Tampilkan postingan dengan label POLITIK-BIROKRASI-OTONOMI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label POLITIK-BIROKRASI-OTONOMI. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Juni 2024

POLITIK PRAKTIS [2]

Oleh: Hendy UP *) 

     Sungguh tidak terlalu ingat, sejak kapan pertama kali saya memahami kata politik praktis. Mungkin, rasa-rasanya ketika saat itu tak sengaja 'nimbrung-nguping'  diskusi para aktivis HMI di tahun 1975.  Ya, diskusi santai-rutin di ruang tamu, sebuah rumah kost-kostan para mahasiswa,  nun jauh di jalan Kebondalem IV,  Kaumanlama, Purwokerto. 
      Saat itu saya masih siswa SLTA, bertetangga kost dengan para mahasiswa IAIN dan UNSOED dari berbagai daerah dan pulau. Salah satu aktivis itu bernama Mas Noer, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, yang juga ketua HMI Cabang Purwokerto. Masih terngiang-ngiang, dalam diskusi-panjangnya mereka sering menyebut tokoh-tokoh HMI semisal: Nurcholis Madjid, Akbar Tanjung, Ridwan Saidi, Chumaidi Syarif, Abdullah Hehamahua dan tokoh-tokoh lainnya. 
      Menjadi semakin agak faham akan makna kata politik, ketika kemudian saya ikut nimbrung di komunitas Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Yogyakarta Besar.  Sungguh sebuah pengalaman baru, manakala bisa mengikuti 'Basic Training' (Batra) dan Diklat Jurnalistik-nya yang diselenggarakan di Balai Muslimin Kompleks Masjid Agung Purwokerto.
     Kala itu, salah seorang narasumber dari HMI Yogyakarta, dengan super-semangat menguraikan anatomi persoalan politik nasional dan hal-ikhwal politik praktis yang harus difahami oleh warga PII (dan HMI). Akumulasi makna kosa politik  yang berserakan kala itu, rupanya mampu menembus bagian dalam otak, lalu mengendap di penampungan "lobus temporal"  hingga membentuk persepsi khusus tentang politik praktis hingga saat ini. 
     Suasana politik di kalangan mahasiswa kala itu masih agak membara api, sebagai dampak dari Fusi Parpol 1973, peristiwa Malari 1974 dan  lahirnya UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedudukan  Golkar  dalam konstelasi politik nasional sangat kuat, dan kata 'oposisi' dalam perpolitikan Indonesia  sudah berlumuran tipp-ex dan mendekati haram jika diucapkan secara vulgar. 
     Ketika pesta Pemilu 2 Mei 1977, saya sempat 'diperingatkan' oleh aparat Koramil di kampung saya, agar tidak menyebarkan faham-faham anti-Golkar selama liburan menjelang Pemilu. Untunglah saya mendapat jaminan dari Kakek saya yang kala itu sebagai ASN di kantor Camat. 
      Afiliasi politik  warga PII (dan HMI) kala itu, secara mayoritas adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang berfusi pada 5 Januari 1973. Partai baru ini merupakan hasil fusi dari 4 partai lama yaitu: Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti). 
     Pada Pemilu 1977 itu, walaupun diintai dan dimata-matai oleh aparat Koramil, anak-anak muda perkotaan merasa bangga membawa kartu "KABAH" di sakunya. Dan atas dukungan mayoritas anak muda (pelajar dan mahasiswa) suara PPP pada Pemilu 1977 naik 2,17% dari Pemilu 1971 menjadi 29,29% (99 kursi), Golkar tetap unggul di angka 62,11% dan PDI menjadi juru kunci di angka 8,60%.
      Namun, seiring berjalannya waktu dan terjadinya gelombang reformasi, maka pada Pemilu 1999 (48 Parpol) dan hingga era post-reformasi  kini, ketertarikan anak muda dalam berpolitik praktis semakin terbuka lebar. Pilihan moralnya adalah, apakah hendak melibatkan diri dalam area: nasionalis, relijius, atau sekuleris? Atau penggabungan dari  ketiga karakter dasar itu. 
     Apapun pilihan kita, yang harus diingat adalah: bahwa permainan politik ini hanyalah sesaat. Esok lusa akan kita tinggalkan. Kemenangan dalam perhitungan suara  akan tak bermakna, dan siap-siaplah menghadapi metodologi perhitungan amal (hisab) mahakarya Gusti Allah yang tak mengenal margin-eror. Sekecil apapun. Allohu'alam bishshowab!! 
       
*) Muarabeliti SUMSEL, 3 Mei 2023

POLITIK PRAKTIS [1]

Oleh: Hendy UP *) 

     Politik menurut Ridwan Saidi (almarhum), pada dasarnya adalah bagaimana ikhtiar-ikhtiar  perumusan kehendak dilakukan, dan bagaimana pula proses perumusan itu berlangsung (Tempo,  9 Mei 1987). 
     Tentu saja, pada saat itu Ridwan Saidi sedang berbicara tentang idealitas kinerja politisi yang sudah duduk di kursi parlemen dan sedang berjuang keras merealisasikan ide dan gagasannya dalam paket praktis-ideologis yang disebut program partai politik.  
     Untuk mewujudkan cita-cita para politisi yang berjiwa negarawan (bukan petugas parpol an-sich), diperlukan prasyarat keilmuan dasar tentang politik dan kaidah  terapannya. Misalnya, harus faham tentang konsep bernegara (yang berke-Tuhanan), bagaimana beramaliyah dalam melaksanakan kekuasaan yang diamanahkan, bagaimana adab dalam mengambil keputusan, dan bagaimana menyusun dan menerapkan publik-policy,  serta bagaimana pula memprioritaskan alokasi sumberdaya yang serba terbatas.
     Semakin tinggi level kedudukan para  politisi (DPR, DPD, DPRD),  seyogyanya semakin tinggi pula prasyarat  keilmuan dan wawasannya. Keilmuan dan wawasan, biasanya dikaitkan dengan  jenjang kesarjanaan yang diperoleh dari bangku sekolah. Walaupun, seringkali tidak selalu linier antara tingginya jenjang pendidikan (formal) dengan tingginya keilmuan dan luasnya wawasan; apatah lagi jika dihubungkan dengan adab dan perilaku politiknya. Itu setidaknya menurut  Bung Miriam Budiardjo (2008) seorang pakar ilmu politik yang khatam berbagai teori politik berikut  kebusukannya. 
      Lantas apa itu Politik Praktis? 
Menurut sohib saya yang jebolan FISIF-UGM tapi  tetap qona'ah sebagai "petani totok" di kebun ortunya: "Adalah aktivitas politik yang terkait langsung dengan lembaga politik yang legal-konstitusional". Tentu saja, tambah sohib saya: "amaliyah tersebut berkelindan dengan urusan penyelenggaraan negara dalam proses pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, baik di level pemerintah pusat maupun daerah. Termasuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik di tingkat akar rumput di setiap jengkal tanah air kita".
     Agar tidak terjadi in-efisiensi sumberdaya, dibuatlah instrumen politik praktis yang disebut Daerah Pemilihan (Dapil). Tapi peta 'perdapilan' itu tidak harus menggugurkan idealisme dan tanggung jawab moral dalam berjihad di medan politik. Misalnya, jika terjadi aneksasi wilayah oleh negara asing di Pulau Talihe dan Pulau Bangka di utara Provinsi Sulawesi Utara, maka para politisi di parlemen dari Dapil manapun harus ikut bersuara dan berjuang mengenyahkan penjajah itu. 
      Menjadi politisi, masih kata sohib saya, sangat berpeluang menjadi orang mulia dengan jaminan sorga, tetapi sekaligus bisa sengsara dengan predikat kandidat penghuni neraka. Dan, jangan lupa, yang kelak panjang hisabnya di padang masyar, mungkin amaliyah politisi yang berkaitan dengan politik praktis. Seperti pertanyaan: apa motivasi awal antum   masuk politik praktis? Mengapa antum sebagai politisi yang beragama X, kok memilih partai Y dalam berjihad membela rakyat konstituennya?  Berapa habis biaya untuk melobi pengurus partai di berbagai level sehingga memperoleh selembar rekomendasi dari Ketum Partai antum? Dari mana uang antum peroleh? Dari mertua kaya atau oligarki hitam? 
      Sebelum sempat minum dan menyeka keringat di pelipis, disambung pertanyaan dari Malaikat lainnya: Dari mana uang yang antum peroleh untuk mengisi amplop serangan petang, dini hari dan utamanya di waktu fajar hingga syuruk? 
      Dan, sedemikian lamanya durasi hisab bagi para politisi kelak, maka seyogyanya LURUSKAN DULU NIAT ANTUM, UNTUK APA MENJADI POLITIKUS sebelum terjun ke kolam politik praktis!  Allohu'alam bishshowab! 

 *) Muarabeliti SUMSEL,  3 Mei 2023

Senin, 11 Januari 2021

INFRASTRUKTUR PEDESAAN

PAK GUB. DERU, JALAN NIUK~SIRGUNG TAK LAYAK! 

Oleh: Hendy UP *)

    Semenjak beberapa tahun yang lalu, jalan provinsi yang berfungsi sebagai lingkar luar Kota Lubuklinggau khususnya ruas Simpangperiuk ~ Siringagung ~ GOR Petanang, menjadi jalur sibuk bagai warung makan pasca-Jum'atan.

   Betapa tidak! Jenis kendaraan bus AKAP dan truk diesel-fuso jurusan Padang~ Medan dan seterusnya wajib masuk jalur ini karena diharamkan lewat kota di siang hari. Kesibukan ruas jalan ini niscaya akan semakin nir-kendali manakala kelak mulai berfungsinya 'traffic-light' di prapatan Simpangperiuk, karena jalur dari Muarabeliti ke Bengkulu diarahkan ke Lingkar Luar Selatan (L2SL) dan menimbulkan 'delay' dari arah  Tanahperiuk. Apatah lagi jika kelak ditegakkan monumen nan megah "TUGU BUNDARAN NANSUKO" di Simpangperiuk. Mengapa tak layak? Faktor utamanya adalah sempitnya jalan provinsi sepanjang tiga kilometeran ini.

   Pada saat ini, titik kemacetan akut setidaknya ada 4 lokasi: Pertama di mulut jalan Amula Rahayu sebelum jembatan kembar yang membentangi sungai Kelingi. Kedua di Simpang Satan, ketiga di Simpang Siringagung yang berhimpit dengan RM Mangking plus kios kaki-limanya. Yang ke-empat di sepanjang Dusun Tanahperiuk (Kab. Musirawas), khususnya jika belasan kendaraan parkir di momen keramaian (kematian dan persedekahan).

   Ada lagi, lokasi baru yang potensial macet di masa mendatang adalah di pangkal jembatan kembar yakni di tanjakan yang merupakan 'nyawe-gudu' (bottle-neck) ke kompleks perumahan baru di pucuk banyu Kelingi.

   Kemacetan laten ini diperparah oleh adanya 'nyawe-gudu' di dua lokasi lain: yakni di pangkal Simpangperiuk, karena ada sungai kecil yang belum diperlebar 'box-culvert'-nya dan kedua di Dam Payung Siringagung yang kini sudah berlobang. Box-culvert kanal irigasi sekunder ke Ekamarga dan Tanahperiuk yang dibangun Belanda tahun 1941 itu, pasti tidak didesain untuk bobot mobil dengan tonase seberat Bus AKAP dan truck overload muatan, apatah lagi untuk Fuso-gandeng dan Tronton delapan belas roda.

   Apakah ruas ini masih bisa diperlebar? Jawabannya: BISA! Jikalau kita amati secara seksama, masih ada space kiri-kanan jalan sekitar 2-3 meteran. Hal ini terlihat dari posisi tiang listrik permanen. Tentu saja, kanal drainasenya yang sebelah kiri harus dipindah dan di atasnya bisa dibangun trotroar yang kokoh sehingga bisa berfungsi untuk pejalan kaki, kendaraan motor atau parkir darurat kendaraan roda 4.

    Adapun kanal drainase yang sebelah kanan jalan dari Simpang Satan hingga ke simpang Siringagung, agaknya bertahun2 sudah tidak berfungsi lagi. Dan itu bisa ditutup permanen demi pelebaran jalan. Yang jadi kendala mungkin tiang telepon yang centang-perenang yang harus dipindahkan segaris dengan tiang listrik sekarang.

   Pelebaran jalan ini sungguh sangat mendesak, karena sudah beberapa kali terjadi kecelakaan mobil yang terjerembab ke kanal drainase khususnya di malam hari.

   Sekadar info sejarah, ruas jalan provinsi ini awalnya adalah merupakan akses jalan Simpangperiuk ~ Tugumulyo ~ Sumberharta - Babat- Terawas sepanjang lk. 28 km. Tapi sejak 2007-an ada jalur 'shortcut' Siringagung ~ GOR Petanang sepanjang lk. 9 km yang menjadi jalur alternatif demi mengurangi kemacetan kota. Sayangnya perubahan fungsi jalan tersebut baru diimbangi dengan penambahan jembatan, tapi belum diimbangi dengan pelebaran jalannya.

   Jika dua tahun ke depan Pak Gubernur segera menggenjot pelebaran jalan ruas pendek ini, maka niscaya akan menjadi lebih "PD" saat kampanye 2024 kelak. AYO, PASTI BISA! Allohu a'lam bishshowab!

Muarabeliti, 11 Januari 2021

*)Blogger: www.andikatuan.net

Jumat, 07 Agustus 2020

PENDAMPING H2G

PENDAMPING HENDRA GUNAWAN?

Oleh: Hendy UP *)

     Di acara masak-masak a'la dusun menjelang akhir waktu dhuha pekan kemarin, aku menjadi pendengar setia, atas gesah politik warga dusun yang varian tabi'atnya multi-ragam.

     Kami para lelaki asyik-masyuk ngobrol di bawah tarup tiga kodi, sementara para umak-umak glomat begesah di 'dapur-kotor' yang asap-pengapnya meliuk-liuk seperti siamang mabuk.

     Dusun yang kusanjoi itu dekat secara geografis dengan ibukota Muarabeliti. Dusun ini dulunya masuk Marga Tiang Poengpoeng Kepoengoet (TPK), bukan Tiang Pumpung Kepungut seperti tertulis di Perda Musirawas. Sebutannya "Yan-Mok". Maksudnya Durianremuk. Konon, dulunya habitat durian yang buahnya (atau bijinya?) kecil-kecil alias remok.

     Yang mengasyikan 'begesah' ala dusun adalah: topiknya serba-serbi tergantung mood, umpan pancingan atau penabuh gendang obrolan. Juga sangat polos, to de poin, agak tendensius, berbau stereotif dan nakal-bingal secara pemikiran. Materinya bisa apa saja dan melebar kemana-mana. Di era pandemi dan stagflasi ekonomi ini, porsinya kira-kira 90% kritik, 9% berita viral dan sisanya agak-agak humanis; kadang "pornostory".

      Kalau ditanya rujukannya selalu 'konon' alias uji wang atau uji-TV. Kalau kalah berdebat, tunggu! Gelas kopi bisa tumpah-belah. Maka, dalilnya sederhana: jangan pernah berdebat di tengah dusun. Topik gesah mula-mula sekitar harga jedol para yang tidak manusiawi. Itu tesis yang diusung Mamang, yang rambut-kumisnya nyaris putih sempurna.

     Lalu tentang korona, tentang Jokowi pusing, tentang Donald Trump yang arogan. Tentang hebatnya Mang Dogan Turki, tentang pendemo Hongkong yang lupa tragedi Tian An Men dengan ribuan korban digilas buldozer; just suddenly menyingung soal pendamping H2G? Tiba-tiba pula Bi Mey yang nyelonong membawa cerek kopi, masuk tarub dengan statement polos. "Ongah ka galak niah pikun, ..... pendamping H2G, jelas Bu Novi lah! Tuu... hape gi?". Kami kompak tertawa dan Bi Mey bligat balik ke dapur kotor, setelah nyomot sebatang rokok Insta dari meja tarub.

     Adalah Haykal, si milenial-nakal dari Belitilama yang mancing soal Pilkada dan pendamping petahana. Si Haykal sangat fasih mengulas figur para calon, rekam-jejaknya, rangking popularitasnya, potensial elektabilitasnya, peta dukungan partainya hingga ke aspek metapolitiknya.

      Kami hanya mendengar penuh ta'dzim sambil nyeruput kopi hangat Bi Mey. Agaknya si Haykal hapal menyimak ulasan analis politik, sekaliber Eka Rahman, M. Fadhillah atau Mukhlis M. Isa. Haykal juga tipe penadah berita medsos yang melimpah-ruah.  Ini tampak dari tangan kirinya yang lepas dari gadget tipe terbaru: Samsung S20 265 GB.

     Sepulang dari dusun, aku teringat kalimat Bi Mey. Kata kuncinya: pendamping. Yaa, pendamping kalau dalam konteks rumah tangga, memang harus saling melengkapi dan mengisi kekurangan, layaknya PASANGAN SETIA sehidup-semati.

      Sebagai mantan birokrat yang sudah hampir sepuluh tahun mengenyam 'pahit-manisnya' menjadi mahluk politisi, H2G pasti sudah punya  "Buku Catatan" dan "Catatan Kaki" yang tersimpan rapi di juru kamar pribadi. Isinya, hanya dia yang tahu; dan hanya "Dia" yang mahatahu.

      Istrinya, Bu Novi, pasti banyak sekali tahu, tapi masih tersisa "pengetahuan" yang berada di balik catatan itu. Di dalam ilmu membaca buku, ada yang namanya "marginalia", yakni catatan di pinggir teks yang hanya bisa difahami oleh penggoresnya. Ia menguar emosi-magis di saat menggoresnya, dan akan merekam gumam-gesah di dalam kalbunya, dan terus terngiang di saat membaca ulang. Yang tahu, hanya dia dan Dia!

     Sebagai desainer 'dingin' nan super teliti, mungkin Pak Gun sedang menyusun grand-strategi: "Memenangkan Pilkada 2020, Sembari Menyiapkan Pelana untuk Berkuda di Lapangan Sriwijaya". Dua area inilah yang membuat super hati-hati dalam memilih pasangan. Menyusun puzzle untuk dua area pertandingan.

     Tapi kriteria pasangannya agak tertebak: pendiam, tegas, potensial peraih suara di 4 kecamatan gemuk, bisa mandiri secara ekonomi, dan piawai dalam 'memelihara' dinasti birokrasi. Selebihnya bla bla bla. Allohua'lam!

Muarabeliti, 6 Agustus 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Sabtu, 18 Juli 2020

METAPOLITIKA 2020: PORTAL TUHAN MENAHAN SIAPA?

METAPOLITIKA 2020: PORTAL TUHAN MENAHAN SIAPA?

Oleh: Hendy UP *)

      Politik menurut Ridwan Saidi, pada dasarnya adalah "bagaimana ikhtiar-ikhtiar perumusan kehendak dilakukan dan bagaimana pula proses perumusan itu berlangsung" (KolomTempo, 9 Mei 1987).

     Bung Udin Muarabeliti si milenial nakal menambahkan: "idealnya, perumusan kehendak itu adalah program yang membumi, bernuansa genuin-lokalistik, berspektrum milenial-global, plus strategi pencapaian yang terukur". Sedangkan strategi dalam Kamus Webster: "seni mengelola kemampuan-kemampuan, sehingga muncul kemampuan baru dengan daya dorong yang lebih besar".

      Semakin ngawur konsepsi program yang dijual, semakin demagog pula pidato Jurkamnya. Namun, soal menang-kalah dalam Pilkada (dan kontestasi politik apapun), sungguh variabelnya multi ragam. Di atas segalanya: kodrat-irodat Tuhan yang maha mengatur!

     Menurut catatan KPU, di tahun 2020 ini ada 270 daerah (prov/kab/kota) yang akan 'pesta' Pilkada. Niscaya ada 540 insan yang telah ditetapkan Tuhan di buku-Nya, yang akan diuji dengan aneka instrumen Illahiyah: keadilan, kenegarawanan, kewenangan, ketaatan, dan ketahanan batin akan besarnya kemungkinan melenceng dari maqom keadilan, jika kelak memangku jabatan itu.

     Dan, ada ribuan insan (yang pasti gagal) yang langsung diuji kesabarannya, dalam menghayati "wa ilaa robbika farghob". Hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap! Barangkali, jika dirinya menang, belum mampu berbuat adil. Kriteria adil adalah 'the first important criterion to be tested'. Tuhan mahatahu!

     Metapolitika adalah cabang filsafat politik yang berkaitan dengan proses analitis atas hakikat fundamental tentang keberadaan kepemimpinan politik kenegaraan (imarah) dan realitas yang menyertainya. Hal ini mengandung makna bahwa seluruh konsekuensi jabatan yang dipangkukan dan kemudian diamalkannya, akan diuji akuntabilitasnya di hadapan Tuhan. Barangkali ini terkait dengan sabda Rasulullah SAW: "Kullukum ra'in wa kullukum mas'ulun an ra'iyyatih".

     Kata Meta, yang berasal dari Yunani kuno memang bermakna melampaui, melebihi (beyond) area tataran ilmu politik yang cenderung sekuleristik sebagaimana yang difahami Dunia Barat. Tentu saja, seperti halnya lingkup kajian metafisika, analisis metapolitika juga terkait dengan: eksistensi sistem politik, kondisi eksternal dan karakter struktur kenegaraan yang dianut, dan relasi ruang dan waktu dalam prosesi kontestasi kepemimpinannya.

     Tentang hiruk-pikuk Pilkada Mura dan Muratara, sungguh saya tidak mampu menulis sekadar analisis politik versi kampung, karena tak sedikit pun memiliki basis ilmunya. Saya hanya ingin menyumbang pemikiran bahwa ke depan, para politisi (legislator maupun pejabat daerah) wajib semakin mampu memahami 6 titik koneksi untuk membangun "political-branding" dalam proses kontestasi limatahunan. Keenam titik itu adalah: political desire, political awareness, perceived quality, political loyalty, political endorser dan political evangelist. Uraian detailnya bisa ditelaah di buku "Political Branding & Public Relations", karya SA Wasesa (hal. 166-168).

     Jika mengamalkan 6 item ini, maka dalam membangun branding politisi tidak lagi sekadar membangun reputasi dan persepsi baik-buruk an sich. Namun lebih dari itu, yakni pada proses retensi (mengelola loyalis/lama) sembari mengakuisisi dan meyakinkan konstituen baru. Ini akan memperkaya dukungan pelaksanaan program di level akar rumput. Tentu saja, semuanya diawali dengan prinsip dasar metapolitika.

     Jika metapolitika sudah dipahami, maka apapun hasil akhir kontestasi niscaya akan tertegun dihadang PORTAL ILLAHIYAH. Yang lolos akan diuji lebih panjang dalam mengamalkan niatnya sesuai koridor sunnah Rasulullah. Yang 'tertunda-suksesnya' segera diuji kesabarannya sembari diberi waktu untuk: meluruskan niat, mematut-matut diri untuk jabatan itu, sembari mengalkulasi ulang berapa banyak 'korbanan' (uang, teman dll) yang telah hilang. Allohua'alam bishshowab. [*]

Muarabeliti, 17 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Rabu, 15 Juli 2020

BULUH~BULUH TALANGPUYUH

BULUH-BULUH TALANGPUYUH

Oleh: Hendy UP *)

     Buluh-buluh di Talangpuyuh yang merimbuni jalan aspal jalur ibukota Muarabeliti itu sungguh berbahaya! Sangat mengganggu pengendara motor dan mobil, khususon para ASN Pemda Musirawas dan sesiapa yang melintasi jalan Trans Lintas Tengah Sumatera. Hanya truck Fuso dan mobil gandeng roda 22 yang cuek-bebek tak peduli.

     Buluh itu bahasa asli Melayu. Kadang disebut perindu, yakni buluh tipis yang sering dibuat suling. Bunyi suling itulah yang dipinjam sebagai metafora rindu-kasih remaja di jaman 'bahauela'. Buluh perindu! Orang Bule menyebutnya reed atau bamboo. Kata para botanis: it's family of Poaceae, subfam Bambusoideae.

     Sedangkan Talangpuyuh itu nama area, talang, rompok atau perkebunan, persis di hulu ibukota Muarabeliti. Dulu ada CV Haruma Amin di situ. Bahwa ada nama jalan Talangpuyuh di pinggir masjid agung 'Assalam' Lubukinggau, itu mungkin terkait dengan pemilik rumah Bachtiar Amin (mantan Bupati Muda Musi Ulu Rawas) di pinggir masjid agung, yang terkelindan dengan CV. Haruma. Allohua'lam!

    Sungguh keterlaluan! Rumpun buluh-buluh itu hanya dua tiga meter dari bibir jalan lintas. Sepanjang kisaran 500 meter di jalanan yang meliuk-liuk. Jikalau pascahujan angin, pucuk buluh itu meliuki jalanan. Batangnya mendoyong-sembah, merampas jalan aspal. Tajam sembilu. Kalau bermotor tak hati-hati, bisa terpaut, terjungkal dan tersayat perih. Mobil-mobil yang mengarah ke ibukota Muarabeliti dari Lubuklinggau, dan pas berpapasan mobil lain pasti terberet-beret. Yang disumpahi pasti pemerintah!

     Sebagai orang awam, saya tak paham, tugas siapakah 'merapikan' para buluh itu agar tak membahayakan pengendara? Kadus, Kades, Camat, Bupati, Gubernur atau barangkali Pak Wapres Makruf Amin? Just suddenly, saya teringat statement Pak Drs. Zainuddin Anwar dan Pak Drs. Sofian Zurkasie (mereka pensiunan pejabat Pemda Musirawas, alumni IIP) ketika ngajar ilmu pemerintahan di klas SPADA tahun 1994, tentang tugas pemerintahan umum.

     Dengan semangat berapi-api Pak Zainudin mengajarkan: "... kalau ada 'buntang' anjing atau gangguan lain di jalanan ... maka itu adalah bagian tugas umum pemerintahan yang didelegasikan kepada Camat sebagai pelaksana urusan umum pemerintahan ...". Kira-kira begitu makna verbatimnya!

     Tapi itu dulu. Pascareformasi mungkin lain lagi. Atau, kini mungkin ada di UU Pemda No. 23 Th 2014 juncto PP No. 17 Thn 2018 tentang Kecamatan. Allohua'lam, saya hanya menduga. Mahaf saya semakin dungu!

     Terlepas dari tugas siapa yang wajib mengamankan buluh-buluh itu, yang pasti masyarakat (dan para ASN yang mukim di Lubuklinggau) merasa terganggu sepergi-pulang ngantor. Tapi diam saja. Dalam kepasrahan sikap masyarakat, toh Pak Bupati bisa perintahkan Camat, Satpol PP atau pejabat PU-BM Musirawas atau UPT- PUBM provinsi. Atau istilah kini berkolaborasi antarpemangku kepentingan.

     "Masa, urusan gitu aja harus Pak Djokowi~Makruf Amin..." celoteh Udin Muarabeliti si Milenial nakal. Bahkan si Udin membayangkan: sebagai kawasan ibukota, suatu saat, dari jerambah Kupang hingga ke Simpanggegas, jalan lintas dibuat dua jalur plus taman tengah nan anggon, sebagaimana layaknya Metropolis Muarabeliti yang SEMPURNA DARUSSALAM. Wadduhh .... hebat lu Din.! [*]

Muarabeliti, 15 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 29 Oktober 2019

IRIGASI AIR-RAWAS: QUO VADIS? (2)

IRIGASI AIR RAWAS: QUO VADIS? (2)

Oleh: Hendy UP *)

      Pasca-terbentuknya DOB Muratara, Bupati Musirawas bersurat kepada Penjabat Bupati Muratara, bahwa demi keberlanjutan program ketahanan dan kemandirian pangan nasional (khususnya beras) Proyek Irigasi Air Rawas perlu dilanjutkan.

      Surat bertanggal 26 Februari 2014 itu juga menginformasikan bahwa pada tahun 2013 Pemda Mura telah menganggarkan Rp. 10 milyar untuk pembebasan lahan tapak bendung perangkap air (watervang). Namun, karena bersamaan terbitnya Perppres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah utk Kepentingan Umum; dan menunggu aturan teknikalitasnya (sebagai derivat atas UU No. 2 Tahun 2012), maka kegiatan tersebut tidak bisa dilaksanakan.

     Berdasarkan dokumen Studi Kelayakan (FS) Air Rawas, keperluan tanah untuk tapak bendung dan jaringan pendukungnya diperlukan lahan seluas lk. 141,73 hektar yang berada di Desa Sungaibaung dan Pulaulebar dan beberapa desa di holirnya. Untuk proses pembebasan lahan tersebut telah terbit Kpts. Gubernur Sumsel No. 714/Kpts/I/2013 tentang Pendelegasian Kewenangan Pelaks. Persiapan Pengadaan Tanah Kepada Bupati Mura. Namun lagi-lagi terbentur aturan teknis dari Pusat yang belum terbit.

     Selain Desa Sungaibaung dan Pulaulebar yang menjadi lokasi bendung, beberapa desa lainnya yang potensial terdampak pembangunan jaringan irigasi dan percetakan sawah adalah: Kertadewa, Sungaijauh, Sungaikijang, Remban, Lesungbatu, Lesungbatumuda, Surolangun, Lawangagung, Karangwaru, Simpangnibung, Sungailanang, Lubukkemang, Karanganyar, Kertasari, Rantaukadam, Karangdapo, Biarolamo, Aringin, Binginteluk, Beringinsakti dan Desa Tanjungraja.

     Untuk membangun partisipasi masyarakat yang akan terdampak pembangunan irigasi, tentunya memerlukan strategi multi-aspek yang bijak-bestari, transparansi dan kejujuran dengan aneka pendekatan yang 'mahasabar' dari aparatur Pemda. Jaringan urat sabar perlu lebih dilenturkan dan dua daun kuping wajib diperlebar.

     Akan tetapi, belajar dari pengalaman penerapan teknologi baru di bidang apapun (sosial-teknikal-manajerial), khususnya dari kultur berkebun dan model usahatani ekstraktif lainnya ke sistem persawahan 'padat kerja', diperlukan waktu lama dan percontohan usahatani yang nyata nan realistis. Perubahan jarak psikologi-kultural dari tradisional ke semi modern, modern dan post modern, niscaya perlu panduan dan mentor terus-menerus dari Pemerintah dan tak kenal lelah.

      Apapun cerita perjuangannya kelak dan sikap antisipasif untuk mewujudkan Proyek Irigasi Air Rawas, yang jelas para Birokrat dan Teknokrat Negeri ini, baik di Pusat, Provinsi, Kabupaten dan ke bawahnya, harus diniatkan untuk ibadah.

     Bukankah kata al-mukarrom UAS dan UAH menjadi Pejabat itu akan berpeluang memperoleh pahala (dan bonusnya) untuk cepat lolos ke Surga dari pintu mana pun? Allohu'alam. Semoga saja! [*]

Muarabeliti, Oktober 29, 2019.

*)Blogger: www.andikatuan.net

IRIGASI AIR-RAWAS: QUO VADIS? (1)

IRIGASI AIR RAWAS: QUO VADIS? (1)

Oleh: Hendy UP *)

     Proyek irigasi Air Rawas yang dulu digadang-gadang bakal mencetak 10.000 hektar sawah baru, kini seakan tenggelam ditelan pusaran Muararawas atau tertimbun bongkahan batu galena di Pulaukida Rawas Ulu. Bagaimana nasibnya?

      Sebagai insan pertanian yang prihatin dengan konversi puluhan hektar sawah subur menjadi rumah dan kebun di Kawasan eks Kolonisasi Merasi - baik karena kebutuhan pemukiman maupun kekesalan petani karena tak kebagian air irigasi - saya berharap akan tergantikan dengan percetakan sawah baru di Kab. Muratara. Ini semata demi stabilitas pangan di Negeri Silampari secara berkelanjutan.

      Secara nasional, pertumbuhan produksi beras yang 'naik tak memadai' (involutif, tak sebanding dg naiknya kebutuhan) dan cenderung 'mentok-naik' (levelling off) belakangan ini, merangsang Petinggi Negeri berpikir keras nan jangka panjang.

     Presiden Jokowi di era pertama (2014-2019), bertekad membangun sektor pertanian dengan tagline #satutiga-49. Maksudnya: akan mencetak sawah baru 1 juta hektar, merehabilitasi sawah (dan irigasinya) 3 juta hektar, serta membangun 49 bendung irigasi baru. Apakah kini sudah tercapai? Berita di portal website mengabarkan: banyak bendungan mangkrak, irigasi kerontang dengan aneka persoalan klasik. Allohu'alam!

      Sebagai DOB, Kab. Muratara memiliki kekayaan luar biasa. Di samping tanahnya menyimpan deposit aneka tambang mineral dan gas bumi, di bagian hulunya menyimpan jutaan mata air yang mengalirkan sumberdaya mahapenting untuk keberlanjutan ummat: it's million of cubic water!

     Hasil studi kelayakan (FS) pada tahun 2007, debit Air Rawas tercatat 20 liter per detik. Secara konstruktif-teknologis, dengan tingkat elevasi dan level kemiringan, dan derajat porositas tanahnya plus manajemen tata kelola irigasi yg ketat, diperkirakan mampu mengairi sawah minimal 10.000 hektar.

      Tentu saja, untuk mempertahankan debit itu, Pemda Muratara wajib menjaga keutuhan kawasan hulu sebagaimana diamanatkan UU Sumberdaya Air terbaru, yakni UU No. 17 Tahun 2019 yang baru diundangkan beberapa minggu lalu. Lantas, apa persolaan mandegnya Proyek Irigasi Air Rawas? Bahasa kerennya: Quo Vadis? Alumni pesantren menggumam: kayf masir alwazifa?

      Persisnya saya tak pernah tahu. Tapi tahapan langkah proseduralnya sudah cukup memadai. Catatan harian saya di tahun 2005, ketika saya masih berstatus birokrat, utk pertama kalinya saya mendengar paparan Ir. Intan dari Dinas Pengairan Mura di hadapan Bupati tentang prospek pembangunan irigasi Air Rawas.

     Dalam catatan saya, Pemkab Mura (sebelum ada DOB Muratara) telah melaksanakan FS tahun 2006/2007, studi AMDAL tahun 2008/2009; dan kemudian Pemprov. Sumsel telah menyusun Detail Enginering Desain (DED) pada tahun 2012. Pada tahun 2015/2016 (pascaterbentuk DOB Muratara) pihak Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera (BBWSS) VIII telah rampung mengadakan Review DED.

      Dilanjutkan pada tahun 2017/2018, studi LARAP (Land Acquisition and Resettlement Action Plan) telah menjadi bundel dokumen yang sangat berharga. Sekadar mengingatkan saja, bahwa studi LARAP adalah persyaratan mutlak utk memulai pembangunan skala besar, yakni berupa dokumen atas aktivitas pencarian pola/model aksi dlm. proses pembebasan lahan, bangunan dan tanam-tumbuh serta pemindahan penduduk yang terkena dampak pembangunan dengan pendekatan partisipatif.

     Jika tahapan studi LARAP sudah usai, maka langkah selanjutnya mungkin perlu ijin pendelegasian dari Gubernur untuk pembebasan lahan, baik utk tapak bendung maupun jaringan konstruksi primer, sekunder, tersier, dam bagi dan seterusnya.

      Sembari menunggu proses penyusunan RAPBN-P tahun 2020 dan APBN 2021, dalam hiruk-pikuk koalisi Kabinet Indonesia Maju Jilid II, niscaya Bupati Muratara telah menyiapkan berbagai dokumen untuk melengkapi usulan baru tentang keberlanjutan Proyek Irigasi Air Rawas. [*]

Muarabeliti, Okt 29, 2019.

*) Blogger: www.andikatuan.net

Rabu, 09 Oktober 2019

BUNDARAN SIMPANG BINGUNG

BUNDARAN SIMPANG LIMA "SIR-GUNG" & TUGU NANSUKO

Oleh: Hendy UP *)

    Demi menghindari kemacetan pagi mulai dari KOMPI Tabapingin hingga Simpang RSEA (Reconstruction South East Asia, bukan RCA), saya sering kali memilih jalur 'short-cut': Ketuan - Siringagung - Batuuripbaru - Kenanga II - Simpang RSEA Lubuklinggau.

    Di Simpanglima Siringagung, beberapa meter dari SPBU, para driver harus hati2 karena akan berbelok 'kiri-patah' sekitar 45°, lalu mengular kanan patah 45° menuju Kenanga II. Kondisi Oktober 2019 ini, khususnya jam-jam pagi, sudah lumayan sibuk kacau-balau. Orang Sunda menyebutnya'ribeut-pabeulieut'. Sedemikian kacaunya dan tanpa rambu penunjuk arah, warga setempat menyebutnya "SIMPANG BINGUNG".  Di pagi hari yang dominan adalah: pelajar (SMAN 4 & SMAN 7)- para ASN dan buruh-tani.

   Lalu saya membayangkan kondisi lalu-lintas yang potensial 'kacau-macau' ini pada 20 atau 50 tahun yang akan datang. Karena pembaca blog saya [www.andikatuan.net] tidak hanya 'Wong Silampari' (Lubuklinggau-Mura-Muratara) saja; bahkan 2- 3% nya warga USA, Australia dan Eropa, maka perlu saya definisikan Simpanglima SIR-GUNG itu apa.

    Sir-Gung itu kata pangkasan dari Siringagung, sebuah kelurahan di wilayah Lubuklinggau Selatan II, kota kecil di ujung Baratdaya Provinsi Sumatera Selatan. Kota ini dijuluki Kota Transito, karena dilalui jalur tradisional Trans Sumatera dari Jawa - Lampung - Palembang - Bengkulu - Jambi - Padang hingga ke Aceh. Simpanglima Sir-Gung berada di jalur ini.

   Simpanglima ini adalah titik sirkuit yang memecah lima trace-akses: (1) menuju GOR Petanang/Lintas Sumatera, Jambi, Padang dst, (2) menuju Kawasan Tugumulyo/Ibukota Muarabeliti/Tanahperiuk Musirawas, (3) menuju Batuurip/Kenanga II/Lubuklinggau, (4) menuju Watervang/Kelurahan Siringagung, (5) menuju SMAN 4/Kel. Siringagung. Dan mulai sekarang, Simpanglima ini harus segera dipikirkan solusinya agar kelak menjadi "SIMPANGLIMA SIR-GUNG" yang megah nan indah, bahkan bisa dijadikan "Ikonik Lubuklinggau Kota Metropolis Madani".

     Di tengahnya menjulang monumen TUGU NANSUKO yang bersorban bunga Celosia aneka warna; di malam hari terpendar terang 'lampu bar-lip' seolah mendesau-risau mengejar percik lengkung geometrika air mancurnya. Dan 'petang-ahay' menjadi objek selfi anak milenial yang lelah setelah belajar seharian. Tugu monumen berjolok NANSUKO adalah wajar sebagai bentuk penghargaan atas legasi yang akan diingat sepanjang masa.

    Saya tidak pernah membaca dokumen RTRW atau RDTR Kota Lubuklinggau. Tapi saya yakin sudah ada, termasuk planning Simpang Sirgung ini. Tentu saja saya tidak perlu mengutip butir-butir pikiran Melville C. Branch, Aurosseau atau Interpreting The City-nya Mang Truman Hartshorn. Tapi yang pasti, 10 hingga 50 tahun ke depan, Simpang Lima Sir-Gung akan sangat potensial kacau jika tak dipikirkan mulai sekarang. Dua hal yang saya bayangkan.

    Pertama, laju aktivitas transportasi yang akan melintasi Simpanglima Sir-Gung pasti sangat tinggi. Ditambah kemacetan di jalur kota akan memindahkan jalur kemacetan ke Jalur Kenanga II dan/atau jalur GOR Petanang. Pertumbuhan kawasan permukiman, kompleks pendidikan dan industri jasa lainnya di jalan baru Siringagung - GOR Petanang sangat potensial berkembang.

     Hal ini didukung oleh status jalan tersebut sebagai jalan poros Lintas Sumatera. Kedua, akan sangat tersiksa dan tidak nyaman para pemilik rumah yang berada di sirkuit Simpanglima. Sangat berbahaya bagi anak-anak mereka dan sangat sulit manuver kendaran yang akan keluar-masuk garasi rumahnya. Mungkin sekarang mulai merasakannya pada jam-jam sibuk. Apakah Pemerintah Kota akan diam saja? Tentu harus segera bertindak dengan penuh kebijakan dan visioner!

    Saya berharap, political-will Pemkot Lubuklinggau yang sungguh-sungguh visioner akan menuntaskan apa pun kendala teknikalitas di lapangan. Kuncinya adalah membangun komunikasi yang setara tanpa harus kehilangan wibawa Pemerintah.[*]

Muarabeliti, Rabu 9 Oktober 2019 *) Blogger: www.andikatuan.net

Kamis, 01 Agustus 2019

GUMAM POLITIK: MUNGKINKAH HENDRA versus SUKO?

Mungkin saja. Namun agaknya nyaris impossible! Ini mah sekadar gumam. Warga Edensor UK menyebutnya 'mumble' atau 'suppress': suara tak jelas yg tertahan di kerongkongan. Semacam 'kasak-kusuk' elit desa yang berkeliaran di pinggiran siring Merasi-Megangsakti atau jalanan setapak kebon para di Dusun Lubukpandan Lakitan. It's reality folklore! 

Kadang politik itu mirip 'mancingologi': tergantung musim, jenis ikan yg diburu, luas empang, panjang joran dan mutu umpan yg dikemas. Jangan lupa posisi strategis saat memancing: gampang manuver kiri-kanan dan berputar sentrifugal, mudah menghindar atau menggebug ular liar, sembari mengusir nyamuk-remuk yang kulu-kilir.

Satu lagi: wajib pintar membaca ramalan agroklimatologi & geofisika. Jangan sampai keliru menghitung luasan geometriknya lantaran mengabaikan gambar stereometrik yg sudutnya tak berhingga. Jangan pula sampai muncul hujan petir sehingga bubar lari kocar-kacir. Maka, instrumen hitungnya harus menggunakan kalkulator mode invest lima digit di belakang koma.

Ketika dikonfirmasi tentang hal ini kepada mBah Bliti di Padepokan Metau, dia bilang begini: "Masih terlalu dini utk diskusi calon pasangan. Jadual Pilbup masih lama: Rabu 23 Sept 2020. Masa jabatan "H2G- Berarti" masih hingga 17 Feb 2021. Jangan keburu nafsu, Broth! Yang penting anggaran Pilbup Mura konon sdh diusulkan 41 milyar. Dan biarkan PollingKita.com meramaikan bursa dan memprovokasi massa. Memang di portal itu baru muncul 6 nama: H2G, Hj. Suwarti, H. Sulaiman Kohar, Firdaus Cek Olah, Alamsyah A. Manan dan Toyeb Rakembang. Besok lusa bisa belasan bahkan likuran nama".

Begini saja ramalannya. Jika kita amati hari-hari Pak Bupati H2G, dan makna sasmita yang kasat mata: jadual kunker lapangan, gestur dan jenis diksi-narasi retorikanya, maka hampir 99,9% akan naik ulang ke tengah gelanggang. Tentu untuk posisi ortu (orang nomor satu). Siapa pendampingnya? Yang lama atau baru? Itulah potensial ragam kleniknya.

Demikian halnya dengan Wabup Hj. Suwarti. Dari kerling mata dan warna kostum senam Jumatnya, serta ikhtiar gigihnya 'merebut' kursi Ketua DPC Gerindra, harus dimaknai sebagai titian karier untuk menggapai ortu. Ditambah posisi sang suami yg duduk di DPRD Prov. Sumsel, niscaya menambah bobot 'pede' utk menata 'fighting area' di panggung terbuka kelak. Pilihan strategisnya: go run to ortu atau tetap istiqomah sebagai orda.

Dari analisis klenik 'weton kelahiran' dan tipe lentik jemari tangan Bu Warti, agaknya bakal melesat menuju BELITISATU. Siapa pendampingnya? Atau, bisa juga, akan mendampingi siapa jikalau terjadi pecah kongsi di 2020?

Akan halnya Kuyung SUKO, Sang Wawako Linggau dua Pelita, agaknya susah ditebak sungging senyumnya. Tapi angin yg berhembus dari Watervang dan aroma pagi di ruang Moneng Sepati, agaknya mulai harum-semilir ke arah Beliti. Secara umuritas, Kuyung Suko dianggap 'tua-enerjik'. Tapi apakah akan terus mengabdi hanya utk orda?

Menurut ramalan mBah Bliti, kalau utk menuju BELITISATU, rumus bangun geometrikalnya masih berhingga. Kalkulasi mobilitas ruang massanya cukup potensial, namun neraca logistik dan daya terjang di lapangan barang pasti perlu perhitungan cermat. Agaknya nyaris janggal kalau mau 'ngilir' tidak untuk BELITISATU. Walaupun ada catatan yurisprudensi unik ala Wapres Yusuf Kalla.

Namun ada catatan kecil. Ketika maju di Pilwawako dua kali, kita bisa merumuskan karakter dasar Kuyung Suko: tidak bernafsu naik tangga, agak 'pobhia' mencari perahu layar, lebih banyak mendengarkan dan istighfar, serta tidak neko-neko.

Dinamika politik Pilkada cenderung zig-zag nan sulit diduga. Jadi bisa saja kelak muncul JISAMSOE pasang. Probabilitas sementara: HENDRA + Orba, SUWARTI + Orba, SUKO + Orba, atau Orba + Orba. Atau H2G-Berarti Jilid 2, SUKO- WARTI atau HENDRA-SUKO. Dan masih banyak figur baru yg tak teramal oleh mBah Bliti. Allohu'alam!

*) Pemerhati sosial politik pedesaan

Selasa, 23 Juli 2019

KOALISI: MEKANIKA FLUIDA & DALIL RHEALOGI (2)

Misteri di statsiun MRT Lebakbulus (13 Juli 2019), yang mensyaratkan koalisi kursi 45 : 55 di tubuh eksekutif, terlanjur melanda ke mana-mana. Baik di prapatan dunia maya maupun di Padepokan Eyang Wangsakrama. Padahal itu jelas hoaks! Masa bagi2 kursi di 'warung sate'? Mereka kan LEADER bukan DEALER yg berunding margin fee..! Kata temen gue. Konon misteri ini diinisiasi oleh segelintir elit PDIP, Tokoh BG~BIN dan Ketua TKN secara senyap. Bung Paloh, Mas Ranto, Cak Imin dan Mas Airlangga kabarnya blm diajak. Banyak reaksi tokoh dengan aneka kepentingan, dengan gestur dan semiotika politik yg serba mungkin. 

Hari-hari ini, elit PDIP dkk di kubu KJ versus elit Gerindra dkk di kubu KP, saling intip dan saling hunus pedang, sembari browsing frasa argumen untuk saling tekan. Mas Amin Rais tampak gelisah dan kekurangan data lapangan utk merumuskan dalil politik minggu ini, sehingga buru-buru terbang ke Hambalang utk tandang makan siang, walau akhirnya ketemuan di tempat lain. Hasilnya disimpan di 4 kantong: celana , baju, jacket dan kantong plastik. Di depan wartawan baru dikeluarkan secuil, hanya warna kantongnya. Itu pun diucapkan dengan metafora: kadang amelioratif, kadang peyoratif, dan esok harinya mirip sinestesia.

Yang tampak paling sungkan rekonsiliasi dengan kubu Jokowi (yg dimotori PDIP) adalah PKS. Kita semua mafhum dan buku sejarah belum terlalu tebal untuk dibaca ulang. Secara genetikal-origin, PDIP memang berjarak jauh dengan PKS.


Menengok ke belakang, PDI (belum PDIP) adalah hasil fusi 5 partai di tahun 1973, yakni: PNI, Murba, IPKI, Parkindo dan Partai Katolik. PDI ini dibubarkan 10 Jan 2003. Dan pasca-peristiwa 'kerusahan' 27 Juli 1996, dibentuklah PDI-Perjuangan pada 1 Feb 1999, dengan ideologi Pancasila, Marhaenisme dan Sosialisme.


Adapun PKS (awalnya PK) didirikan 20 April 1998 hasil kristalisasi model dakwah Islam dari kampus yg dimotori kaum cendekiawan muslim yg bergerak tahun 1980-an. Tegas berideologi Islam. Di awal riwayat, ada peran besar Muhammad Natsir dan yuniornya: Imaduddin Abdulrohim aktivis dawah Masjid Salman ITB. PKS agaknya mengadopsi model partai Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pola rekruitmen kadernya berprinsip sangat ketat: al-da'wah al-fardhiyyah. Melalui model marhalah, muncullah nama-nama besar: Mustafa Kamal, Anis Matta, Hidayat Nur Wahid, Nur Mahmudi Ismail, Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq, Zulkieflimansyah (Ketua Senat UI), Salim Segaf, Hilmi Aminuddin dll. Jadi secara psiko- ideologis, memang cukup berjarak antara PKS dengan PDIP.


Namun demikian, tiga tahun terakhir ini PKS diselimuti cuaca agak berasap, ditambah arus angin agak memuting, sehingga terbatuk-pileg. Lalu agak 'mriyang'. Di internal PKS muncul istilah "OSAN-OSIN". Orang sana~orang sini. Dan klimaksnya, terhengkangnya (Trio Anfahma): Bung Anis, Fahri dan Mahfudz yg kemudian menggelar deklarasi GARBI (Gerakan Arah Baru Indonesia). Hal ini agaknya menimbulkan kohesivitas kader di daerah sedikit tergoyang.


Tapi untuk menyikapi polemik rekonsiliasi-koalisi, saya yakin PKS akan istiqomah untuk tetap oposan. Dan itulah 'branding' utama utk pasar demokrasi masa depan. Bahkan jika pun PAN & Demokrat mengikuti dalil rhealogi politik. Dan saya yakin, elit PDI tetap enggan 'berteman' dengan PKS yg hanya meraup 8,21% dengan suara yg kadang keras melengking. Membuat gatal-panas kuping para elit di seberang siring.


Hanya saja, kalkulasi politik bukanlah dalil mekanika fluida dan rhealogi, melainkan mirip 'ngelmu' dukun santet 'sinkretisme' yang menggabungkan ramuan material dan imaterial: rapalan potongan ayat suci, ritual klenik Kapitayan dan wangsit dari Padepokan serta bungkusan klembak-menyan dari Pasar Klewer. Klimaknya: pembakaran dupa Jumat kliwon yang 'mengelunkan' asap halus merah-putih NKRI, sembari meramal sasmita arah angin menjelang dini hari! Allohu'alam bishowab..!


*) Pemerhati sosial politik dan budaya pedesaan

KOALISI: MEKANIKA FLUIDA & DALIL RHEALOGI (1)

Artikel ini bukan analisis politik, tapi hanya sekadar 'gumam' politik kampungan. Boleh jadi dari kampung Muarabelitibaru eks ibumarga Proatinlima di jaman bari Sriwijaya. Konteks gumamannya sekitar koalisi Parpol pasca-Pilpres 2019. 

Secara awam ada koalisi Parpol pendukung Jokowi-Makruf (Jokruf) dan ada koalasi Prabowo~Sandy (Prandy).

Koalisi Jokruf 'ditakdirkan' sangat tambun, consist of: PDIP, Golkar, Nasdem, PKB dan PPP (yg masuk Parlemen). Sisanya: Hanura, Perindo, PSI, PKPI, dan PBB masih parkir di luar gedung.


Sedangkan koalisi Prandy cukup ramping: Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat (yang masuk Parlemen). Sisanya, Partai Berkarya yg senasib dengan Hanura dan PBB, nongkrong di halaman parkir. Bahwa ada cerita Demokrat dianggap zig~zag di sela~sela maraton pagi, itu soal lain. Adapun partai yg tdk jelas koalisinya adalah Partai Garuda besutan Harmoko, yg hanya mendapat 0,50% suara, senasib sial dengan PKPI (0,22%) dan PBB (0,79%).


Untuk menggambarkan potensi pergeseran anggota koalisi, saya meminjam istilah Prof. Bruce R. Munson, tentang mekanika fluida dan derivasinya, yakni cabang ilmu rhealogi. Mekanika fluida mengkaji perilaku zat cair dan gas dalam keadaan statik atau dinamik. Secara spesifik, fluida didefinisikan sbg zat yg berdeformasi (berubah bentuk) terus-menerus selama dipenguruhi tegangan geser. Daya geser akan muncul jika gaya tangensialnya bekerja kuat di permukaan.


Sedangkan rhealogi memfokuskan kajian atas perilaku benda yg bukan persis cair, dan bukan pula benda padat. Misalnya: lumpur, aspal atau odol dan beberapa bahan obat. Zat-zat ini akan berperilaku seperti benda padat jika gaya gesernya kecil; sebaliknya akan mengalir seperti benda cair jika gaya gesernya mencapai titik kritis tertentu.


Para tukang insinyur dengan mudah bisa menghitung kecepatan gaya gesernya, karena standar dimensi sebuah kecepatan adalah panjang dibagi waktu. Rhealogi banyak digunakan di bidang kefarmasian, khususnya desain peralatan medis utk mentransfer obat ke tubuh pasien.


Dalam konteks karakterisasi Parpol, sebutlah koalisi Jokruf kita simbolkan KJ dan koalisi Prandy (oposisi) kita sebut KP. Di masa sebelum penetapan pasangan Capres, baik partai di KJ maupun partai di KP pada umumnya potensial bersifat fluida-deformatif (gampang mengubah dukungan) kecuali PDI, Nasdem dan Hanura karena sudah punya Ruang Terbuka Hijau dg kursi santainya. Sebaliknya kadar viskositas antara Gerinda dan PKS (dan PAN?) sedemikian rekat karena diikat oleh ijtima ulama dan semangat anti Jokowi serta faktor lain.


Dalam hiruk-pikuk pra-Capres, PKB dan Demokrat mirip mekanika fluida; kadang condong ke KJ, lain hari melirik ke KP. Barangtentu Cak Imin merasa punya massa besar Nahdliyin, sehingga ke-PD-an dan berani main ancam. Sementara Demokrat merasa sbg kampiun dua musim Pemilu sehingga merasa 'tinggihati' melibihi lima senti dari jantung koalisi yg terus berdenyut.


Pascapenetapan hasil suara oleh KPU, koalisi Parpol relatif statik. Yang masih gaduh adalah Demokrat dengan manuver zig-zag AHY, sementara PAN tampak ada 'riak' dampak pergeseran generasi pemikiran. Ada 'tarik-tambang' antara: Pak Amin cs, Bung Zul dkk, serta Tulang Bara Hasibuan sekonconya. Agaknya Bung Zul lebih kohesif bersama Bara.


Diprovokasi oleh para aktivis demokrasi semisal Rocky Gerung dkk, agar tidak perlu rekonsiliasi antara Jokruf yg punya legalisasi pemenang versi KPU/MK dengan Prasandy yang 'memegang' legitimasi rakyat; just suddenly muncul 'misteri MRT' yg menggoyahkan koalisi Parpol.


Bocoran dari 'dapur kotor' berhembus kabar bahwa telah terjadi "undertable transaction" utk rekonsiliasi. Ada tokoh 'the hidden' sbg desainer, ada kemarahan terpendam, ada kekhawatiran kehilangan jatah kursi, ada juga kegamangan komunikasi karena terlanjur saling 'mengampret-cebong'. Pendek kata, ada riuh kasak-kusuk di sudut kamar partai, baik di KJ maupun di KP. Allohu'alam..! (Bersambung)


*) Pemerhati sosial politik dan budaya pedesaan

Selasa, 16 Juli 2019

BALIHO ITU TERTUNGGING-TUNGGING

Alih-alih menikmati siluet petang yang membumbung di langit kuning hamparan persawahan, mata ini justru dipaksa utk memelototi centang- perenang baliho, di sepanjang Jalan Raya Lubuklinggau - Tugumulyo Musirawas. 

Masyarakat lantas memaklumi bahwa bulan depan, pada 17 April 2019 akan ada pesta demokrasi yg 'super akbar nan unik' dan baru pertama kali terjadi sejak Republik ini tegak merdeka. Yakni secara bersamaan memilih: Presiden dan Wakil Presiden, Anggt DPR RI, Anggt DPD, Angg DPR Prov dan Angg DPR Kab/Kota. Sebuah anomali sistem demokrasi yg baku, hanya utk alasan transisional.

Secara 'ngelmu' klasik pemasangan baliho, posisi yg tepat bersifat "eyecatching". Mudah ditangkap mata dan terbaca berulang-ulang oleh orang yg 'kulu-kilir' di kawasan itu. Tapi kalau yg terpampang luar biasa banyak dan centang-perenang saling berdesakpan, maka tujuan dasarnya pasti tidak tercapai. Orang malah pusing menatap aneka foto miring kiri-kanan dengan 'backdrop' aneka warna nir-estetika.


Minggu petang yg cerah itu, kami lagi nongkrong di mulut Jln. Kartomas Karangketuan, menyaksikan lalu-lalang kendaraan dan 'kreto' rakyat pedesaan. Maka terjadilah obrolan kaki lima yg 'ngalor-ngidul' tak karuan.


Mula-mula Mang Zuhar berkomentar tegas bernada kapitalis. "Sekarang nih.. walaupun caleg nyembur duit.... belum tentu dipilih. Apolagi kalau caleg dak pakai duit. Pasti dak 'kan dipilih". Lik Paimin nyambar: "Orang milih Caleg itu, pertama karena jasa, kedua karena kasih uang lebih dari Caleg lain, yang terakhir baru pertimbangan keluarga dan pertemanan yg sudah lama dan akrab".


Tiba-tiba datang Kuyung Jemat yg mantan preman merangkap LSM nimpal: "Alangkah banyak yang dungu sekarang ini. Sudah jelas tidak pakai foto di surat suara, masih saja membesarkan gambar foto ketimbang namanya di baliho itu...mendingan 'dortudor' ke rumah. Bawa gulo-kopi atau buah tangan lainnyo. Itu akan lebih memikat ketimbang pasang baliho di jalanan". Mungkin ungkapannya benar juga.


Diskusi kami beralih. Membahas foto baliho dan warna simbol partai yg dipilih sebagai 'back-drop' untuk mengantarkan obsesi caleg ke kursi tahtanya. Agaknya masyarakat awam tidak banyak mengenal tokoh2 itu, tidak familiar dengan nama2nya; apatah lagi tentang kredibilitas dan dari partai apa mereka.


Kesan saya, sebagian masyarakat bawah 'kurang peduli' dengan hiruk-pikuk kampanye Pileg dan Pemilu Presiden. Agak berbeda dengan gairah massal ketika akan digelar Pemilukada Gubernur pada 27 Juni 2018 kemarin, Pilkada Bupati/Walikota tempo hari.


Justeru yang membuat sumpah- serapah masyarakat adalah pemasangan baliho caleg yg nir-etika dan estetika. Tidak taat, sebagaimana diatur PKPU No. 23 Thn 2018 khususnya pasal 34 ayat (5). Yang dianggap biadab adalah Caleg yg menggelayutkan poster-balihonya di pepohonan, dipaku sekuat-kuatnya atau numpang ngikat di tiang listrik atau tiang apa saja yang berada di sepanjang jalan.


Psikologi para Caleg dlm hal metode pemasangan Baliho agaknya seragam. Yang dianggap paling strategis adalah di simpang tiga, disusul tikungan, di jalanan lurus dengan kondisi kiri kanan terbuka-hijau, dan terakhir di depan rumah Timses, rumah simpatisan 'high-loyal' atau di hutan- repuhan yang dianggap tak bertuan. Abrakadabra....! Just suddenly, minggu kemarin, Langit marah besar terhadap PARA BALIHO. Maka, dikirimlah puting-beliung yang dahsyat. Baliho semakin oleng. Ada yang terlempar ke jalan aspal, seolah putus asa ingin dilindas roda truk pasir. Ada pula yang terlempar ke siring irigasi seakan ingin menghanyutkan diri ke Dapil yang jauh. Takut malu di Dapilnya karena suaranya tak paralel dengan ongkos provokasi berbulan-bulan. Subhanalloh..!


*) Penulis adalah pemerhati sosial-politik perdesaan

HENDRA GUNAWAN: BUPATI MURA KE-22

Saya mengenal H. Hendra Gunawan (H2G) sekitar tahun 1990-an, ketika beliau sebagai insinyur muda mulai mengabdi di Dinas Pertanian Kab. Tk II Musirawas. Kami berkantor di Talangjawa Lubuklinggau. Tidak terlalu lama kami sekantor, karena beliau pindah ke Karangjaya dan Sarolangun untuk menjabat sebagai Kacabdin Pertanian di kecamatan.
Setelah beliau berpindah-pindah tugas ke beberapa instansi, kami dipertemukan kembali di Dinas Perkebunan (2002-2004) dan Bappeda (2007-2009). Ketika beliau menjabat Wabup di era Bupati Ridwan Mukti, saya menjadi bawahannya di Dinas Pertanian.


Sepanjang yang saya kenal, beliau adalah orang yang sangat teliti dlm membaca dokumen apa pun; dari perihal redaksional surat, sumber data yang digunakan, apatah lagi tentang substansinya. Beliau figur yang lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Sering kali beliau bertanya kepada bawahan, pura-pura tidak tahu, utk memastikan validitas informasi yang diterima sembari mengkonfirmasi kebenaran data dari aneka sumber. Karena tingkat kehati-hatiannya itu, ada kalanya keputusannya terkesan tidak tergesa-gesa, walaupun sementara orang menganggapnya kurang cepat.


Pertama masuk gelanggang politik, beliau mendampingi Bupati Ridwan Mukti sebagai Wabup semenjak 5 September 2010 hingga 2015. Dan ketika menjabat Bupati Musirawas bersama Wabup Hj. Suwarti (2016-2021), maka beliau adalah merupakan Bupati Musirawas yang ke-22.


Menurut buku "Dari Periode ke Periode Bupati Mura 1945-2015" karya M. Nizar dan Suganda Pasaribu (2014), ke duapuluh figur Bupati Mura itu adalah:


1. Raden Ahmad Abusamah (1945-1946);
2. Amaludin (1946-1947);
3. Muhd. Hasan (Bupati perang; 1947);
4. A. Azis (1947-1952);
5. Muhammad Arif (1952-1958);
6. Bachtiar Amin (1958-1961);
7. Zainal Abidin Ning (1961-1964);
8. Abdoel Ro'i (1964-1966);
9. H. Abdoes Somad Mantap (1966-1967);
10. Masdan, SH (1967-1968);
11. H. Muhammad Yoenoes/Plt (1968);
12. H. Mochtar Aman (1968-1979);
13. H. Cholil Azis, SH/Plt (1979-1980);
14. Drs. H. Syueb Tamat (1980-1990);
15. H. Nang Ali Solichin, SH (1990-1995);
16. Drs. Radjab Semendawai (1995-2000);
17. H. Suprijono Joesoef (2000-2004);
18. Ir. H. Ibnu Amin (2004-2005);
19. Drs. Zurkarnain/Plt (2005);
20. Drs. Ridwan Mukti (2005-2015);
21. Riki Junaidi/Plt (2015);
22. Ir. H. Hendra Gunawan, SH, MM (2015- sekarang).


Sebagai figur bupati Musirawas ke-20, niscaya keberadaan pemerintahan ini semakin dewasa dalam meghadapi karakter generasi millenial yang menghendaki pelayan serba cepat dan nyaris sempurna. Barang tentu, keberadaan birokrasi Pemda Musirawas beserta DPRD-nya wajib lebih cerdas dalam merespon dinamika sosial-ekonomi, dan keadilan hukum serta kesantunan berpolitik yang amanah demi kesejahteraan ummat Silampari. Insya Alloh.


*) Penulis adalah peminat sejarah dan budaya lokal Silampari

Senin, 07 Januari 2019

MENGGUGAT PASAL 12 UU PEMDA TAHUN 2014

Oleh: Hendy UP *) 

Menurut pasal 12 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pangan adalah urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Hal ini sungguh sangat kontradiktif dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang lahir dua tahun sebelumnya. Mengapa saat itu, birokrat di Kemendagri/Kementan dan anggota parlemen di Panja UU Pemda “terjangkit virus “gagal faham?  

     UU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) adalah salah satu UU yang secara natal-historikal cukup unik dan mengandung pasal terbanyak sepanjang sejarah UU tentang Pemda, yakni 27 bab dengan 411 pasal. Bandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 (134 pasal), dan UU No.32 Tahun 2004 (240 pasal). 

    Keunikan sejarah kelahirannya yang cukup langka adalah bahwa pada saat diundangkan (2 Oktober 2014), terbit pula dua Perppu secara bersamaan, yakni: (1) Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan (2) Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Pemda tersebut, yang hanya menghapus 2 huruf pada 2 ayat di 2 pasal yang berbeda. Pasal-pasal yang sebagian ayatnya dihapus adalah Pasal 101 dan Pasal 154, masing-masing pada ayat ke-1 huruf ke (d), dan kesemuanya tentang kewenangan DPRD baik di provinsi maupun di kabupaten/kota.
  
   Terasa tertinggal ‘kereta’, maka pada 18 Maret 2015 sejumlah 6 pasal disempurnakan lagi dengan terbitnya UU No. 9 Tahun 2015. Ini semua, sungguh sebuah UU yang sarat kepentingan “politik musiman”. Saya menyebutnya “politik-klimatologis” 
Nuansa politis dan ketegangan parlementaria di akhir pusaran pemerintahan SBY menjelang terbitnya UU Pemda ITU, bisalah kita lupakan sesaat dan cukuplah menjadi ibroh bagi warga bangsa. Tapi UU Pemda ini menyisakan persoalan mendasar yang menyangkut “urusan pemerintahan konkuren” yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah sebagai roh desentralisasi kekuasaan. 

  Sekadar pengingatan bersama bahwa pasca-reformasi 1998, asas manajemen pemerintahan terbagi atas tiga urusan, yakni: urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut yang terdiri dari 6 bidang adalah merupakan kewenangan mutlak Pemerintah Pusat, walaupun dalam penyelenggaraannya bisa dilaksanakan sendiri, bisa juga dilimpahkan kepada instansi vertikal di daerah atau kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (Pasal 10).

   Sedangkan urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan (Pasal 9). 
Adapun urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dengan Pemda provinsi dan Pemda kabupaten/kota. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah inilah yang menjadi dasar pelaksanaan desentralisasi kekuasaan atau yang lazim disebut otonomi daerah, dan terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan (Pasal 11). 

  Urusan pemerintahan wajib terbagi atas dua kategori, yakni: (1) urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan (2) urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Enam jenis urusan pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar adalah: pendidikan, kesehatan, PUPR, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman/tibum/linmas dan sosial. Sedangkan 18 jenis urusan wajib non-pelayanan dasar antara lain adalah: tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pangan, dan beberapa jenis urusan lainnya (Pasal 12). 

   Di dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa pola perencanaan dan penggaran APBD akan memprioritaskan porsi anggaran untuk jenis urusan yang terkait dengan pelayanan dasar, tidak termasuk bidang pangan yang secara awam adalah justeru urusan yang sangat asasi dan mendasar sifatnya. 

  Pada pasal 12 UU Pemda dengan tegas menyatakan bahwa urusan pangan adalah ‘bukan urusan yang terkait dengan pelayanan dasar’. Hal ini sangat kontradiktif dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang lahir dua tahun sebelumnya. Di dalam konsideran menimbang diktum pertama pada UU tentang Pangan, dengan tegas dinyatakan bahwa “pangan adalah merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dijamin di dalam UUD 1945, sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas”. 

  Pada konsideran menimbang diktum kedua dinyatakan: “bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal”. 

   Sebagai insan pertanian yang pernah ‘menyungkur-lumpur’ dalam melintasi ‘era revolusi hijau hingga revolusi biru’ di akhir tahun 1970-an hingga 90-an, saya merasakan ada kejanggalan berfikir para petinggi dan anggota parlemen di negeri ini. Dan jangan lupa, pasal 12 ini potensial menjadi bahan ‘uji materi di MK’ bagi kalangan yang faham akan fungsi pangan sebagai hak asasi yang sangat mendasar bagi masyarakat. Sayang sekali hingga kini belum terdengar suara-suara itu. Barangkali isu pangan yang mendasar ini, dikalahkan oleh ‘hiruk-pikuk’ pertunjukan ‘Tonil Gendurwo yang Semakin Menyontoloyo”. 

    Jika para petinggi Republik ini ‘gagal faham’ dalam memaknai persoalan pangan, maka tunggulah masa ‘kelaparan rakyat’ kelak di kemudian hari, yang bisa memicu benih-benih ‘social-movement’ di tengah kesulitan ekonomi yang semakin terasa. Mudah-mudahan ‘kedunguan’ para petinggi Republik ini akan segera berakhir. Allohu’alam bishowab…..! 

*) Penulis adalah insan pertanian.      
Mukim di Lubuklinggau Sumsel.
[28/12/2018]

Senin, 26 September 2016

MIMPI BERPIKIR ala BUPATI MUSIRAWAS

Oleh: Hendy UP

“Setiap kali pikiran saya dijejali isu aktual yang intens didiskusikan oleh masyarakat dan birokrat, ditayangkan TV berulang-ulang atau dihebohkan oleh dunia maya, saya sering kali ditimpa mimpi seolah-olah sedang berada di pusaran isu itu. Khawatir ikut pusing berputar-putar seperti penderita vertigo, lebih baik saya minggir dan bersiap tidur untuk bermimpi sembari berpikir”.

Mungkin karena primbon mimpiku sedang intens menyoroti isu politik-lokal,  malam Jumat Kliwon kemarin aku bermimpi jadi Bupati Mura. Sangat panjang mimpiku ini. Jika dikonversi ke satuan waktu, kira-kira berjangka 5 atau 10 tahun. Anehnya, mimpiku ini sangat detail dan terang, terjilid rapi dan bahkan burjudul-judul pula.

Pemikiran produk mimpiku kali ini adalah bersifat inspiratif-tendensius, yang bermakna sebagai sumber inspirasi bagi siapa pun. Atau analisis dangkal sekilas. Bisa juga sebagai sebuah sintesis aneka persoalan yang berkelit-kelindan; dan  sering kali gagal dihadirkan oleh Sekda, para Asisten, Staf Ahli Bupati atau bahkan para kepala SKPD. Maklumlah, mereka para birokrat itu senantiasa sibuk membangun akuntabilitas dan transparansi anggaran demi menghindari area yang “mengerikan” di balik kursi jabatannya.

Dalam mimpiku kali ini, begini.  Sebagai bupati, aku berpikir  jujur, bahwa rentang waktu satu dua tahun terakhir ini fisik dan psikisku sangat lelah. Semenjak memutuskan mencalonkan diri, mengundurkan diri dari PNS, memainkan lobi-lobi politik untuk meraih dukungan Parpol hingga mencari pasangan yang sepaham dan comfortable, sungguh amat sangat menguras pikiran. Dan itu bukanlah hal yang enteng, karena pada galibnya area politik dan hiruk-pikuknya jauh dari basis habitatku.

Kompleksitas kelelahan itu sungguh unidentifying dan bisa mendatangkan stres. Untungnya semenjak kecil aku dididik di lingkungan religius. Aku yakin betul, dzikir dan   shalatkulah yang senantiasa menyehatkan dan menyegarkan badan dan pikiran. Nasib seseorang ditentukan oleh kerja keras dan doa yang ikhlas. Aku yakin betul. Sejujurnya, aku banyak belajar strategi dari seorang Ridwan Mukti yang di luar dugaan, mampu memenangkan Pilkada 2005 lalu hampir tanpa dukungan birokrasi. Dalam kontestasi politik barusan,   keriuh-rendahan hari-hari pra dan pasca-Pilkada kunikmati sebagai pendewasaan diri untuk menjadi lebih matang. Juga sebagai wahana pendewasaan publik dalam belajar berpolitik. Bukankah itu substansi demokrasi Pancasila yang sebenarnya  lebih menjadi tanggung jawab politisi ketimbang birokrasi? Entahlah!

Kadang timbul rasa benci terhadap sekelompok orang, sekelompok masyarakat yang telah kubantu. Bahkan sekelompok teman dan anak-buah yang ternyata berbalik arah secara diam-diam atau terang-terangan. Aku cukup maklum, dan itulah salah satu item dari definisi politik-praktis. Aku berniat, dengan bismillah, akan berfikir sebagai negarawan. Mengayomi dan memperjuangkan nasib dan kesejahteraan warga Musi Rawas. Siapa pun mereka! Untuk itu, langkah pertama adalah melupakan dan melacikan daftar perolehan suara per TPS per desa per kecamatan agar tidak mengganggu ketulusan pengabdianku sesuai sumpah jabatan. Ini akan terasa sulit, tapi pasti aku bisa. Setidaknya secara bertahap.  Memelihara jaring-kemitraan dengan Tim Sukses akan kueratkan secara proposional dan profesional tanpa mengganggu keadilan dalam mengalokasikan sektor pembangunan wilayah. Hal ini demi kelanggengan program pembangunan Musi Rawas hingga 10 tahun ke depan. Insya Allah.

Dan seluruh kelelahan itu kini berbuah kebahagiaan, kedamaian dan tanggung jawab, begitu aku dilantik sebagai Bupati. Aku akan selalu berdoa, kiranya jabatanku ini akan memperluas ladang amal saleh dalam geriak hidupku, demi menyibakkan jalan menuju khusnul khotimah. Ini akan sangat menantang, di balik besarnya tantangan hawa nafsu syetan dan komplotannya.

Udara segar kawasan Margamulya pagi ini menyumbang ketenangan luar biasa. Shalat dan shalawatku subuh tadi sungguh nikmat rasanya untuk mengawali hari pertamaku sebagai ‘raja’ Musi Rawas. Tiba-tiba aku teringat nada tekanan Gubernur pada saat pelantikan. “…. Bupati dan Wakil Bupati harus mampu menjaga kekompakan untuk menunaikan janji-janji politik yang kalian ucapkan saat kampanye. Ingat itu! Dan banyak-banyaklah terjun ke masyarakat, ke lapangan. Tidak hanya menerima laporan para kepala SKPD dan Kades, karena sering kali hanya enak dibaca tetapi menyimpan bias yang menyesatkan…..”.

Dari meja makan, sekilas kulihat tumpukan berkas di meja kerja . Sebagai pegawai kawakan berpuluh-puluh tahun, rasanya hafal betul ragam isi dokumen itu. Sering kali aku gemes dengan para Asisten dan Sekda yang hanya menulis disposisi: “Dinaikkan untuk ditandatangani. Atau, Dinaikkan dan telah sesuai aturan. Atau, mohon petunjuk Bapak! Dan kalimat-kalimat standar disposisi yang bisa ditulis pegawai honorer. Jarang sekali disposisi Asisten atau Sekda yang menunjukkan kualifikasi pegawai golongan 4 layaknya sosok pejabat senior dengan kapasitas intelektual-profesional yang mumpuni. Aku ingin, disposisi itu menunjukkan rujukan  sejumlah aturan sebagai guide  prosedural yang bersifat taktis-operasional.

Tepat jam enam pagi, kupanggil ajudan dan sopir sembari menelpon Asisten II, Kadis PU-BM, Kadis PU-CK, Kepala Bappeda, Kadis Hubkominfo dan Kabag Kesra. Tak lupa, ku sms Bu Wabup agar memimpin apel pagi di halaman Pemda. Mobil meluncur ke arah Muarabeliti. Di  perbatasan kota, aku berhenti dan parkir di bawah gapura batas kota sambil menunggu bawahanku yang pasti kelabakan demi mendapat perintah mendadak di hari pertama bupati baru. Yang pertama muncul adalah Kepala Bappeda yang selalu siap graaak menerima perintah apa pun; disusul Kadishub, Kadis PU-BM dan PU-CK serta Kabag Kesra yang terlihat  kurang bergairah dan tampak agak jenuh.

Di bawah gapura, kuinstruksikan agar segera berkoordinasi dengan provinsi untuk proyek pelebaran jalan Lubukkupang-Muarabeliti. Aku sudah menerima sms, mungkin dari karyawan Pemda bahwa sejak diterapkannya finger print, jalan raya Muarabeliti pada jam berangkat dan pulang kantor sungguh sangat sibuk dan membahayakan pengendara mobil dan motor.  Akan lebih mengerikan jika berbarengan dengan masa mudik lebaran kelak.

Di tikungan maut Talangpuyuh yang pernah memakan korban seorang anggota DPRD versus PNS Peternakan, sebaiknya segera dilebarkan, diluruskan dan bikin dua jalur.  Menurut informasi, lokasi sepanjang pelurusan jalan itu hanya dimiliki oleh tiga orang. Ganti-untungnya bisa dikompromikan, dan bila perlu menggunakan UU Pembebasan Lahan yang baru karena jalan Lintas Tengah Sumatera ini berstatus jalan negara. Juga di Simpang Makam Pahlawan menuju Perumnas CPK dan  di depan SMA 2 Muarabeliti, agar didisain untuk pengamanan anak sekolah dan pegawai yang mengambil jalan shortcut menuju kawasan perkantoran Pemda. Juga jalan di lingkar Bundaran Polres yang bergelombang harus segera dimuluskan karena sering menghambat kendaraan dari arah Palembang.

Untuk menghindari kemacetan dan keruwetan di Simpang Pasarmuarabeliti, kuinstruksikan agar segera membangun jalan alternatif dari Bundaran AC ke Remayu yang telah dirintis sejak tujuh tahun lalu. Seingatanku DED jembatan itu telah disusun bersamaan dengan Jembatan Muarakati menuju Durianremuk pada tahun 2007 yang lalu.  Kemudian, dengan tertundanya pembangunan jalan dari Bundaran AC – Kampung Bali - Satan – Ekamarga menyambung jalan baru ke Stadion Petanang, Kadishub agar mengkaji ulang kemungkinan pemindahan jalur Bus AKAP dari Bundaran Polres ke Bumiagung – F. Trikoyo – Karangketuan atau shortcut ke Mataram – I.Sukomulyo – Paduraksa – Babat dan Terawas. Ini akan mengurangi kemacetatan di Simpangperiuk dan sekali gus menghidupkan jalur ekonomi sepanjang kawasan Tugumulyo/Terawas.

Sesampai di Masjid Agung Mura Darussalam, aku masuk ke dalam halaman parkir. Aku instruksikan kepada Kabag Kesra dan Kadis PUCK agar segera menyelesaikan biang kebocoran masjid kebanggaan Musi Rawas. Memalukan dan menyedihkan, masjid semegah itu bocor-banjir di saat shalat Jumat atau hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Area masjid seluas 200 m x 350 m dan Alun-alun itu agar senantiasa bersih, rapi, hijau dan asri. Area parkir masjid yang terluas di pinggir jalan lintas, tampak  bergelombang, kalau hujan berubah menjadi hamparan air. Mungkin elevasinya menurun karena dulunya adalah timbunan tanah merah tanpa dipadatkan secara sempurna.

Untuk pemeliharaan dan pemanfaatan area masjid, sebaiknya dijadikan laboratorium praktek lapangan bagi anak SPMA dan SMA atau anak-anak pelajar di kawasan Muarabeliti. Di sudut-sudut belakang, yang kini centang-perenang oleh limbah bangunan dan terkesan tidak terawat, mungkin  dapat ditanamami pepaya kalina, buah naga  atau bunga-bungaan yang ditata rapi nan asri. Area perkemahan Pramuka, bisa didekatkan dan dipusatkan di Masjid Agung.

Bangunan baru yang belum pernah dimanfaatkan di sektor kanan barat laut masjid, sungguh sangat disayangkan.  Aku berpikir akan sangat baik untuk dijadikan PAUD Islami atau sejenisnya. Atau Islamic Center plus perpustakaan.  Harus segera dicari model pengelolaannya agar Masjid Agung ini menjadi pusat perubahan peradaban dan modernisasi kultural dalam bingkai Islamiyah. Aku bermimpi, secara futuristik-dimensional, masjid agung ini bisa dijadikan model pendekatan spiritual  bagi pelajar dan pemuda Musi Rawas untuk menghindri narkoba dan dampak kenakalannya. Generasi tua, biarlah berlalu. Sejarah baru generasi berkeadaban yang “cerdas-mencerahkan”  dan “santun menyejukkan”  harus diukir.  Aku teringat motto TV-Muhammadiyah dan Aswaja-TV. Insya Allah ini akan menjadi  landasan utama membangun generasi religius-kultural  sesuai visi Musi Rawas Darussalam.

Rombongan kuarahkan ke Ruko Agropolitan. Kuinstruksikan agar dinas terkait memantau secara berkala kebersihan ruko dan penataan area parkir. Di depan Bank Sumsel dan Toko Manisan Agus, siring drainase yang kotor dan busuk menyengat harus dibersihkan.  Ini tugas siapa? Lihat perjanjian kontraknya!  Area parkir tidak semestinya gersang, harus rimbun dan asri. Di depan gapure Bali, aku instruksikan agar kompleks pure Bali dimanfaatkan, dirawat dan ditata taman-tamannya. Koordinasikan dengan tokoh masyarakat Bali dan Kandepag untuk pemanfaatannya.

Tiba-tiba aku tercenung. Di ibukota ini sudah ada Masjid Agung dan Pure Bali. Mana Gerejanya?, bisikan dalam hati. Kutanya para kepala SKPD yang semuanya sudah berhaji. Tapi tak ada yang menjawab. Aku berpikir, sebagai bupati bagi semua warga Musi Rawas, harus adil dan bijak. Berpikir  negarawan. Aku teringat Bung Karno yang membangun Masjid Istiqlal berhadapan dengan Gereja Katedral. Maka aku perintahkan Asisten II untuk berkoordinasi dengan instansi terkait demi mewujudkan gagasan ini. Kuakui, ini adalah hal sensitif karena menyangkut komprehensi pemahaman keagamaan yang kompleksitasnya multi-rumit. Dalam urusan peribadatan ummat, tidak boleh ada mayokrasi versus minokrasi.  Aku teringat buku setebal tafsir Ibnu Katsir yang membahas hal ini. Karya Yudi Latif yang berjudul “Negara Paripurna” dan “Mata Air Keteladanan” itu, sungguh memberi banyak informasi yang relevan dengan tugas pejabat negara seperti aku.

Maka, akan aku perintahkan kepada instansi terkait untuk mengadakan kedua buku itu dan dibagikan kepada para pejabat, anggota DPRD dan tokoh masyarakat.  Aku menilai, daya baca para birokrat Pemda amat sangat kurang. Jangankan membaca buku-buku ilmiah populer, membaca dan memahami Pedum dan Juknis pun sering keliru-keliru. Masyarakat kita memang maunya instan, bukan bersemangat mencari rujukan yang valid dan mengkomparasinya secara cerdas-teliti.

Aku dan rombongan berkeliling Bundaran Agropolitan Center. Aku teringat temanku pensiunan yang dulu menjabat Kabag Pembangunan di era Ridwan Mukti, katanya luas Bundaran AC lebih kurang 78 hektar. Mau diapakan yah, areal seluas ini? Dari jalan lingkar luar bundaran masih tersisa lebih kurang 50 meter sepanjang bundaran yang dirancang untuk Ruko sekeliling bundaran. Tapi kulihat tak ada batas tugu permanen. Kalau dibiarkan tak dipatok permanen, pasti akan diklaim oleh masyarakat karena harga tanah semakin mahal. Demi memandang   Ruko-ruko yang belum dimanfaatkan dan bangunan gudang serta bangunan-bangunan lainnya, aku berniat akan mengevaluasi total-komprehensif untuk bahan pengambilan kebijakan ke depan.

Aku meluncur kembali ke Bundaran Polres. Dari Pos Polisi, aku melihat masih ada baliho yang bertuliskan: “DI SINI AKAN DIBANGUN PUSAT PEMERINTAHAN”.  Seingatku, ini dipasang tahun 2006, kegiatan  Bagian Pembangunan. Aku suruh bongkar, karena sudah tidak relevan dan mengganggu pemandangan ke arah kantor Bupati. Memandangi gedung baru Kantor Bupati, aku agak kecewa. Desainnya terkesan kuno dan tidak wah. Kalah oleh kantor Bupati Kepahyang yang mirip Capitol Hill. Sayang sekali.  Seharusnya gedung ini lebih mundur ke belakang, sehingga terlihat luas, setidaknya seperti Pemda Tabapingin. Ah, sudahlah. Halaman  gedung yang rendah dan bakal banjir perlu ditimbun tinggi. Perdu repuhan yang masih serut di depan gedung kantor Bupati dan DPRD baru agar segera dibersihkan dan ditata. Dan, Pak Kadis PU-CK mengangguk ta’zim, sambil memikirkan rencana APBD-Perubahan.

Di dalam, mobil aku berpikir, harus segera membangun Pendopo Bupati di Muarabeliti. Aku berkeliling ke arah Dinas PU. Ada areal cukup luas tidak dimanfaatkan. Dulu diwacanakan untuk kavlingan anggota DPRD, tapi rasanya belum tuntas.  Aku akan cek status hukumnya. Tiba-tiba aku teringat lahan luas di belakang Mapolres.  Dulunya didesain ada jalan antara PLN dan tembok Mapolres ke arah jalan Makam Pahlawan.  Ada baiknya, di belakang BPN dan Kemenag dibangun Pendopo Bupati, biar mendekati Polres.  Dan di ujung jalan Makam Pahlawan dulu dirancang untuk Markas Kodim Musi Rawas. Tapi tiba-tiba ada usulan Kadis, bahwa ada areal 35 hektar di pinggir sungai Temam yang dulu direncanakan untuk membangun Lapangan Golf. Akhirnya aku putuskan, agar Asisten II menyiapkan  jadwal rapat untuk membahas hal-hal urgen di minggu pertama jabatanku.

Aku terbangun dari mimpi di tengah dalu.  Aku bergegas ke kamar mandi, dan aku menyiapkan kantuk untuk melanjutkan mimpi berpikir yang terpotong. Bismika allohuma ahya wa amuts. ***)


*) Penulis adalah peminat masalah sosial-budaya lokal dan pemerhati birokrasi.

KARTOMAS & PILWAKO LUBUKLINGGAU

Oleh:  Hendy UP

Kartomas adalah nama seseorang dan bukan siapa-siapa. Secara fungsional-historik, sama seperti Sudirman, Panjaitan, Suprapto dan Sukarno-Hatta; sebuah nama yang karena peran dan  eksistensi semasa hidupnya, kemudian diabadikan sebagai nama jalan agar dikenang sepanjang masa.

Jasad Kartomas telah lama terbujur dan tulang-belulangnya niscaya telah punah-menanah. Kuburnya ada di tengah permukiman semenjak tahun 1970-an, di RT 03 Kelurahan  Karangketuan Kec. Lubuklinggau Selatan II. Dia adalah perantau asal Jawa sebagai ‘anak-buah’ kepercayaan Keluarga Pembarap Sulton yang juga paman Pangeran Muhamad Amin Ratoe Asmaraningrat, Pesirah Marga Proatin Lima. Tepatnya, adik kandung bungsu dari istri Abdullah yang bernama Sari Menan 
dipersunting oleh Pembarap Sulton. Nama Kartomas,  kini diabadikan sebagai nama jalan sepanjang  800 meter yang menghubungkan ‘Dam Payung Sohe’ di Karangketuan (Lubuklinggau) ke Desa Ketuanjaya – Airsatan – Kampung Bali dan Bundaran Agropolitan Center  (Kab. Musirawas).

Alkisah, sebelum era otonomi daerah, jalan Kartomas merupakan jalan inspeksi irigasi yang kewenangan pengelolaannya berada pada Dinas Pengairan Provinsi Sumsel. Ketika di tahun 1990-an kebun kelapa milik Haji Machmud Amin dikavlingkan dan menjadi permukiman baru, jalan inspeksi itu dinamai jalan Kelapa. Dan ketika di tahun 1999, surat anak saya dari Yogya nyasar ke jalan Kelapa di Batuurip, saya merasa perlu berkoordinasi dengan aparat desa dan tokoh masyarakat untuk menamakan jalan kami agar memiliki nilai sejarah dan unik.  Dan munculah nama Kartomas sebagai sosok yang diyakini sebagai pemukim pertama di Dukuh Talangdarat Karangketuan.

Jalan Kartomas kini merupakan aset infrastruktur  dasar bagi Pemkot Lubuklinggau. Perlu diingat, bahwa bagi kepala daerah yang negarawan, memahami aset strategis seperti: jalan, jembatan, sekolahan dan Puskesmas adalah aset yang berdimensi kemanusiaan sehinga tidak lagi berpikir: siapa yang memanfaatkan aset tersebut; apakah warga Lubuklinggau atau warga daerah lain.  Jika pemahaman pejabat negara sudah berada pada level ‘sufistik’ seperti itu, maka itulah ladang amal saleh bagi pejabat yang niscaya kelak akan mengalir balasannya di alam akhirat.

Secara ekonomis, jalan Kartomas merupakan akses penting bagi sebagaian besar warga Karangketuan (juga sebagian warga Ekamarga-Siringagung) yang berusahatani dan beternak ikan  di wilayah Ketuanjaya, Satan dan Kampung Bali. Di samping  sebagai akses utama  bagi warga Ketuanjaya (Musirawas) yang keluar ke Lubuklinggau dan Tugumulyo, juga merupakan  akses penting bagi pengunjung Pesantren  Syifaul Jannah Airsatan. Maka, jika jalan Kartomas yang kini rusak parah bisa diperbaiki atau setidaknya ditimbun darurat sebagaimana mestinya, niscaya masyarakat Lubuklinggau dan Musirawas akan sangat berterima kasih, dan tentu  pejabatnya akan selalu diingat serta didoakan memperoleh balasan dari Allah SWT dengan  memudahkan segala urusannya.

Di masyarakat Karangketuan, ada sekilas ‘rumor politik’ bahwa tidak diperhatikannya jalan Kartomas selama tiga tahun terakhir ini adalah terkait dengan Pilwako tempo hari.  Mudah-mudahan rumor ini tidak benar. Memang adalah fakta, bahwa perolehan suara Nanan-Sulaiman (Nan-Suko) di Karangketuan dikalahkan oleh pasangan lain.  Jika kita berpikir lebih bestari dan mencoba  memahami peta sosio-politik saat itu, adalah cukup wajar akan kekalahan suara pasangan Nan-Suko.  Perlu diingat bahwa secara emosional-etnologis, mayoritas warga Karangketuan adalah berasal dari suku yang sama  dengan pasangan kompetitor yang meraih suara terbanyak. Di masyarakat kita yang masih tradisional-paternalistik, gejala tersebut sesungguhnya sangat linier dengan derajat intelektual masyarakat kita yang masih pada taraf ‘belajar berdemokrasi’, yakni lebih bersandar pada emosionalitas  daripada rasionalitas dalam menentukan pilihan Wako-Wawako.

Tapi kembali ke tesis negarawan, seorang Wako-Wawako yang disumpah untuk mengayomi seluruh rakyatnya, maka seyogyanya begitu dilantik sebagai Wako-Wawako, segeralah melacikan seluruh catatan ‘distribusi perolehan suara Pilkada’ yang akan mengganggu ketulusan berbakti kepada seluruh ummat yang dipimpinnya.   Atau, meminjam istilah SA Wasesa (2011) – demi membangun ‘political branding’, akan lebih bijak jika Wako-Wawako segera membangun jalan Kartomas sebagai investasi Pilwako 2017 guna menambah peluru di medan peperangan kelak. Wallahu ‘alam.

*) Penulis adalah peminat masalah sosial-budaya lokal.    

TEORI PEUBAH KOMPLEKS DLM MEMILIH KEPALA OPD

Oleh: Hendy UP

Tanpa disadari, ternyata para Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota seringkali menggunakan  teori peubah kompleks dalam memilih para pembantunya; baik pada level menteri maupun kepala perangkat daerah. Pemilihan Arcandra Tahar   president at Petroneering in Houston sebagai menteri ESDM adalah contohnya.


     Bisa  dipastikan, belum ada pakar dan pengamat politik di Indonesia yang menyebutkan teori ini dalam konteks birokrasi, khususnya dalam pemilihan pejabat selevel menteri.  Ketika iseng melacak biodata Arcandra Tahar pascapenunjukannya sebagai menteri, saya menemukan kemiripan dengan teori peubah kompleks dalam persamaan matematika.

     Bagi para sarjana matematika atau sarjana ilmu eksakta lainnya, niscaya pernah akrab dengan teori peubah kompleks, yang mampu menghitung transformasi besaran sudut  dan arah kurva dalam sebuah himpunan persamaan bilangan riil (bilangan rasional dan irrasional). Jika hasil transformasi mendapatkan besaran sudut yang sama tetapi tidak memedulikan arah kurva, maka menurut Jacobian  disebut peta konformal-isogonal. 

      Analoginya adalah bahwa seorang Arcandra Tahar sebagai profesional yang memiliki kompetensi dan integritas (besaran sudut) adalah menjadi faktor utama bagi Jokowi ketika menentukan pilihannya, tanpa memedulikan  dari mana  arahnya (nonpartai politik).   Lantas, apa kaitannya dengan teori memilih kepada SKPD?  Mari kita kupas pasal-pasal yang terkait dengan pembahasan ini.

     Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), istilah Satuan Kerja Perangkat Daerah  diganti menjadi Perangkat Daerah. Ketentuan tentang Perangkat Daerah diatur di  dalam Pasal 232 UU Pemda, yang selanjutnya diuraikan  dalam PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (PP-PD). Kriteria, prosedur dan persyaratan serta kewenangan Gubernur/Bupati/Walikota untuk mengangkat kepala perangkat daerah diatur dalam Pasal 233 hingga 235 UU Pemda.

     Pasal 233 UU Pemda, yang diperjelas di dalam  pasal 98 PP-PD menyebutkan bahwa  pejabat kepala Perangkat Daerah wajib memenuhi persyaratan kompetensi: teknis, manajerial, dan sosial-kultural serta kompetensi pemerintahan. Kompetensi teknis dibuktikan dengan ijazah pendidikan formal, sertifikat Diklat fungsional dan pengalaman kerja; kompetensi manajerial dibuktikan dengan sertifikat Diklat struktural atau manajemen dan pengalaman kepemimpinan. Kriteria kompetensi sosial-kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk (agama, suku, budaya) dalam konteks wawasan kebangsaan. 

      Sedangkan kompetensi pemerintahan dibuktikan dengan sertifikat dari Menteri Dalam Negeri. Seluruh peraturan tentang sertifikasi kompetensi tersebut sayangnya belum terbit, baik dari kementerian teknis/lembaga nonkementerian maupun kementerian Dalam Negeri.

       Bisa saja, seluruh persyaratan administrasi kompetensi tersebut  dipenuhi oleh semua calon pejabat, walaupun saat ini ada area abu-abu tentang kriteria kompetensi sosial-kultural dan pemerintahan.  Namun perlu dicatat bahwa  tidak ada jaminan bahwa calon yang memiliki seluruh sertifikat yang dipersyaratkan  adalah orang  yang benar-benar kapabel dan “cocok” untuk memangku jabatan sebagai kepala perangkat daerah, khususnya terkait dengan kesamaan “gaya kepemimpinan” sang kepala daerah. Atau, kendati pun semua persyaratan kompetensi terpenuhi, akan tetapi sang Gubernur/Bupati/ Walikota bisa  menambahkan variabel  tentang: integritas dan loyalitas  dengan pendefinisian versi  kepala daerah sendiri. 

    Derivasi dari item integritas dan loyalitas bisa saja dijabarkan ke dalam aspek hubungan etnikal-geneologis (keluarga), emosional-historikal (Timses) dan/atau asosional-politikal (titipan orang Parpol) atau gabungan ketiga aspek tersebut. Dalam dunia birokrasi, hal ini merupakan kewajaran; karena bagaimana mungkin seorang kepala daerah akan menunjuk  pembantunya dari orang-orang yang diragukan loyalitas dan integritasnya.

     Dalam analogi teori peubah kompleks, sebutlah semua persayaratan sertifikat kompetensi ini adalah besaran sudut kurva; sedangkan komponen integritas dan loyalitas  diibaratkan arah kurva, maka kemungkinan model petanya adalah sbb: (1) Kepala Daerah akan memilih peta konformal, artinya akan memilih pejabat yang memenuhi seluruh persyaratan kompetensi plus aspek integritas dan loyalitas versi kepala daerah, termasuk aspek keterlibatan Timses yang pernah berjuang saat Pilkada atau orang titipan Parpol; (2)  Kepala Daerah akan memilih peta konformal-isogonal, yakni akan memilih pejabat yang memenuhi seluruh persyaratan kompetensi, walaupun tidak  terlibat  Timses dan tidak perlu mengakomodir orang titipan dari Partai Politik.

      Dalam prakteknya, peta politik birokrasi  tidak sesederhana yang digambarkan. Niscaya akan ditemui varian komponen yang lebih  rumit daripada peta konformal-birokratik.  Dalam teori Peubah Kompleks terdapat dasar aksiomatik yang berupa enam asas: komutatif/asosiatif penjumlahan, komutatif/asosiatif perkalian, ketertutupan dan asas distributif. 

    Keenam asas tersebut adalah merupakan landasan atas “hak prerogatif” kepala daerah. Kepala daerah boleh saja mengotak-atik himpunan bilangan dengan menambah atau mengali komponen angka bahkan mendistribusikan secara tertutup dalam rangka  memilih pembantunya dari orang-orang yang benar-benar mumpuni.

     Artinya, siapa pun calon kepala perangkat daerah yang  dipilih, harus dipastikan adalah orang yang mampu menjabarkan visi-misi kepala daerah (dengan segala inovasi dan kreatifitasnya) dan berani mengambil risiko apa pun atas jabatan yang diembannya. Dengan kata lain, seorang kepala perangkat daerah wajib khatam aturan teknikal, manajerial dan finansial-keuangan. Bukan malah terus harus diajari Sang Kepala Daerah. Instrumen telaah staf  yang diajukan oleh kepala perangkat daerah kepada kepala daerah, adalah indikator kreatifitas dan keluasan wawasan seorang kepala perangkat daerah. Namun sayang, instrumen tersebut jarang sekali naik ke Gub/Bup/Walkota.  Wallahu’alam.***)

*) Penulis adalah pemerhati birokrasi