Oleh: Hendy UP
Kartomas
adalah nama seseorang dan bukan siapa-siapa. Secara fungsional-historik, sama
seperti Sudirman, Panjaitan, Suprapto dan Sukarno-Hatta; sebuah nama yang
karena peran dan eksistensi semasa hidupnya,
kemudian diabadikan sebagai nama jalan agar dikenang sepanjang masa.
Jasad
Kartomas telah lama terbujur dan tulang-belulangnya niscaya telah punah-menanah.
Kuburnya ada di tengah permukiman semenjak tahun 1970-an, di RT 03
Kelurahan Karangketuan Kec. Lubuklinggau
Selatan II. Dia adalah perantau asal Jawa sebagai ‘anak-buah’ kepercayaan
Keluarga Pembarap Sulton yang juga paman Pangeran Muhamad Amin Ratoe
Asmaraningrat, Pesirah Marga Proatin Lima. Tepatnya, adik kandung bungsu dari istri Abdullah yang bernama Sari Menan
dipersunting oleh Pembarap Sulton. Nama Kartomas, kini diabadikan sebagai nama jalan sepanjang 800 meter yang menghubungkan ‘Dam Payung Sohe’ di Karangketuan (Lubuklinggau) ke Desa Ketuanjaya – Airsatan – Kampung Bali dan Bundaran Agropolitan Center (Kab. Musirawas).
dipersunting oleh Pembarap Sulton. Nama Kartomas, kini diabadikan sebagai nama jalan sepanjang 800 meter yang menghubungkan ‘Dam Payung Sohe’ di Karangketuan (Lubuklinggau) ke Desa Ketuanjaya – Airsatan – Kampung Bali dan Bundaran Agropolitan Center (Kab. Musirawas).
Alkisah, sebelum era otonomi daerah, jalan Kartomas merupakan jalan
inspeksi irigasi yang kewenangan pengelolaannya berada pada Dinas Pengairan
Provinsi Sumsel. Ketika di tahun 1990-an kebun kelapa milik Haji Machmud Amin
dikavlingkan dan menjadi permukiman baru, jalan inspeksi itu dinamai jalan
Kelapa. Dan ketika di tahun 1999, surat anak saya dari Yogya nyasar ke jalan
Kelapa di Batuurip, saya merasa perlu berkoordinasi dengan aparat desa dan
tokoh masyarakat untuk menamakan jalan kami agar memiliki nilai sejarah dan
unik. Dan munculah nama Kartomas sebagai
sosok yang diyakini sebagai pemukim pertama di Dukuh Talangdarat Karangketuan.
Jalan Kartomas kini merupakan aset
infrastruktur dasar bagi Pemkot
Lubuklinggau. Perlu diingat, bahwa bagi kepala daerah yang negarawan, memahami
aset strategis seperti: jalan, jembatan, sekolahan dan Puskesmas adalah aset
yang berdimensi kemanusiaan sehinga tidak lagi berpikir: siapa yang
memanfaatkan aset tersebut; apakah warga Lubuklinggau atau warga daerah
lain. Jika pemahaman pejabat negara sudah
berada pada level ‘sufistik’ seperti itu, maka itulah ladang amal saleh bagi
pejabat yang niscaya kelak akan mengalir balasannya di alam akhirat.
Secara ekonomis, jalan Kartomas merupakan akses penting bagi sebagaian
besar warga Karangketuan (juga sebagian warga Ekamarga-Siringagung) yang
berusahatani dan beternak ikan di
wilayah Ketuanjaya, Satan dan Kampung Bali. Di samping sebagai akses utama bagi warga Ketuanjaya (Musirawas) yang keluar
ke Lubuklinggau dan Tugumulyo, juga merupakan akses penting bagi pengunjung Pesantren Syifaul Jannah Airsatan. Maka, jika jalan
Kartomas yang kini rusak parah bisa diperbaiki atau setidaknya ditimbun darurat
sebagaimana mestinya, niscaya masyarakat Lubuklinggau dan Musirawas akan sangat
berterima kasih, dan tentu pejabatnya akan
selalu diingat serta didoakan memperoleh balasan dari Allah SWT dengan memudahkan segala urusannya.
Di masyarakat Karangketuan, ada sekilas ‘rumor politik’ bahwa tidak
diperhatikannya jalan Kartomas selama tiga tahun terakhir ini adalah terkait
dengan Pilwako tempo hari. Mudah-mudahan
rumor ini tidak benar. Memang adalah fakta, bahwa perolehan suara
Nanan-Sulaiman (Nan-Suko) di Karangketuan dikalahkan oleh pasangan lain. Jika kita berpikir lebih bestari dan
mencoba memahami peta sosio-politik saat
itu, adalah cukup wajar akan kekalahan suara pasangan Nan-Suko. Perlu diingat bahwa secara emosional-etnologis,
mayoritas warga Karangketuan adalah berasal dari suku yang sama dengan pasangan kompetitor yang meraih suara
terbanyak. Di masyarakat kita yang masih tradisional-paternalistik, gejala
tersebut sesungguhnya sangat linier dengan derajat intelektual masyarakat kita
yang masih pada taraf ‘belajar berdemokrasi’, yakni lebih bersandar pada
emosionalitas daripada rasionalitas
dalam menentukan pilihan Wako-Wawako.
Tapi kembali ke tesis negarawan, seorang Wako-Wawako yang disumpah untuk
mengayomi seluruh rakyatnya, maka seyogyanya begitu dilantik sebagai
Wako-Wawako, segeralah melacikan seluruh catatan ‘distribusi perolehan suara
Pilkada’ yang akan mengganggu ketulusan berbakti kepada seluruh ummat yang
dipimpinnya. Atau, meminjam istilah SA
Wasesa (2011) – demi membangun ‘political branding’, akan lebih bijak jika
Wako-Wawako segera membangun jalan Kartomas sebagai investasi Pilwako 2017 guna
menambah peluru di medan peperangan kelak. Wallahu ‘alam.
*) Penulis adalah peminat
masalah sosial-budaya lokal.
0 komentar:
Posting Komentar