Sabtu, 31 Januari 2015

BUKIT KELAM: HULU MUSI & KELINGI

    Mungkin banyak orang tak tahu bahwa hulu sungai Musi dan Kelingi ternyata bersumber dari gundukan bukit yang sama, yakni Bukit Kelam di utara Kota Curup. Jika Anda berkendara dari Curup menuju Muaraaman Lebong, di kawasan wisata Tabarenah, terbentanglah jembatan yang cukup panjang. Itulah jembatan sungai Musi. Sedangkan hulu sungai Kelingi, adalah tumpahan air Danau Mas Bestari yang menampung aliran sungai Jelatang, Pengajin, Lerak dan sungai Danau yang mengalir dari sisi timur Bukit Kelam.

  Ketika saya Dalam mengumpulan bahan penyusunan buku “Atlas Eks Onder Afdeeling Moesi Hoeloe: Sejarah dan Potensi Pengembangan Budaya dan Sumberdaya”, saya melacak peta kuno Belanda tahun 1926 yang me-refer map as Hindie (peta Belanda) tahun 1060 dan direvisi tahun 1943 dan 1945. Walaupun dicetak tahun 1945, dibandingkan dengan peta-peta baru produksi JANTOP TNI-AD 1976 atau Bakorsurtanal, peta zaman Belanda tersebut lebih detail dan jelas, walaupun untuk membacanya perlu bantuan kamus Belanda-Indonesia karya Toean A.M. Hasjim. Peta itu tampaknya lebih untuk menunjukkan teritori Residentie Palembang dan Benkoelen, yakni batas wilayah Onder Afdeeling Moesi Hoeloe dan Redjang tahun 1926.

      Bukit Kelam setinggi lk. 1.959 meter dpl berada di hamparan pegunungan anak Bukit Barisan, yang menyembul di kawasan utara kota Curup Kabupaten Rejanglebong. Ada tiga bukit berbeda yang disebut masyarakat sebagai Bukit Kelam, yakni Bukit Kelam Barat, Tengah dan Timur. Di utara Bukit Kelam ke arah Kabupaten Lebong dan Kepahiang terdapat Bukit Hulusimpang, Bukit Basa, Bukit Pasu, Bukit Condong, Bukit Biring, Bukit Lalang, Pegunungan Beus dll. Itulah gugusan pegunungan yang mengalirkan anak-anak sungai Musi, yakni: Air Dendan, Air Betung, Air Duku, Air Simpang dll.

      Sedangkan dari sisi timur gugusan Bukit Kelam, mengalir tiga sungai agak besar: paling utara adalah sungai Selat, yang miliuk-liuk hingga di Desa Belumai - Tanjungsanai dan bermuara di Watas Lubuklinggau terjun ke sungai Kelingi. Di selatannya mengalir sungai Apo, yang bermuara di sungai Kelingi di Desa Airapo. Dan di sisi paling selatan, di bawah rembesan Danau Mas Bestari mengalirlah hulu sungai Kelingi. Dibandingkan sungai Beliti, sungai Kelingi ternyata lebih panjang mengular-meliuk melintasi desa-desa sepanjang jalan utama lintas Kepalacurup – Lubuklinggau- Muarakelingi dan akhirnya bertemu kembali dengan “saudara tuanya” yakni sungai Musi di Muarakelingi.

       Sungai Musi yang memiliki panjang lebih kurang 750 km, melintasi dua provinsi dan 9 wilayah kabupaten/kota hingga bermuara di Laut Jawa. Ketujuh kabupaten/kota itu adalah: Kabupaten Rejanglebong, Kepahiang, PALI, Empatlawang, Musirawas, Muratara (di Muararawas), Musibanyuasin, Banyuasin dan Kota Palembang. Dan sejarah kuno mencatat, posisi strategis sungai Musi dan kesembilan anak sungainya, dahulu kala, adalah sebagai jalur transportasi utama dari pusat pemerintahan dan perdagangan di Palembang ke wilayah Musi Uluan di zaman Sriwijaya, Kesultanan Palembang, Penjajahan Belanda dan Jepang hingga pascakemerdekaan RI.

   Sungai Musi adalah saksi bisu lalu-lintas perdagangan karet, kopi, batu bara dan hasil bumi lainnya di zaman kerajaan hingga pascakemerdekaan. Sungai Musi jualah yang menjadi saksi sejarah pelarian petinggi Kerajaan Sriwijaya dan loyalisnya ketika dikalahkan oleh tentara (perompak) Cina, Majapahit, Mataram, dari pusat pemerintahan Palembang ke daerah Musi Uluan.

     Di zaman otonomi daerah sekarang ini, kelestarian sumber air dan keselamatan daerah aliran sungai (DAS) Musi dan anak-anaknya seperti sungai Kelingi dan Beliti sangat dipengaruhi oleh keutuhan kawasan hulu Musi yang berada di Kabupaten Rejanglebong dan Kepahiang, yang notabene bukan wilayah kendali Pemerintah Kota Lubuklinggau dan Musirawas serta kabupaten lain di hilirnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa di masa yang akan datang sangat diperlukan kerjasama multi-partied antarpemerintahan yang dikoordinasikan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya air dan dampak lainnya seperti banjir dan sedimentasi sungai Musi.

  Silang sengketa antara Pemerintah Kota Lubuklinggau dengan Pemerintah Rejanglebong tentang pengelolaan sumber air PDAM bebeapa waktu yan lalu, adalah isyarat penting akan pentingnya kerjasama dwi-partied antarkedua pemerinahan. Lagi-lagi kearifan dan kebestarian kepala daerah untuk melihat masa depan akan ancaman bencana alam adalah tanggung jawab moral yang menjadi tolok-ukur sebagai pemimpin-negarawan; bukan pemimpin dari usungan partai politik an sich! Itulah ciri azasi pemimpin yang amanah sebagai penyelamat umat generasi bangsa di zaman kemudian. ***)

2 komentar:

  1. Terima kasih atas atensinya. Sejarah lokal perlu lebih dimunculkan untuk menambah wawasan geografi Nusantara.

    BalasHapus