Senin, 19 Agustus 2019

AGUSTUS: MENGENANG BUNG GORYS (1936 - 1997)

Secara intelektual, saya merasa berhutang ilmu kepada mendiang Gorys Keraf (GK); sedikit dari ahli bahasa Indonesia yang sangat fasih menjelaskan elemen dasar bahasa kebangsaan RI. 

Sebagai seorang yang menyukai bahasa tulis dan tutur, saya membaca (dan mengoleksi) sebagian buku karya-karyanya: Komposisi, Tatabahasa Indonesia, Diksi dan Gaya Bahasa, Eksposisi dan Deskripsi, Argumentasi dan Narasi. Dari situlah saya pernah sharing kepada 80-an teman-teman guru SMA di Musirawas, ketika diminta sebagai narasumber untuk materi "Teknik Menyusun Artikel Ilmiah Populer".

Sedemikian detail nan lengkap kajian GK sebagai profesor linguistik, sehingga dijadikan rujukan ketika Pemerintah menyusun UU No. 24 Th 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara; bahkan ketika terbit Permendagri tentang Batasan Bahasa Daerah (Permendagri No. 40 Th 2007).


GK dilahirkan di Lamarera Lembata NTT pada 17 November 1936. Dan wafat di Jakarta 30 Agustus 1997. Beliau tamat sarjana Sastra Bid. Linguistik tahun 1964 dari UI. Disertasinya: "Morfologi Dialek Lamarera NTT" yang diuji 22 Februari 1978, mengukuhkannya sebagai Doktor Linguistik UI yang langka; sebutlah serekan profesi dg Anton Moeliono (wafat 25-7-2011), Slamet Muljana (wafat 2-6-1986) dan Sutan Takdir Alisjahbana (wafat 17-7-1994). Kini kita telah kehilangan banyak pakar bahasa, yang kini jarang diminati kaum millenial.


Sumbangan pemikiran GK dalam pembangunan sastra dan bahasa Indonesia sungguh sangat besar. Di tengah derasnya pengaruh budaya (dan bahasa) Barat, posisi bahasa nasional kita sedemikian rapuh jika tidak ditegakkan 'political will' sebagai dignitas dan kebanggaan sebagai bangsa berperadaban tua. Apatah lagi jika ditilik dari awal sejarah Nusantao Javadwipa. Javadwipa sesungguhnya bukanlah Jawa dalam konsep pemahaman entitas-etnologis, tetapi jauh melampaui peradaban bari seumur dengan istilah geologi 'Sundaland' sebagaimana diuraikan Stephen Oppenheimer (Eden in The East).


Salah satu keprihatinan GK adalah masih rendahnya persentase kata serapan bahasa daerah dalam KBBI. Dalam KBBI tahun 2008, dari seluruh kosa kata Indonesia yang sebanyak 90.049 entri, hanya 3,98% (3.592 entri) yang merupakan serapan bahasa daerah.


Sebagai negara kepulauan yang terbuka dengan jaringan laut Nusantara, disadari bahwa Indonesia adalah merupakan wilayah 'multikultural dan multilingual' yang potensial sangat kaya dan beragam bahasa daerahnya (suku bangsa). Populasi publik figur dan pemegang kekuasaan pada era tertentu, akan sangat berpengaruh terhadap kontribusi bahasa daerah di dalam KBBI, yang kemudian dijadikan rujukan bagi institusi Lembaga Bahasa dalam menyusun penambahan entri bahasa serapan.


Dari angka 3,99% kontribusi bahasa daerah dlm KBBI, dengan 70 bahasa daerah yg tersebar di wilayah RI, ternyata didominasi oleh 7 daerah, yakni: Jawa 30,87%, Minangkabau 25,86%, Sunda 6,21%, Madura 6,15%, Bali 4,26%, Aceh 3,12%, Banjar 2,78%. Yang memprihatinkan kita, ternyata pula bahwa tidak tercatat satu pun bahasa daerah di Sumatera Bagian Selatan, kecuali Lampung dengan kontribusi 0,4% di bawah Bugis yang 0,6%. Kemana bahasa Musi, Lembak dan Lebong???


Secara profesional, kita tidak bisa mengira-ngira, kenapa demikian. Kita wajib prihatin dan mari kita bangun dan dorong terus genius-lokal Silampari untuk 'unjuk-lidah' dan 'unjuk-karya' linguistik, sehingga bahasa SILAMPARI JAYA DI NEGERI SENDIRI. Baju dan pernik otonomi daerah adalah kunci untuk membuka kamar gelap kedunguan masa lalu. Semoga....! Allohu'alam.

Rabu, 14 Agustus 2019

KISAH HILANGNYA AIR & DINAS PENGAIRAN

Manakala berkeliling ke pedesaan di kawasan irigasi Merasi -Megangsakti, ada saja kehangatan nan tulus dalam konteks silaturahmi 'berwarganegara'. Ada hangatnya 'teh tubruk' dan rebus jagung-ubi yang tak mungkin hadir dlm 'silaturahmi' model paket tera-giga dunia maya.
Ada pertukaran humor ala kampung yang menyisipkan pesan moral tentang aneka persoalan sosial-ekonomi pedesaan yg genuin; bukan rekayasa politik-etis sebagaimana silaturahmi para politikus menjelang perhelatan Pileg-Pilkada atau balas jasa elektabilitas.


Dan 'petang-ahae' itu, di beranda rumah kawan lama yang mantan Kontak Tani, muncul kisah tentang hilangnya air dan Dinas Pengairan. Ada geriap cerita model partisipasi pembangunan desa pasca-lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan derivasinya yakni PP No. 43 Tahun 2014. Ada pula kelindan filosofis lahirnya Perda Mura Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tentu saja, foklore itu murni bersifat 'gesah-kedesaan' dan saya menangkapnya dalam konteks aturan formal regulatifnya.


Malam harinya, saya bermenung- kontemplatif dlm insinuasi-empatik akan aneka persoalan pedesaan yang sering kali gagal ditangkap oleh Pemerintah Daerah, apatah lagi oleh Pusat dan Provinsi, yang semakin terhijab oleh hiruk-pikuk 'politik-viral' yang hanya sesekali menyentuh bumi. Sayangnya kulit bumi mulai kehilangan unsur hara 'moral-esensialnya': kejujuran dan kebersamaan!


Mengapa di musim kemarau, air menghilang dari siring irigasi yang mulai nyata dari Bendung Kelingi (BK) 5 Desa A. Widodo? Padahal di BK 3 Ketuan air masih melimpah? Semua petani tahu jawabannya. Dan para pejabat-birokrat insya Alloh faham basis persoalannya.


Minggu-minggu ini ada ratusan hektar tanaman padi yang potensial puso, jikalau tak ada upaya gerakan pengawalan air oleh Tim Khusus, hingga benar-benar sampai di petak sawah kawasan Tugumulyo, Purwodadi, Sumberharta dan Muarabeliti. Aneka alat sedot air yang didrop Kementan/Dinas Pertanian ke Klp Tani tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya air yang mau dipompa-sedot tidak tersedia: "Cul ayoa..... Boss!", kata Mang Ran, sang mantan Ketua Klp. Tani "SUSAH-HONDJO".


Adapun hilangnya Dinas Pengairan Kab. Mura, jangan salahkan Pemda dan DPRD. Bertanyalah kepada 'para oknum' yang menyusun UU Pemda (UU No. 23 Thn 2014) khususnya Pasal 12, dan para teknokrat penyusun PP No. 18 Th 2016 tentang Perangkat Daerah.


Sebagai insan pertanian; saya tak habis pikir, kenapa 'urusan pangan' tidak dikategorikan sbg urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Padahal sdh ada UU Pangan yang lahir 2 tahun sebelum lahirnya UU Pemda yang 'menyesatkan' urusan pangan itu. Lebih kacau lagi, ternyata di Pasal 1 ayat (13) PP 18 Th 2016 itu sendiri menyebutkan bahwa "pelayanan dasar adalah pelayananan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara". Apakah pangan bukan kebutuhan dasar warga negara??? Kekacauan bernalar yg luar biasa.!


Akibat mindset yang kacau tentang karakteristik pangan (khususnya beras) dan proses bio-agronomisnya, maka hilanglah seluruh kosa kata 'dinas pengairan dan irigasi' di dalam UU Pemda dan PP 18/2016 tersebut. Ini tidak ada kaitannya dengan dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 ttg Sumberdaya Air oleh keputusan MK No. 85/PUU- XI/2013.


Kembali ke Pasal 37 PP No. 18 Th 2016 yang membagi urusan pemerintahan wajib dan pilihan, tidak dimungkinkan dibentuknya Dinas Pengairan yang seyogyanya akan mem-backup sektor pertanian. Ke-32 urusan yang bisa dilaksanakan oleh Pemda kab/kota tidak ada nomenklatur ttg urusan pengairan.


Di dalam Lampiran II bidang Ke-PU-an pada PP No. 18 Th 2016, dari 18 indikator hanya ada 6 item dengan total bobot 16. Dengan total bobot sebesar itu, maka hanya dimungkinkan keberadaan jabatan Kabid Pengairan yang nyantol pada Dinas ke-PU-an di level kabupaten. Yah... daripada musnah sama sekali.


*) Pemerhati birokrasi dan sosial pedesaan

Kamis, 01 Agustus 2019

GUMAM POLITIK: MUNGKINKAH HENDRA versus SUKO?

Mungkin saja. Namun agaknya nyaris impossible! Ini mah sekadar gumam. Warga Edensor UK menyebutnya 'mumble' atau 'suppress': suara tak jelas yg tertahan di kerongkongan. Semacam 'kasak-kusuk' elit desa yang berkeliaran di pinggiran siring Merasi-Megangsakti atau jalanan setapak kebon para di Dusun Lubukpandan Lakitan. It's reality folklore! 

Kadang politik itu mirip 'mancingologi': tergantung musim, jenis ikan yg diburu, luas empang, panjang joran dan mutu umpan yg dikemas. Jangan lupa posisi strategis saat memancing: gampang manuver kiri-kanan dan berputar sentrifugal, mudah menghindar atau menggebug ular liar, sembari mengusir nyamuk-remuk yang kulu-kilir.

Satu lagi: wajib pintar membaca ramalan agroklimatologi & geofisika. Jangan sampai keliru menghitung luasan geometriknya lantaran mengabaikan gambar stereometrik yg sudutnya tak berhingga. Jangan pula sampai muncul hujan petir sehingga bubar lari kocar-kacir. Maka, instrumen hitungnya harus menggunakan kalkulator mode invest lima digit di belakang koma.

Ketika dikonfirmasi tentang hal ini kepada mBah Bliti di Padepokan Metau, dia bilang begini: "Masih terlalu dini utk diskusi calon pasangan. Jadual Pilbup masih lama: Rabu 23 Sept 2020. Masa jabatan "H2G- Berarti" masih hingga 17 Feb 2021. Jangan keburu nafsu, Broth! Yang penting anggaran Pilbup Mura konon sdh diusulkan 41 milyar. Dan biarkan PollingKita.com meramaikan bursa dan memprovokasi massa. Memang di portal itu baru muncul 6 nama: H2G, Hj. Suwarti, H. Sulaiman Kohar, Firdaus Cek Olah, Alamsyah A. Manan dan Toyeb Rakembang. Besok lusa bisa belasan bahkan likuran nama".

Begini saja ramalannya. Jika kita amati hari-hari Pak Bupati H2G, dan makna sasmita yang kasat mata: jadual kunker lapangan, gestur dan jenis diksi-narasi retorikanya, maka hampir 99,9% akan naik ulang ke tengah gelanggang. Tentu untuk posisi ortu (orang nomor satu). Siapa pendampingnya? Yang lama atau baru? Itulah potensial ragam kleniknya.

Demikian halnya dengan Wabup Hj. Suwarti. Dari kerling mata dan warna kostum senam Jumatnya, serta ikhtiar gigihnya 'merebut' kursi Ketua DPC Gerindra, harus dimaknai sebagai titian karier untuk menggapai ortu. Ditambah posisi sang suami yg duduk di DPRD Prov. Sumsel, niscaya menambah bobot 'pede' utk menata 'fighting area' di panggung terbuka kelak. Pilihan strategisnya: go run to ortu atau tetap istiqomah sebagai orda.

Dari analisis klenik 'weton kelahiran' dan tipe lentik jemari tangan Bu Warti, agaknya bakal melesat menuju BELITISATU. Siapa pendampingnya? Atau, bisa juga, akan mendampingi siapa jikalau terjadi pecah kongsi di 2020?

Akan halnya Kuyung SUKO, Sang Wawako Linggau dua Pelita, agaknya susah ditebak sungging senyumnya. Tapi angin yg berhembus dari Watervang dan aroma pagi di ruang Moneng Sepati, agaknya mulai harum-semilir ke arah Beliti. Secara umuritas, Kuyung Suko dianggap 'tua-enerjik'. Tapi apakah akan terus mengabdi hanya utk orda?

Menurut ramalan mBah Bliti, kalau utk menuju BELITISATU, rumus bangun geometrikalnya masih berhingga. Kalkulasi mobilitas ruang massanya cukup potensial, namun neraca logistik dan daya terjang di lapangan barang pasti perlu perhitungan cermat. Agaknya nyaris janggal kalau mau 'ngilir' tidak untuk BELITISATU. Walaupun ada catatan yurisprudensi unik ala Wapres Yusuf Kalla.

Namun ada catatan kecil. Ketika maju di Pilwawako dua kali, kita bisa merumuskan karakter dasar Kuyung Suko: tidak bernafsu naik tangga, agak 'pobhia' mencari perahu layar, lebih banyak mendengarkan dan istighfar, serta tidak neko-neko.

Dinamika politik Pilkada cenderung zig-zag nan sulit diduga. Jadi bisa saja kelak muncul JISAMSOE pasang. Probabilitas sementara: HENDRA + Orba, SUWARTI + Orba, SUKO + Orba, atau Orba + Orba. Atau H2G-Berarti Jilid 2, SUKO- WARTI atau HENDRA-SUKO. Dan masih banyak figur baru yg tak teramal oleh mBah Bliti. Allohu'alam!

*) Pemerhati sosial politik pedesaan

RESTAREA Km-57 BEKASI

     Sengaja aku parkir sesaat di  sebuah rumah makan. Sejak masuk pintu Tol Merak, menapaki Tomang - Kebonjeruk - hingga Cawang-Bekasi, terasa sumpek menyusuri kebisingan sepanjang jalanan rakyat berbayar. Sungguh otakku tak mampu membandingkan kepadatan dan laju kecepatan di jalur kiri, apatah lagi jalur kanan, di seberang sana. 

     Maka untuk mencermati lalu-lintas jalanan kita perlu keluar dari kedua lajur itu. Ini lebih fair dan menenangkan fikiran dengan secangkir 'kopi inteligensia'.

     Setidaknya kita bisa memandang lebih luas, lebih nyaman, lebih banyak varian dan lebih bisa mengomparasi utk mengonversi kesimpulan sementara. Anggaplah kedua jalur toll itu adalah: 01 dan 02. Anggaplah saja. Mana jalur yg lebih kacau, lebih sibuk, lebih padat dan lebih berkecepatan tinggi. Bahkan ada kendaraan yg sengaja salip kirikanan, terobos zigzag tak santun cenderung memrovokasi, menghimpun opini dg suara klakson sedemikian memekakan telinga. Subhanalloh....! 

      Tapi aku yakin dan berharap, di tengah malam kelak, jalanan akan relatif lebih sepi. Para pejalan toll pasti merasa lelah dan diam2kembali ke habitatnya. Rumahnya, di negeri Nusantao yg aman damai nan berkeadilan. Sobatku, kini aku sudah agak fresh, dan harus terus menyusuri jalanan berbayar. Hingga mencapai tujuan yg telah kuagendakan. InsyaAlloh...