Senin, 26 September 2016

MIMPI BERPIKIR ala BUPATI MUSIRAWAS

Oleh: Hendy UP

“Setiap kali pikiran saya dijejali isu aktual yang intens didiskusikan oleh masyarakat dan birokrat, ditayangkan TV berulang-ulang atau dihebohkan oleh dunia maya, saya sering kali ditimpa mimpi seolah-olah sedang berada di pusaran isu itu. Khawatir ikut pusing berputar-putar seperti penderita vertigo, lebih baik saya minggir dan bersiap tidur untuk bermimpi sembari berpikir”.

Mungkin karena primbon mimpiku sedang intens menyoroti isu politik-lokal,  malam Jumat Kliwon kemarin aku bermimpi jadi Bupati Mura. Sangat panjang mimpiku ini. Jika dikonversi ke satuan waktu, kira-kira berjangka 5 atau 10 tahun. Anehnya, mimpiku ini sangat detail dan terang, terjilid rapi dan bahkan burjudul-judul pula.

Pemikiran produk mimpiku kali ini adalah bersifat inspiratif-tendensius, yang bermakna sebagai sumber inspirasi bagi siapa pun. Atau analisis dangkal sekilas. Bisa juga sebagai sebuah sintesis aneka persoalan yang berkelit-kelindan; dan  sering kali gagal dihadirkan oleh Sekda, para Asisten, Staf Ahli Bupati atau bahkan para kepala SKPD. Maklumlah, mereka para birokrat itu senantiasa sibuk membangun akuntabilitas dan transparansi anggaran demi menghindari area yang “mengerikan” di balik kursi jabatannya.

Dalam mimpiku kali ini, begini.  Sebagai bupati, aku berpikir  jujur, bahwa rentang waktu satu dua tahun terakhir ini fisik dan psikisku sangat lelah. Semenjak memutuskan mencalonkan diri, mengundurkan diri dari PNS, memainkan lobi-lobi politik untuk meraih dukungan Parpol hingga mencari pasangan yang sepaham dan comfortable, sungguh amat sangat menguras pikiran. Dan itu bukanlah hal yang enteng, karena pada galibnya area politik dan hiruk-pikuknya jauh dari basis habitatku.

Kompleksitas kelelahan itu sungguh unidentifying dan bisa mendatangkan stres. Untungnya semenjak kecil aku dididik di lingkungan religius. Aku yakin betul, dzikir dan   shalatkulah yang senantiasa menyehatkan dan menyegarkan badan dan pikiran. Nasib seseorang ditentukan oleh kerja keras dan doa yang ikhlas. Aku yakin betul. Sejujurnya, aku banyak belajar strategi dari seorang Ridwan Mukti yang di luar dugaan, mampu memenangkan Pilkada 2005 lalu hampir tanpa dukungan birokrasi. Dalam kontestasi politik barusan,   keriuh-rendahan hari-hari pra dan pasca-Pilkada kunikmati sebagai pendewasaan diri untuk menjadi lebih matang. Juga sebagai wahana pendewasaan publik dalam belajar berpolitik. Bukankah itu substansi demokrasi Pancasila yang sebenarnya  lebih menjadi tanggung jawab politisi ketimbang birokrasi? Entahlah!

Kadang timbul rasa benci terhadap sekelompok orang, sekelompok masyarakat yang telah kubantu. Bahkan sekelompok teman dan anak-buah yang ternyata berbalik arah secara diam-diam atau terang-terangan. Aku cukup maklum, dan itulah salah satu item dari definisi politik-praktis. Aku berniat, dengan bismillah, akan berfikir sebagai negarawan. Mengayomi dan memperjuangkan nasib dan kesejahteraan warga Musi Rawas. Siapa pun mereka! Untuk itu, langkah pertama adalah melupakan dan melacikan daftar perolehan suara per TPS per desa per kecamatan agar tidak mengganggu ketulusan pengabdianku sesuai sumpah jabatan. Ini akan terasa sulit, tapi pasti aku bisa. Setidaknya secara bertahap.  Memelihara jaring-kemitraan dengan Tim Sukses akan kueratkan secara proposional dan profesional tanpa mengganggu keadilan dalam mengalokasikan sektor pembangunan wilayah. Hal ini demi kelanggengan program pembangunan Musi Rawas hingga 10 tahun ke depan. Insya Allah.

Dan seluruh kelelahan itu kini berbuah kebahagiaan, kedamaian dan tanggung jawab, begitu aku dilantik sebagai Bupati. Aku akan selalu berdoa, kiranya jabatanku ini akan memperluas ladang amal saleh dalam geriak hidupku, demi menyibakkan jalan menuju khusnul khotimah. Ini akan sangat menantang, di balik besarnya tantangan hawa nafsu syetan dan komplotannya.

Udara segar kawasan Margamulya pagi ini menyumbang ketenangan luar biasa. Shalat dan shalawatku subuh tadi sungguh nikmat rasanya untuk mengawali hari pertamaku sebagai ‘raja’ Musi Rawas. Tiba-tiba aku teringat nada tekanan Gubernur pada saat pelantikan. “…. Bupati dan Wakil Bupati harus mampu menjaga kekompakan untuk menunaikan janji-janji politik yang kalian ucapkan saat kampanye. Ingat itu! Dan banyak-banyaklah terjun ke masyarakat, ke lapangan. Tidak hanya menerima laporan para kepala SKPD dan Kades, karena sering kali hanya enak dibaca tetapi menyimpan bias yang menyesatkan…..”.

Dari meja makan, sekilas kulihat tumpukan berkas di meja kerja . Sebagai pegawai kawakan berpuluh-puluh tahun, rasanya hafal betul ragam isi dokumen itu. Sering kali aku gemes dengan para Asisten dan Sekda yang hanya menulis disposisi: “Dinaikkan untuk ditandatangani. Atau, Dinaikkan dan telah sesuai aturan. Atau, mohon petunjuk Bapak! Dan kalimat-kalimat standar disposisi yang bisa ditulis pegawai honorer. Jarang sekali disposisi Asisten atau Sekda yang menunjukkan kualifikasi pegawai golongan 4 layaknya sosok pejabat senior dengan kapasitas intelektual-profesional yang mumpuni. Aku ingin, disposisi itu menunjukkan rujukan  sejumlah aturan sebagai guide  prosedural yang bersifat taktis-operasional.

Tepat jam enam pagi, kupanggil ajudan dan sopir sembari menelpon Asisten II, Kadis PU-BM, Kadis PU-CK, Kepala Bappeda, Kadis Hubkominfo dan Kabag Kesra. Tak lupa, ku sms Bu Wabup agar memimpin apel pagi di halaman Pemda. Mobil meluncur ke arah Muarabeliti. Di  perbatasan kota, aku berhenti dan parkir di bawah gapura batas kota sambil menunggu bawahanku yang pasti kelabakan demi mendapat perintah mendadak di hari pertama bupati baru. Yang pertama muncul adalah Kepala Bappeda yang selalu siap graaak menerima perintah apa pun; disusul Kadishub, Kadis PU-BM dan PU-CK serta Kabag Kesra yang terlihat  kurang bergairah dan tampak agak jenuh.

Di bawah gapura, kuinstruksikan agar segera berkoordinasi dengan provinsi untuk proyek pelebaran jalan Lubukkupang-Muarabeliti. Aku sudah menerima sms, mungkin dari karyawan Pemda bahwa sejak diterapkannya finger print, jalan raya Muarabeliti pada jam berangkat dan pulang kantor sungguh sangat sibuk dan membahayakan pengendara mobil dan motor.  Akan lebih mengerikan jika berbarengan dengan masa mudik lebaran kelak.

Di tikungan maut Talangpuyuh yang pernah memakan korban seorang anggota DPRD versus PNS Peternakan, sebaiknya segera dilebarkan, diluruskan dan bikin dua jalur.  Menurut informasi, lokasi sepanjang pelurusan jalan itu hanya dimiliki oleh tiga orang. Ganti-untungnya bisa dikompromikan, dan bila perlu menggunakan UU Pembebasan Lahan yang baru karena jalan Lintas Tengah Sumatera ini berstatus jalan negara. Juga di Simpang Makam Pahlawan menuju Perumnas CPK dan  di depan SMA 2 Muarabeliti, agar didisain untuk pengamanan anak sekolah dan pegawai yang mengambil jalan shortcut menuju kawasan perkantoran Pemda. Juga jalan di lingkar Bundaran Polres yang bergelombang harus segera dimuluskan karena sering menghambat kendaraan dari arah Palembang.

Untuk menghindari kemacetan dan keruwetan di Simpang Pasarmuarabeliti, kuinstruksikan agar segera membangun jalan alternatif dari Bundaran AC ke Remayu yang telah dirintis sejak tujuh tahun lalu. Seingatanku DED jembatan itu telah disusun bersamaan dengan Jembatan Muarakati menuju Durianremuk pada tahun 2007 yang lalu.  Kemudian, dengan tertundanya pembangunan jalan dari Bundaran AC – Kampung Bali - Satan – Ekamarga menyambung jalan baru ke Stadion Petanang, Kadishub agar mengkaji ulang kemungkinan pemindahan jalur Bus AKAP dari Bundaran Polres ke Bumiagung – F. Trikoyo – Karangketuan atau shortcut ke Mataram – I.Sukomulyo – Paduraksa – Babat dan Terawas. Ini akan mengurangi kemacetatan di Simpangperiuk dan sekali gus menghidupkan jalur ekonomi sepanjang kawasan Tugumulyo/Terawas.

Sesampai di Masjid Agung Mura Darussalam, aku masuk ke dalam halaman parkir. Aku instruksikan kepada Kabag Kesra dan Kadis PUCK agar segera menyelesaikan biang kebocoran masjid kebanggaan Musi Rawas. Memalukan dan menyedihkan, masjid semegah itu bocor-banjir di saat shalat Jumat atau hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Area masjid seluas 200 m x 350 m dan Alun-alun itu agar senantiasa bersih, rapi, hijau dan asri. Area parkir masjid yang terluas di pinggir jalan lintas, tampak  bergelombang, kalau hujan berubah menjadi hamparan air. Mungkin elevasinya menurun karena dulunya adalah timbunan tanah merah tanpa dipadatkan secara sempurna.

Untuk pemeliharaan dan pemanfaatan area masjid, sebaiknya dijadikan laboratorium praktek lapangan bagi anak SPMA dan SMA atau anak-anak pelajar di kawasan Muarabeliti. Di sudut-sudut belakang, yang kini centang-perenang oleh limbah bangunan dan terkesan tidak terawat, mungkin  dapat ditanamami pepaya kalina, buah naga  atau bunga-bungaan yang ditata rapi nan asri. Area perkemahan Pramuka, bisa didekatkan dan dipusatkan di Masjid Agung.

Bangunan baru yang belum pernah dimanfaatkan di sektor kanan barat laut masjid, sungguh sangat disayangkan.  Aku berpikir akan sangat baik untuk dijadikan PAUD Islami atau sejenisnya. Atau Islamic Center plus perpustakaan.  Harus segera dicari model pengelolaannya agar Masjid Agung ini menjadi pusat perubahan peradaban dan modernisasi kultural dalam bingkai Islamiyah. Aku bermimpi, secara futuristik-dimensional, masjid agung ini bisa dijadikan model pendekatan spiritual  bagi pelajar dan pemuda Musi Rawas untuk menghindri narkoba dan dampak kenakalannya. Generasi tua, biarlah berlalu. Sejarah baru generasi berkeadaban yang “cerdas-mencerahkan”  dan “santun menyejukkan”  harus diukir.  Aku teringat motto TV-Muhammadiyah dan Aswaja-TV. Insya Allah ini akan menjadi  landasan utama membangun generasi religius-kultural  sesuai visi Musi Rawas Darussalam.

Rombongan kuarahkan ke Ruko Agropolitan. Kuinstruksikan agar dinas terkait memantau secara berkala kebersihan ruko dan penataan area parkir. Di depan Bank Sumsel dan Toko Manisan Agus, siring drainase yang kotor dan busuk menyengat harus dibersihkan.  Ini tugas siapa? Lihat perjanjian kontraknya!  Area parkir tidak semestinya gersang, harus rimbun dan asri. Di depan gapure Bali, aku instruksikan agar kompleks pure Bali dimanfaatkan, dirawat dan ditata taman-tamannya. Koordinasikan dengan tokoh masyarakat Bali dan Kandepag untuk pemanfaatannya.

Tiba-tiba aku tercenung. Di ibukota ini sudah ada Masjid Agung dan Pure Bali. Mana Gerejanya?, bisikan dalam hati. Kutanya para kepala SKPD yang semuanya sudah berhaji. Tapi tak ada yang menjawab. Aku berpikir, sebagai bupati bagi semua warga Musi Rawas, harus adil dan bijak. Berpikir  negarawan. Aku teringat Bung Karno yang membangun Masjid Istiqlal berhadapan dengan Gereja Katedral. Maka aku perintahkan Asisten II untuk berkoordinasi dengan instansi terkait demi mewujudkan gagasan ini. Kuakui, ini adalah hal sensitif karena menyangkut komprehensi pemahaman keagamaan yang kompleksitasnya multi-rumit. Dalam urusan peribadatan ummat, tidak boleh ada mayokrasi versus minokrasi.  Aku teringat buku setebal tafsir Ibnu Katsir yang membahas hal ini. Karya Yudi Latif yang berjudul “Negara Paripurna” dan “Mata Air Keteladanan” itu, sungguh memberi banyak informasi yang relevan dengan tugas pejabat negara seperti aku.

Maka, akan aku perintahkan kepada instansi terkait untuk mengadakan kedua buku itu dan dibagikan kepada para pejabat, anggota DPRD dan tokoh masyarakat.  Aku menilai, daya baca para birokrat Pemda amat sangat kurang. Jangankan membaca buku-buku ilmiah populer, membaca dan memahami Pedum dan Juknis pun sering keliru-keliru. Masyarakat kita memang maunya instan, bukan bersemangat mencari rujukan yang valid dan mengkomparasinya secara cerdas-teliti.

Aku dan rombongan berkeliling Bundaran Agropolitan Center. Aku teringat temanku pensiunan yang dulu menjabat Kabag Pembangunan di era Ridwan Mukti, katanya luas Bundaran AC lebih kurang 78 hektar. Mau diapakan yah, areal seluas ini? Dari jalan lingkar luar bundaran masih tersisa lebih kurang 50 meter sepanjang bundaran yang dirancang untuk Ruko sekeliling bundaran. Tapi kulihat tak ada batas tugu permanen. Kalau dibiarkan tak dipatok permanen, pasti akan diklaim oleh masyarakat karena harga tanah semakin mahal. Demi memandang   Ruko-ruko yang belum dimanfaatkan dan bangunan gudang serta bangunan-bangunan lainnya, aku berniat akan mengevaluasi total-komprehensif untuk bahan pengambilan kebijakan ke depan.

Aku meluncur kembali ke Bundaran Polres. Dari Pos Polisi, aku melihat masih ada baliho yang bertuliskan: “DI SINI AKAN DIBANGUN PUSAT PEMERINTAHAN”.  Seingatku, ini dipasang tahun 2006, kegiatan  Bagian Pembangunan. Aku suruh bongkar, karena sudah tidak relevan dan mengganggu pemandangan ke arah kantor Bupati. Memandangi gedung baru Kantor Bupati, aku agak kecewa. Desainnya terkesan kuno dan tidak wah. Kalah oleh kantor Bupati Kepahyang yang mirip Capitol Hill. Sayang sekali.  Seharusnya gedung ini lebih mundur ke belakang, sehingga terlihat luas, setidaknya seperti Pemda Tabapingin. Ah, sudahlah. Halaman  gedung yang rendah dan bakal banjir perlu ditimbun tinggi. Perdu repuhan yang masih serut di depan gedung kantor Bupati dan DPRD baru agar segera dibersihkan dan ditata. Dan, Pak Kadis PU-CK mengangguk ta’zim, sambil memikirkan rencana APBD-Perubahan.

Di dalam, mobil aku berpikir, harus segera membangun Pendopo Bupati di Muarabeliti. Aku berkeliling ke arah Dinas PU. Ada areal cukup luas tidak dimanfaatkan. Dulu diwacanakan untuk kavlingan anggota DPRD, tapi rasanya belum tuntas.  Aku akan cek status hukumnya. Tiba-tiba aku teringat lahan luas di belakang Mapolres.  Dulunya didesain ada jalan antara PLN dan tembok Mapolres ke arah jalan Makam Pahlawan.  Ada baiknya, di belakang BPN dan Kemenag dibangun Pendopo Bupati, biar mendekati Polres.  Dan di ujung jalan Makam Pahlawan dulu dirancang untuk Markas Kodim Musi Rawas. Tapi tiba-tiba ada usulan Kadis, bahwa ada areal 35 hektar di pinggir sungai Temam yang dulu direncanakan untuk membangun Lapangan Golf. Akhirnya aku putuskan, agar Asisten II menyiapkan  jadwal rapat untuk membahas hal-hal urgen di minggu pertama jabatanku.

Aku terbangun dari mimpi di tengah dalu.  Aku bergegas ke kamar mandi, dan aku menyiapkan kantuk untuk melanjutkan mimpi berpikir yang terpotong. Bismika allohuma ahya wa amuts. ***)


*) Penulis adalah peminat masalah sosial-budaya lokal dan pemerhati birokrasi.

0 komentar:

Posting Komentar