Kamis, 09 Oktober 2025

JERAMBAH NIUK 2019

Catatan: Hendy UP *]

     Sejak awal November 2019 ini, alhamdulillah jembatan beton baru di Tanahperiuk Kab. Musirawas, sudah fungsional walau belum diresmikan Pak Gubernur Herman Deru; melengkapi jembatan beton lama (dua jalur) yang dibangun tahun 1972. 

    Jembatan baru ini berada di jalan provinsi, merupakan penghubung dua wilayah otonom, yakni Kab. Mura dan Pemkot Lubuklinggau. Berpangkal di Kel. Simpangperiuk (Lubuklinggau) kemudian naik ke Dusun Tanahperiuk (Musirawas), lalu meliuk membelah kawasan Kec. Tugumulyo (eks Kolonisasi) dan  Kec. Sumberharta hingga di Simpangterawas sepanjang lebih kurang 22 kilometer. Tapi sejak tahun 2006 telah dibangun jalan "shortcut" dari Siringagung langsung ke GOR Petanang di jalan Lintas Tengah Sumatera sepanjang 10 kilometeran.

    Rasanya hampir empat tahun, besi gelagar itu "nyelonjor" terlunta-lunta nan mengenaskan jiwa, hanya karena alotnya rundingan ganti-rugi lahan. Dalam catatan, boring abutmen jerambah itu mulai dikerjakan pada tahun 2014, lalu terhenti dua tahunan, karena proses negosiasi ganti rugi lahan. di pangkal jerambah wilayah dusun Tanahperiuk. Konon, si pemilik lahan minta ganti-untung Rp. 700 juta hingga satu milyar. Baru tahun 2018 dilanjutkan lagi hingga selesai tahun 2019. Tak jelas, berapa jadinya harga lahan itu. 

      Sebutan "JERAMBAH NIUK" itu adalah bahasa Lembak Silampari, yang bermakna Jembatan Tanahperiuk. Kata "Niuk"  adalah sebutan untuk Tanahperiuk. Sedangkan kosa-kata 'jerambah' mungkin ada kaitan dengan bahasa Belanda "de brug" (jembatan) yang mengalami perubahan gramatikal-fonetik seperti halnya "Buitenzorg" yang berubah menjadi Bogor. 

     Arkian, dahulu kala Jerambah Niuk itu berupa jembatan gantung yang dibangun Belanda seiring dibukanya Kolonisasi Toegoemoeljo (1937-1940), dan paralel dengan masa pembangunan Bendung Watervang 1939-1941. Menurut para saksi sejarah, jerambah gantung yang dibuat pertama kali itu posisinya persis di jembatan baru sekarang. 

    Konstruksi gantungannya menggunakan 'baja seling' dan lantai papan, sedikit 'beguyang-guyang' dan bisa dilalui mobil kecil untuk mengangkut material dan hasil bumi dari dan menuju kawasan Kolonisasi Toegoemoeljo. Sekitar tahun 1960-1962 jerambah gantung itu pernah putus (Biografi Bupati Ibnu Amin, 2005, hal. 24). Menurut mBah Keling warga Kartomas (77 thn) yang pernah ikut menjadi kuli bangunan Jerambah Niuk, jembatan lama (kini masih fungsional) dibangun pada tahun 1971 hingga 1972. Persis serempak dengan Jembatan Musi Tebingtinggi, yang berjajar dengan jembatan rel KA sekarang.

      Di tengah masa pengerjaan jerambah Niuk lama, pernah terjadi banjir-bandang Kelingi, sehingga tiang dan gelagar penyangga sementaranya hanyut-lanyut berantakan. Maka terjadi hambatan teknis beberapa pekan, karena mengganti tiang penyangga baru dari batang kelapa berikut kawat begel pengikatnya. 

    Material tanah timbunan untuk oprit abutment jembatan diambil dari lahan warga, dengan harga angkut borongan seringgit (Rp 2,50) per kubik galian tegak. Konon, pemborongnya berasal luar daerah, mungkin dari Jawa dengan manajer lapangannya bernama Prajitno.

      Namun sayang, kokohnya Jerambah Niuk yang baru ini belum didukung oleh pelebaran jalan yang memadai, baik dari arah Simpangpriuk maupun dari Siringagung khususnya sepanjang Dusun Niuk. Kita maklum, bahwa jalan milik provinsi itu dirancang sekitar 80 tahun yang lalu. Untuk pelebaran jalan sepanjang Dusun Niuk memang agak problematik. Ongkos sosialnya cukup tinggi, khususnya terkait dengan prosesi Pilkada langsung Gub/Bupati yang seringkali berdampak nyata terhadap elektabilitas para kandidat, jika dianggap bertentangan dengan hak masyarakat pemilih.

      Satu-satunya alternatif adalah membuka ulang dokumen perencanaan jalan provinsi, yang dulu pernah digagas membuat jalur alternatif: yakni dari Bundaran Agropolitan Muarabeliti - Kampung Bali - Airsatan - terus 'shortcut' ke Jalan Baru Siringagung (via persawahan), menuju Petanang melalui "Jalur Simpanglima Sirgung" yang kini masih berjolok "SIMPANGBINGUNG".

       Ini sekadar pikiran liar-liur nan sedikit ngawur. Semoga saja pelebaran jalan itu, ada wujudnya. Allohu'alam bishawab!  ***


*] Muarabeliti, 25 November 2019.

[1] NEGERI NUSANTAO, KOLONIALISME & PERJUANGAN KAUM SANTRI

Oleh: Hendy UP  *) 

[Serial tulisan ini terutama merujuk kepada buku-buku: API SEJARAH (2 jilid) karya AM Suryanegara (2015), NEGARA PARIPURNA karya Yudi Latif (2011), SANG PANGERAN & JANISSARY TERAKHIR, karya Salim A. Fillah (2019), ATLAS WALISONGO karya Agus Sunyoto (2012), TAKDIR: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey (2014), PERGULATAN DUNIA PESANTREN editor M. Dawam Rahardjo (1985) dan SEJARAH PEMDA DI INDONESIA (2 jilid) karya Irawan Soejito (1976), serta berbagai sumber tertulis maupun video yang terdokumenter  di laman media maya].

1. Mukadimah

Arkeolog Wilhelm Solheim, menyebutkan bahwa Nusantao adalah sebuah negeri  di cincin khatulistiwa yang membentang di kawasan  kepulauan Asia Tenggara. Patut diduga, sang arkeolog menangkap kata "Nuswantoro" dari para pelaut Jawadwipa, atau membaca manuskrip kuno yang tertulis Nuswantoro, yang kelak berubah sebutan menjadi Nusantara dan kemudian Indonesia. 

Jauh sebelum era pra-kolonial, Nusantao dikenal sebagai sebuah negeri berdaulat dengan "gugus kemakmuran" (belt of prosperity) yang membentangi kawasan nan subur khatulistiwa; sebuah "negeri lautan yang ditaburi ribuan pulau" (archipelago). Archi bermakna kekuasaan, pelagos berarti lautan; bukan negeri kepulauan yang lebih mengisyaratkan bias daratan. 

Yudi Latif (2011) menulis, bahwa sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Lautan juga mewarnai karakter keluasan pikiran penghuninya yang mampu menampung aneka ragam pola kehidupan, baik yang terafiliasi dengan ritual keyakinan-keagamaan maupun tradisi-budaya suku-suku bangsa dari aneka negeri yang jauh. 

Mohammad Hatta (1963) melukiskan etos kelautan manusia Indonesia itu dengan sangat indah: "Laut yang melingkupi tempat kediamannya telah membentuk karakter nenek moyang kami. Irama tetap pecahan ombak yang berderai di tepi pantainya, sangat besar pengaruhnya atas timbulnya perasaan semangat bangsa. Anak-anak negeri  yang menetap di tepi pantai, saban hari mengalami pengaruh alam yang tak berhingga, yang hanya dibatasi oleh kaki langit yang makin dikejar semakin menjauh".

Kemudian: "Bangsa-bangsa asing yang sering singgah dalam melakukan perniagaan dari negeri ke negeri, mendidik nenek moyang kami dalam pelbagai rupa,  memberi petunjuk tentang aneka barang berharga dan strategi perniagaan. Pertemuan dengan bangsa-bangsa Hindi, Arab, Tionghoa dan lainnya, mengasah budi-pekertinya sehingga mampu menjadi tuan rumah yang ramah. Pada bangsa pelaut ini, keinginan untuk menempuh arah yang jauh senantiasa besar membakar jiwa. Dengan perahunya yang ramping, dilayarinya samudera luas tanpa gentar, ditempuhnya rantau yang jauh dengan tiada mengenal rasa takut".

Sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan yang berlimpah, Nusantao sejak dahulu menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai arus peradaban. Maka jadilah Nusantao sebagai taman sari peradaban bangsa-bangsa di seantero dunia. 

Selain itu, jenius Nusantao juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur akibat muntahan lahar-debu dari deretan pegunungan vulkanik, terutama di Jawa, Bali dan Sumatera serta gugusan pulau-pulau di sepanjang  Sunda Kecil hingga ke Tanah Papua. Tanah yang subur menumbuh-kembangkan segala macam: flora, fauna, misteri, khayalan, takhayul hingga pernik religi dan karakter ideologi-budayanya. 

Sedari awal peradaban, etos agraris masyarakat Nusantao bersifat religius dan gotong-royong. Hal ini terbentuk dari kesadaran akan meringankan penggarapan lahan dan ancaman binatang liar secara bersama-sama. Religiusitasnya terbangun dari keyakinan akan "tenaga dahsyat" yang  datang dari langit: tak tampak,  tak mungkin terbayangkan namun dirasakan nyata. Itulah pengakuan awal nilai "ketauhidan" yang berada di luar nalar-akal manusia, yang kelak diyakini sebagai sosok  Sang Hyang Taya dan disimbolkan  dengan "lobang" kosong pada dinding mihrab bangunan suci Sanggar, tempat pemujaan dalam agama kuno Kapitayan. 

*] Muarabeliti, 1 Oktober 2025