlanjutan program ketahanan dan kemandirian pangan nasional (khususnya beras) Proyek Irigasi Air Rawas perlu dilanjutkan.
Surat bertanggal 26 Februari 2014 itu juga menginformasikan bahwa pada tahun 2013 Pemda Mura telah menganggarkan Rp. 10 milyar untuk pembebasan lahan tapak bendung perangkap air (watervang). Namun, karena bersamaan terbitnya Perppres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah utk Kepentingan Umum; dan menunggu aturan teknikalitasnya (sebagai derivat atas UU No. 2 Tahun 2012), maka kegiatan tersebut tidak bisa dilaksanakan.
Berdasarkan dokumen Studi Kelayakan (FS) Air Rawas, keperluan tanah untuk tapak bendung dan jaringan pendukungnya diperlukan lahan seluas lk. 141,73 hektar yang berada di Desa Sungaibaung dan Pulaulebar dan beberapa desa di holirnya. Untuk proses pembebasan lahan tersebut telah terbit Kpts. Gubernur Sumsel No. 714/Kpts/I/2013 tentang Pendelegasian Kewenangan Pelaks. Persiapan Pengadaan Tanah Kepada Bupati Mura. Namun lagi-lagi terbentur aturan teknis dari Pusat yang belum terbit.
Selain Desa Sungaibaung dan Pulaulebar yang menjadi lokasi bendung, beberapa desa lainnya yang potensial terdampak pembangunan jaringan irigasi dan percetakan sawah adalah: Kertadewa, Sungaijauh, Sungaikijang, Remban, Lesungbatu, Lesungbatumuda, Surolangun, Lawangagung, Karangwaru, Simpangnibung, Sungailanang, Lubukkemang, Karanganyar, Kertasari, Rantaukadam, Karangdapo, Biarolamo, Aringin, Binginteluk, Beringinsakti dan Desa Tanjungraja.
Untuk membangun partisipasi masyarakat yang akan terdampak pembangunan irigasi, tentunya memerlukan strategi multi-aspek yang bijak-bestari, transparansi dan kejujuran dengan aneka pendekatan yang 'mahasabar' dari aparatur Pemda. Jaringan urat sabar perlu lebih dilenturkan dan dua daun kuping wajib diperlebar.
Akan tetapi, belajar dari pengalaman penerapan teknologi baru di bidang apapun (sosial-teknikal-manajerial), khususnya dari kultur berkebun dan model usahatani ekstraktif lainnya ke sistem persawahan 'padat kerja', diperlukan waktu lama dan percontohan usahatani yang nyata nan realistis. Perubahan jarak psikologi-kultural dari tradisional ke semi modern, modern dan post modern, niscaya perlu panduan dan mentor terus-menerus dari Pemerintah dan tak kenal lelah.
Apapun cerita perjuangannya kelak dan sikap antisipasif untuk mewujudkan Proyek Irigasi Air Rawas, yang jelas para Birokrat dan Teknokrat Negeri ini, baik di Pusat, Provinsi, Kabupaten dan ke bawahnya, harus diniatkan untuk ibadah.
Bukankah kata al-mukarrom UAS dan UAH menjadi Pejabat itu akan berpeluang memperoleh pahala (dan bonusnya) untuk cepat lolos ke Surga dari pintu mana pun? Allohu'alam. Semoga saja! [*]
Muarabeliti, Oktober 29, 2019.
*)Blogger: www.andikatuan.net