Oleh: Hendy UP *)
Sebutan jabatan "camat" secara yuridis-konstitusional, baru dikenal sejak diundangkannya PP No. 50 Tahun 1963 tentang Pernyataan Mulai Berlakunya Penyerahan Pemerintahan Umum Kepada Daerah sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 6 Tahun 1959. Di dalam Pasal 3 ayat (2) antara lain disebutkan bahwa Asisten Wedana disetarakan dengan jabatan Camat. Di era Kolonial Belanda, jabatan Wedana adalah Kepala Distrik, dan Asisten Wedana setara dengan Kepala Onderdistrik.
Dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, struktur-hierarkis jabatan Camat dalam susunan organisasi Pemda Tk II semakin jelas dan kuat. UU tersebut berpasangan dengan UU No. 19 Tahun 1965 yang sama-sama ditandatangani pada 1 September 1965. UU ini berjudul "Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tk. III di Seluruh Wilayah RI". Namun sayang, kedua UU yang disahkan pada 1 September 1965 tersebut belum sempat dilaksanakan karena terjadi tragedi G-30S/PKI.
Kedua UU tersebut merupakan amanat atas Tap MPRS No. II/MPRS/1960, yang merespon gejolak di beberapa daerah yang tidak puas dengan rumusan UU tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebelumnya (UU No. 1 Tahun 1957) yang dianggap terlalu sentralistik dan belum memberikan otonomi secara penuh kepada daerah swatantra (daerah otonomi).
Sekadar kilas-balik, sejak proklamasi RI, UU yang secara substansial mengatur otonomi daerah adalah UU No. 1 Tahun 1945 tanggal 23 November 1945 tentang Komite Nasional Daerah, terdiri atas 6 pasal dan bersifat darurat untuk merespon gejolak di daerah agar mendukung NKRI. Tiga tahun kemudian terbit UU No. 22 Tahun 1948, dan khusus untuk wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) diundangkan UU No. 44 Tahun 1950 yang secara substansial nyaris tidak berbeda. Kedua UU tersebut, kala itu sudah sangat desentralistik (otonomi) dalam bentuk "swapraja" dan "swatantra". Hal inilah yang dikhawatirkan oleh beberapa pejabat pusat berpotensi akan terjadinya gejolak perpecahan di daerah. Oleh karena itu, diterbitkanlah UU Pemda yang kembali "sentralistik" yakni UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.
Jika kita telaah secara tekstual, di dalam UU No. 18 Tahun 1965 Pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa: "Wilayah NKRI terbagi habis dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan sbb: (a) Provinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tk I; (b) Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Dati II; (c) Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Dati III".
Artinya, sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga tahun 1965, sebutan jabatan "camat" belum secara legal-formal diterapkan dalam sistem kepemerintahan daerah. Namun demikian, pada tahun 1955, Prof. Mr. Soenarko dalam bukunya "Susunan Negara Kita Jilid IV" sudah menyebutkan: "... swatantra tingkat ketiga yang terendah dapat berwujud sebagai kota kecil, mungkin kecamatan, himpunan beberapa desa, suatu marga, dsb".
Semenjak terbentuknya Provinsi Sumatera Selatan pada 15 Agustus 1950 (PP No. 21 Tahun 1950) hingga tahun 1965, kedudukan Pasirah/Kepala Marga selaku kepala adat masih sangat dominan di masyarakat. Bahkan dalam beberapa sektor pemerintahan khususnya pelaksanaan bidang hukum pidana/perdata di wilayah marga, lebih berperan Pasirah ketimbang pejabat Wedana dan Asisten Wedana/Camat. Oleh karena itu , pasca-diundangkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah pun jabatan Pasirah lebih populer ketimbang Camat atau Asisten Wedana. [Bersambung]
*) Muarabeliti, 17 Oktober 2022