Senin, 26 September 2016

KARTOMAS & PILWAKO LUBUKLINGGAU

Oleh:  Hendy UP

Kartomas adalah nama seseorang dan bukan siapa-siapa. Secara fungsional-historik, sama seperti Sudirman, Panjaitan, Suprapto dan Sukarno-Hatta; sebuah nama yang karena peran dan  eksistensi semasa hidupnya, kemudian diabadikan sebagai nama jalan agar dikenang sepanjang masa.

Jasad Kartomas telah lama terbujur dan tulang-belulangnya niscaya telah punah-menanah. Kuburnya ada di tengah permukiman semenjak tahun 1970-an, di RT 03 Kelurahan  Karangketuan Kec. Lubuklinggau Selatan II. Dia adalah perantau asal Jawa sebagai ‘anak-buah’ kepercayaan Keluarga Pembarap Sulton yang juga paman Pangeran Muhamad Amin Ratoe Asmaraningrat, Pesirah Marga Proatin Lima. Tepatnya, adik kandung bungsu dari istri Abdullah yang bernama Sari Menan 
dipersunting oleh Pembarap Sulton. Nama Kartomas,  kini diabadikan sebagai nama jalan sepanjang  800 meter yang menghubungkan ‘Dam Payung Sohe’ di Karangketuan (Lubuklinggau) ke Desa Ketuanjaya – Airsatan – Kampung Bali dan Bundaran Agropolitan Center  (Kab. Musirawas).

Alkisah, sebelum era otonomi daerah, jalan Kartomas merupakan jalan inspeksi irigasi yang kewenangan pengelolaannya berada pada Dinas Pengairan Provinsi Sumsel. Ketika di tahun 1990-an kebun kelapa milik Haji Machmud Amin dikavlingkan dan menjadi permukiman baru, jalan inspeksi itu dinamai jalan Kelapa. Dan ketika di tahun 1999, surat anak saya dari Yogya nyasar ke jalan Kelapa di Batuurip, saya merasa perlu berkoordinasi dengan aparat desa dan tokoh masyarakat untuk menamakan jalan kami agar memiliki nilai sejarah dan unik.  Dan munculah nama Kartomas sebagai sosok yang diyakini sebagai pemukim pertama di Dukuh Talangdarat Karangketuan.

Jalan Kartomas kini merupakan aset infrastruktur  dasar bagi Pemkot Lubuklinggau. Perlu diingat, bahwa bagi kepala daerah yang negarawan, memahami aset strategis seperti: jalan, jembatan, sekolahan dan Puskesmas adalah aset yang berdimensi kemanusiaan sehinga tidak lagi berpikir: siapa yang memanfaatkan aset tersebut; apakah warga Lubuklinggau atau warga daerah lain.  Jika pemahaman pejabat negara sudah berada pada level ‘sufistik’ seperti itu, maka itulah ladang amal saleh bagi pejabat yang niscaya kelak akan mengalir balasannya di alam akhirat.

Secara ekonomis, jalan Kartomas merupakan akses penting bagi sebagaian besar warga Karangketuan (juga sebagian warga Ekamarga-Siringagung) yang berusahatani dan beternak ikan  di wilayah Ketuanjaya, Satan dan Kampung Bali. Di samping  sebagai akses utama  bagi warga Ketuanjaya (Musirawas) yang keluar ke Lubuklinggau dan Tugumulyo, juga merupakan  akses penting bagi pengunjung Pesantren  Syifaul Jannah Airsatan. Maka, jika jalan Kartomas yang kini rusak parah bisa diperbaiki atau setidaknya ditimbun darurat sebagaimana mestinya, niscaya masyarakat Lubuklinggau dan Musirawas akan sangat berterima kasih, dan tentu  pejabatnya akan selalu diingat serta didoakan memperoleh balasan dari Allah SWT dengan  memudahkan segala urusannya.

Di masyarakat Karangketuan, ada sekilas ‘rumor politik’ bahwa tidak diperhatikannya jalan Kartomas selama tiga tahun terakhir ini adalah terkait dengan Pilwako tempo hari.  Mudah-mudahan rumor ini tidak benar. Memang adalah fakta, bahwa perolehan suara Nanan-Sulaiman (Nan-Suko) di Karangketuan dikalahkan oleh pasangan lain.  Jika kita berpikir lebih bestari dan mencoba  memahami peta sosio-politik saat itu, adalah cukup wajar akan kekalahan suara pasangan Nan-Suko.  Perlu diingat bahwa secara emosional-etnologis, mayoritas warga Karangketuan adalah berasal dari suku yang sama  dengan pasangan kompetitor yang meraih suara terbanyak. Di masyarakat kita yang masih tradisional-paternalistik, gejala tersebut sesungguhnya sangat linier dengan derajat intelektual masyarakat kita yang masih pada taraf ‘belajar berdemokrasi’, yakni lebih bersandar pada emosionalitas  daripada rasionalitas dalam menentukan pilihan Wako-Wawako.

Tapi kembali ke tesis negarawan, seorang Wako-Wawako yang disumpah untuk mengayomi seluruh rakyatnya, maka seyogyanya begitu dilantik sebagai Wako-Wawako, segeralah melacikan seluruh catatan ‘distribusi perolehan suara Pilkada’ yang akan mengganggu ketulusan berbakti kepada seluruh ummat yang dipimpinnya.   Atau, meminjam istilah SA Wasesa (2011) – demi membangun ‘political branding’, akan lebih bijak jika Wako-Wawako segera membangun jalan Kartomas sebagai investasi Pilwako 2017 guna menambah peluru di medan peperangan kelak. Wallahu ‘alam.

*) Penulis adalah peminat masalah sosial-budaya lokal.    

0 komentar:

Posting Komentar