TANTANGAN MUREKS 12TH: IDEOLOGI, BISNIS & STRATEGI
Oleh: Hendy UP *)
Kasus 'koin Prita' yang dikabulkan MA pada 7 Agustus 2012, mengukuhkan medsos sebagai pilar demokrasi kelima. Sedangkan pers konvensional tetap diakui para ahli sebagai pilar ke-4. Bisakah kelak berubah? Bisa. Jika koran tidak lagi peduli menempatkan bisnis tanpa ideologi.
Tidak hanya itu, melimpahnya informasi hingga ke gang buntu, dusun-teluk dan ume-talang, ternyata mengancam eksistensi koran dan TV. Kendati pun, ruahnya info medsos itu lebih banyak sumpah-serapah yang menyampah, ketimbang sari berita yang patut dipercaya. Konon, di medsos itu lebih banyak 'ghibah' dan 'pamer-diri' ketimbang aspek edukasi dan literasi.
Sebagai 'insan pembaca', setiap pagi saya wajib membuang sampah dengan cara membuka menu: pilih lainnya dan bersihkan chat di 17 WAG aneka segmen!
Saya sungguh prihatin terhadap koran Mureks dkk! Baru berumur 12 tahun, menjelang akil balig, sudah harus berperang melawan 'makhluk medsos' yang liar nirkendali, manyong, delirium dan merampok jam produktif masyarakat hingga lupa diri. Bahkan, segmen masyarakat tertentu (terpelajar?) mirip alumni RS Jiwa yang kehabisan stok valium jika ketinggalan ponsel atau baterai ngedrop.
Seorang psikolog kondang jebolan UGM yang lahir di F. Trikoyo Musirawas (Nita Subarjo, MPsi) dalam artikelnya (22 Juni 202o) menguraikan bahwa 'gangguan' jiwa yang terkait dengan ketergantungan gadget-ponsel ada 4 grade, yaitu: selfitis, nomopobia, technoference dan cyberchondria. Sungguh sangat berbahaya: seperti bahaya laten narkoba dan ideologi Neo-PKI.
Jika Mureks ingin bertahan hidup di "ERA NDAK KARUAN PASCAKORONA", maka harus tetap menggenggam ideologi pers dalam keseimbangan bisnis. Ideologi pers yang utama adalah edukasi dan literasi. Pengelola industri koran wajib cerdas mengelola informasi yang bermutu: nirhoaks, nirsara, bernilai moral-edukatif, santun-humanis, tegas dan teruji validitas/kredibilitas data yang dipublish. Kecepatan waktu siar menjadi pemicu kredibilitas koran.
Prinsip dasar "bisnis" koran niscaya harus jalan untuk mengelola kehidupan: demokrasi, perusahaan dan karyawan. Jika tiras koran Mureks antara 3 - 5 ribu eksemplar, harga koran sekian, maka untungnya mudah dikalikan. Di mana-mana, income utama koran adalah jasa iklan, pungutan langganan tetap (kantor Pemda/Desa) dan jual eceran. Berapa totalnya, mudah dikalkulasi!
Tapi ingat, di era teknologi analog- digital kini dan kelak, informasi akan cenderung gratis. Maka, para penjual informasi non-virtual akan kehilangan pelanggan. Jadi jasa iklan akan lebih dominan asalkan banyak pengunjung yang 'like and share' dan lamanya durasi.
Jangan bermimpi Mureks akan mampu bersaing dengan koran nasional yg semakin mengglobal; maka perbanyaklah konten lokal yang dikemas secara cerdas. Butuh SDM wartawan, redaktur dan news editor yang militan dan anti 'kopipaste' kebablasan. Litbang Mureks harus diperkuat, data updating tak boleh henti dan rajin sharing dengan tokoh lokal. Bila perlu sediakan RUBRIK EDITORIAL yang menunjukkan idealisme dan entitas ideologi Mureks.
Yang perlu dipikirkan petinggi Mureks dan JPG kini: menyusun desain bisnis lokal model milenial yang memungkinkan MERGER ASET KORPORASI antara teknologi ANALOG dengan DIGITAL. Bahasa lugasnya: GABUNGKAN MANAJEMEN Mureks, LinggauPos, Silampari Post dan TVSilampari.
Saya sangat yakin, ide dan gagasan ini sudah ada dilaci Bung Dahlan Iskan. Tapi ibarat eskalasi pandemi Korona, perlu transisi NEW NORMAL sembari mengamati geriyak Kabinet Jokowi yang agak mutung pascarapat "kemarahan" pekan ini. Allohua'lam bishshowab! [*]
Muarabeliti, 30 Juni 2020
*) Blogger: www.andikatuan..net