Senin, 19 Agustus 2019

AGUSTUS: MENGENANG BUNG GORYS (1936 - 1997)

Secara intelektual, saya merasa berhutang ilmu kepada mendiang Gorys Keraf (GK); sedikit dari ahli bahasa Indonesia yang sangat fasih menjelaskan elemen dasar bahasa kebangsaan RI. 

Sebagai seorang yang menyukai bahasa tulis dan tutur, saya membaca (dan mengoleksi) sebagian buku karya-karyanya: Komposisi, Tatabahasa Indonesia, Diksi dan Gaya Bahasa, Eksposisi dan Deskripsi, Argumentasi dan Narasi. Dari situlah saya pernah sharing kepada 80-an teman-teman guru SMA di Musirawas, ketika diminta sebagai narasumber untuk materi "Teknik Menyusun Artikel Ilmiah Populer".

Sedemikian detail nan lengkap kajian GK sebagai profesor linguistik, sehingga dijadikan rujukan ketika Pemerintah menyusun UU No. 24 Th 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara; bahkan ketika terbit Permendagri tentang Batasan Bahasa Daerah (Permendagri No. 40 Th 2007).


GK dilahirkan di Lamarera Lembata NTT pada 17 November 1936. Dan wafat di Jakarta 30 Agustus 1997. Beliau tamat sarjana Sastra Bid. Linguistik tahun 1964 dari UI. Disertasinya: "Morfologi Dialek Lamarera NTT" yang diuji 22 Februari 1978, mengukuhkannya sebagai Doktor Linguistik UI yang langka; sebutlah serekan profesi dg Anton Moeliono (wafat 25-7-2011), Slamet Muljana (wafat 2-6-1986) dan Sutan Takdir Alisjahbana (wafat 17-7-1994). Kini kita telah kehilangan banyak pakar bahasa, yang kini jarang diminati kaum millenial.


Sumbangan pemikiran GK dalam pembangunan sastra dan bahasa Indonesia sungguh sangat besar. Di tengah derasnya pengaruh budaya (dan bahasa) Barat, posisi bahasa nasional kita sedemikian rapuh jika tidak ditegakkan 'political will' sebagai dignitas dan kebanggaan sebagai bangsa berperadaban tua. Apatah lagi jika ditilik dari awal sejarah Nusantao Javadwipa. Javadwipa sesungguhnya bukanlah Jawa dalam konsep pemahaman entitas-etnologis, tetapi jauh melampaui peradaban bari seumur dengan istilah geologi 'Sundaland' sebagaimana diuraikan Stephen Oppenheimer (Eden in The East).


Salah satu keprihatinan GK adalah masih rendahnya persentase kata serapan bahasa daerah dalam KBBI. Dalam KBBI tahun 2008, dari seluruh kosa kata Indonesia yang sebanyak 90.049 entri, hanya 3,98% (3.592 entri) yang merupakan serapan bahasa daerah.


Sebagai negara kepulauan yang terbuka dengan jaringan laut Nusantara, disadari bahwa Indonesia adalah merupakan wilayah 'multikultural dan multilingual' yang potensial sangat kaya dan beragam bahasa daerahnya (suku bangsa). Populasi publik figur dan pemegang kekuasaan pada era tertentu, akan sangat berpengaruh terhadap kontribusi bahasa daerah di dalam KBBI, yang kemudian dijadikan rujukan bagi institusi Lembaga Bahasa dalam menyusun penambahan entri bahasa serapan.


Dari angka 3,99% kontribusi bahasa daerah dlm KBBI, dengan 70 bahasa daerah yg tersebar di wilayah RI, ternyata didominasi oleh 7 daerah, yakni: Jawa 30,87%, Minangkabau 25,86%, Sunda 6,21%, Madura 6,15%, Bali 4,26%, Aceh 3,12%, Banjar 2,78%. Yang memprihatinkan kita, ternyata pula bahwa tidak tercatat satu pun bahasa daerah di Sumatera Bagian Selatan, kecuali Lampung dengan kontribusi 0,4% di bawah Bugis yang 0,6%. Kemana bahasa Musi, Lembak dan Lebong???


Secara profesional, kita tidak bisa mengira-ngira, kenapa demikian. Kita wajib prihatin dan mari kita bangun dan dorong terus genius-lokal Silampari untuk 'unjuk-lidah' dan 'unjuk-karya' linguistik, sehingga bahasa SILAMPARI JAYA DI NEGERI SENDIRI. Baju dan pernik otonomi daerah adalah kunci untuk membuka kamar gelap kedunguan masa lalu. Semoga....! Allohu'alam.

Rabu, 14 Agustus 2019

KISAH HILANGNYA AIR & DINAS PENGAIRAN

Manakala berkeliling ke pedesaan di kawasan irigasi Merasi -Megangsakti, ada saja kehangatan nan tulus dalam konteks silaturahmi 'berwarganegara'. Ada hangatnya 'teh tubruk' dan rebus jagung-ubi yang tak mungkin hadir dlm 'silaturahmi' model paket tera-giga dunia maya.
Ada pertukaran humor ala kampung yang menyisipkan pesan moral tentang aneka persoalan sosial-ekonomi pedesaan yg genuin; bukan rekayasa politik-etis sebagaimana silaturahmi para politikus menjelang perhelatan Pileg-Pilkada atau balas jasa elektabilitas.


Dan 'petang-ahae' itu, di beranda rumah kawan lama yang mantan Kontak Tani, muncul kisah tentang hilangnya air dan Dinas Pengairan. Ada geriap cerita model partisipasi pembangunan desa pasca-lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan derivasinya yakni PP No. 43 Tahun 2014. Ada pula kelindan filosofis lahirnya Perda Mura Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tentu saja, foklore itu murni bersifat 'gesah-kedesaan' dan saya menangkapnya dalam konteks aturan formal regulatifnya.


Malam harinya, saya bermenung- kontemplatif dlm insinuasi-empatik akan aneka persoalan pedesaan yang sering kali gagal ditangkap oleh Pemerintah Daerah, apatah lagi oleh Pusat dan Provinsi, yang semakin terhijab oleh hiruk-pikuk 'politik-viral' yang hanya sesekali menyentuh bumi. Sayangnya kulit bumi mulai kehilangan unsur hara 'moral-esensialnya': kejujuran dan kebersamaan!


Mengapa di musim kemarau, air menghilang dari siring irigasi yang mulai nyata dari Bendung Kelingi (BK) 5 Desa A. Widodo? Padahal di BK 3 Ketuan air masih melimpah? Semua petani tahu jawabannya. Dan para pejabat-birokrat insya Alloh faham basis persoalannya.


Minggu-minggu ini ada ratusan hektar tanaman padi yang potensial puso, jikalau tak ada upaya gerakan pengawalan air oleh Tim Khusus, hingga benar-benar sampai di petak sawah kawasan Tugumulyo, Purwodadi, Sumberharta dan Muarabeliti. Aneka alat sedot air yang didrop Kementan/Dinas Pertanian ke Klp Tani tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya air yang mau dipompa-sedot tidak tersedia: "Cul ayoa..... Boss!", kata Mang Ran, sang mantan Ketua Klp. Tani "SUSAH-HONDJO".


Adapun hilangnya Dinas Pengairan Kab. Mura, jangan salahkan Pemda dan DPRD. Bertanyalah kepada 'para oknum' yang menyusun UU Pemda (UU No. 23 Thn 2014) khususnya Pasal 12, dan para teknokrat penyusun PP No. 18 Th 2016 tentang Perangkat Daerah.


Sebagai insan pertanian; saya tak habis pikir, kenapa 'urusan pangan' tidak dikategorikan sbg urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Padahal sdh ada UU Pangan yang lahir 2 tahun sebelum lahirnya UU Pemda yang 'menyesatkan' urusan pangan itu. Lebih kacau lagi, ternyata di Pasal 1 ayat (13) PP 18 Th 2016 itu sendiri menyebutkan bahwa "pelayanan dasar adalah pelayananan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara". Apakah pangan bukan kebutuhan dasar warga negara??? Kekacauan bernalar yg luar biasa.!


Akibat mindset yang kacau tentang karakteristik pangan (khususnya beras) dan proses bio-agronomisnya, maka hilanglah seluruh kosa kata 'dinas pengairan dan irigasi' di dalam UU Pemda dan PP 18/2016 tersebut. Ini tidak ada kaitannya dengan dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 ttg Sumberdaya Air oleh keputusan MK No. 85/PUU- XI/2013.


Kembali ke Pasal 37 PP No. 18 Th 2016 yang membagi urusan pemerintahan wajib dan pilihan, tidak dimungkinkan dibentuknya Dinas Pengairan yang seyogyanya akan mem-backup sektor pertanian. Ke-32 urusan yang bisa dilaksanakan oleh Pemda kab/kota tidak ada nomenklatur ttg urusan pengairan.


Di dalam Lampiran II bidang Ke-PU-an pada PP No. 18 Th 2016, dari 18 indikator hanya ada 6 item dengan total bobot 16. Dengan total bobot sebesar itu, maka hanya dimungkinkan keberadaan jabatan Kabid Pengairan yang nyantol pada Dinas ke-PU-an di level kabupaten. Yah... daripada musnah sama sekali.


*) Pemerhati birokrasi dan sosial pedesaan

Kamis, 01 Agustus 2019

GUMAM POLITIK: MUNGKINKAH HENDRA versus SUKO?

Mungkin saja. Namun agaknya nyaris impossible! Ini mah sekadar gumam. Warga Edensor UK menyebutnya 'mumble' atau 'suppress': suara tak jelas yg tertahan di kerongkongan. Semacam 'kasak-kusuk' elit desa yang berkeliaran di pinggiran siring Merasi-Megangsakti atau jalanan setapak kebon para di Dusun Lubukpandan Lakitan. It's reality folklore! 

Kadang politik itu mirip 'mancingologi': tergantung musim, jenis ikan yg diburu, luas empang, panjang joran dan mutu umpan yg dikemas. Jangan lupa posisi strategis saat memancing: gampang manuver kiri-kanan dan berputar sentrifugal, mudah menghindar atau menggebug ular liar, sembari mengusir nyamuk-remuk yang kulu-kilir.

Satu lagi: wajib pintar membaca ramalan agroklimatologi & geofisika. Jangan sampai keliru menghitung luasan geometriknya lantaran mengabaikan gambar stereometrik yg sudutnya tak berhingga. Jangan pula sampai muncul hujan petir sehingga bubar lari kocar-kacir. Maka, instrumen hitungnya harus menggunakan kalkulator mode invest lima digit di belakang koma.

Ketika dikonfirmasi tentang hal ini kepada mBah Bliti di Padepokan Metau, dia bilang begini: "Masih terlalu dini utk diskusi calon pasangan. Jadual Pilbup masih lama: Rabu 23 Sept 2020. Masa jabatan "H2G- Berarti" masih hingga 17 Feb 2021. Jangan keburu nafsu, Broth! Yang penting anggaran Pilbup Mura konon sdh diusulkan 41 milyar. Dan biarkan PollingKita.com meramaikan bursa dan memprovokasi massa. Memang di portal itu baru muncul 6 nama: H2G, Hj. Suwarti, H. Sulaiman Kohar, Firdaus Cek Olah, Alamsyah A. Manan dan Toyeb Rakembang. Besok lusa bisa belasan bahkan likuran nama".

Begini saja ramalannya. Jika kita amati hari-hari Pak Bupati H2G, dan makna sasmita yang kasat mata: jadual kunker lapangan, gestur dan jenis diksi-narasi retorikanya, maka hampir 99,9% akan naik ulang ke tengah gelanggang. Tentu untuk posisi ortu (orang nomor satu). Siapa pendampingnya? Yang lama atau baru? Itulah potensial ragam kleniknya.

Demikian halnya dengan Wabup Hj. Suwarti. Dari kerling mata dan warna kostum senam Jumatnya, serta ikhtiar gigihnya 'merebut' kursi Ketua DPC Gerindra, harus dimaknai sebagai titian karier untuk menggapai ortu. Ditambah posisi sang suami yg duduk di DPRD Prov. Sumsel, niscaya menambah bobot 'pede' utk menata 'fighting area' di panggung terbuka kelak. Pilihan strategisnya: go run to ortu atau tetap istiqomah sebagai orda.

Dari analisis klenik 'weton kelahiran' dan tipe lentik jemari tangan Bu Warti, agaknya bakal melesat menuju BELITISATU. Siapa pendampingnya? Atau, bisa juga, akan mendampingi siapa jikalau terjadi pecah kongsi di 2020?

Akan halnya Kuyung SUKO, Sang Wawako Linggau dua Pelita, agaknya susah ditebak sungging senyumnya. Tapi angin yg berhembus dari Watervang dan aroma pagi di ruang Moneng Sepati, agaknya mulai harum-semilir ke arah Beliti. Secara umuritas, Kuyung Suko dianggap 'tua-enerjik'. Tapi apakah akan terus mengabdi hanya utk orda?

Menurut ramalan mBah Bliti, kalau utk menuju BELITISATU, rumus bangun geometrikalnya masih berhingga. Kalkulasi mobilitas ruang massanya cukup potensial, namun neraca logistik dan daya terjang di lapangan barang pasti perlu perhitungan cermat. Agaknya nyaris janggal kalau mau 'ngilir' tidak untuk BELITISATU. Walaupun ada catatan yurisprudensi unik ala Wapres Yusuf Kalla.

Namun ada catatan kecil. Ketika maju di Pilwawako dua kali, kita bisa merumuskan karakter dasar Kuyung Suko: tidak bernafsu naik tangga, agak 'pobhia' mencari perahu layar, lebih banyak mendengarkan dan istighfar, serta tidak neko-neko.

Dinamika politik Pilkada cenderung zig-zag nan sulit diduga. Jadi bisa saja kelak muncul JISAMSOE pasang. Probabilitas sementara: HENDRA + Orba, SUWARTI + Orba, SUKO + Orba, atau Orba + Orba. Atau H2G-Berarti Jilid 2, SUKO- WARTI atau HENDRA-SUKO. Dan masih banyak figur baru yg tak teramal oleh mBah Bliti. Allohu'alam!

*) Pemerhati sosial politik pedesaan

RESTAREA Km-57 BEKASI

     Sengaja aku parkir sesaat di  sebuah rumah makan. Sejak masuk pintu Tol Merak, menapaki Tomang - Kebonjeruk - hingga Cawang-Bekasi, terasa sumpek menyusuri kebisingan sepanjang jalanan rakyat berbayar. Sungguh otakku tak mampu membandingkan kepadatan dan laju kecepatan di jalur kiri, apatah lagi jalur kanan, di seberang sana. 

     Maka untuk mencermati lalu-lintas jalanan kita perlu keluar dari kedua lajur itu. Ini lebih fair dan menenangkan fikiran dengan secangkir 'kopi inteligensia'.

     Setidaknya kita bisa memandang lebih luas, lebih nyaman, lebih banyak varian dan lebih bisa mengomparasi utk mengonversi kesimpulan sementara. Anggaplah kedua jalur toll itu adalah: 01 dan 02. Anggaplah saja. Mana jalur yg lebih kacau, lebih sibuk, lebih padat dan lebih berkecepatan tinggi. Bahkan ada kendaraan yg sengaja salip kirikanan, terobos zigzag tak santun cenderung memrovokasi, menghimpun opini dg suara klakson sedemikian memekakan telinga. Subhanalloh....! 

      Tapi aku yakin dan berharap, di tengah malam kelak, jalanan akan relatif lebih sepi. Para pejalan toll pasti merasa lelah dan diam2kembali ke habitatnya. Rumahnya, di negeri Nusantao yg aman damai nan berkeadilan. Sobatku, kini aku sudah agak fresh, dan harus terus menyusuri jalanan berbayar. Hingga mencapai tujuan yg telah kuagendakan. InsyaAlloh...

Selasa, 23 Juli 2019

KOALISI: MEKANIKA FLUIDA & DALIL RHEALOGI (2)

Misteri di statsiun MRT Lebakbulus (13 Juli 2019), yang mensyaratkan koalisi kursi 45 : 55 di tubuh eksekutif, terlanjur melanda ke mana-mana. Baik di prapatan dunia maya maupun di Padepokan Eyang Wangsakrama. Padahal itu jelas hoaks! Masa bagi2 kursi di 'warung sate'? Mereka kan LEADER bukan DEALER yg berunding margin fee..! Kata temen gue. Konon misteri ini diinisiasi oleh segelintir elit PDIP, Tokoh BG~BIN dan Ketua TKN secara senyap. Bung Paloh, Mas Ranto, Cak Imin dan Mas Airlangga kabarnya blm diajak. Banyak reaksi tokoh dengan aneka kepentingan, dengan gestur dan semiotika politik yg serba mungkin. 

Hari-hari ini, elit PDIP dkk di kubu KJ versus elit Gerindra dkk di kubu KP, saling intip dan saling hunus pedang, sembari browsing frasa argumen untuk saling tekan. Mas Amin Rais tampak gelisah dan kekurangan data lapangan utk merumuskan dalil politik minggu ini, sehingga buru-buru terbang ke Hambalang utk tandang makan siang, walau akhirnya ketemuan di tempat lain. Hasilnya disimpan di 4 kantong: celana , baju, jacket dan kantong plastik. Di depan wartawan baru dikeluarkan secuil, hanya warna kantongnya. Itu pun diucapkan dengan metafora: kadang amelioratif, kadang peyoratif, dan esok harinya mirip sinestesia.

Yang tampak paling sungkan rekonsiliasi dengan kubu Jokowi (yg dimotori PDIP) adalah PKS. Kita semua mafhum dan buku sejarah belum terlalu tebal untuk dibaca ulang. Secara genetikal-origin, PDIP memang berjarak jauh dengan PKS.


Menengok ke belakang, PDI (belum PDIP) adalah hasil fusi 5 partai di tahun 1973, yakni: PNI, Murba, IPKI, Parkindo dan Partai Katolik. PDI ini dibubarkan 10 Jan 2003. Dan pasca-peristiwa 'kerusahan' 27 Juli 1996, dibentuklah PDI-Perjuangan pada 1 Feb 1999, dengan ideologi Pancasila, Marhaenisme dan Sosialisme.


Adapun PKS (awalnya PK) didirikan 20 April 1998 hasil kristalisasi model dakwah Islam dari kampus yg dimotori kaum cendekiawan muslim yg bergerak tahun 1980-an. Tegas berideologi Islam. Di awal riwayat, ada peran besar Muhammad Natsir dan yuniornya: Imaduddin Abdulrohim aktivis dawah Masjid Salman ITB. PKS agaknya mengadopsi model partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pola rekruitmen kadernya berprinsip sangat ketat: al-da'wah al-fardhiyyah. Melalui model marhalah, muncullah nama-nama besar: Mustafa Kamal, Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, Nur Mahmudi Ismail, Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq, Zulkieflimansyah (Ketua Senat UI), Salim Segaf, Hilmi Aminuddin dll. Jadi secara psiko- ideologis, memang cukup berjarak antara PKS dengan PDIP.


Namun demikian, tiga tahun terakhir ini PKS diselimuti cuaca agak berasap, ditambah arus angin agak memuting, sehingga terbatuk-pileg. Lalu agak 'mriyang'. Di internal PKS muncul istilah "OSAN-OSIN". Orang sana~orang sini. Dan klimaksnya, terhengkangnya (Trio Anfahma): Bung Anis, Fahri dan Mahfudz yg kemudian menggelar deklarasi GARBI (Gerakan Arah Baru Indonesia). Hal ini agaknya menimbulkan kohesivitas kader di daerah sedikit tergoyang.


Tapi untuk menyikapi polemik rekonsiliasi-koalisi, saya yakin PKS akan istiqomah untuk tetap oposan. Dan itulah 'branding' utama utk pasar demokrasi masa depan. Bahkan jika pun PAN & Demokrat mengikuti dalil rhealogi politik. Dan saya yakin, elit PDI tetap enggan 'berteman' dengan PKS yg hanya meraup 8,21% dengan suara yg kadang keras melengking. Membuat gatal-panas kuping para elit di seberang siring.


Hanya saja, kalkulasi politik bukanlah dalil mekanika fluida dan rhealogi, melainkan mirip 'ngelmu' dukun santet 'sinkretisme' yang menggabungkan ramuan material dan imaterial: rapalan potongan ayat suci, ritual klenik Kapitayan dan wangsit dari Padepokan serta bungkusan klembak-menyan dari Pasar Klewer. Klimaknya: pembakaran dupa Jumat kliwon yang 'mengelunkan' asap halus merah-putih NKRI, sembari meramal sasmita arah angin menjelang dini hari! Allohu'alam bishowab..!


*) Pemerhati sosial politik dan budaya pedesaan

KOALISI: MEKANIKA FLUIDA & DALIL RHEALOGI (1)

Artikel ini bukan analisis politik, tapi hanya sekadar 'gumam' politik kampungan. Boleh jadi dari kampung Muarabelitibaru eks ibumarga Proatinlima di jaman bari Sriwijaya. Konteks gumamannya sekitar koalisi Parpol pasca-Pilpres 2019. 

Secara awam ada koalisi Parpol pendukung Jokowi-Makruf (Jokruf) dan ada koalasi Prabowo~Sandy (Prandy).

Koalisi Jokruf 'ditakdirkan' sangat tambun, consist of: PDIP, Golkar, Nasdem, PKB dan PPP (yg masuk Parlemen). Sisanya: Hanura, Perindo, PSI, PKPI, dan PBB masih parkir di luar gedung.


Sedangkan koalisi Prandy cukup ramping: Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat (yang masuk Parlemen). Sisanya, Partai Berkarya yg senasib dengan Hanura dan PBB, nongkrong di halaman parkir. Bahwa ada cerita Demokrat dianggap zig~zag di sela~sela maraton pagi, itu soal lain. Adapun partai yg tdk jelas koalisinya adalah Partai Garuda besutan Harmoko, yg hanya mendapat 0,50% suara, senasib sial dengan PKPI (0,22%) dan PBB (0,79%).


Untuk menggambarkan potensi pergeseran anggota koalisi, saya meminjam istilah Prof. Bruce R. Munson, tentang mekanika fluida dan derivasinya, yakni cabang ilmu rhealogi. Mekanika fluida mengkaji perilaku zat cair dan gas dalam keadaan statik atau dinamik. Secara spesifik, fluida didefinisikan sbg zat yg berdeformasi (berubah bentuk) terus-menerus selama dipenguruhi tegangan geser. Daya geser akan muncul jika gaya tangensialnya bekerja kuat di permukaan.


Sedangkan rhealogi memfokuskan kajian atas perilaku benda yg bukan persis cair, dan bukan pula benda padat. Misalnya: lumpur, aspal atau odol dan beberapa bahan obat. Zat-zat ini akan berperilaku seperti benda padat jika gaya gesernya kecil; sebaliknya akan mengalir seperti benda cair jika gaya gesernya mencapai titik kritis tertentu.


Para tukang insinyur dengan mudah bisa menghitung kecepatan gaya gesernya, karena standar dimensi sebuah kecepatan adalah panjang dibagi waktu. Rhealogi banyak digunakan di bidang kefarmasian, khususnya desain peralatan medis utk mentransfer obat ke tubuh pasien.


Dalam konteks karakterisasi Parpol, sebutlah koalisi Jokruf kita simbolkan KJ dan koalisi Prandy (oposisi) kita sebut KP. Di masa sebelum penetapan pasangan Capres, baik partai di KJ maupun partai di KP pada umumnya potensial bersifat fluida-deformatif (gampang mengubah dukungan) kecuali PDI, Nasdem dan Hanura karena sudah punya Ruang Terbuka Hijau dg kursi santainya. Sebaliknya kadar viskositas antara Gerinda dan PKS (dan PAN?) sedemikian rekat karena diikat oleh ijtima ulama dan semangat anti Jokowi serta faktor lain.


Dalam hiruk-pikuk pra-Capres, PKB dan Demokrat mirip mekanika fluida; kadang condong ke KJ, lain hari melirik ke KP. Barangtentu Cak Imin merasa punya massa besar Nahdliyin, sehingga ke-PD-an dan berani main ancam. Sementara Demokrat merasa sbg kampiun dua musim Pemilu sehingga merasa 'tinggihati' melibihi lima senti dari jantung koalisi yg terus berdenyut.


Pascapenetapan hasil suara oleh KPU, koalisi Parpol relatif statik. Yang masih gaduh adalah Demokrat dengan manuver zig-zag AHY, sementara PAN tampak ada 'riak' dampak pergeseran generasi pemikiran. Ada 'tarik-tambang' antara: Pak Amin cs, Bung Zul dkk, serta Tulang Bara Hasibuan sekonconya. Agaknya Bung Zul lebih kohesif bersama Bara.


Diprovokasi oleh para aktivis demokrasi semisal Rocky Gerung dkk, agar tidak perlu rekonsiliasi antara Jokruf yg punya legalisasi pemenang versi KPU/MK dengan Prasandy yang 'memegang' legitimasi rakyat; just suddenly muncul 'misteri MRT' yg menggoyahkan koalisi Parpol.


Bocoran dari 'dapur kotor' berhembus kabar bahwa telah terjadi "undertable transaction" utk rekonsiliasi. Ada tokoh 'the hidden' sbg desainer, ada kemarahan terpendam, ada kekhawatiran kehilangan jatah kursi, ada juga kegamangan komunikasi karena terlanjur saling 'mengampret-cebong'. Pendek kata, ada riuh kasak-kusuk di sudut kamar partai, baik di KJ maupun di KP. Allohu'alam..! (Bersambung)


*) Pemerhati sosial politik dan budaya pedesaan

Selasa, 16 Juli 2019

KUDETA KLENIK ALA MANG WITO

Istilah kudeta yang berasal dari bahasa asing 'coup d'Etat', sudah muncul sejak sebelum Republik ini tegak berdiri. Makna harfiah-leksikalnya: perebutan kekuasaan dengan cara paksa baik dalam koridor konstitusi atau inkonstitusional. Apakah ada kudeta inkonstitusional? Ada. Dan ternyata, konon hanya ada di Indonesia yang dikomandoi oleh Sawito Kartowibowo. 

Rosihan Anwar sang wartawan kawakan, menulis untuk Straits Times, 4 Oktober 1976 dengan judul "The Bizarre (keunikan) anti Soeharto Plot"; walau kemudian diganti judul oleh Pemrednya menjadi: "The Anatomy of a Power Ploy" (Anatomi Permainan Kekuasaan). Bagi generasi yang lahir pasca-80-an, mungkin tak pernah tersirat nama Sawito, karena mungkin tak muncul di materi kurikulum SMA atau FIB/FISIPOL; atau barang kali gadget kaum milenial lebih sibuk utk swafoto dan 'berpamer-ria' ketimbang utk 'mengarungi' samudera ilmu.

Adalah bermula dari munculnya dokumen tahun 1976, "Menuju Keselamatan" karya RM Sawito Kartowibowo (45 th), walaupun kala itu tidak digubris oleh petinggi negeri. Sawito adalah alumni IPB, asli Kebumen yang kala itu menjadi pejabat di Kementerian Pertanian. Orangnya cerdas, tapi hobinya naik gunung untuk bertapa mencari wangsit plus wahyu 'keprabon'; demi 'menyelamatkan' negeri Nusantara yang dianggapnya mulai melenceng dari cita-cita "the founding father".


Diduga kuat, Sawito adalah seorang 'mistik', sakti, mirip penyulap Haudini yang mampu menghipnotis para petinggi negeri sehingga mereka dg suka rela membubuhkan tanda tangannya pada dokumen 'kudeta' yang dirancang Sawito. Sebutlah: Dr. Moh. Hatta, Dr. TB Simatupang, Kardinal Darmoyuwono, Dr. Hamka, Jend. Said Sukanto, Singgih, Karna Radjasa dan para petinggi lainnya. Isi dokumen itu antara lain: perlunya menyelamatkan rakyat dg menegakkan Pancasila dan UUD 1945 serta mengganti Presiden Soeharto. Oleh karena itu diperlukan pemindahan kekuasaan dari Soeharto kepada Moh. Hatta.


Pada 23 September 1976, Pemerintah RI mengumumkan bahwa telah berhasil meringkus komplotan yang hendak menggulingkan Presiden Soeharto secara inkonstitusional yang dipimpin RM Sawito. Tidak sulit menangkap Mang Wito dkk utk diadili dan dipenjarakan.


Langkah unik Sawito ternyata menginspirasi Marle Ricklef utk menulis keunikan varian politik Indonesia dalam buku "Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2008" yang ditulis tahun 2008. Kudeta klenik ala Sawito, dikategorikan sbg varian dari 'veto coup d'etat' yang hanya mengandalkan partisipasi dan mobilisasi massa, tanpa campur tangan militer bersenjata. Biasanya ditunggangi oleh kaum oposisi utk memperbesar daya tekanan politik. Di luar negeri, faktor kleniknya memang tidak ada.


Menurut Huntington (1996) sang pakar politik, menyebutkan bhw kudeta dan revolusi utk menggulingkan pemerintahan, hanya terjadi jika ada kedzoliman rezim yang memicu gerakan militer bersenjata serta didukung massa (rakyat, mahasiswa, kaum intelek, dan lain-lain).


Untuk kasus 'Nusantara- Indonesia' sejarah mencatat lebih 7 kali terjadi kudeta atau prakudeta. Simaklah: (1) Ken Arok tahun 1222 terhadap raja Singosari Tunggul Ametung, (2) Ra Kuti thn 1319 terhadap raja Majapahit, (3) Aryo Penangsang thn 1549 terhadap Sultan Demak, (4) Kapiten Jonker thn 1689 thd VOC, (5) Pieter Erbeveld thn 1721 terhadap VOC, (6) Supriyadi di era Jepang tahun 1942, (7) PKI Muso terhadap NKRI, (8) PKI tahun 1965 terhadap NKRI, (9) Sawito dkk tahun 1976 terhadap Presiden Soeharto.


Ibroh dan hikmah yang bisa dipetik oleh bangsa ini adalah: "JANGANLAH REZIM INI MENDZOLIMI RAKYAT, JIKA SEJARAH KUDETA TAK INGIN BERULANG; APATAH LAGI JIKA KUDETA ALA KEN AROK YANG BERSIMBAH DARAH MERAH". Semoga Alloh Subhanahu wa ta'ala senantiasa memberikan taufik, rahmat dan barrokah-Nya kepada kaum petinggi negeri ini. Aamiin.


*) Pemerhati sejarah dan budaya lokal

PALEMBANG - DURENREMUK

Hampir setiap hari kerja ASN, saya membaca rambu lalu-lintas penunjuk arah: Palembang - Durenremuk. Posisinya di tanjakan pascajembatan sungai Temam yang terjun ke sungai Kelingi antara Dusun Muarabelitibaru dengan Kelurahan Pasarmuarabeliti. Pertigaan arah ke Dusun Durianremuk. Hati nakal saya bergumam: pasti yang bikin konsep rambu lalin ini orang Jawa atau orang Gayo Aceh. 

Selama lebih 40 tahun saya bergaul dengan 'orang asli' Muarabeliti, menyelami dan belajar ttg budaya (dan bahasa) lokal Lembak Silampari - khususnya eks Marga Proatin V - jarang terdengar kosa kata DUREN kecuali sedang ngobrol dengan perantau atau keturunan etnis Jawa.

Sependek pengetahuan saya, untuk menyebut buah yang nama Latinnya Durio zibethinus Murr ini, orang Sumatera (kecuali suku Gayo Aceh) menyebutnya durian. Bahkan dalam dialek 'wang' dusun Lembak menyebutnya 'diyan' atau 'dian'.


Varian nama Nusantara atas buah ini sangat banyak: duren (Jawa, Betawi, Gayo), kadu (Sunda), duriang (Menado), duliang (Toraja), doriang (Ambon) dan banyak lagi. Jadi secara kajian etimologi-fonologis, khususnya aspek fonetik dan fonemik, penulisan rambu lalu-lintas itu keliru dan melenceng dari tradisi dan budaya lokal. Apatah lagi jika Kabupaten Musirawas ingin mengangkat dan menggaungkan budaya lokal Silampari ke persada Nusantara. Langkah taktis utk mengikhtiarkan obsesi itu bermula dari aspek yang paling asasi dan paling gampang, yakni aspek bahasa kemudian budaya dan peradaban.


Mohon maaf, kajian ini bersifat ilmiah kebahasan dengan argumen fonologis; sama sekali tidak bersifat sentimen - etnikalitas sebagaimana nuansa politik nasional sekarang ini yang agak gonjang-ganjing di dunia maya-sosialita.


Harapan kita, muatan otonomi daerah yang membuka ruang ekspresi warganya dalam "berkebudayaan" demi membangun peradaban yang lebih berkemajuan, bisa ditangkap secara bestari oleh pejabat dan tokoh 'genius lokal' di wilayah ini.. Mudah-mudahan pihak instansi OPD yang berwenang di Pemda Musirawas akan memahaminya dan bertindak secara cerdas nan bijak-bestari. Allohu'alam bishowwab..!


*) Pemerhati bahasa dan budaya lokal Silampari

TATABAHASA: MENYUKSESKAN, BUKAN MENSUKSESKAN

Di suatu petang ba'da magrib, secara 'empatmata' saya menghadap atasan langsung saya, Pak Sekda. Saya menyodorkan draf final pidato Bupati Musirawas yang akan dibacakan pada acara kunjungan Gubernur Syahrial Usman di Muaralakitan besok paginya. Itu terjadi antara tahun 2006 - 2007, kalau tak salah ingat. 

Mungkin karena perubahan jadwal kunjungan gubernur yang mendadak, saya menerima tugas yang sama sekali bukan Tupoksi saya. Tidak ada hubungan sama sekali antara jabatan saya dengan tugas 'suddenly' itu. Ba'da ashar tugas itu muncul. Mendadak... dak. Tapi... Okelah! Bukankah di poin terakhir Tupoksi setiap pejabat Republik ini ada frasa "melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan"?

Pada momen hisapan terakhir rokok 'SURYA-16' Pak Sekda, yang asapnya membumbung langit-langit ruang tamu, dia menyerahan konsep pidato itu. Bersegeralah saya mencermati hasil koreksian di depan Sang Bigboss. Dari 6 halaman kuarto dengan 26 paragraf, ternyata ada dua kata yang dicoret Pak Sekda. Dua kata itu adalah kata "menyukseskan" dan "menyosialisasikan".


Merasa punya dalil tatabahasa yang cukup valid, saya mencoba menyodorkan argumen morfologis dengan sesantun mungkin. Saya pikir, kalau pun 'dimarah' dengan bahasa Pagaralam yang 'medok', saya sudah sangat siap. Saya katakan secara verbatim begini: "Kata jadian (konfiks) dengan pola 'me - kan', jika mengimbuh kata dasar yang diawali konsonan 's', maka huruf 's' nya luluh menjadi 'ny'.


Contohnya: sapu - menyapu; sisir - menyisir; sikat - menyikat; sembelih - menyembelih, dst. Kata sukses dan sosialisasi itu, walau diserap dari bahasa asing, namun sudah masuk ke dalam entri kosa kata Indonesia. Dengan demikian pola pembentukan konfiksnya wajib tunduk dg dalil baku Tatabahasa Indonesia, kecuali ada eksepsi atau alomorf yang diterakan di dalam KBBI.


Saya hitung, memerlukan tiga kali hisapan SURYA-16 untuk mengangguk- angguk agak kebingungan; sekilas ada 'kegalauan jiwa' Pak Seka. Antara percaya dan tidak akan argumen si 'HINDI' ini yang basis ilmunya 'sekadar' pertanian dan pedesaan.


Semburat keraguan ta' mampu ia sembunyikan; terlukis dalam 'mehan' Sang Bigboss. Akhirnya ia berfatwa: "Tapi kata menyukseskan itu belum lazim nDi..... yang biaso itu mensukseskan. Aku pecayo dengan Kabah, tapi gantilah sajeu... ".


Maka, sebagai 'anak-buah' yang loyal, dan demi mempercepat keputusan, saya terima 'dengan ikhlas' saran Sang Bigboss. Petang itu alhamdulillah saya mendapat ibroh dan himah. Betapa seorang anak buah seringkali harus memenuhi 'selera' Bigboss kendati tak masuk di hati. Dan ternyata dalil hukum bahasa yang benar harus dilanggar ketika dianggap menabrak tradisi kelaziman dalam 'politik birokrasi'. Allohu'alam bishowab..!


*) Pemerhati bahasa dan budaya lokal

PLAT KENDARAAN SEUMUR-UMUR

Suatu hari di minggu-minggu hangat menjelang 'debat capres' kedua, saya mereposisi barang-berong di 'dapur kotor'. Dapur kotor itu istilah khas masyarakat Silampari, yang secara fungsional-historik bermakna gudang, ruang belakang atau 'blandongan' dalam bahasa Sunda- Priangan. Semacam ruang khusus yang berada di belakang; lazimnya centang- perenang, akibat menampung aneka spesies barang bekas dan barang sisa yang sayang dibuang. 

Saya tertegun demi melihat tumpukan plat kendaraan, baik yang kecil maupun yang lebar seukuran 395 mm x 135 mm. Plat-plat yang masih bagus itu membuat overload wadah kotak kayu, karena nyaris non-fungsional setelah diganti lima tahunan oleh SAMSAT - KORLANTAS.

Padahal, tahun 2018 kemarin, saya membayar seratus ribu utk plat kendaran mobil dan enampuluh ribu utk motor; dibayar di SAMSAT pada saat ganti STNKB. Kata kuncinya adalah bahwa bekas plat kendaraan itu masih sangat layak pakai, hanya angka masa laku (bulan dan tahun) di plat itu yang berubah.


Mengapa harus ganti plat? Setelah dilacak dasar hukumnya, ternyata bersumber dari UU No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ yang diperinci oleh PP No. 55 dan PP No. 80 Tahun 2012 tentang Kendaraan dan tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan. Untuk pedoman teknikalitas di lapangan, digunakan aturan derivasinya yakni Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor.


Di dalam Pasal 4 ayat (3) PP No. 80 Tahun 2012 memang mewajibkan agar terpenuhinya: (a) spesifikasi teknis Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB), (b) masa berlakunya TNKB, dan (c) Keaslian TNKB.


Secara logika awam, pemahaman masa berlakunya TNKB itu adalah tulisan kode bulan dan tahun yang tertera di bawah nomor plat utk memudahkan petugas Korlantas ketika merazia di jalan raya. Sedangkan keaslian TNKB itu maksudnya ada cap Korlantas di plat kendaraan. Padahal, di jaman kini, betapa mudahnya meniru cap Korlantas di kaki lima.


Jika kita mencoba menganalisis tekstual di dalam PP No. 80 Thn 2012 dan derivasinya, kemudian kita bongkar psikologi pejabat pembuat aturan di era itu, maka tampak jelas bhw perspektif berpikirnya adalah 'birokrat-sentris', bukan perspektif kesejahteraan rakyat. Akibatnya setiap 5 tahunan, rakyat dibebani kewajiban utk mengganti TNKB, padahal TNKB lama masih layak pakai. Ini mengandung tiga keborosan: uang rakyat, material plat seng yang terbuang sia-sia dan waktu pengurusan penggantian plat yang juga terbuang sia-sia juga.


Yang lebih tidak lucu, pengalaman seorang teman yang harusnya ganti plat motor Oktober 2014, sudah bayar 60 ribu, sampai 2019 ini tidak pernah ganti plat motor, karena alasan kehabisan bahan baku plat di tahun itu. Sewaktu dirazia Polisi, suruh ganti plat baru, dan..... suruh bayar lagi karena sdh terlambat satu perode TNKB. Tentu saja, teman saya 'bertengkar keras' di jalanan, karena merasa didzolimi oleh sistem administrasi negara yang dirasakan tidak berpihak kepada "oknum" teman saya tadi.


Masa berlaku TNKB memang ada sedikit manfaatnya, karena mempermudah Polantas pada saat "memelototi" kendaraan yang lewat di "musim razia". Tapi saya pikir, "mudhorotnya" jauh lebih besar karena membebani rakyat banyak. Bukankah paradigma berpikir negara harusnya berpihak kepada "keringanan beban rakyat" ketimbang kepada kepentingan aparat?


Konklusi rasionalnya adalah: kaji ulang beberapa pasal dalam UU No. 22 Tahun 2009, PP No. 80 Tahun 2012 dan Per-Kapolri No. 5 Tahun 2012. Idealnya utk mengurangi beban rakyat dan asas manfaat material plat kendaraan, penggantian plat bisa per 10-15 tahun. Syukur-syukur seumur-umur kendaraan, kecuali terjadi mutasi wilayah, ada mutasi pemilik dan proses balik nama. Mirip-mirip "pola pikir nalar sehat" ketika mengubah KTP seumur hidup. Allohua'lam bishowab.


*) Penulis adalah pemerhati sosial-budaya lokal