Senin, 23 September 2019

FILM HAYYA: VITALISME BENNY ARNAS

Oleh: Hendy UP

    Alhamdulillah aku telah menyaksikan film HAYYA: THE POWER OF LOVE 2. Film berdurasi sekitar 100 menit itu mulai tayang serempak di 140 bioskop Indonesia pada Kamis, 19 September 2019. Diangkat dari novel "HAYYA" karya Helvy Tiana Rosa & Benny Arnas.  Aku sungguh beruntung mendapat undangan khusus dari penulisnya, Benny Arnas, untuk Nobar di Bioskop Lippo Lubuklinggau, kota kecil di ujung Barat Sumsel.

       Sepuluh tahun yang lalu aku diperkenalkan nama Benny Arnas oleh anakku Setta yang tengah 'glomat' menimba ilmu di Bulaksumur Yogya.  Mereka sama-sama aktif di Forum Lingkar Pena (FLP), sebuah wadah pengkaderan penulis muda yang digagas oleh Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Maimon Herawati dkk (Fak. Sastra UI) sekitar tahun 1997-an. FLP kemudian tumbuh merambah ke berbagai perguruan tinggi dan kota-kota di seluruh Indonesia.

     Karena aku menyukai dunia sastra, hampir setiap saat aku mengunjungi blog sastra [https://www.lakonhidup.com] yang rutin setiap minggu memublikasikan cerpen yang dimuat di lebih lima koran nasional. Di blog sastra yang kini pengunjung setianya  mencapai 9 juta lebih itu, bertengger teratas nama Benny Arnas sebagai PENULIS PALING PRODUKTIF. Ah... ternyata, penulis Lubuklinggau ini mengalahkan produktivitas penulis mana pun!

    Di awal tahun 2019 ~ sepuluh tahun kemudian ~ qodarulloh aku dipertemukan dengan Benny di rumah seorang teman di Watervang, Tegi Bayuni. Pertemuan tak terduga itu menyita hampir 4 jam untuk ngobrol ngalor-ngidul seputar sastra-bahasa. Ada kesamaan obsesi bahwa sastra dan budaya Silampari harus diangkat ke galeri budaya nasional, bahkan portal sastra dunia internasional.

     Sungguh aku bangga dan mengapresiasi Benny karena dua hal. Genuin lokal ini tegar nan tangguh mendobrak karang Bukit Sulap yang memadas-batu untuk membangun lorong pencerahan menuju kawasan ujung lain yang benderang. Tak lelah melepuh tulang sendi nafasnya, ia merayap menapaki puncak bukit Sulap, menyapa liukan nyiur pedesaan di bawah sana sembari menghitung gugus gumpalan awan-gemawan. Mengamati lengkung geometrik derasnya angin, bahkan menghadang puting-beliung dengan rapal-ritual yang meyakinkan jati dirinya: bahwa masa depan wajib diperjuangkan, bukan menunggu di bawah batang durian sembari berharap liukan angin meluruhkan buah di cabang-rimpang!

      Kedua, sosok Benny adalah sebuah vitalisme. Jauh melampaui idealisme dan materialisme kehidupan. Tampaknya Benny meyakini bahwa kenyataan hidup yang sejati adalah energi, daya-kekuatan, bahkan gaya yang melecut nafsu berkarya merasuki jiwa irrasional. Lalu melahirkan konsep elan-vital demi meraih kejayaan, meninggalkan sekat-sekat ras-etnologia yang menggelayuti budaya lokal yang cenderung pasrah menyerah.

    Benny bergegas mendedag, meronta dari cengkeraman dimensi inderawi. Memang secara filosofis, kehidupan dan energi tidak musti saling intervensi. Dan Benny tegak di tengah medan juang, mendamaikan norma kehidupan dusun moyangnya dengan energi vitalisme yang bergolak dalam jiwanya. Dua puluh dua lebih karya sastranya adalah bukti sejarah yang mengukuhkannya.

     Puluhan karya dan dua filmnya adalah monumen JIHAD BUDAYA atas nama Benny. Novel dan film HAYYA adalah puncak prestasi yang terus akan ditindih oleh prestasi barunya. Kepiawaian Benny merumuskan strategi juang-jihadnya sungguh tampak irrasional; tapi tak segera menanggalkan aksioma besaran sudut yang memagari isu utama: JEJAK KEMANUSIAAN.

      Isu baku yang tak akan pernah basi itu harus terus digelorakan, agar kaum milenial tak kehilangan pegangan dalam meniti kesalehan hidupnya. Menebar kebaikan kepada semua kaum, demi kebaikan bagi dirinya. Itulah inti pesan Film HAYYA dalam tagline #JIHAD BUDAYA!

[Blogger: https://www.andikatuan.net]

Kamis, 19 September 2019

KISAH HAYYA: SEJENGKAL DARI TANAH


      Hanya sejengkal dari tanah. Durianku berbuah. Sudah limatahunan selalu memutik walau tak selalu membuah. Sengaja tak kupupuk, kuserahkan kepada kearifan alamiah-tanah. 

       Kutanam dari biji, sepuluh polibag, sekitar tahun 2005-an. Aku agak lupa persis bulannya! Buahnya relatif kecil, sebesar tampukan dua telapak tangan yang dilembungkan. Merona bunganya memerah saga. Tak menyengat aroma dagingnya, menyembunyikan bijinya yang mungil, kadang sukun alias kempet. Warna daging merah kekuningan; mirip kombinasi bendera PDIP dan GOLKAR yang sudah berumur belasan tahun, belum ganti baru dan selalu kibar tiap hari di pucuk  bambu gantar.


         Muasal sejarah biji-biji itu dari Kalimantan. Tepatnya dari pulau Bunyu, dibawa Bibinda yang pernah mukim di sana. Orang Bunyu menjolokinya Buah Lay. Mungkin juga aku salah eja. Lalu disemaikan, tumbuh melembaga dan dijaga oleh pamanku:  pensiunan birokrat yang rajin tirakat dan selalu semangat menebar manfaat, serta menghindari obrolan umpat.


       Mininya durian Lay itu tentu tak linier dengan sebutan keren: "The King of Fruit". Tapi tetap saja disebut Durio zibethinus. Masih famili Malvaceae, tetap ordo Malvales walau mukim di Borneo. Memang, di dunia nyata ini selalu ada eksepsion, keanehan, kekecualian. Selalu begitu! Dan kekecualian itu senantiasa berhenti, menyisakan tanya keilmuan. Semangat scientis di syaraf otak manusia yang mungil ini selalu tak sanggup mendefinisikan kenapa selalu muncul kondisi "kekecualian"  secara alamiah dalam karakteristik flora. Bahkan fauna, dan semua yang bertumbuh. Sungguh, teks book setebal bantal pun tak pernah tuntas menjelaskannya. 
Mungkin perlu metode yang lebih Illahiyah utk merancang rumpun matakuliah baru di IPB, sebutlah rumpun MKDU "Agrofilosofia"  atau rumpun MKDK "Metafisik-Agronomia". Ah... entahlah. Itu urusan para pakar profesor!

       Yang pasti durianku telah berbuah. Menyembul dari pangkal batang, sejengkal dari tanah. 
Kini aku hanya berwenang menjaga putik itu. Kendati sangat berat, mengingat 'circumstances' hari-hari ini sangat panas. Klimatologi kekurangan dalil untuk merumuskan pranata mangsa, memrediksi awal musim hujan, apatah lagi menghalau pekatnya asap. Bahkan geofisikawan tampak gagap mendefinisikan gumpalan awan, uap air dan proses kondensasi di lapis awal atmosfir.  Padahal ada tujuh lapis langit, "sab'as- samawatu". Sudah berulang menebar garam berton-ton; kadang hujan, kadang banyak alasan. Akhirnya para Umaroh dan Ulama menggelar shalat istisqa di lapangan bola atau alun-alun. Bagus juga! Ternyata teknologi bukan segalanya.

       Yaa... sangat berat menjada putik durianku! Seberat menjaga HAYYA,  generasi mungil di belahan Bumi Palestin yang potensial punah. Bukan oleh asap KARHUTLA, tapi oleh asap mesiu gerombolan Zionis. Yaa... hanya sejengkal,  jarak keceriaan anak-anak dari Astana. Tanah kuburan yang melukiskan obsesi husnul khotimah. Kita dihimbau untuk menjaganya.

      Ohhh... aku teringat Bung BennyArnas, dengan obsesinya  mewujudkan cerita heroik bertajuk Jihad Budaya. Lahirlah sebuah novel yang akan dibentangkan di layar lebar.  Bersama Helvi Tiana Rosa, berjudul "HAYYA, THE POWER OF LOVE 2"; yang akan mulai tayang hari ini, 19 September 2019. Di 140 bioskop Indonesia, dari 1.700 bioskop yang ada. 

      Sungguh, nasib film HAYYA sangat memprihatinkan! Dan kokohnya tembok otoritas-korporasi  hanya mengijinkan 140 sinnemax dari seribu tujuh ratus bioskop di Indonesia, utk tayangnya HAYYA. Perlu banyak tangan dan hati untuk menyelamatkan HAYYA yang hanya sejengkal dari tanah. Tanah yang potensial menjadi lobang astana. Kuburan di lahan suci: Palestina!

       Belumlah punah traumatika HAYYA, ada kegaduhan 'tangis' lain di Bumi Nusantara. Ia bertajuk keren: "THE SANTRI".  Film yang mengusung background  kesantrian nan kontroversial itu, nasibnya mulus nan manja, tidak sesial HAYYA. Ia bisa tayang leluasa di 1.700 an Bioskop manapun di Bumi Nusantara dengan kawalan korporasi  bertaji. HAYYA, .... oh..  HAYAA!  Mungkin jawabnya ada di kata negeri  Palestina. Allohu'alam... (*)

[Muarabeliti, 19 Sept 2019, 12.19 WIB]