Secara intelektual, saya merasa berhutang ilmu kepada mendiang Gorys Keraf (GK); sedikit dari ahli bahasa Indonesia yang sangat fasih menjelaskan elemen dasar bahasa kebangsaan RI.
Sebagai seorang yang menyukai bahasa tulis dan tutur, saya membaca (dan mengoleksi) sebagian buku karya-karyanya: Komposisi, Tatabahasa Indonesia, Diksi dan Gaya Bahasa, Eksposisi dan Deskripsi, Argumentasi dan Narasi. Dari situlah saya pernah sharing kepada 80-an teman-teman guru SMA di Musirawas, ketika diminta sebagai narasumber untuk materi "Teknik Menyusun Artikel Ilmiah Populer".
Sedemikian detail nan lengkap kajian GK sebagai profesor linguistik, sehingga dijadikan rujukan ketika Pemerintah menyusun UU No. 24 Th 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara; bahkan ketika terbit Permendagri tentang Batasan Bahasa Daerah (Permendagri No. 40 Th 2007).
GK dilahirkan di Lamarera Lembata NTT pada 17 November 1936. Dan wafat di Jakarta 30 Agustus 1997. Beliau tamat sarjana Sastra Bid. Linguistik tahun 1964 dari UI. Disertasinya: "Morfologi Dialek Lamarera NTT" yang diuji 22 Februari 1978, mengukuhkannya sebagai Doktor Linguistik UI yang langka; sebutlah serekan profesi dg Anton Moeliono (wafat 25-7-2011), Slamet Muljana (wafat 2-6-1986) dan Sutan Takdir Alisjahbana (wafat 17-7-1994). Kini kita telah kehilangan banyak pakar bahasa, yang kini jarang diminati kaum millenial.
Sumbangan pemikiran GK dalam pembangunan sastra dan bahasa Indonesia sungguh sangat besar. Di tengah derasnya pengaruh budaya (dan bahasa) Barat, posisi bahasa nasional kita sedemikian rapuh jika tidak ditegakkan 'political will' sebagai dignitas dan kebanggaan sebagai bangsa berperadaban tua. Apatah lagi jika ditilik dari awal sejarah Nusantao Javadwipa. Javadwipa sesungguhnya bukanlah Jawa dalam konsep pemahaman entitas-etnologis, tetapi jauh melampaui peradaban bari seumur dengan istilah geologi 'Sundaland' sebagaimana diuraikan Stephen Oppenheimer (Eden in The East).
Salah satu keprihatinan GK adalah masih rendahnya persentase kata serapan bahasa daerah dalam KBBI. Dalam KBBI tahun 2008, dari seluruh kosa kata Indonesia yang sebanyak 90.049 entri, hanya 3,98% (3.592 entri) yang merupakan serapan bahasa daerah.
Sebagai negara kepulauan yang terbuka dengan jaringan laut Nusantara, disadari bahwa Indonesia adalah merupakan wilayah 'multikultural dan multilingual' yang potensial sangat kaya dan beragam bahasa daerahnya (suku bangsa). Populasi publik figur dan pemegang kekuasaan pada era tertentu, akan sangat berpengaruh terhadap kontribusi bahasa daerah di dalam KBBI, yang kemudian dijadikan rujukan bagi institusi Lembaga Bahasa dalam menyusun penambahan entri bahasa serapan.
Dari angka 3,99% kontribusi bahasa daerah dlm KBBI, dengan 70 bahasa daerah yg tersebar di wilayah RI, ternyata didominasi oleh 7 daerah, yakni: Jawa 30,87%, Minangkabau 25,86%, Sunda 6,21%, Madura 6,15%, Bali 4,26%, Aceh 3,12%, Banjar 2,78%. Yang memprihatinkan kita, ternyata pula bahwa tidak tercatat satu pun bahasa daerah di Sumatera Bagian Selatan, kecuali Lampung dengan kontribusi 0,4% di bawah Bugis yang 0,6%. Kemana bahasa Musi, Lembak dan Lebong???
Secara profesional, kita tidak bisa mengira-ngira, kenapa demikian. Kita wajib prihatin dan mari kita bangun dan dorong terus genius-lokal Silampari untuk 'unjuk-lidah' dan 'unjuk-karya' linguistik, sehingga bahasa SILAMPARI JAYA DI NEGERI SENDIRI. Baju dan pernik otonomi daerah adalah kunci untuk membuka kamar gelap kedunguan masa lalu. Semoga....! Allohu'alam.
Sebagai seorang yang menyukai bahasa tulis dan tutur, saya membaca (dan mengoleksi) sebagian buku karya-karyanya: Komposisi, Tatabahasa Indonesia, Diksi dan Gaya Bahasa, Eksposisi dan Deskripsi, Argumentasi dan Narasi. Dari situlah saya pernah sharing kepada 80-an teman-teman guru SMA di Musirawas, ketika diminta sebagai narasumber untuk materi "Teknik Menyusun Artikel Ilmiah Populer".
Sedemikian detail nan lengkap kajian GK sebagai profesor linguistik, sehingga dijadikan rujukan ketika Pemerintah menyusun UU No. 24 Th 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara; bahkan ketika terbit Permendagri tentang Batasan Bahasa Daerah (Permendagri No. 40 Th 2007).
GK dilahirkan di Lamarera Lembata NTT pada 17 November 1936. Dan wafat di Jakarta 30 Agustus 1997. Beliau tamat sarjana Sastra Bid. Linguistik tahun 1964 dari UI. Disertasinya: "Morfologi Dialek Lamarera NTT" yang diuji 22 Februari 1978, mengukuhkannya sebagai Doktor Linguistik UI yang langka; sebutlah serekan profesi dg Anton Moeliono (wafat 25-7-2011), Slamet Muljana (wafat 2-6-1986) dan Sutan Takdir Alisjahbana (wafat 17-7-1994). Kini kita telah kehilangan banyak pakar bahasa, yang kini jarang diminati kaum millenial.
Sumbangan pemikiran GK dalam pembangunan sastra dan bahasa Indonesia sungguh sangat besar. Di tengah derasnya pengaruh budaya (dan bahasa) Barat, posisi bahasa nasional kita sedemikian rapuh jika tidak ditegakkan 'political will' sebagai dignitas dan kebanggaan sebagai bangsa berperadaban tua. Apatah lagi jika ditilik dari awal sejarah Nusantao Javadwipa. Javadwipa sesungguhnya bukanlah Jawa dalam konsep pemahaman entitas-etnologis, tetapi jauh melampaui peradaban bari seumur dengan istilah geologi 'Sundaland' sebagaimana diuraikan Stephen Oppenheimer (Eden in The East).
Salah satu keprihatinan GK adalah masih rendahnya persentase kata serapan bahasa daerah dalam KBBI. Dalam KBBI tahun 2008, dari seluruh kosa kata Indonesia yang sebanyak 90.049 entri, hanya 3,98% (3.592 entri) yang merupakan serapan bahasa daerah.
Sebagai negara kepulauan yang terbuka dengan jaringan laut Nusantara, disadari bahwa Indonesia adalah merupakan wilayah 'multikultural dan multilingual' yang potensial sangat kaya dan beragam bahasa daerahnya (suku bangsa). Populasi publik figur dan pemegang kekuasaan pada era tertentu, akan sangat berpengaruh terhadap kontribusi bahasa daerah di dalam KBBI, yang kemudian dijadikan rujukan bagi institusi Lembaga Bahasa dalam menyusun penambahan entri bahasa serapan.
Dari angka 3,99% kontribusi bahasa daerah dlm KBBI, dengan 70 bahasa daerah yg tersebar di wilayah RI, ternyata didominasi oleh 7 daerah, yakni: Jawa 30,87%, Minangkabau 25,86%, Sunda 6,21%, Madura 6,15%, Bali 4,26%, Aceh 3,12%, Banjar 2,78%. Yang memprihatinkan kita, ternyata pula bahwa tidak tercatat satu pun bahasa daerah di Sumatera Bagian Selatan, kecuali Lampung dengan kontribusi 0,4% di bawah Bugis yang 0,6%. Kemana bahasa Musi, Lembak dan Lebong???
Secara profesional, kita tidak bisa mengira-ngira, kenapa demikian. Kita wajib prihatin dan mari kita bangun dan dorong terus genius-lokal Silampari untuk 'unjuk-lidah' dan 'unjuk-karya' linguistik, sehingga bahasa SILAMPARI JAYA DI NEGERI SENDIRI. Baju dan pernik otonomi daerah adalah kunci untuk membuka kamar gelap kedunguan masa lalu. Semoga....! Allohu'alam.