Tampilkan postingan dengan label Humaniora. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Humaniora. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 April 2025

PARA KADES TUGUMULYO 2012

      Bulan terakhir menjelang masa pensiun, aku meng-update nama-nama pejabat Kades & Lurah di wilayah Kecamatan Tugumulyo Kab. Musirawas SUMSEL. Bersama Kacabdin & PPL, mereka adalah mitra kerja utama yang bisa dikonfirmasi setiap saat untuk memastikan berjalannya program & kegiatan di tingkat lapangan. 

     Senin 5 Maret 2012, aku susun daftar pejabat itu dalam buku kerja  harian: 
#]. Camat Tugumulyo: Ruslan, SE;
#]. Sekcam: Sugiyanto;
#]. Para  Kades/Lurah:
1. A. Widodo: Masrizal;
2. B. Srikaton: M. Badrun, S. Sos;
3. C. Nawangsasi: Sungkowo;
4. D. Tegalrejo: Rodi  Afian;
5. E. Wonokerto: Sugiono;
6. F. Trikoyo: Sriyanto;
7. G1. Mataram: Benedictus W;
8. G2. Dwijaya: Pulung;
9. H. Wukirsari: Supriyo;
10. I. Sukomulyo: Suhariyanto;
11. J. Ngadirejo: Sujarwo:
12. K. Kalibening: Wahudin;
13  L. Sidoharjo: Mahmudi;
14. Q1. Tambahasri: Arifin;
15. Q2. Wonorejo: Sucipto. 
16. V. Surodadi: Suherman. 
17. Triwikaton:  ~

Catatan: 
~ B. Srikaton adalah berststus kelurahan; 
~ Desa Triwikaton  telah terbentuk (Perda No. 25 Th  2011) namun tidak tercatat  nama Pjs Kadesnya. Desa ini merupakan pemekaran wilayah Desa A. Widodo, B. Srikaton dan F. Trikoyo. 


Rewrite: 
Muarabeliti, 20 April 2025.


     

Sabtu, 19 April 2025

PENGANTAR BUKU (1)

GUMAM: PENGALAMAN MENULIS DENGAN JARAK  [1]

Oleh: Hendy UP *)

      Pembukuan kumpulan artikel ini muasalnya berawal dari membaca-baca arsip tulisan lama yang pernah dimuat di berbagai media cetak, dan sebagiannya telah terbundel sebagai "kliping koran" yang terserak. 

    Ada di lempitan buku-buku, di map plastik berdebu. Bahkan ada yang terselip-melip di susunan rak perpustakaan pribadi yang sunyi nan horor. Maklum, ruangan perpustakaan itu semacam paviliun, menjorok ke depan, agak terpisah di halaman depan. Sekali gus berfungsi sebagai ruang baca; sembari menunggu jika ada pelanggan (dan pembeli) air minum galonan berteknologi Reverse Osmosis System (RO).

    Yaa... sebelah luar paviliun itu, yang terhubung pintu besi, berfungsi sebagai ruang niaga untuk menjual air minum RO.

     Di ruang khusus 4 x 6 meter itu, dipajangi rak buku bertingkat lima dari plat besi siku, dan ternyata semakin sulit melacaknya jika ingin membaca ulang. Maklum, bundel kliping koran itu telah berumur. Ada artikelku yg ditulis tahun 1978, 1979 hingga akhir 1980-an, walaupun tak semuanya layak dibukukan. Ketika mulai membangun website dan mencoba menjadi blogger pada tahun 2014 ~ untuk sekadar merawat minat baca, menghalau kejenuhan dan menahan laju kepikunan ~ arsip tulisan itu diketik ulang secara bertahap.

     Di usia yang menua, mengetik berlama-lama sungguh menyiksa punduk pangkal leher, nyeri pegel-begel: otot nadi tulang punggung bagaikan tersegel kumparan kawat begel! Mata mulai cepat mengabur, berkaca-kaca, seakan terhalang bayang fotopsia, mirip penderita ablasio retina. Mula-mula ngetik di laptop ACER pentium yang semakin lemot, kemudian belakangan berganti menggunakan gawai untuk kepraktisan menulis: kapan dan di mana saja!

     Artikelku di koran, sering dimuat di rubrik opini. Tapi sejujurnya, itu hanya semacam gumaman orang kecil. Meminjam istilah Goenawan Muhamad, tak lebih dari sekadar marginalia, seperti beliau menjoloki CATATAN PINGGIR-nya. Marginalia adalah catatan di pinggir halaman buku yang sedang dibaca. Kadang bertinta merah, bertanggal baca, untuk menandai dan mengingatkan kembali pembacanya akan hal-hal penting yang termuat pada halaman itu. Catatan-catatan itu sendiri sebenarnya tak penting, kecuali merujuk kepada teks utama sebagai pokok bahasan.

     Jika diingat ulang, sejak mulai menulis, barangkali hampir mendekati duaratus buah artikel yang pernah diterbitkan berbagai koran, majalah, bulletin pertanian dari 1978 hingga 2019 ini. Ada Cerpen dan Cerbung yang berlatar romansia remaja. Ada tentang teknologi dan sosial pertanian, tentang kritik terhadap kebijakan pembangunan pedesaan; bahkan merambah ke soal sosial-keagamaan dan peradaban.

     Ada juga tulisan tentang seseorang, teman atau tokoh yang aku kagumi. Pendeknya, aku menulis tentang apa saja, yang kuanggap perlu diketahui, dipahami dan direnungkan oleh berbagai kalangan, khususnya tokoh masyarakat dan pejabat Pemerintah Pusat dan Daerah. Ya, semacam ikhtiar menyemai kreator peradaban! Tapi sejujurnya, kalau boleh mengurut prioritas atensi dan ketertarikan bidang, aku lebih nyaman dan 'PD' menulis tentang: sejarah, sastra-kebahasaan, humaniora, sosial pertanian dan pedesaan. Selebihnya, aku menulis tentang sesuatu jika ada rangsangan yang menyembulkan desire dan kuriositas.

     Yaa ..., ide menulis kadang muncul dari hasil membaca buku, koran, twitter, instagram, portal berita, blog sastra atau bahkan celotehan emak-emak di WA Grup. Juga dari restan memori setelah nonton tayangan film-tv, youtube, film pendek atau panjang. Bahkan sering kali berasal dari perjalanan kluyuran ke desa-desa, ngobrol "ngalor-ngidul" dengan sesiapa, atau bahkan pascamenyaksikan lingkungan yang asri, yang jorok centang-perenang nan berantakan!

     Atau hasil mengendus situasi fenomenal tentang sebuah isu yang sedang viral, dibincangkan masyarakat umum, baik di WA-Grup maupun Facebook. Semisal dampak dari: Narkoba, Corona virus, Pileg, Pilkada- Pilkades. Belakangan ada produk demokrasi baru tentang Pilsung Badan Permusyawaratan Desa. Yaa ... semacam lembaga legislatif di tingkat desa. [***]

Senin, 14 April 2025

PARA KADES MUARABELITI 1987

     Selagi awal tahun, sebagai Kacabdin Pertanian Kecamatan Muarabeliti Kab. Dati II Musirawas (SUMSEL), aku meng-update nama-nama pejabat tinggi Pemda Mura dan pejabat teras yang ada di wilayah Kec. Muarabeliti. 
     Maka, pada Rabu 28 Januari 1987, kususun nama-nama pejabat teras yang terkait. 

A. Pejabat Tinggi:
1. Bupati: Drs. H. SyuebTamat;
2. Sekda:  Drs. H. Ishak Sani;
3. Camat: Drs. Zainal Abidin
                  (NIP. 010-055-270);
4. Sekwilcam: M. Ali Burhan, BA
                  (NIP. 440-016-438);

B. Para Kades di Kec. Muarabeliti:
B.1. Eks. Marga Proatinlima:
1. Muarabelitibaru: Masri Malik;
2. Pasarmuarabeliti: Effendi Bahali;
    - Sekdes: Suwandi;
3. Suro: Cik Asan;
4. Pedang: Raiman;
5. Lubukkupang: Jumirak (Polri);
     - Sekdes: Sarbini;
6. Tanahperiuk: Ali Hasan;
7. Margamulya: Tarmin;
8. Tabarejo: Husni (Pens. ABRI);
9. Siringagung: Supani Ibrahim;
10. Ekamarga: M. Sahuri;
11. Karangketuan: Imron Suhit;
12. Margabakti: Usman;
13. Bumiagung: Hamdi;
14. Manaresmi: Sobli;

B. 2. Eks Marga Tiang Pungpung
     Kepungut (TPK):
1. Muarakatilama: Alisun T;
2. Muarakatibaru 1: M. Zaini;
3. Muarakatibaru 2: Arbain;
4. Rantaubingin: Selamat Bikum;
5. Batubandung: Ajib Siring;
6. Lubukbesar: Ali  Nawang;
7. Kebur:  Astori (Pjs);
8. Rantauserik: Mukti Hasan;
9. Tanjungraya: M. Budin P;
10. Jukung: Hasan Basri;
11. Airkati: Rasjip Gonip. 

Rewrite: Muarabeliti, Ahad, 13 April  2025

Senin, 27 Januari 2025

AKU & SANDRA DI BPP YUDHAKARYA

Catatan: Hendy UP *)

    Sembilan bulan pascapelantikan Ronald Reagan sebagai Presiden AS ke-40, aku dilantik pula. Tentu saja beritanya tak seviral pelantikannya. Jika sumpah Reagan diucapkan di tangga Gedung Capitol, maka aku cukup di aula Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) saja. Yang melantikku adalah Ir. Djatolong Marbun selaku Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) atas nama Kepala Dinas Pertanian Kab. Musirawas SUMSEL. Hari bersejarah itu kucatat: Sabtu, 2 Oktober 1982. Dan hari itulah peresmian dibukanya BPP Yudhakarya di Kec. Jayaloka. 

    Pada level pedesaan kala itu,  jabatanku agak-agak bergengsi. Bayangkan! Secara teritorial, kekuasaan wilayah BPP Yudhakarya meliputi tiga kecamatan: Muarakelingi, Muaralakitan dan Jayaloka; dan  mencakup 7 marga, yakni:  (1) Sikap Dalam Musi, (2) Bulang Tengah Semangus, (3)  Proatin Sebelas, (4) Bulang Tengah Suku Tengah, (5) Bulang Tengah Suku Ulu, (6) Sukakarya, dan (7) Ngestiboga. Dan kini,  pasca otonomi daerah, ketiga kecamatan tersebut telah dimekarkan menjadi 7 kecamatan, dengan penambahan: Kec. Megangsakti,  BTSU Cecar, Tuahnegeri dan Sukakarya. 

    Karena aku bukan kepala wilayah yang memiliki "emblem jengkol" di baju dinasku, maka aku selalu mendampingi  Pak Camat selaku penguasa tunggal atas mandat UU No. 5 Th 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Kala itu, Camat bukanlah kepala OPD sang pengguna anggaran, yang konon lebih menyibukkan diri dalam menyiasati "financial-engineering" ketimbang mencermati dinamika sosial-ekonomi warganya.

     Lokus kantorku di Desa Ciptodadi,  Marga Sukakarya, sekitar 44 km dari  kota Lubuklinggau. Berada di jalan  Pertamina, sekitar  8 km dari  Simpangsemambang menuju ke Kec. BTSU Cecar. Bisa terus ke kawasan HTI tembus ke Pendopo Talangakar (Kab. PALI) dan  kota Prabumulih. Di seberang kantorku, adalah kompleks pemukiman pensiunan TNI. Orang menyebutnya Trans-AD, yang dibuka tahun 1979/1980. Nama  lokasi itu adalah Yudhakarya Sakti. Dan, nama itulah yang kulekatkan menjadi nama BPP Yudhakarya. Kabarnya, kini diubah menjadi BPP Sukakarya. Mungkin pasca pembentukan Kec. Sukakarya. 

    Luas kompleks BPP Yudhakarya adalah 32 hektar. Konon, bekas  kompleks Agriculture Development Center (ADC) sekitar tahun 1974-1978. Selama menjabat, aku ditemani wakilku selaku PPM Supervisor, dengan 34 orang  Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) sebagai mitra kerjaku. 

      Yang cukup menggembirakan, aku ditemani  oleh Lik Mukiman sang Manager Kebun, yang piawai  membelokkan traktor mini ketika mengolah lahan 32 hektar itu. Juga ada gudang saprotan dan hasil panen. Aku juga melengkapi meja pingpong di gudang, dan itulah fungsi tambahan gudang yang rutin kuamalkan dengan pemuda setempat. 

     Karena kantorku terpisah dari pemukiman dan rawan permalingan & penodongan, maka siang dan malam aku harus cerdas menyikapi keadaan. Menyiapkan senapan angin made in Cipacing, seperangkat petetan dan sekarung batu koral.  Lalu belor akbar berbaterai enam, dan  tombak-kujur plus pedang panjang. Juga radio-tape  recorder dengan kabel antena khusus bertiang buluh tinggi.

     Hampir setiap petang, jika tak ke lapangan, aku suka nyantai di teras gudang. Memutar lagu apa saja  sembari  membaca buku.  Ada koleksi lagu Barat yang melankolis nan mendayu-dayu. Tak terlalu paham artinya, tapi aku menikmatinya. Salah satu lagu yang aku suka adalah "I had  a dream of Indonesia" yang dilantunkan Sandra Reimers. Sandra inilah kawan setiaku, tertutama jika istriku mudik ke Dusun Muarabeliti. 

    Suara Sandra lunak agak mendesah. Melodinya tanpa gejolak, seakan tanpa intensi dan tak baperan. Datar mengalun, tapi di ujungnya ada nuansa harapan. Pas buat pengantar bobo ba'da  shalat isya di kesunyian. Tapi jangan coba-coba di putar di perkantoran menjelang dateline tahun anggaran. Bisa kacau-balau SPJ pertangungjawaban para pengguna anggaran!

    Apa yang kau impikan Sandra? Mungkin sebuah tempat: Indonesia yang penuh imaji, sebuah klise tentang surga. Pasti Sandra tak pernah turni ke Indonesia, dan hanya membaca brosur wisata dari pegawai kedutaan RI. Lalu, kata Sandra: "orang-orang seakan mendengarkan kearifan samudra. They never hurry, they never worry, they take the tide away the way it meant to be......". Luar biasa Indonesia itu: ayem tentrem- loh jinawi.

   Jika ingat kenangan itu, aku tersenyum geli. Sandra yang suaranya merdu, ternyata tertipu. Brosur dan infogram yang dibacanya adalah iklan, bukan deskripsi antropologis tentang Indonesia. Bukan annual report dari Suistanable Development Goals (SDGs). Itu adalah iklan, hasil perkawinan silang 90% keinginan dan 10% kenyataan.

    Polesannya adalah kosa kata bombastis, penuh propaganda dan ilusi. Indonesia, oh negeriku yang subur makmur! Lahan sawahmu telah tertimbun pemukiman. Air irigasimu telah terhenti di pintu besi kolam milik para juragan ikan. Miris menyedihkan!

*)Muarabeliti SUMSEL, 15 Desember 2019. Resunting:  Januari 26, 2025.

Senin, 19 Agustus 2024

MENJENGUK GEDUNG TUA BAPPEDA MURA

Catatan: Hendy UP *) 

   Sepanjang karierku sebagai ASN,  aku pernah singgah tugas di Bappeda Musirawas. Tidak terlalu lama. Lalu ditugasi Diklat SPAMEN-LAN di Jakarta selama 9 pekan; kemudian digeser ke dinas teknis hingga pensiun pada tahun 2012.
    Dalam catatan, Bappeda Mura dibentuk pada akhir 1980-an, berdasarkan Keppres No. 27/1980 dan Kepmendagri No. 185/1980 yang mencabut Keppres RI No. 15/1974 & Kepmendagri No. 142/1974. Mula-mula berkantor di Lapangan Merdeka yang kini menjadi Masjid Agung As-Salam Lubuklinggau. Pada tahun 1985-an, pada era  Bupati Syueb Tamat (1980-1990), Bappeda menempati gedung baru di Kompleks Pemda Tabapingin. 
    Aku berkantor di lantai dua, sebuah gedung megah nan berwibawa kala itu, di kompleks perkantoran Pemda Musirawas yang kini nyaris tak terpelihara, ditumbuhi  repuh dan aneka gulma.
     Gedung itu beradu punggung dengan Auditorium yang menjadi saksi bisu aneka aktivitas kepamongprajaan: rapat akbar, seminar, pelantikan pejabat, hingga acara hingar-bingar yang kadang irasional. 
   Hari-hari ini, di penghujung  tahun 2023 ini ~  sejak statusnya tak jelas milik siapa ~ gedung jangkung itu tampak lusuh-kusut berbalut lumut. Sekililing fondasinya bertumbuh perdu apit-apit yang liar menjalar. Juga di seputar teras balkon yang melingkari muka gedung itu. Dinding temboknya dirayapi akar-akar herbal yang merepuh, mengundang burung emprit dan puyuh semakin betah berteduh. 
   Jika kita menjejak dari dekat, gedung itu menguar aura horor. Di sekeliling halamannya terasa denyut-getar bagaikan tremor. Mungkin geliat molekul fosil di bawah subsoil yang merekah, yang dulunya tak rela dilibas buldozer pongah. Yaa, derap pembangunan, kadang seperti mengubur bongkah sejarah. Lalu musnah, karena  sedikit orang yang peduli untuk sekadar mencatatkan kisah. 
    Gedung ini membelakangi lapangan upacara Pemda. Di pagi hari, di sorot mentari, dindingnya tampak comeng, suram-pucat bagai berpupur-bedak kadaluwarsa. Tampak belepotan sengkarut warna, mirip anak ikan semah  hasil berkawin dengan sepat  di sungai Endikat. Dari jauh tampak menggigil menahan dingin, agak-agak doyong menahan beban.
    Menjelang petang, tampak gerah, berlumur keringat busuk yang menguar dari pori-pori kusen pintu dan jendela kaca. Di bekas  ruang rapat lantai dua, daun pintu   dan plafonnya mulai terjungkal berjatuhan. Miring centang- perenang. Ini semua adalah  ulah para kumbang yang  ulang-alik tanpa mematuhi rambu-rambu penerbangan di ruangan khusus. Mungkin serangga itu tahu bahwa aset gedung ini tak jelas dan tanpa status. 
     Halaman gedung tua itu seperti meronta pasrah. Mungkin ingin kembali menjadi huma yang subur di tengah hutan adat marga Proatinlima dahulu kala. Atau, setidaknya menjadi area Onderneming Tabapingin ketika pertama kali dimanjakan Kolonial Belanda sebagai kebun  sawit di tahun 1919.
   Pada dekade tahun  1990-an  hingga 2015-an, gedung itu sungguh sangat bergengsi. Aku adalah salah satu ASN yang wajib bersaksi. Dari sisi sivil-arsitekturalnya, bangunan itu tampak modern. Anggun  nan kokoh.
     Konstruksinya menjulang tinggi, dengan kalkulasi lengkung geometriknya  yang bersudut lembut di atas pintu utama. Terasa luas walau ukurannya terbatas.  Desain eksteriornya sederhana, namun terkesan perkasa. Dipandang  dari arah depannya, akan tampak lebih berwibawa jika dipadukan dengan cat warna apa saja, asal tidak berafiliasi dengan warna partai politik yang suka memaksa berkuasa. Yang cenderung  arogan dan rada-rada klenik serasa zaman baheula. 
    Gedung Bappeda itu diapit dua gedung kokoh lainnya; yang di hulu kantor para birokrat-eksekutif yang selalu sibuk menata administrasi dan duit; dan di hilirnya kantor  anggota parlemen-legislatif yang wajib bermata jeli nan cerdik untuk mengendus mata-anggaran mana saja yang krusial dikotak-katik dan potensial menjadi incaran penyidik.
    Hari itu, aku memandang dari halaman kantor SAMSAT, tertegun dan menunduk pasrah. Dulu, kami sering lembur malam hingga menjelang subuh. Kini menjadi habitat burung puyuh. Inikah nasib bangunan pemerintah yang terbengkelai akibat mis-manajemen pusat dan daerah? 

*] Muarabeliti SUMSEL, Kamis 9 November 2023. Resunting 6 Juli 2024.

Minggu, 06 Maret 2022

DISERTASI DUDUNG

Oleh: Hendy UP *) 

Dalam kajian etno-antropologis versi Indonesiawi, nama Dudung niscaya mengait-erat dengan peradaban Sunda. Tepatnya adat suku Sunda, atau lebih tepatnya lagi bahasa Sunda. 

Jika Anda iseng searching mengumpulkan KTP se-Nusantara (bukan nama ibukota baru RI), hampir dipastikan nama Dudung paling banyak ditemukan di wilayah Sunda Besar; dari West Preanger di Cianjur dan sekitarnya hingga Cilacap di kawasan Banyumas Barat yang berbahasa Ngapak. Konon, di awal-awal abad permulaan, Cilacap itu bahagian dari kerajaan Sunda. Apakah ada kaitannya dengan Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian? Wallohu a'lam bishshowab! 

Agaknya belum juga ada riset etnografis, kenapa sesudah nama Dudung sering diikuti kata Abdu. Yang saya tahu: Dudung Abdul Adjid, Dudung Abdurachman, Dudung Abdul Karim, dan dudung-dudung yang lain. Tapi juga ada yang exception! Tahun 1978-an, teman nongkrong saya di Gang Mama Iwa Dago Atas Bandung, namanya agak menyimpang: Dudung Ushuluddin. Nah, yang ini mungkin tugas Universitas Pasundan yang terlanjur mengklaim pewaris peradaban Sundaisme; setidaknya dari nama dan lokus kampusnya. 

Tapi bukan itu soal yang hendak saya gesahkan. Itu hanya prolog-pembukaan, sekadar segigit-lidah, sekunyah-ludah dan sekapur-sirih! 

Alkisah, ketika saya mengambil tugas riset kecil-kecilan dari sebuah lembaga pendidikan, saya ingin mencari tahu: kenapa ada trend penurunan produktivitas padi supra-insus di Musirawas sejak tahun 1985 hingga 1989? Sebagaimana di daerah lain di Indonesia? Pada saat itu, istilah kerennya adalah gejala levelling off. Agak-agak mirip dengan gejala involusi pertanian menurut teori ekolog Clifford Geertz. 

Pasca-olah data lapangan dan mencari rujukan literatur, ketemulah saya dengan nama Dudung. Lengkapnya: Dr. Ir. H. Dudung Abdul Adjid; anak guru ngaji H. Mahmudin, petani sederhana yang mukim di Desa Sukarindik, Kecamatan Indihiang Tasikmalaya. Pada tahun itu, tidak terlalu sulit mencari rujukan seberharga itu, karena karya disertasinya lagi ngetop-viral di kalangan masyarakat ilmuwan pertanian. 

Cukuplah datang ke Pusat Perpustakaan Pertanian di Jln. Ir. Djuanda Bogor, tepatnya di depan Kantor Pos Kebun Raya, sederetan dengan Gedung Herbarium Bogoriense. Dan Mang Dudung memang salah seorang petinggi Departemen Pertanian RI kala itu, sekolega dengan para profesor: Gunawan Satari, Herman Soewardi, Didi Atmadilaga, IGB Teken dan kawan-kawan. 

Disertasinya yang dicetak Penerbit Orba Shakti Bandung tahun 1985 itu berjudul "Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan Dalam Pembangunan Pertanian Berencana". Tebalnya 354 halaman, lengkap dengan lampiran olah data persamaan regresi untuk menguji lima hipotesis yang didalilkan, dengan lima landasan postulat yang dirasakan nyata di pedesaan. 

Kesimpulan penelitian Mang Dudung itu sangat berharga, dan kelak menjadi rujukan utama bagi Kementerian Pertanian dalam menyelenggarakan Tupoksinya. 

Adakah disertasi Dudung yang lain? Jawabnya ada! Tapi ini lain Dudung-nya, yakni Prof. Dr. Dudung Abdurrahman. Dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang kondang dengan disertasinya: "Suksesi Takhta Mataram, Antara Perang & Damai (1586 - 1755)". Saya ingin membaca buku ini, mungkin esok atau lusa. Atau di lain hari! 

Adakah Dudung yang lain? Jawabnya banyak! Salah satunya adalah petinggi ABRI yang lagi viral-naikdaun. Nama lengkapnya: Jenderal TNI Dudung Abdurachman, S,E., M.M, yang qodarulloh sejak 17 November 2021 menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Sungguh tugas yang mahaberat untuk menjaga kedaulatan NKRI, termasuk harus awas jika ada baleho liar yang bergambar provokatif. Hehe! 

Alumni SMA 9 Bandung yang lulus AKABRI tahun 1988 ini, lahir pada Jumat 19 November 1965 atau 25 Rejeb 1385 Hijriyah. Kabarnya sekitar tahun 2004-2006 pernah bertugas di Kodim 0406 Lubuklinggau. Wajar sekali, jika pekan-pekan ini sangat-super-sibuk para petinggi MLM (Musirawas-Linggau-Muratara) dalam rangka menerima tourni Sang Jenderal. Rencana awal 24 Januari 2022 kelak: "Marhaban yaa Jenderal! Semoga pulangnya lebih keren karena sudah disiapkan tanjak khusus ber-"BATIK-DUREN". [*]

*) Muarabeliti, 20 Januari 2022

Minggu, 02 Januari 2022

MENGGALI UNTUK SESUAP NASI


Jika hari~hari ini melintasi jalan raya Tugumulyo~Megangsakti, khususnya sekitaran SPBU Trikoyo, Anda akan menyaksikan 'rombongan' penggali kabel  raksasa oranye milik PT. Indosat.

Gambar: Anto dan Abi,  buruh pasang kabel Indosat di depan SPBU Trikoyo [4 Feb 2019].

Adalah Anto, Abi, Harun, Sakib dan tigapuluhan temannya yang mendapat 'kontrak kerja'  pembangunan jaringan kabel PT. Indosat. Kontrak memasang kabel sepanjang 25 km dari Srikaton ke Megangsakti. Mereka tiba pada 1 Januari 2019 lalu dan menetap di P2. Purwodadi menyewa rumah di dekat kantor desa.

Abi~Anto dan kawan~kawannya adalah perantau yg telah malang melintang dalam hal gali~menggali pinggiran jalan raya utk memasang kabel jaringan: Telkomsel, Indosat, Muratel dll. Mereka pernah menggali di seantero Nusantara dari Aceh hingga Flores NTT. Mengitari Sulawesi ~ Batam hingga Kalimantan.

Rupanya profesi 'menggali' jalanan utk memasang jaringan kabel ini ditekuni oleh warga Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes, khususnya desa Tegalreja. 

Ketika pada Senin siang  4 Feb 2019, saya wawancara dg mereka tentang upah kerja, dengan semburat sedih~memilu mengatakan bahwa upah per meter penggalian dan pemasangan kabel itu Rp. 11 ribu plus uang makan Rp. 50 ribu. Sehari bisa memasang sekitar 20 meter maju. Jadi perolehan kotor per hari 200 ribuan. "Yaa... bersihnya 100 ribuan, Pak", kata Abi memelas. Kalau penggalian ketemu batu atau akar kayu itu risiko sendiri dan pasti akan mengurangi pendapatan. Mereka kerja rata2 berpasangan dua orang. 

"Kami bekerja menggali ini sudah sejak tahun 2007~an. Pulang ke kampung menemui anak istri paling cepat dua bulan sekali. Di rumah paling lama semingguan", sambung Abi sambil memungut bongkahan tanah di lobang sedalam hampir dua meter berlumpur.


Gambaran kehidupan pekerja musiman itu menunjukkan bahwa lapangan kerja kini sedemikian sulit dengan upah yg rendah. Ketidakmampuan bersaing dalam merebut lapangan kerja yg 'lebih layak' adalah faktor un~skill pada mayoritas penduduk perdesaan. Di sektor industri mereka tak dikehendaki, sementara di sektor tani mereka tak punya lahan (dan modal). Maka, kita hanya berharap ada kebijakan Pemerintah RI yang mampu berfikir cerdas untuk menghalau 'kedunguan massal'. Allohua'lam...!!

Senin, 15 November 2021

STAMPLAT KEBONDALEM 1974

Oleh: Hendy UP  *)

    Rasa~rasanya baru tahun kemarin, ketika aku bersama pamanku berbecak nan terburu-buru menuju Stamplat Kebondalem, demi mengejar  mobil angkutan starwagon trayek Majenang. Hari itu,  Rabu, 18 Desember 1974 adalah hari bersejarah bagiku. Yaa, pagi tadi aku baru saja didaftarkan oleh pamanku sebagai calon siswa di dua sekolah: SPG Negeri dan SPMA Purwokerto. 

     Pagi itu, kota Purwokerto baru saja berdandan rapi ketika kami memasuki  jalan Gatot Subroto kulon. Semenjak naik minibus dari Pasar Senen Cimanggu pagi subuh tadi, dua jam lalu, Pak Sopir menerabas ngebut hingga terminal Karangpucung, lalu mulai menanjak, meliuk-liuk di Gunung Sengkala. Lalu, kepala terserang puyeng; serasa kunang-kunang dan setengah-mati menahan muntah dengan memelihara mual hingga di Ajibarang. Memasuki Karanglewas, perasaan perut baru agak-agak aman-terkendali. 

    Kami berhenti. Turun di mulut jalan Gereja berjalan menuju  kompleks SPG Negeri yang mulai ramai. Setelah pamanku melengkapi seluruh persyaratan, kami bergegas membecak menuju SPMA. Melewati lapangan bola yang luas, di depan SMA 2  yang konon eks gedung  Kweekschool  yang dibangun Belanda 1929. Sejurus kemudian  kami berbelok-kiri masuk ke kompleks SMA Negeri 1 sebelum melewati Tugu Keresidenan. Rupanya siswa SPMA  bersekolah di SMAN 1 dan dikepalai oleh orang yang sama: Sugiyanto, BA. Dan sementara kawan,  sering "mengaku" siswa  SMA 1 Sore. 

    Setelah kelar seluruh persyaratannya, kami kembali berbecak ke arah Kebondalem. Di dalam becak, pamanku bercerita, bahwa waktu test seleksi SPG pada 30-31 Desember 1974 dan test seleksi di SPMA pada 1-3 Jamuari 1975.

    Paman juga memberi 'warning' bahwa pendaftar di SPG lebih seribuan, dan hanya akan diterima sebanyak duaratus siswa.  Paman tidak menceritakan tentang pelamar si SPMA. Di depan STM-75 , Paklik Becak belok ke kanan menurun menuju Stamplat Bus. Sesampai di Stamplat Kebondalem, paman tidak berhenti, tetapi menyuruh Paklik terus ke arah cucian mobil, melewati Masjid At-Taqwa di Jalan Safei, untuk kemudian memotong Jalan Suprapto menuju Gang 4 Kebondalem. Rupanya paman hendak memperkenalkan kepada pemilik rumah kost yang pernah Paman tinggali selama ia bersekolah di STM-75, lima tahunan yang lalu. 

   Lalu kami pamit, untuk kemudian bergegas menuju ke Stamplat Kebondalem, mengejar Starwagon jurusan Majenang! [***]
-------------------
Catatan: Stamplat, dari bahasa Belanda Staanplaat, artinya tempat kendaraan (bus & angkutan) mangkal, menurun-naikkan penumpang. 

*) Blogger: https.www.andikatuan.net











Sabtu, 05 September 2020

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (3)

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (3)

Oleh: Hendy UP *)

    "Four things belong to a judge; to hear courteously, to answer wisely, to consider soberly and to decide impartially".

    Itulah prolog Prof. Jawahir Thontowi, guru besar FH-UII Yogyakarta, ketika menyampaikan diseminasi terhadap hasil eksaminator kasus OTT-RM pada 13 Juli 2019 di Yogyakarta (hal 243~264).

    Selanjutnya, ia menuturkan bahwa sebelum menganalisis hasil eksaminator perlu dikedepankan prinsip dasar universal tentang 'due process of law and fair trial' untuk menentukan ketepatan hasil kajian; dan menguji putusan MA, PT dan PN. Apakah para hakim telah menggunakan prinsip tersebut dalam melakukan pemeriksaan alat-alat bukti, surat, saksi dll. secara benar, sah, teliti, akurat dan terbuka?

    Kecenderungan selama ini, menurut Prof. Jawahir, putusan hakim dari tingkat bawah hingga MA terumuskan secara linier karena hanya menggunakan bahan dari konstruksi surat dakwaan hasil penyelidikan dan penyidikan para penyidik KPK (hal 244).

    Selanjutnya, dia mengutip parameter keadilan hukum dari John Rawls dan Michael Sandle bahwa 'keadilan substansif' secara umum mengandung 5 komponen: (1) mengerjakan sesuatu yang benar (doing the right thing); (2) terpenuhinya kebahagiaan sebagian terbesar warga (utilitarianisme); (3) kami bagian dari milik kita sendiri (do we own our-self); (4) pasar dan moral (market and morality), dan (5) motif di balik itu semua (what matters is the motive).

    Prof. Jawahir juga merujuk pendapat Judge Henry Friendly (Hakim MA USA) yang merinci 10 elemen pemeriksaan dalam menerapkan konsepsi 'due process of law'(DPL), antara lain prinsip 'the right to have decision based only the evidence presented' yakni bahwa Majelis Hakim hendaknya dalam membuat putusan didasarkan bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan (hal 246~247).

    Selanjutnya beliau menilai, bahwa para hakim tidak memenuhi prinsip DPL yang diatur dalam KUHP. Akibatnya, hukuman berat yang diputuskan hakim tidak didasarkan atas bukti-bukti dan fakta-fakta yang tepat dan benar di persidangan; melainkan didasarkan pada logika hukum opini imajener (mythos) yang tidak tepat dan tidak akurat, bahkan bertentangan dengan peraturan hukum Tipikor (hal 248).

    Dengan membedah hasil eksaminasi, Prof. Jawahir menilai pula bahwa secara kajian ilmu hukum, penerapan OTT terhadap RM diragukan validitasnya; karena di-OTT saat menjenguk LMM dan tidak sedang melakukan kejahatan. Anehnya, JPU menempatkan T1 sebagai terdakwa primer, sementara T2 yang jelas-jelas di-OTT KPK dijadikan terdakwa sekunder.

    Hal ini menimbulkan 'kebimbangan' pihak JPU sehingga menggunakan dakwaan alternatif. Lalu menggunakan Pasal 12 butir (a) yaitu perbuatan suap juncto Pasal 11 tentang gratifikasi yang dapat dilakukan oleh PNS; dan PNS dapat menarik subjek lain non-PNS.

    Di bagian akhir, Prof. Jawahir menilai bahwa putusan hakim terhadap RM adalah tanpa argumentasi faktual akurat, dengan merujuk teori hukum inklusif yakni suatu pemahaman hukum yang tidak dapat dilakukan secara linier-positivistik, tetapi menuntut pendekatan non-linier dengan harapan kebenaran dan keadilan dapat tercapai (hal 256).

    Resensi ini tidak hendak memberi penilaian atas putusan hakim yang sudah 'inkracht', namun sekadar meresume sebuah buku yang mengurai jalannya sebuah peradilan kasus Tipikor; yang menurut para pakar hukum (para eksaminator dan diseminator) kurang memenuhi keadilan hukum dan karenanya perlu "Menggugat Keyakinan Hakim Tanpa Alat Bukti", sebagaimana judul buku ini [*]

Muarabeliti, 3 September 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (2)

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (2)

Oleh: Hendy UP *)

    Sekadar mengingat dan mengulas validitas putusan, bahwa vonis hakim yang diuji (eksaminasi) adalah: (1) putusan Pengadilan Tipikor PN Bklu Klas IA No. 45/Pidsus-TPK/2017/PN-BGL tgl. 11 Januari 2018, (2) putusan Pengadilan Tinggi Bklu No. 4/Pidsus-TPK/2018/PT.BGL tgl. 28 Maret 2018, (3) putusan MA-RI No. 1219 K/Pidsus/2018.

    Pada Bab 1 (halaman 6~14), diuraikan tentang: pasal dakwaan, tuntutan pidana, nota pembelaan dan pertimbangan hakim. Selanjutnya diuraikan pula amar putusan para hakim di 3 tingkat peradilan (hal 14~16).

    Sedangkan Bab 2 (hal 17~84) menguraikan detail hasil para eksaminator yang mengaitkan vonis hakim dengan logika akademis (ilmu hukum pidana). Dalam perkara 'a quo', berkas perkara antara Terdakwa I (RM) dan Terdakwa II (LMM) digabung (voeging) dengan menggunakan dakwaan alternatif. Kesatu: Pasal 12 huruf a UU No. 31 Thn 1999 jo UU No. 20 Thn 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP; atau Kedua: Pasal 11 UU No. 31 Thn 1999 jo UU No. 20 Thn 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

    Setelah melalui proses persidangan, akhirnya hakim Pengadilan Tipikor menerbitkan amar putusannya sebanyak 6 poin, antara lain: "menjatuhkan pidana kepada T1 (RM) dan T2 (LMM) dengan pidana penjara masing-masing 8 tahun, berikut denda Rp. 400 juta (subsider 2 bulan pidana kurungan)" serta menjatuhkan pidana tambahan kepada T1 berupa pencabutan hak utk dipilih dalam jabatan publik selama 2 thn pasca-menjalani pidana pokok.

    Karena T1 dan T2 mengajukan banding, maka melalui proses persidangan, hakim Pengadilan Tinggi Bengkulu menerbitkan vonis dengan 6 amar putusan, antara lain: "menjatuhkan pidana kepada T1 dan T2 dengan pidana penjara masing2 9 tahun berikut denda Rp. 400 juta (subsider 2 bulan kurungan), serta menjatuhkan pidana tambahan kepada T1 berupa pencabutan hak utk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun pasca-menjalani pidana pokok".

    Tak puas dengan vonis banding, T1 dan T2 mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Alhasil vonis MA menetapkan 4 amar putusan, antara lain: "menolak permohonan kasasi T1 dan T2; dan memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu dan Pengadian Tipikor Bengkulu mengenai pidana kurungan pengganti denda menjadi masing-masing 8 bulan penjara".

    Intinya, setelah T1 dan T2 melakukan upaya hukum, pada akhirnya tetap divonis menjalani pidana kurungan selama 9 tahun dengan denda Rp. 400 juta serta pidana pengganti 8 bulan penjara, plus dicabut hak dipilih dlm jabatan publik utk T1 selama 5 tahun pasca-menjalani pidana pokok.

    Hasil eksaminasi oleh para ahli hukum pidana (Bab 3, hal 85~200) antara lain disimpulkan sbb: pertama, bahwa utk menerapkan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP khususnya 'turut serta' dalam konteks perkara a quo, maka hal itu tidak terbukti. Bahwa agar 2 orang atau lebih dapat disebut sebagai 'medepleger', harus dibuktikan kesengajaan ganda (doble opzet), yaitu kesengajaan utk melakukan kerjasama dan pelaksanaan suatu delik secara bersama-sama yang dilakukan secara sengaja.

    Kedua, tentang pembuktian unsur-unsur delik pasal 12 huruf a UU Tipikor, disimpulkan bahwa fakta hukum yang digunakan majelis hakim untuk membuktikan unsur 'dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya', tidak tepat karena substansinya justru mengarah kepada pembuktian delik pemerasan. Ketiga, tentang lamanya pidana kurungan pengganti denda, dari 2 bulan menjadi 8 bulan oleh majelis hakim kasasi, dengan alasan bahwa pidana pengganti denda yang dijatuhkan 'judex facti', selain belum memenuhi rasa keadilan, juga pertimbangan hakim dinilai keliru.

     Menurut para eksaminator, hal ini melanggar pasal 30 ayat (2), (3) dan (5) KUHP yang menentukan bahwa pemberatan pidana kurungan pengganti denda selama 8 bulan karena terkait perbarengan atau karena pengulangan. Kedua alasan tersebut sama sekali tidak terbukti dalam perkara a quo. [Bersambung...]

Muarabeliti, 3 September 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (1)

RESENSI BUKU OTT RIDWAN MUKTI (1)

Oleh: Hendy UP *)

    Judul buku ini: "Menggugat Keyakinan Hakim Tanpa Alat Bukti: Eksaminasi Putusan OTT Ridwan Mukti". Diterbitkan oleh FH-UII Press kerja sama dengan Pusdiklat FH-UII Yogyakarta. Dicetak pertama kali Oktober 2019, warna cover dark-grey bergambar palu hakim, ukuran standar 23 x 16 cm.

    Sekadar flash-back, pada Selasa 20 Juni 2017 sekitar pukul 09.30 WIB terjadi OTT oleh KPK terhadap Rico Diansari (RD) dan Lily Martiani Maddari (LMM). Kala itu Gubernur RM sedang memimpin rapat di kantor dan diberitahu ada OTT, maka RM segera menjenguk LMM di Mapolda Bengkulu; lalu serta-merta KPK meng-OTT-kan RM.

    Setelah melalui proses panjang persidangan mulai di Pengadilan Tipikor Bengkulu, Pengadilan Tinggi Bengkulu, hingga sidang kasasi di MA, diputuskan penjatuhan pidana penjara kepada RM (T1) dan LMM (T2) masing-masing 9 tahun dengan denda Rp 400 juta subsider 8 bulan kurungan, plus pidana tambahan kepada RM berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun pasca-menjalani pidana pokok.

    Yang menarik dari buku ini, khususnya bagi praktisi hukum, para sarjana hukum, bahkan awam sekalipun, adalah untaian prolog dari seorang pakar hukum yang menguji gagasan (ideas) sembari menyibak atmosfir wawasan (insight) peri-keadilan hukum yang sedang terjadi di Bumi Nusantara.

    Beliau adalah Prof Mafud MD mantan Ketua MK periode 2008-2013. Sang Profesor membuat permenungan, lalu mencermati detail eksaminasi (pengujian) vonis dan logika akademis dalam kasus OTT Ridwan Mukti dari para guru besar ilmu hukum. Sayang, buku ini tidak mencantumkan Tim Kuasa Hukum RM yang dengan kepakaran dan kepiawaiannya tetap saja sia-sia meyakinkan para hakim dalam memutuskan perkara ini.

    Penyusun buku ini sebanyak 5 orang, semuanya berlatar ilmu hukum dari UII, UNDIP, UI, yakni: Dr. M. Arif Setiawan, Dr. Nurjihad, Dr. Mahrus Ali, Eko Rial Nugroho, MH dan Rizky Ramadhan Baried, MH. Para eksaminator atas putusan hakim, baik di Pengadilan Tipikor Bengkulu, Pengadilan Tinggi Bengkulu maupun Mahkamah Agung RI, berjumlah 7 guru besar ilmu hukum, yakni: Nyoman Serikat PJ, Nur Basuki Minarno, Eddy OS Hiariej, Hibnu Nugroho, M. Arif Setiawan, Hanafi Amrani, dan Trisno Raharjo.

    Sedangkan para diseminator dalam buku ini adalah: Prof. Jawahir Thontowi, M. Abdul Kholiq, Mahrus Ali dan Aloysius Wisnosubroto. Buku ini terdiri dari 3 bab (hal 1~90), dilengkapi dengan 3 lampiran (hal 91~295).

    Bab 1 berupa ringkasan perkara, yang mengurai: posisi kasus, pasal dakwaan, tuntutan pidana, nota pembelaan, pertimbangan hakim dan amar putusan. Sedangkan Bab 2 terdiri dari 4 subbab yang merinci perihal: eksaminasi terhadap delik 'turut serta', pembuktian unsur-unsur delik pasal 12 huruf a UU Tipikor, pertimbangan pemberatan pidana penjara, hingga pemberatan pidana kurungan pengganti denda.

    Dalam prolog-permenungannya, Prof. Machfud MD sangat terkejut ketika mendengar berita OTT-RM. Betapa tidak, karena di saat masa kampanye Pilgub Bengkulu, beliau adalah sebagai 'penasihat' RM dengan mendirikan "MMD Initiative" dengan radio-amatirnya utk menggoalkan RM sebagai gubernur.

    Tidak hanya itu, bahkan pasca-terpilihnya RM, Prof. Machfud merekomendasikan 4 temannya untuk membantu RM dalam mengawal kampanye anti korupsi dan transparansi birokrasi Pemda.

    Menurut Machfud, sungguh formulasi OTT terhadap RM dinilai agak ganjil, karena RM sedang menjenguk istrinya di Mapolda, tiba-tiba di-OTT pula. Mestinya, OTT dilakukan terhadap orang yang sedang melakukan kejahatan. Kalau pun hendak ditersangkakan, harusnya melalui proses penersangkaan biasa atas dasar 2 alat bukti yang diperoleh secara terpisah.

    Lebih lanjut Machfud mengkritik bahwa ada ketidaksinkronan antara dakwaan dan keterangan para saksi serta fakta hukum di persidangan. Oleh karena itu, dari hasil eksaminasi para pakar hukum terhadap pemidanaan RM, disimpulkan tidak tepat jika dilihat dari ilmu hukum pidana. [Bersambung...]

Muarabeliti, 3 September 2020 *)Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 28 Juli 2020

IKLAN-IKLAN TAK SOPAN

IKLAN-IKLAN TAK SOPAN!

Oleh: Hendy UP *)

     Seorang teman di Bengkulu merasa risi ketika membaca artikel-artikel saya di sebuah media online. Dengan canda khas mBantul-Birmingham dia menyentil: ".... artikel sampeyan itu dipenuhi iklan (agak porno) sebuah produk untuk mengecilkan perut .... hahaha". Begitu kira-kira makna keluh-protesnya.

     Dalam hati, saya menyarankan, jangan sekali-kali menyentuh iklan 'Pneumatic Rotary Union'. Jangan! Saya pun tak pernah berani. Melihat cover iklannya saja sudah 'wadduh'. Lalu teringat petuah santun dari UAH, UAS dan Ust. Syafik RB! Yaa... narju 'an yubarikuu!

      Saya haqul yakin, siapa pun yang 'normal-jiwa' pasti terganggu oleh iklan tak senonoh itu. Masalahnya, siapakah yang berwenang mengawasi muncul-timbulnya iklan setan itu? KPI kah? Kominfo kah? Atau lembaga apa! Tapi menurut R. Kristiawan dari lembaga Koalisi Independen & Demokratisasi Penyiaran, keberadaan KPI masih sangat lemah (Tirto.id; 25/10/2017).

     Ihwal lemahnya KPI itu bisa kita lacak dari dikalahkannya oleh PTUN Jakarta ketika menerbitkan SE No. 225/K/KPI/31.2/04/2017 tentang Iklan Parpol yang tayang di luar masa kampanye. Juga ketika UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di-judicial review di MK, dan akhirnya harus berbagi kewenangan pengawasan atas penyiaran dengan Pemerintah cq. Kementrian Kominfo. Kalau demikian halnya, maka masing-masing kitalah yang harus membentengi diri dari aneka model iklan 'dak karuan' masa kini yang nongol setiap detik.

     Jika kita lacak tentang perangai pebisnis yang super canggih dan diskusi para pemerhati iklan, ada statement seorang pakar IT begini: "mustahil sebuah iklan keluar sendiri tanpa ditrigger oleh publisher. Makanya mereka menawarkan escapenya: jika ada iklan Google Ads yang dirasa mengganggu, suruh mengunjungi link: https://support.google.com/google.ads/contact/thirdparty_complaint?hl=id", ujar sobat tadi. Wadduhh tambah pusing gue ...!

     Kata para sarjana hukum, secara legal formal, perihal iklan-iklan porno itu sudah diancam pidana menurut KUHP. Bahkan ada dua UU yang dengan tegas melarangnya, yakni UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE. Jadi kurang apa lagi!

      Pun pula, definisi pelanggaran kesusilaan sebagaimana bunyi Pasal 27 ayat (1) UU ITE sudah sangat klir. Apatah lagi bunyi Pasal 4 ayat (1) huruf (d) di UU Pornografi, sudah sangat gamblang nan terang-benderang. Rasanya para ahli bahasa Indonesia tak perlu berdebat tentang makna "ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan" seperti iklan 'Pneumatic RU itu'.

     Setuo ini, saya lantas bergumam: "Kalaulah Pemerintah yang gagah- powership, yang menguasai 'ngelmu' teknologi super-sophisticated saja tak berkutik? Apa jadinya? Apakah kita masih memerlukan seorang Empu untuk menghadapi mBah Google dengan senjata keris plus klenik dari era Singasari? Mungkin Anda punya jawabannya! [*]

Muarabeliti, 21 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Selasa, 21 Juli 2020

GENERASI PENDOBRAK

GENERASI: PENDOBRAK, PENERUS & PENIKMAT

Oleh: Hendy UP *)

     Lagi-lagi, Bung Udin Muarabeliti si milenial nakal membuat ulah-aneh: bicara tentang psiko-antropologi. Padahal ia hanyalah tukang 'motong-para' yang harga jedolnya (slab) masih sangat parah. Bergerak antara 6.000 - 8.000 perak per kilo.

     Katanya, dalam kajian karakteristik generasi, khususnya ihwal 'elan-vital' kehidupan sosial kultur Indonesia, terbagi menjadi 3 karakter generasi: pendobrak, penerus dan penikmat.

      Sebagaimana lazimnya ilmu sosial, selalu ada 'status antara' atau kombinasi karakter; tidak hitam putih. Misalnya: agak berkarakter penerus tetapi agak-agak penikmat. Si Udin barangkali tidak sedang bicara kultur Indonesia. Terlalu luas. Mungkin hanya sebatas subkultur Silampari Bari wilayah Sumbagsel yang diwariskan ke generasi kini.

     Tetapi kini ada cabang ilmu spesialisasi baru: psiko-antropologi. Yakni ilmu yang mengkaji perkembangan manusia dan enkulturasi dengan kelompok budaya tertentu yang terkait dengan pengalaman sejarah dan bahasanya. Inilah yang melahirkan konsep kognisi, emosi dan persepsi etnologis yang kelak membentuk karakteristik generasi di wilayah kultur tertentu.

      Sebenarnya, sedari dulu masyarakat Nusantara sudah memiliki sejarah hitam karakter generasi: antara lain akibat benturan 3 jenis karakter dalam satu jalur nukleus-geneologis. Dua beradik kandung Anak-Raja yang berbeda karakter: penerus dan penikmat, niscaya potensial berbenturan pada zuriyatnya, bahkan bisa pada dirinya jika tanpa basis agama yang kuat.

     Sebagai teladan bari: Prabu Kameswara adalah founder kerajaan Kahuripan kuno. Ia adalah sang pendobrak. Salah satu anaknya, yang bernama Prabu Airlangga (1.019-1.042 M) adalah generasi penerus yang sukses dan bijak. Ketika Airlangga menua, demi kedamaian turunannya yang dua orang, maka kerajaan Kahuripan dibagi dua: Jenggala (kelak menjadi Singosari) dan Panjalu (kelak menjadi Kediri).

     Tetapi apa lacur? Kedua jalur dzuriyatnya berbeda karakter dan berseteru hingga babak-belur dan saling memutuskan silaturakhim. Setelah perang sedarah beberapa generasi, alhasil pertumpahan darah itu menyatukan kembali eks wilayah Kahuripan yang berdarah-darah, dan kemudian berubah menjadi Kerajaan Kediri dengan Raja Agungnya Prabu Jayabaya (1.042-1.222). Itu adalah salah satu contoh: betapa perbedaan karakter generasi yang sulit didamaikan ternyata mengelamkan peradaban.

     Contoh generasi pendobrak di Musirawas antara lain adalah: para Pesirah/Kepala Marga di awal pembentukan marga. Setidaknya ada 18 Marga asli di wilayah eks Onderafdeeling Musi Ulu Rawas yang kemudian bubar, akibat lahirnya Permendagri sebagai derivasi atas UU No. 5 Thn 1979 tentang Desa. Era kemargaan berakhir pada 1 April 1983. Siapakah generasi PENERUS dan PENIKMAT-nya pasca bubarnya Marga? Anda bisa menginventarisir lebih lengkap di sekitar Anda. Ini penting sebagai ibroh generasi milenial.

      Contoh lagi, generasi Pendobrak di era Kolonisasi Toegoemuljo mungkin mereka para transmigran pertama di tahun 1937-1940, yang hanya menempati 20 desa sebelum NKRI terbentuk. Mereka membuka hutan belantara demi kemaslahatan anak-dzuriyatnya. Beberapa di antara mereka berhasil! Tapi selalu saja mewarisi dua jenis generasi yang dominan: penerus dan penikmat!

     Yang mengerikan, di era digital-milenial kini, jika orangtua tak berhati-hati membangun karakter bijak lalu menyekolahkan anaknya ke sekolah sekuler, maka orangtua bagaikan memelihara anak MACAN di dalam rumah sendiri. Siap-siaplah kita diterkam tengah dalu! Allohua'alam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 20 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

Kamis, 04 Juni 2020

SEPEDA ANTIK

SEPEDA ANTIK

Oleh: Hendy UP *)

    Di kota-kota besar Indonesia, telah bertumbuh komunitas GOES sejak beberapa tahun belakangan ini. Mula-mula diinisiasi oleh para pensiunan baik TNI, POLRI maupun ASN dan kalangan BUMN atau wiraswasta. Mungkin pertimbangan awalnya adalah model olahraga ringan di kawasan kompleks perumahan.

    Barang kali juga terprovokasi oleh gelombang pemikiran lingkungan sehat dengan olahraga kebugaran yang cocok bagi para manula. Belakangan mulai tumbuh pula komunitas pesepeda plus pengoleksi sepeda antik yang merambah kalangan eksekutif muda di kompleks perumahan elit menengah atas.

    Di antara ribuan pemuda milenial Jakarta, adalah seorang pemuda sang penggemar sepeda antik. Namanya Andy Andriana (32 th: 2008). Bermula dari tahun 2000 ketika ia merasa beruntung mampu membeli sepeda Raleigh (utk perempuan) yang diproduksi tahun 1953, dari sebuah pasar di kawasan Mentengpulo, Jakarta Pusat. Sepeda tua yang masih tertempel logo "R" itu dibeli dengan harga Rp 375.000,- Andy sangat senang demi memiliki sepeda tua tersebut yang bisa terkategori sebagai "sepeda antik" nan langka. Ia sudah berkeliling dari bengkel ke bengkel, pasar loak dan barang bekas yang berada di kawasan Jakarta, bahkan hingga ke Depok dan Bogor. Setamat kuliah, perburuan sepeda antik hingga ke kota lama seperti Yogya dan Solo.

    Pemuda penggemar sepeda antik ini adalah putra Pak Rachmad Nugroho, seorang pilot pesawat kepresidenan sejak jaman Pak Harto; dan tinggal di Blok A-9 No. 2 Kompleks Perumahan Jatiwaringin Asri, Pondokgede. Memburu sepeda antik ke berbagai pasar loak dan bengkel sepeda ini, dilakoninya di kala senggang waktu dalam kesibukannya sebagai mahasiswa Desain Universitas Paramadina Jakarta Selatan.

    Tak puas dengan hanya memiliki sepeda Raleigh (1953), ia terus berburu sepeda. Di sebuah bengkel di Warungbuncit (Jaksel), tertengger sepeda kuno merek Gazelle yang dipasang harga Rp 1,5 juta. Sungguh Andy sangat kecewa, karena sepeda itu tergolong sangat tua dan paling dicari oleh para kolektor sepeda kuno. Sayang, ia tak punya uang sejumlah itu; dan ketika hampir setahun kemudian ia hendak membelinya, ternyata bengkel sepeda itu telah raib (jadi bengkel motor) berikut Gazelle yang diidamkannya!

    Dasar Andy si pemburu sepeda, gagal memiliki Gazelle, eh.. tiba2 ditawari oleh seorang kolektor sepeda, merek tua Philips buatan Belanda tahun1930-an dengan harga Rp 175.000,- Di tengah kesibukannya sebagai "car audio spesialis & salon mobil", kini Andy telah mengoleksi 18 sepeda (tua dan baru), antara lain bermerek: Raleigh, Philips dan Centaur buatan Inggris tahun 1940-an. Sepeda Centaur dibeli seharga Rp 175.000,- dari sebuah bengkel sepeda di sebelah Carrefour Jln MT. Haryono Jaksel di tahun 2002.

    Sebagai kolektor sepeda, Andy memiliki komunitas tersendiri yang kadang berkumpul di Silang Monas untuk saling unjuk koleksi sepeda antik dengan aneka variasi dan inovasi keantikannya. (*)

*) Muarabeliti: Erakorona,
     Kamis 4 Juni 2020.

[Ditukil dari Kompas edisi Jumat, 5 Desember 2008; Rubrik Otomotif, hal. 40; Ditulis oleh Musni Muis, wartawan].

Kamis, 26 Maret 2020

PENGANTAR BUKU (3)

GUMAM: PENGALAMAN MENULIS DENGAN JARAK

Bagian  III

     "Saya bukan saja tidak menyadari adanya konflik itu. Bahkan tidak menyadari hubungan keduanya. Kalau saya menulis cerita fiksi, itu sajalah yang menjadi fokus. Saya merasa bahwa saya punya hubungan naif yang biasa dengan fantasi, yang dengan itu orang harus memulainya; kemudian saya berjuang dengan kata kerja, kata keadaan, atau koma. Dan saya jarang membayangkan apa jadinya cerita fiksi itu. Tentu saja, saya tidak pernah menulis fiksi sebagai ilustrasi dari gagasan yang ada pada diri saya sebagai penulis esai". Begitu pendapat lugas Novelis Susan Sondag, sebagaimana dikutip Ignas Kleden (1989), ketika mengantarkan "Catatan Pinggir II", karya Goenawan Muhamad.

      Sekali pun Susan itu mungkin benar dan jujur, hal itu tidaklah menafikan keperluan untuk melihat, apakah aku sebagai birokrat sekaligus penulis opini kritik kepada Pemerintah tidak melahirkan "modus vivendi" yang baru? Sebagai birokrat, aku berusaha bekerja sesuai dengan "TUPOKSI". Sepanjang karirku sebagai PNS di berbagai instansi, aku berusaha melaksanakan tugas pokok organisasi sebisa mungkin. Walau itu tidak mudah. Ada "job discription" sebagai panduan per eselon, per jabatan, walau kadang tak selamanya jelas. Sering campur-baur, dan selalu ada klausal Tupoksi yang sulit disangkal: "melaksanakan tugas yang diberikan atasan". Tafsirnya bisa melebar-jembar.

     Mungkin karena profesionalitas birokrasi pemerintahan saat ini masih sebatas ungkapan formal- labial. Entah sampai kapan masanya! Untuk melaksanakan Tupoksi, pada galibnya, pertama-tama diperlukan rujukan aturan: UU, PP, Per-Men, Per-Da, atau apa pun produk hukum yang wajib dibaca, dipahami dan direnungkan. Lantas, menuliskannya dalam proposal kebijakan administratif dan/atau teknis operasional.

     Tentu dengan argumentasi yang sehat dan kredibel. Ada Standar Operasional Prosedur (SOP) hingga Pedum dan Juknis. Birokrat, sesungguhnya senantiasa bekerja dengan huruf, kosa-kata, kalimat, paragraf, kadang retorika, hingga apostrof titik koma atau bahkan tanda tanya. Sebagai birokrat, aku bekerja dengan kosa-kata, kalimat dan paragraf.

     Pun pula sebagai penulis aku bergulat dengan material yang sama, menyusun serial paragraf. Aku kadang ber-aposisi dalam menyusun kalimat agar lebih susastra. Bahkan, sebagai penulis artikel, aku lebih leluasa berinovasi dalam membangun proposal, merumuskan dan menderivasi tema. Dalam menulis artikel, aku lebih bergairah menggali dan mempromosikan: ide baru yang "out of the box", mengungkit kosa kata "bari" yang lokalistik ke level nasional, membuat kosa-kata baru yang terdengar "aneh".

     Misalnya: membeliung, mendedag, melebar-jembar, pekat-lekat, kabur-baur, melejit-gesit, selip-melip dan banyak lagi; yang tidak mungkin ditemukan di KBBI atau KATEGLO Ivan Lanin. Motifku hanya berekreasi sembari berkreasi demi rasa bahasa, taste dan lebih pada "suka-suka gue". Dan itu menghadirkan kegembiraan dalam berkarya. Bukankah evoluasi bahasa apa pun selalu berkelindan dengan derap peradaban baru? Invensi dan inovasi baru? Demi kegembiraan dan kemaslahatan ummat?

     Ketika kesukaanku memunculkan kosa-kata "aneh" yang mengalir dari jiwaku, tiba-tiba aku disokong oleh genius lokal SILAMPARI yang menjulang namanya dengan vitalisme, kapitalisasi kata dan paragrafisasi cerita lokal Silampari. Dan kini telah meloncat jauh dari pusaran lubuk Silampari: ke kampung asing di Pakistan dan terus ke pusat peradaban dunia di Eropa.

      Dan entah akan kemana lagi kelak! Karya-karyanya melejit-gesit, membumbung langit, menapaki gemawan di puncak ionosfir. Bahkan merayap-kayap di belantara flora Nusantara yang berlekuk. Mendesis diam-diam, dan "meracuni" novelis lain yang merasa sudah mapan di zona nyaman.

     Itulah BENNY ARNAS, bujang genuin SILAMPARI yang memprovokasiku untuk segera membukukan arsip tulisanku ini. Padahal, karyaku ini tak lebih dari: GAGASAN LIAR-LIUR YANG MAHANGAWUR. Bukan apa-apa! [***]

Muarabeliti, 1 Desember 2019

PENGANTAR BUKU (2)

GUMAM: PENGALAMAN MENULIS DENGAN JARAK

Bagian  II

      Kebiasaan menulis dan membaca: mana yang lebih awal? Bagiku, berawal dari membaca. Setidaknya itu pengalamanku. Orang lain boleh beda pendapat. Tapi kini, setelah menulis menjadi hobi, membaca adalah ikhtiar pengayaan tulisan, pelacakan referensial, pemutahiran isu, data dan informasi, agar tak ketinggalan pokok bahasan. Kini, prosesnya menjadi paralel-serial. Menulis sembari membaca. Atau sebaliknya.

     Arkian, samar lamat-lamat, nun jauh di masa kecil, aku terbiasa menyaksikan ayahku membaca. Sambil menunggu ibu bertanak, Ayah mengaisku dengan kain di pinggang kiri, menyuapi mulutku dengan nasi atau ubi bakar; atau menggendongku di petang hari, ayahku senantiasa membaca. Membaca dan membaca! Entah apa yang dibaca, aku tak mungkin ingat!

     Di tahun 60-an, saat aku masih Balita, hidup di kampung, entah buku apa yang Ayah baca. Yang masih kuingat, jika ada momen penting, ayahku menulis di belakang pintu kamar: tanggal lahirku dan kakakku ada di sana. Menjual sapi ada di sana. Merehabilitasi rumah ada di sana. Pendeknya semua event yang dianggap monumental!

   Atau di blandongan belakang. Semacam 'dapur kotor' yang centang-perenang, bertumpuk aneka piranti tani: cangkul, bajak, garu dkk, bersebelahan dengan kandang kerbau-sapi; ayahku menulis dengan arang di dinding gedeg: tanggal lahir sapi atau hari mulai bajak sawah. Dan lain-lain. Dan ingatan itu melekat-pekat dalam pengalaman kecilku.

     Ketika menginjak masa SD-SMP aku mulai meniru, mencatat hal-hal penting di buku bekas, bagian belakang buku atau bekas kalender. Dan kala SPMA, aku mulai rutin mencatat kegiatan harian. Kadang tiap hari, dua hari kemudian, seminggu kemudian atau dirangkum setiap sebulan dan bahkan setiap akhir tahun. Semacam evaluasi diri menjelang menapaki tahun baru.

      Ternyata, kebiasaan itu berlanjut hingga menjadi PNS, baik sebagai staf bawahan maupun ketika aku harus membina banyak orang. Menulis artikel opini di koran, atau di blog/website, atau apa pun namanya, pada hakekatnya adalah menyampaikan pandangan, gagasan atau pemikiran secara personal.

     Ada adagium kuno bahwa menyampaikan gagasan yang (mungkin) benar kepada siapa pun, harus dengan cara yang benar, sopan-beretika dengan menggunakan pilihan diksi-narasi yang santun. Baik ketika berdiskusi langsung (apalagi dengan atasan), maupun ketika beropini di media cetak atau media maya-elektronika.

     Gagasan itu kadang berasal dari potret situasi, deskripsi, atau sebuah obsesi yang harus diraih dan diperjuangkan. Tapi tak jarang artikelku berupa kritik terhadap penguasa. Tentu dengan gaya bahasa santun, menyodorkan fakta baru atau gagasan alternatif atas kebijakan yang kuanggap kurang tepat. Dalam hal mengritik, kadang terasa dilematis. Dan pikiranku harus netral demi menyodorkan kebenaran.  Bahwa kemudian Sang Atasan tak setuju, itu persoalan lain. Yang penting aku sudah memberi "warning" jauh sebelum kondisi yang tak diharapkan nyata terjadi.

     Dulu, ketika aku masih menyandang baju "ESELON", aku paling suka membuat "Telaahan Staf". Dengan instrumen tata naskah ini, aku lebih leluasa mengemukakan argumen teknikalitas, rujukan aturan perundangan, latar belakang gagasan, bahkan tafsir konteks bahasan hingga ke alternatif keputusan bagi Sang Bigbos. Sayang, sependek amatanku, tidak banyak pejabat yang menyukainya. Apa penyebabnya? Wallohu a'lam!

     Melakoni dua pekerjaan yang sama sekali berbeda, barangkali lebih mudah. Tetapi agak sulit, manakala seorang birokrat, sekaligus menjadi pengritik kebijakan pemerintah. Seringkali aku agak gamang untuk menulis hal yang demikian berhimpit. Tapi aku harus tetap tegar demi menyampaikan kebenaran dan alternatif kebijakan.

      Tentu saja ini bukanlah suatu proposisi yang mutlak-absolut. Ada arsir yang samar, putus-putus, seperti yang dialami Susan Sontag yang novelis sekaligus esais dan kritikus sastra. Apa kata Susan? [***]

Jumat, 03 Januari 2020

CATATAN RABU TAHUN BARU 2020

CATATAN RABU DI TAHUN BARU

Oleh: Hendy UP *)

     Sedari masa kecil hingga remaja di akhir dekade 70-an, aku memang tak terbiasa dengan tradisi 'hura-hura' tahun baruan. Yang aku ingat, hanya tumpengan Sedekah Bumi 1 Muharam-Syuroan, atau Mauludan di Langgar-Mushola plus takiran.

     Maklumlah... aku dibesarkan di pojok kampung Indonesia yang sangat kampungan. Di ujung Banyumas Barat yang bahasa ibunya gak' genah. Campursari kultur Banyumas yang lugas-memberontak, plus Priangan Timur yang mulai kehilangan imaji kelenturan Sundaismenya.  Dalam kajian budaya, mungkin terkategori subkultur pesisir PANSELVA (Java) antonim dari PANTURA yang lebih masyhur.

       Dalam khasanah sejarah, lahan kami yang sangat subur itu barangkali karena ada tumpukan remah al-janazah dan genangan darah dendam pascaperang Bubat (1357 M) di masa kelam Majapahit versus Kerajaan Sundayana.

       Konon gara-garanya sepele. Soal salah paham atau strategi (?) Patih Gadjah Mada yang ambisius-ekspansionis, untuk menguasai tanah Sunda dengan melamar Dyah Pitaloka binti Linggabuana yang akan dipermaisuri oleh Mas Hayam Wuruk. Yaa... itu sejarah yang masih 'debatable', tapi silakan baca sinopsis tarjamah: Serat Pararaton atau Kidung Sundayana!

     Okelah kita tutup sementara sejarah dahulu kala! Kembali ke fokus gesah. Aku sangat mafhum bahwa aku tak biasa pesta tahun baruan. Aku lahir dari petani miskin. "My parent is a yeoman, cropter, or small peasant. Not a small farmer, what more farmer". Aku kadang 'kesal' dengan Tim Programer bahasa Google, yang masih dungu menerjemahkan 'petani kecil' sebagai 'small farmers'.  Mungkin mereka belum baca buku James C. Scott "The Moral Economy of the Peasant", atau yang lebih update "The Rational Peasant" nya Samuel Popkin.

     Sembari melupakan kedunguan mereka, aku baru sadar bahwa malam ini adalah malam tahun baru. Agak malam, aku buka gawai. Maka berdentinganlah notifikasi: e-mail, WA, twitter, tempo.co, linggaupos.co.id di dapur buri yang sunyi. Sudah limatahunan, kami MANULA hanya berdua, tanpa sesiapa, di rumah yang hampa.   Sesekali di akhir pekan ada para cucu yang sibuk-masyuk dengan dunianya. Kami sering tertawa-ria bagai melepas sendawa.

      Gerimis malam masih mengintai. Tak ada bunyi petasan atau gendang dangdutan. Mungkin karena himbauan para Bupati/Walikota yang mujarab, yang kubaca di WAGrup pejabat Pemda. Nomor HP-ku nyasar di Grup mereka, mungkin lantaran namaku masih tercatat sebagai CEO-SATPAM sebuah lembaga non-organik Pemda.

        Yang memrihatinkan menjelang malam, baik di medsos maupun postingan member WAG yang kuikuti adalah: hujan deras di Bogor-JABODETABEK, kali Ciliwung yang marah-serapah dan warning Jakarta yang, siap tak siap bakal melumpuh di Tahun Baru. Aku mulai memantau Google Map kawasan Jakarta yang potensial banjir utk memastikan tak melanda pemukiman anak-cucuku.

    Untunglah pagi harinya ada instruksi Gubernur Anies yang berdurasi 3,26 menit tentang kewajiban moral para aparatnya. Rabu di awal tahun baru, kami tak kemana-mana. Aku tahu, jalanan Mirasi bakal macet seperti dua tiga tahun lalu. Sebagai orang yang mukim di kawasan eks Kolonisasi-Mirasi, yang menjadi daerah incaran wisata di libur panjang, aku belajar dari orang Bandung mana kala menjelang Jumat hinggau Ahad petang:
     "Silakan kalian warga Jakarta datang bermacet-macetan ke Lembang, kami mah tos bosan, dan lebih nyaman menikmati hidup dengan majelis pengajian....".

     Agak siang, agak jenuh memandang angsa berenang dan tupai berlompatan riang, sembari memungut jatuhan durian di laman belakang, aku beranjak ke perpustakaan. Agak berdebu nan centang-perenang. Lalu kuambil sebuah novel di rak sudut yang kesepian.

        Kubuka serampangan, di akhir halaman, di paragraf yang pungkasan: "Langit memang mulai memerah di tepi lereng Pegunungan Kendeng. Senja akan segera turun!" Itu kata Umar Kayam dlm menutup novel Sang Priyayi, 1991. Dua puluh tahun yang lalu, ia berkarya. Dan hari ini aku membaca ulang karyanya. [*]

*) Muarabeliti, 2 Januari 2020
    

Sabtu, 28 Desember 2019

WESEL DARI LANGIT

WESEL DARI LANGIT

Oleh: Hendy UP *)

      Alkisah, awal Juli 1992, di tengah kesibukan kantor Dinas Pertanian Rakyat Kab. Musirawas di Talangjawa Lubuklinggau, bergesahlah temanku Saeyono sembari menekan-nekan font mesin tik Oliveti yang berisik-misik. Orkestrasi ruangan semakin berantakan partiturnya, karena ditimpali suara kunyah gorengan ubikepar dan denting sendok-gelas kopi yang menggairahkan kerja.

     Gesah Saeyono itu tentang penyakit "aneh" yang diderita Mulyadi bin Kasimin di Desa Samberejo Curup Provinsi Bengkulu. Sayang, kala itu belum ada HP Android yang bisa memfoto objek apa pun, sehingga aku hanya menangkap tutur cerita dan mengimajikannya setara dengan daya elaboratif nalarku.

     Kata Yono, kaki kanan Mul bengkak sebesar ember karena "keseleo" saat main bola. Setelah berulang-ulang diurut dukun kampung, lalu berobat ke RS-DKT Lubuklinggau, namun bengkaknya tak kunjung kempes. Setelah terkuras uangnya, Pak Kasimin yang memang miskin, akhirnya "menggeletakkan" anaknya sembari menunggu keajaiban Tuhan. Pak Kasimin "pasrah-bongkokan" karena tak mampu lagi berikhtiar secara medikal yang berimbas ekonomik.

      Cerita Yono itu sungguh membuat aku berempatik, tapi aku tak bisa berkutik untuk membantu sepeser duit. Maka malam harinya, di tengah kesunyian dusun Muarabeliti, tergeraklah aku menulis artikel "humanistik" untuk Tempo. Kala itu memang aku jarang absen membaca majalah mingguan Tempo untuk melengkapi berita harian koran Kompas yang harga langganannya masih Rp 30 ribuan per bulan.

      Pada tgl 25 Juli 1992 tulisanku dimuat Majalah Tempo tentang penyakit aneh yang diderita Mulyadi. Kira-kira dua mingguan setelah artikelku di muat, datanglah wesel Rp. 30 ribu dari Tuan X di Jakarta untuk membantu pengobatan Mulyadi.

        Setelah kucairkan di kantor Pos bersama Saeyono si penutur cerita, aku pesankan agar amanah Tuan X ini segera disampaikan kepada Mulyadi di Curup, yang berjarak sekitar 40-an km dari Lubuklinggau. Beberapa hari kemudian bergegaslah Yono ke Curup. Namun apa nasib: sakit Mulyadi telah sembuh total, karena penyakitnya telah diangkat oleh Sang Maha Pemilik Penyakit beberapa hari sebelum wesel tiba. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un!

      Gesah humaniora ini menyajikan  "ibroh" (pada era itu) tentang: sistem jaminan sosial-kesehatan oleh negara, kondisi kemiskinan akut masyarakat, dan kepedulian pemerintahan (lokal-regional-nasional) atas derita warganya.

     Ketiga aspek tersebut sudah banyak diseminarkan di hotel berbintang oleh para petinggi negeri, baik yang birokrat maupun teknokrat; bahkan dihadirkan pula para konglomerat yang siap peduli untuk "membantu" negeri ini dengan sistem "ekonomik-ribawi" jangka panjang, putik-bunga berlipat-lipat seperti perangai IMF, CGI dan konco-konconya.

      Okelah, itu soal klasik! Dan aku lebih tertarik untuk bergesah tentang aspek lain: semangat "solidaritas- spiritualnya". Tuan X di Jakarta, yang tergerak jiwanya utk mengirim wesel, agaknya orang yang terpilih oleh Malaikat untuk mewakili jutaan ummat-Nya bahwa masih ada keikhlasan yang rapat-rapat disembunyikan. Di masa kini, orang justru berlomba memamerkan kesalehannya setiap saat di status instagram dan WAG.

       Tuan X niscaya bukan orang yang baru belajar agama tentang bagaimana praktik berbagi. Akan tetapi sedang mengamalkan metode "berperang" melawan "keserakahan" ibukota Jakarta yang serba "ekonomik-ribawi" nan menuhankan dunia. Dan kini mulai "dilawan" oleh para "homo-spiritualis" baik dari kalangan Islam, Katholik, Hindu-Budha dan komunitas yang lain.

     Soal-soal kemanusiaan, sering kali berhimpit dengan himpunan lingkar keagamaan kita. Jika kita tak cerdas menyintesisnya, lalu tak bijak menyikapinya, niscaya kita terjebak dalam "perselisihan", bahkan menjurus kepada "pertengkaran teo-ideologis".

      Kasus kemanusiaan di Uighur dan dentum meriam yang meluluh-lantakan kawasan Allepo pagi tadi, sungguh bukan lagi persoalan agama. Tapi  telah melampaui jerajak teologia yang mengisyaratkan perlunya solidaritas-kemanusiaan. Allohu a'lam! [*]

*) Muarabeliti, 28 Desember 2019

Jumat, 13 Desember 2019

GELIAT KULTUR MASY. MUARABELITI

GELIAT KULTUR MASYARAKAT IBUKOTA MUARABELITI

Oleh: Hendy UP *)

      Antara tahun 2009-2012 aku diberi amanah oleh The Big-Bos sebagai Chief of SATPAM sebuah kantor OPD Pemda di Muarabeliti. Salah satu anak-buahku yang paling setia dalam mengamankan kantor siang-malam, namanya Yono. Bukan main Yono ini: fisiknya kekar-mekar, trengginas mengoperasikan 'lawn-mower' dan piawai menggoreng pisang lanang. Dan jangan sepelekan: dia pernah memiliki SIM B1-Umum di era reformasi, sehingga mampu mengejar RISAU sekencang dia meluncurkan truk gandeng 22 roda di Toll CIPALI.

    Kabarnya, Yono telah "menyatpami" kantor itu sejak tahun 2007, dua tahun sebelum aku di-SATPAM-kan di situ. Sekadar catatan, kantor Pemda yang muawal dibangun di Muarabeliti (2006) adalah: Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Dinas Pertanian yang ku-SATPAM-i.

      Konon, salah satu pertimbangan ditunjuk sebagai CEO-SATPAM di situ, karena aku pernah mukim di wilayah itu hampir 30 tahun; dan bertalian secara emosional-genealogis dengan warga dusun. Mungkin aku dianggap memahami lekuk topografi wilayah hamparan DAS Beliti, Kelingi, Satan, Temam, Kilan, Terap, Ululesing, Sekunyit, hingga ke Sungai Miyang dan Belua di ujung Durianremuk.

     Atau mungkin, aku dianggap cukup paham tentang sejarah dan dialektika "sosio-localpolitiko" sekitar ibukota yang "agropolis": dari jaman kemargaan Proatin Lima jauh sebelum De Meye menjabat Controleur Onderafdeling Musi Ulu tahun 1940-an hingga era "bedol-kantor" dari Tabapingin ke Muarabelitibaru.

    Alkisah, pagi itu pasca menjadi IRUP apel Senin, datanglah Yono tergopoh-gopoh: "Lapor nDan! Ahad petang kemarin, buah mangga dan lengkeng kita dipanen orang". Maksud Lu, dimaling?, tanyaku spontan. "Bukan dimaling nDan, dipanen orang! Aku kejar nDan! Mereka lari ke repuhan belakang. Tapi tiga anak-anak tanggung berhasil kuamankan", lapor Yono bersemangat, seakan ingin menunjukkan kredit point ke-SATPAM-annya, bahwa dia benar-benar layak mendapat anugrah medali "PRASETYA KARYA SEKURITAS".

      Lalu diapakan ketiga anak itu?, selidikku. "Terpaksa kulepas, nDan! Karena mereka beralasan bahwa kebon buah itu adalah Kebon Mang Endi. Aku khawatir mereka adalah keluarga Komandan dari Dusunbaru", jelas Yono. Aku tersenyum dan bersijingkat memeriksa setiap tegakan pohon. Yono menguntitku sembari mendeskripsikan ciri-miri anak Dusunbaru yang tertangkap.

     Bersiap hendak ke dusun menemui orangtua si pemanen buah itu, langkahku tersanggat, lantas sejenak bermenung-geli. Pertama, Yono tidak menyebut "dimaling", tetapi "dipanen-orang". Ia menggunakan diksi eufemisme-amelioratif dengan dua kemungkinan: utk menghormati aku jika benar mereka bertalian keluarga dengan istriku; atau memang Yono tak biasa mengoleksi kosa-kata bernuansa negatif-peyoratif.

     Kontras dengan kaum milenial kini yang acap menerakan "status dan serapah" nya di WA-Instagram dengan diksi kasar nan lebay. Jadi, Yono adalah prototipe SATPAM yang beradab. Bukankah "nur-keadaban" perilaku tidak hanya harus dipancarkan dari pejabat-petinggi atau orang suci?

     Kemudian aku lebih jauh bermenung kontemplatif. Begini: secara kultural, anak-anak warga "Dusun-Ibukota" belum merasa berada di kawasan ibukota, sebagai "enclave" dari wilayah dusunnya. Kawasan perkantoran masih dianggapnya sebagai "territorial-genealogis" dalam asas hukum adat nenek-moyangnya. Yakni, area tempat mereka "berayao- kume", sembari berburu: diyan, macang, rambay, nere, kemang, payang, kweni, putaran, lobi-lobi, tehung dan buahan lainnya.

      Maka kurang eloklah rasanya, jika SATPAM menangkap anak-anak dengan delik KUHP hanya karena "memanen" buahan di perkantoran. Memang, proses transisi kultural dari "klasik-kedusunan" ke "modernitas-milenial" memerlukan waktu panjang, karena menyangkut perubahan fondasi kebudayaan dan hukum.

     Ya, mirip gerakan pemikiran baru ketika menafsirkan "Philosophische Grondslag" dalam dialektika asas Pancasila. Yang niscaya masih akan panjang diperdebatkan. Allohu a'lam!

*) Muarabeliti, 12 Desember 2019.

Rabu, 27 November 2019

ORTOPHOSFAT: KANGEN REUNIAN

ORTOPHOSFAT: KANGEN REUNIAN

Oleh: Hendy UP *)

      Sebagai orang kampung nun jauh di Muarabeliti-Sumsel yang belajar ngelmu 'agro~psikologi', menganalogikan KANGEN itu mirip tumpukan unsur phosfor di dalam tanah. Kata Buckman, sang pakar tanah, hingga kiamat kurang dua hari pun, unsur phosfor itu tak akan bermanfaat, jika tak berbentuk senyawa ortophosfat.

       Katanya, bulu-bulu akar (radix pili) yang berujung pada epidermis folikular dalam anatomi flora, hanya akan mampu menjerap fosfor berkomposisi H2PO4 dalam ikatan ortophosfat.

        Sedangkan "REUNIAN" itu menyerupai sosio-teknologi modern sebagai ikhtiar pengutuhan kembali sebuah peradaban komunitas, kaum atau ummat yang pernah menyatu. Bukankah naluri kita selalu ingin menikmati masa lalu? Betapa pun konyolnya, gilanya? Sedihnya, senangnya?

      Karena kita yakin masa lalu mustahil hadir kembali, maka reaksi kita adalah menghadirkan memori masa lalu yang jauh. Mungkin jauh sekali! Sejarak Kampung Edensor di Inggris Utara hingga Kampungku Cimanggu di ujung Banyumas Barat. Yaa, semacam recollecting memories in the past!

        Masih meminjam istilah ilmu pertanahan; ketika momen reunian terjadi, hakekatnya adalah mengondisikan area tanah (yang menumpuk phosfor) kepada nuansa potensial-Hidrogen (pH) yang pas, sehingga terbentuk ortophosfat.

       Maka, unsur-unsur phosfor kerinduan itu meleburlah! Rasa kangen itu membuncahlah! Tawa-ria itu gelorakanlah! Tangis-rindu itu meledaklah! Airmata-syahdu itu melelehlah! Lalu dalam riuh-rendah yang membeliung kelenjar jiwa persahabatan itu, akan kembali tenang nan syahdu. Tanpa geriak nan hiruk-pikuk kekanak-kanakan lagi.

      Namun hati2, dan ingatlah: bahwa teman rindu kita yang berlainan jenis itu bukanlah mahrom kita. Stoppp.... berpelukan! Sesungging senyummu yang tulus dan gestur kerinduan yang tak bisa kita 'bikin-bikin', adalah lebih mulia ketimbang berpelukan erat bagaikan kaum tak beradab dan ketinggalan ta'lim!

      Cukuplah satukan telapak tangan, seperti "mojang Priangan" bersalaman, tanpa sentuh jemari tangan. Bagi yang sama-sama non-Muslim, silakanlah! Atau sesama jenis, monggo-kerso dendam berpelukan: sa'kuate, sa'karepe!

       Penentu titik ekuilibrium dalam momen reunian, boleh jadi postulat dan variabelnya multi ragam. Ada yang ingin mendaki bukit monumen kebersamaan: di ruang kelas, di kantin, di lapangan praktek traktor, di ruang sunyi laboratorium kimia. Atau bahkan ada yang ingin ketemu pacar lama yang tak berjodo. Ada belasan atau bahkan puluhan monumen-memorial yang momennya ingin terulang.

       Hanya sehari berkumpul, tentu ada pengelompokan kaum reunian. Secara alamiyah, gerombolan kelas dan tahun angkatan akan terbentuk. Pasti! Dalam waktu yang relatif pendek, kita tak mungkin menyapa semua. Ada semacam geometrika keakraban yang terpotong oleh garis lengkung yang lain. Sebutlah prioritas memorandum yang pernah terbangun dulu. Entah tentang apa, sepanjang rentang waktu yang menahun.

       Sependek memoriku, paling banter hanya mampu mengingat monumen wajah (dan perangai) teman sekelas yang akrab, teman sesekolah segang kos-kosan, adik kelas yang pernah diplonco dan berkesan, kakak kelas yang pernah berbaik hati. Selebihnya adalah teman alumni yang statusnya ibarat ketemu di ruang tunggu Bandara atau lapangan kampanye Pilkada. Tak saling kenal secara person-emosional.

        Sobatku sealumni, aku berharap kita dipertemukan di arena 'peleburan rindu' kelak. Kita akan menyatu dalam tungku panas peluruhan karat yang telah mewindu membelenggu jiwa. Setidaknya akan merasakan suasana lampau di sekitar Tugu Keresidenan, yang mungkin agak berlumut dan sedikit angkuh.

       PURWOKERTO ...oh Purwokerto! Kota rantauku 44 tahun lalu. Ada jutaan jejak kaki tlah tertimbun masa dan bau tetesan keringat menguyup baju seragam perjuangan!  Sobatku, jika niatku tak kesampaian ke Reunian kelak; karena berbagai kemungkinan, aku hanya mampu bergumam: "Someday you will know, that no one can love and miss you, as much as I do".

*) Blogger: www.andikatuan.net.
     [Muarabeliti, 3 Sept 2019].