Selasa, 23 Juli 2019

KOALISI: MEKANIKA FLUIDA & DALIL RHEALOGI (1)

Artikel ini bukan analisis politik, tapi hanya sekadar 'gumam' politik kampungan. Boleh jadi dari kampung Muarabelitibaru eks ibumarga Proatinlima di jaman bari Sriwijaya. Konteks gumamannya sekitar koalisi Parpol pasca-Pilpres 2019. 

Secara awam ada koalisi Parpol pendukung Jokowi-Makruf (Jokruf) dan ada koalasi Prabowo~Sandy (Prandy).

Koalisi Jokruf 'ditakdirkan' sangat tambun, consist of: PDIP, Golkar, Nasdem, PKB dan PPP (yg masuk Parlemen). Sisanya: Hanura, Perindo, PSI, PKPI, dan PBB masih parkir di luar gedung.


Sedangkan koalisi Prandy cukup ramping: Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat (yang masuk Parlemen). Sisanya, Partai Berkarya yg senasib dengan Hanura dan PBB, nongkrong di halaman parkir. Bahwa ada cerita Demokrat dianggap zig~zag di sela~sela maraton pagi, itu soal lain. Adapun partai yg tdk jelas koalisinya adalah Partai Garuda besutan Harmoko, yg hanya mendapat 0,50% suara, senasib sial dengan PKPI (0,22%) dan PBB (0,79%).


Untuk menggambarkan potensi pergeseran anggota koalisi, saya meminjam istilah Prof. Bruce R. Munson, tentang mekanika fluida dan derivasinya, yakni cabang ilmu rhealogi. Mekanika fluida mengkaji perilaku zat cair dan gas dalam keadaan statik atau dinamik. Secara spesifik, fluida didefinisikan sbg zat yg berdeformasi (berubah bentuk) terus-menerus selama dipenguruhi tegangan geser. Daya geser akan muncul jika gaya tangensialnya bekerja kuat di permukaan.


Sedangkan rhealogi memfokuskan kajian atas perilaku benda yg bukan persis cair, dan bukan pula benda padat. Misalnya: lumpur, aspal atau odol dan beberapa bahan obat. Zat-zat ini akan berperilaku seperti benda padat jika gaya gesernya kecil; sebaliknya akan mengalir seperti benda cair jika gaya gesernya mencapai titik kritis tertentu.


Para tukang insinyur dengan mudah bisa menghitung kecepatan gaya gesernya, karena standar dimensi sebuah kecepatan adalah panjang dibagi waktu. Rhealogi banyak digunakan di bidang kefarmasian, khususnya desain peralatan medis utk mentransfer obat ke tubuh pasien.


Dalam konteks karakterisasi Parpol, sebutlah koalisi Jokruf kita simbolkan KJ dan koalisi Prandy (oposisi) kita sebut KP. Di masa sebelum penetapan pasangan Capres, baik partai di KJ maupun partai di KP pada umumnya potensial bersifat fluida-deformatif (gampang mengubah dukungan) kecuali PDI, Nasdem dan Hanura karena sudah punya Ruang Terbuka Hijau dg kursi santainya. Sebaliknya kadar viskositas antara Gerinda dan PKS (dan PAN?) sedemikian rekat karena diikat oleh ijtima ulama dan semangat anti Jokowi serta faktor lain.


Dalam hiruk-pikuk pra-Capres, PKB dan Demokrat mirip mekanika fluida; kadang condong ke KJ, lain hari melirik ke KP. Barangtentu Cak Imin merasa punya massa besar Nahdliyin, sehingga ke-PD-an dan berani main ancam. Sementara Demokrat merasa sbg kampiun dua musim Pemilu sehingga merasa 'tinggihati' melibihi lima senti dari jantung koalisi yg terus berdenyut.


Pascapenetapan hasil suara oleh KPU, koalisi Parpol relatif statik. Yang masih gaduh adalah Demokrat dengan manuver zig-zag AHY, sementara PAN tampak ada 'riak' dampak pergeseran generasi pemikiran. Ada 'tarik-tambang' antara: Pak Amin cs, Bung Zul dkk, serta Tulang Bara Hasibuan sekonconya. Agaknya Bung Zul lebih kohesif bersama Bara.


Diprovokasi oleh para aktivis demokrasi semisal Rocky Gerung dkk, agar tidak perlu rekonsiliasi antara Jokruf yg punya legalisasi pemenang versi KPU/MK dengan Prasandy yang 'memegang' legitimasi rakyat; just suddenly muncul 'misteri MRT' yg menggoyahkan koalisi Parpol.


Bocoran dari 'dapur kotor' berhembus kabar bahwa telah terjadi "undertable transaction" utk rekonsiliasi. Ada tokoh 'the hidden' sbg desainer, ada kemarahan terpendam, ada kekhawatiran kehilangan jatah kursi, ada juga kegamangan komunikasi karena terlanjur saling 'mengampret-cebong'. Pendek kata, ada riuh kasak-kusuk di sudut kamar partai, baik di KJ maupun di KP. Allohu'alam..! (Bersambung)


*) Pemerhati sosial politik dan budaya pedesaan

0 komentar:

Posting Komentar