Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 Juli 2024

PARA CAMAT MUARABELITI [2]

Catatan: Hendy UP *) 

      Secara antropologis, Muarabeliti memiliki jejak peradaban yang relatif lebih tua dibandingkan Lubuklinggau. Adagium kuno mengatakan,  tumbuhnya  peradaban di luar jazirah Arab, bermula dari "basin river community". Bahasa Belitinya, perkampungan pinggiran sungai, dimulai dari muara pantai ke arah hulu sungai.
     Dalam catatan sejarah,  ibukota Oaf Musi Ulu di Muarabeliti dipindahkan ke Lubuklinggau pada Selasa 3 April 1934. Hal ini didasarkan pada besluit Governour Generaal  Hindia Belanda (Staatsblad No. 186 Thn 1934). Sejak itu, keramaian dan perniagaan yang selama ratusan tahun menghidupkan Muarabeliti, praktis surut-melayu bagaikan seikat ronce melati di hari ketujuh. 
       Alhamdulillah, kesunyian Muarabeliti tak terlalu berlarut!  Hanya 71 tahun lamanya, Muarabeliti kembali berseri, setelah Presiden SBY pada 11 Nov 2005 menerbitkan PP No. 46 Tahun 2005 tentang Pemindahan Ibukota Kab. Musirawas dari Lubuklinggau ke Muarabeliti. Tentu saja peran Bupati Ibnu Amin sangatlah besar dalam mendorong pemindahan ibukota,  hingga terbitnya persetujuan DPRD Mura No. 8/Kpts/DPRD/2004  tanggal 24 Oktober 2004.
        Catatan detailnya, mula-mula pusat perkantoran Pemerintahan Moesi Oeloe Rawas  berada di Lapangan Merdeka (kini Masdjid Agung As-Salam). Lalu berpindah ke  Tabapingin di era Bupati Syueb Tamat (1980-1990), diteruskan era Nang Ali Solihin (1990-1995) dan era Radjab Semendawai (1995-1999). Baru pada tahun 2005 pulang kembali ke Muarabeliti, berproses dari era Bupati Ibnu Amin (2004-2005)  dilanjutkan era Ridwan Mukti (2005-2015), era Hendra Gunawan (2016-2021) hingga era Ratna Machmud (2021-2025). Namun demikian, dengan berpindah-pindahnya pusat perkantoran dan pemerintahan, agaknya banyak arsip sejarah yang hilang tercecer. 
         Tak terkecuali data dan dokumen  para pejabat Asisten Wedana/Camat Muarabeliti, kini sangat sulit dilacak. Saya mencoba melacak dokumen lama, dan mewawancara narasumber. Narasumber utama adalah Drs. H. Sofian Zurkasi dan H. Ali Burhan, BA. Kemudian Sdr. Gunadi dan Supriyanto. Mereka adalah Pensiunan Pejabat Pemda Mura dan ASN aktif yang terkait dengan bidang pemerintahan dan pernah bertugas di Muarabeliti. 
        Hingga tahun 2023 ini, tercatat 29 nama mantan Asisten Wedana/Camat Muarabeliti sejak tahun 1954-an. Namun demikian, data tentang rentang waktu masa jabatan para Camat tersebut masih terus divalidasi sehingga akan diperoleh data yang lebih akurat demi kesempurnaan catatan sejarah pemerintahan di Musirawas. 
     Ke-29  Camat tersebut adalah:
(1) As Wedana Raden Soekarta antara 1950-1953; (2) As Wedana Saleh Ayel  antara 1953-1955; (3) As Wedana RPM Arifin antara 1955-1961; (4) As Wedana A. Nam Bastari antara 1961-1967; (5) Camat Hasanudin P. Endawan antara 1967-1972; (6) Camat Madjid Usul antara 1972-1975; (7) Drs. Sanoesi antara Juni 1975-1979; (8) Drs. Muda Azhar Lubis antara 1979-1982; (9) Drs. Ruslan Sa'ad antara 1982-1983; (10) Drs. Nursehan Dundang antara 1983-1985; (11) Drs. Rozi Lihan antara 1985-1986; (12) Drs. Zainal Abidin antara 1986-1987; (13) Drs. Hamdani antara 1987-1990; (14) Plt. Drs. Ali Mamat (1990); (15) Drs. Yusuf Yasin antara 1990-1995; (16) H. Ali Burhan, BA antara 1995-1998;   (17) H. Basri Soni, BA., SH. antara 1998-2003; (18) Untung Supriyanto, S. Sos antara Juli 2003-2004; (19) Hj. Rita Mardiyah, S.Sos antara 2004-2005; (20) Kgs. Efendi Feri, SSTP. MSi antara 2005-2009; (21) Indra Bazid, SSos antara 2009-2011; (22) Musadik Nanguning, SIP antara 2011-2013; (23) A. Rahman, S.Sos antara 2013-2017; (24) Imam Musyadar SSTP, MSi antara 2017-2019; (25) Doddy Irdiawan antara 2019-2020; (26) Plt Hardiman, SSTP,  MAP antara 2020; (27) Badarudin, S.Sos antara 2020-2021; (28) Plt. Dicky Zulkarnain, SSTP, MSi. antara Maret 2021-Agustus 2021; (29) Sarjani, S. Sos, TMT 20 Agustus 2021 hingga 31 Maret 2023, digantikan oleh  Supriyadi S.Pd, M.Pd yg sebelumnya menjabat  Sekretaris Diknas Kab. Mura.  [***]
*) Muarabeliti, 17 Oktober  2022
      [Direvisi 10 Nov 2023]

Selasa, 02 Juli 2024

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [7]

Catatan: Hendy UP *) 

C. Antromorpologi Kikim-Empayang

     Desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim & Saling Ulu (PSEKSU), Kab. Lahat - yang merupakan asal penghuni awal Desa Karangketuan - secara antropologis dapat dikategorikan sebagai "dusun tuo" yang berada di aliran sungai Kikim. Adapun  sungai Empayang bermuara di sungai Kikim di Dusun Bungamas dan terjun ke sungai Musi di wilayah Empatlawang. Dahulu kala, bila  mudik berakit dari Bungamas ke hulu, maka akan melewati dusun-dusun: Gunungkembang, Sendawar (kini dusun tinggal), Lubuktube, Lubukatung dan Muaracawang. 
      Secara administratif pemerintahan, sejak era Kolonial Belanda hingga tahun 1983, dusun Lubuktube termasuk ke dalam wilayah Marga PSEKSU yang kini menjadi Kecamatan PSEKSU. Wilayah marga ini terbentang di hamparan  perbukitan terjal di hulu sungai Kikim, Empayang dan Saling. Secara geomorfik, di antara lekukan bukit  berbatu andesit dan gamping kuning dalam balutan  tanah tufa-aluvial, mengalir belasan sungai kecil yang menyediakan aneka sumberdaya alam dan pangan, tetapi sekaligus memiliki kesulitan aksesibilitas moda transportasi darat di kala itu. 
     Jika kita lacak bentang alam eks wilayah Marga PSEKSU menggunakan Peta Topografi  1954 [Lembar Bangkahulu], maka akan tampak liukan belasan sungai-sungai kecil seperti: Kikim, Saling, Empayang, Jelatang, Bemban, Guhong, Tati, Pandan, Labian, Dagu, Cawang, Laru, Udang dan Kikim-kecil. Dalam kajian geomorfologi, banyaknya sungai dalam bentang kawasan spasial adalah menunjukkan rapat dan tingginya gelombang perbukitan terjal kawasan tersebut. Dan sungai-sungai itulah yang mengikat secara adat-kultural dan sosial- ekonomi terhadap 11 desa yang dahulu berada di wilayah Marga PSEKSU. 
     Ke-11 desa itu adalah: (1) Lubuktube, (2) Lubukatung, (3) Muaracawang, yang berada di aliran sungai Kikim. Kemudian: (4) Sukajadi, (5) Talangtinggi, (6) Tanjungagung, dan  (7) Penandingan, yang berada di alur sungai Empayang. Lalu desa: (8) Batuniding, (9) Tanjungraya, (10) Lubukmabar, dan (11) Pagaragung yang berada di aliran sungai Saling. 
     Barangkali patut diduga, karena ikatan genealogis atau kelindan ekonomik di masa lampau, agaknya afiliasi sosial-kekerabatan masyarakat Lubuktube lebih mengarah ke Desa Lubukatung (dan Bemban) dan  Muaracawang di hulu sungai Kikim serta Desa Sukajadi dan Desa Penandingan di hulu sungai Empayang, ketimbang dusun-dusun lainnya. Hal ini terlihat dari sebaran petinggi marga (pesirah) yang pernah memimpin Marga PSEKSU. 
     Pada tahun 1930-an, pusat pemerintahan marga berada di Muaracawang dengan pesirahnya bergelar Pangeran Masemat Raksabehaja yang cukup legendaris. 
     Sekitar 1950-an, di era pesirah yang bergelar Depati Soehoel, pemerintah marga berpusat di Desa Sukajadi; dan tahun 1960-an berpindah ke Desa Talangtinggi dengan pesirahnya bergelar Depati Wasin. Sedangkan di akhir-akhir tahun 1970-an  berpindah lagi ke Desa Penandingan dengan pesirahnya Depati Usman. Dan menurut sebuah sumber, beliaulah pesirah terakhir pasca-terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 jo Permendagri No. 3 Tahun 1979 jo Kpts Gubernur Sumsel No. 142/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga di Sumsel terhitung mulai tanggal 1 April 1983. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti SUMSEL, 8 Agustus 2023
     Resunting, 7 Mei 2024.

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [6]

Catatan: Hendy UP *) 

C. Antromorpologi Kikim-Empayang

     Desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim & Saling Ulu (PSEKSU), Kab. Lahat - yang merupakan asal penghuni awal Desa Karangketuan - secara antropologis dapat dikategorikan sebagai "dusun tuo" yang berada di aliran sungai Kikim. Adapun  sungai Empayang bermuara di sungai Kikim di Dusun Bungamas dan terjun ke sungai Musi di wilayah Empatlawang. Dahulu kala, bila  mudik berakit dari Bungamas ke hulu, maka akan melewati dusun-dusun: Gunungkembang, Sendawar (kini dusun tinggal), Lubuktube, Lubukatung dan Muaracawang. 
      Secara administratif pemerintahan, sejak era Kolonial Belanda hingga tahun 1983, dusun Lubuktube termasuk ke dalam wilayah Marga PSEKSU yang kini menjadi Kecamatan PSEKSU. Wilayah marga ini terbentang di hamparan  perbukitan terjal di hulu sungai Kikim, Empayang dan Saling. Secara geomorfik, di antara lekukan bukit  berbatu andesit dan gamping kuning dalam balutan  tanah tufa-aluvial, mengalir belasan sungai kecil yang menyediakan aneka sumberdaya alam dan pangan, tetapi sekaligus memiliki kesulitan aksesibilitas moda transportasi darat di kala itu. 
     Jika kita lacak bentang alam eks wilayah Marga PSEKSU menggunakan Peta Topografi  1954 [Lembar Bangkahulu], maka akan tampak liukan belasan sungai-sungai kecil seperti: Kikim, Saling, Empayang, Jelatang, Bemban, Guhong, Tati, Pandan, Labian, Dagu, Cawang, Laru, Udang dan Kikim-kecil. Dalam kajian geomorfologi, banyaknya sungai dalam bentang kawasan spasial adalah menunjukkan rapat dan tingginya gelombang perbukitan terjal kawasan tersebut. Dan sungai-sungai itulah yang mengikat secara adat-kultural dan sosial- ekonomi terhadap 11 desa yang dahulu berada di wilayah Marga PSEKSU. 
     Ke-11 desa itu adalah: (1) Lubuktube, (2) Lubukatung, (3) Muaracawang, yang berada di aliran sungai Kikim. Kemudian: (4) Sukajadi, (5) Talangtinggi, (6) Tanjungagung, dan  (7) Penandingan, yang berada di alur sungai Empayang. Lalu desa: (8) Batuniding, (9) Tanjungraya, (10) Lubukmabar, dan (11) Pagaragung yang berada di aliran sungai Saling. 
     Barangkali patut diduga, karena ikatan genealogis atau kelindan ekonomik di masa lampau, agaknya afiliasi sosial-kekerabatan masyarakat Lubuktube lebih mengarah ke Desa Lubukatung (dan Bemban) dan  Muaracawang di hulu sungai Kikim serta Desa Sukajadi dan Desa Penandingan di hulu sungai Empayang, ketimbang dusun-dusun lainnya. Hal ini terlihat dari sebaran petinggi marga (pesirah) yang pernah memimpin Marga PSEKSU. 
     Pada tahun 1930-an, pusat pemerintahan marga berada di Muaracawang dengan pesirahnya bergelar Pangeran Masemat Raksabehaja yang cukup legendaris. 
     Sekitar 1950-an, di era pesirah yang bergelar Depati Soehoel, pemerintah marga berpusat di Desa Sukajadi; dan tahun 1960-an berpindah ke Desa Talangtinggi dengan pesirahnya bergelar Depati Wasin. Sedangkan di akhir-akhir tahun 1970-an  berpindah lagi ke Desa Penandingan dengan pesirahnya Depati Usman. Dan menurut sebuah sumber, beliaulah pesirah terakhir pasca-terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 jo Permendagri No. 3 Tahun 1979 jo Kpts Gubernur Sumsel No. 142/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga di Sumsel terhitung mulai tanggal 1 April 1983. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti SUMSEL, 8 Agustus 2023
     Resunting, 7 Mei 2024.

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [5]

Catatan: Hendy UP *) 

C. Antromorpologi Kikim-Empayang

     Desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim & Saling Ulu (PSEKSU), Kab. Lahat - yang merupakan asal penghuni awal Desa Karangketuan - secara antropologis dapat dikategorikan sebagai "dusun tuo" yang berada di aliran sungai Kikim. Adapun  sungai Empayang bermuara di sungai Kikim di Dusun Bungamas dan terjun ke sungai Musi di wilayah Empatlawang. Dahulu kala, bila  mudik berakit dari Bungamas ke hulu, maka akan melewati dusun-dusun: Gunungkembang, Sendawar (kini dusun tinggal), Lubuktube, Lubukatung dan Muaracawang. 
      Secara administratif pemerintahan, sejak era Kolonial Belanda hingga tahun 1983, dusun Lubuktube termasuk ke dalam wilayah Marga PSEKSU yang kini menjadi Kecamatan PSEKSU. Wilayah marga ini terbentang di hamparan  perbukitan terjal di hulu sungai Kikim, Empayang dan Saling. Secara geomorfik, di antara lekukan bukit  berbatu andesit dan gamping kuning dalam balutan  tanah tufa-aluvial, mengalir belasan sungai kecil yang menyediakan aneka sumberdaya alam dan pangan, tetapi sekaligus memiliki kesulitan aksesibilitas moda transportasi darat di kala itu. 
     Jika kita lacak bentang alam eks wilayah Marga PSEKSU menggunakan Peta Topografi  1954 [Lembar Bangkahulu], maka akan tampak liukan belasan sungai-sungai kecil seperti: Kikim, Saling, Empayang, Jelatang, Bemban, Guhong, Tati, Pandan, Labian, Dagu, Cawang, Laru, Udang dan Kikim-kecil. Dalam kajian geomorfologi, banyaknya sungai dalam bentang kawasan spasial adalah menunjukkan rapat dan tingginya gelombang perbukitan terjal kawasan tersebut. Dan sungai-sungai itulah yang mengikat secara adat-kultural dan sosial- ekonomi terhadap 11 desa yang dahulu berada di wilayah Marga PSEKSU. 
     Ke-11 desa itu adalah: (1) Lubuktube, (2) Lubukatung, (3) Muaracawang, yang berada di aliran sungai Kikim. Kemudian: (4) Sukajadi, (5) Talangtinggi, (6) Tanjungagung, dan  (7) Penandingan, yang berada di alur sungai Empayang. Lalu desa: (8) Batuniding, (9) Tanjungraya, (10) Lubukmabar, dan (11) Pagaragung yang berada di aliran sungai Saling. 
     Barangkali patut diduga, karena ikatan genealogis atau kelindan ekonomik di masa lampau, agaknya afiliasi sosial-kekerabatan masyarakat Lubuktube lebih mengarah ke Desa Lubukatung (dan Bemban) dan  Muaracawang di hulu sungai Kikim serta Desa Sukajadi dan Desa Penandingan di hulu sungai Empayang, ketimbang dusun-dusun lainnya. Hal ini terlihat dari sebaran petinggi marga (pesirah) yang pernah memimpin Marga PSEKSU. 
     Pada tahun 1930-an, pusat pemerintahan marga berada di Muaracawang dengan pesirahnya bergelar Pangeran Masemat Raksabehaja yang cukup legendaris. 
     Sekitar 1950-an, di era pesirah yang bergelar Depati Soehoel, pemerintah marga berpusat di Desa Sukajadi; dan tahun 1960-an berpindah ke Desa Talangtinggi dengan pesirahnya bergelar Depati Wasin. Sedangkan di akhir-akhir tahun 1970-an  berpindah lagi ke Desa Penandingan dengan pesirahnya Depati Usman. Dan menurut sebuah sumber, beliaulah pesirah terakhir pasca-terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 jo Permendagri No. 3 Tahun 1979 jo Kpts Gubernur Sumsel No. 142/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga di Sumsel terhitung mulai tanggal 1 April 1983. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti SUMSEL, 8 Agustus 2023
     Resunting, 7 Mei 2024.

KATANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [4]

Catatan: Hendy UP *) 

C. Antromorpologi Kikim-Empayang

     Desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim & Saling Ulu (PSEKSU), Kab. Lahat - yang merupakan asal penghuni awal Desa Karangketuan - secara antropologis dapat dikategorikan sebagai "dusun tuo" yang berada di aliran sungai Kikim. Adapun  sungai Empayang bermuara di sungai Kikim di Dusun Bungamas dan terjun ke sungai Musi di wilayah Empatlawang. Dahulu kala, bila  mudik berakit dari Bungamas ke hulu, maka akan melewati dusun-dusun: Gunungkembang, Sendawar (kini dusun tinggal), Lubuktube, Lubukatung dan Muaracawang. 
      Secara administratif pemerintahan, sejak era Kolonial Belanda hingga tahun 1983, dusun Lubuktube termasuk ke dalam wilayah Marga PSEKSU yang kini menjadi Kecamatan PSEKSU. Wilayah marga ini terbentang di hamparan  perbukitan terjal di hulu sungai Kikim, Empayang dan Saling. Secara geomorfik, di antara lekukan bukit  berbatu andesit dan gamping kuning dalam balutan  tanah tufa-aluvial, mengalir belasan sungai kecil yang menyediakan aneka sumberdaya alam dan pangan, tetapi sekaligus memiliki kesulitan aksesibilitas moda transportasi darat di kala itu. 
     Jika kita lacak bentang alam eks wilayah Marga PSEKSU menggunakan Peta Topografi  1954 [Lembar Bangkahulu], maka akan tampak liukan belasan sungai-sungai kecil seperti: Kikim, Saling, Empayang, Jelatang, Bemban, Guhong, Tati, Pandan, Labian, Dagu, Cawang, Laru, Udang dan Kikim-kecil. Dalam kajian geomorfologi, banyaknya sungai dalam bentang kawasan spasial adalah menunjukkan rapat dan tingginya gelombang perbukitan terjal kawasan tersebut. Dan sungai-sungai itulah yang mengikat secara adat-kultural dan sosial- ekonomi terhadap 11 desa yang dahulu berada di wilayah Marga PSEKSU. 
     Ke-11 desa itu adalah: (1) Lubuktube, (2) Lubukatung, (3) Muaracawang, yang berada di aliran sungai Kikim. Kemudian: (4) Sukajadi, (5) Talangtinggi, (6) Tanjungagung, dan  (7) Penandingan, yang berada di alur sungai Empayang. Lalu desa: (8) Batuniding, (9) Tanjungraya, (10) Lubukmabar, dan (11) Pagaragung yang berada di aliran sungai Saling. 
     Barangkali patut diduga, karena ikatan genealogis atau kelindan ekonomik di masa lampau, agaknya afiliasi sosial-kekerabatan masyarakat Lubuktube lebih mengarah ke Desa Lubukatung (dan Bemban) dan  Muaracawang di hulu sungai Kikim serta Desa Sukajadi dan Desa Penandingan di hulu sungai Empayang, ketimbang dusun-dusun lainnya. Hal ini terlihat dari sebaran petinggi marga (pesirah) yang pernah memimpin Marga PSEKSU. 
     Pada tahun 1930-an, pusat pemerintahan marga berada di Muaracawang dengan pesirahnya bergelar Pangeran Masemat Raksabehaja yang cukup legendaris. 
     Sekitar 1950-an, di era pesirah yang bergelar Depati Soehoel, pemerintah marga berpusat di Desa Sukajadi; dan tahun 1960-an berpindah ke Desa Talangtinggi dengan pesirahnya bergelar Depati Wasin. Sedangkan di akhir-akhir tahun 1970-an  berpindah lagi ke Desa Penandingan dengan pesirahnya Depati Usman. Dan menurut sebuah sumber, beliaulah pesirah terakhir pasca-terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 jo Permendagri No. 3 Tahun 1979 jo Kpts Gubernur Sumsel No. 142/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga di Sumsel terhitung mulai tanggal 1 April 1983. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti SUMSEL, 8 Agustus 2023
     Resunting, 7 Mei 2024.

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [3]

Catatan: Hendy UP *) 

C. Antromorpologi Kikim-Empayang

     Desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim & Saling Ulu (PSEKSU), Kab. Lahat - yang merupakan asal penghuni awal Desa Karangketuan - secara antropologis dapat dikategorikan sebagai "dusun tuo" yang berada di aliran sungai Kikim. Adapun  sungai Empayang bermuara di sungai Kikim di Dusun Bungamas dan terjun ke sungai Musi di wilayah Empatlawang. Dahulu kala, bila  mudik berakit dari Bungamas ke hulu, maka akan melewati dusun-dusun: Gunungkembang, Sendawar (kini dusun tinggal), Lubuktube, Lubukatung dan Muaracawang. 
      Secara administratif pemerintahan, sejak era Kolonial Belanda hingga tahun 1983, dusun Lubuktube termasuk ke dalam wilayah Marga PSEKSU yang kini menjadi Kecamatan PSEKSU. Wilayah marga ini terbentang di hamparan  perbukitan terjal di hulu sungai Kikim, Empayang dan Saling. Secara geomorfik, di antara lekukan bukit  berbatu andesit dan gamping kuning dalam balutan  tanah tufa-aluvial, mengalir belasan sungai kecil yang menyediakan aneka sumberdaya alam dan pangan, tetapi sekaligus memiliki kesulitan aksesibilitas moda transportasi darat di kala itu. 
     Jika kita lacak bentang alam eks wilayah Marga PSEKSU menggunakan Peta Topografi  1954 [Lembar Bangkahulu], maka akan tampak liukan belasan sungai-sungai kecil seperti: Kikim, Saling, Empayang, Jelatang, Bemban, Guhong, Tati, Pandan, Labian, Dagu, Cawang, Laru, Udang dan Kikim-kecil. Dalam kajian geomorfologi, banyaknya sungai dalam bentang kawasan spasial adalah menunjukkan rapat dan tingginya gelombang perbukitan terjal kawasan tersebut. Dan sungai-sungai itulah yang mengikat secara adat-kultural dan sosial- ekonomi terhadap 11 desa yang dahulu berada di wilayah Marga PSEKSU. 
     Ke-11 desa itu adalah: (1) Lubuktube, (2) Lubukatung, (3) Muaracawang, yang berada di aliran sungai Kikim. Kemudian: (4) Sukajadi, (5) Talangtinggi, (6) Tanjungagung, dan  (7) Penandingan, yang berada di alur sungai Empayang. Lalu desa: (8) Batuniding, (9) Tanjungraya, (10) Lubukmabar, dan (11) Pagaragung yang berada di aliran sungai Saling. 
     Barangkali patut diduga, karena ikatan genealogis atau kelindan ekonomik di masa lampau, agaknya afiliasi sosial-kekerabatan masyarakat Lubuktube lebih mengarah ke Desa Lubukatung (dan Bemban) dan  Muaracawang di hulu sungai Kikim serta Desa Sukajadi dan Desa Penandingan di hulu sungai Empayang, ketimbang dusun-dusun lainnya. Hal ini terlihat dari sebaran petinggi marga (pesirah) yang pernah memimpin Marga PSEKSU. 
     Pada tahun 1930-an, pusat pemerintahan marga berada di Muaracawang dengan pesirahnya bergelar Pangeran Masemat Raksabehaja yang cukup legendaris. 
     Sekitar 1950-an, di era pesirah yang bergelar Depati Soehoel, pemerintah marga berpusat di Desa Sukajadi; dan tahun 1960-an berpindah ke Desa Talangtinggi dengan pesirahnya bergelar Depati Wasin. Sedangkan di akhir-akhir tahun 1970-an  berpindah lagi ke Desa Penandingan dengan pesirahnya Depati Usman. Dan menurut sebuah sumber, beliaulah pesirah terakhir pasca-terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 jo Permendagri No. 3 Tahun 1979 jo Kpts Gubernur Sumsel No. 142/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga di Sumsel terhitung mulai tanggal 1 April 1983. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti SUMSEL, 8 Agustus 2023
     Resunting, 7 Mei 2024.

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [2]

Catatan: Hendy UP *) 

C. Antromorpologi Kikim-Empayang

     Desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim & Saling Ulu (PSEKSU), Kab. Lahat - yang merupakan asal penghuni awal Desa Karangketuan - secara antropologis dapat dikategorikan sebagai "dusun tuo" yang berada di aliran sungai Kikim. Adapun  sungai Empayang bermuara di sungai Kikim di Dusun Bungamas dan terjun ke sungai Musi di wilayah Empatlawang. Dahulu kala, bila  mudik berakit dari Bungamas ke hulu, maka akan melewati dusun-dusun: Gunungkembang, Sendawar (kini dusun tinggal), Lubuktube, Lubukatung dan Muaracawang. 
      Secara administratif pemerintahan, sejak era Kolonial Belanda hingga tahun 1983, dusun Lubuktube termasuk ke dalam wilayah Marga PSEKSU yang kini menjadi Kecamatan PSEKSU. Wilayah marga ini terbentang di hamparan  perbukitan terjal di hulu sungai Kikim, Empayang dan Saling. Secara geomorfik, di antara lekukan bukit  berbatu andesit dan gamping kuning dalam balutan  tanah tufa-aluvial, mengalir belasan sungai kecil yang menyediakan aneka sumberdaya alam dan pangan, tetapi sekaligus memiliki kesulitan aksesibilitas moda transportasi darat di kala itu. 
     Jika kita lacak bentang alam eks wilayah Marga PSEKSU menggunakan Peta Topografi  1954 [Lembar Bangkahulu], maka akan tampak liukan belasan sungai-sungai kecil seperti: Kikim, Saling, Empayang, Jelatang, Bemban, Guhong, Tati, Pandan, Labian, Dagu, Cawang, Laru, Udang dan Kikim-kecil. Dalam kajian geomorfologi, banyaknya sungai dalam bentang kawasan spasial adalah menunjukkan rapat dan tingginya gelombang perbukitan terjal kawasan tersebut. Dan sungai-sungai itulah yang mengikat secara adat-kultural dan sosial- ekonomi terhadap 11 desa yang dahulu berada di wilayah Marga PSEKSU. 
     Ke-11 desa itu adalah: (1) Lubuktube, (2) Lubukatung, (3) Muaracawang, yang berada di aliran sungai Kikim. Kemudian: (4) Sukajadi, (5) Talangtinggi, (6) Tanjungagung, dan  (7) Penandingan, yang berada di alur sungai Empayang. Lalu desa: (8) Batuniding, (9) Tanjungraya, (10) Lubukmabar, dan (11) Pagaragung yang berada di aliran sungai Saling. 
     Barangkali patut diduga, karena ikatan genealogis atau kelindan ekonomik di masa lampau, agaknya afiliasi sosial-kekerabatan masyarakat Lubuktube lebih mengarah ke Desa Lubukatung (dan Bemban) dan  Muaracawang di hulu sungai Kikim serta Desa Sukajadi dan Desa Penandingan di hulu sungai Empayang, ketimbang dusun-dusun lainnya. Hal ini terlihat dari sebaran petinggi marga (pesirah) yang pernah memimpin Marga PSEKSU. 
     Pada tahun 1930-an, pusat pemerintahan marga berada di Muaracawang dengan pesirahnya bergelar Pangeran Masemat Raksabehaja yang cukup legendaris. 
     Sekitar 1950-an, di era pesirah yang bergelar Depati Soehoel, pemerintah marga berpusat di Desa Sukajadi; dan tahun 1960-an berpindah ke Desa Talangtinggi dengan pesirahnya bergelar Depati Wasin. Sedangkan di akhir-akhir tahun 1970-an  berpindah lagi ke Desa Penandingan dengan pesirahnya Depati Usman. Dan menurut sebuah sumber, beliaulah pesirah terakhir pasca-terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 jo Permendagri No. 3 Tahun 1979 jo Kpts Gubernur Sumsel No. 142/III/1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga di Sumsel terhitung mulai tanggal 1 April 1983. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti SUMSEL, 8 Agustus 2023
     Resunting, 7 Mei 2024.

Jumat, 14 Juni 2024

KARANGKETUAN: JEJAK ANTROPOLOGIS & KISAH HEROIKNYA [1]

Catatan: Hendy UP *)

A. Mukadimah
     Jika kita menggunakan 'search engine' dengan kueri Karangketuan, maka pertama-tama  yang akan muncul  adalah frasa Kelurahan Karangketuan, berikut peta wilayahnya.  Berarti hanya satu-satunya Kelurahan Karangketuan, Lubuklinggau di hamparan bumi Tuhan seluas ini.
     Dalam catatan sejarah, trukah (pembukaan) Dusun Karangketuan terjadi pada tahun 1956-an dan merupakan pemekaran dari Dusun Tanahperiuk Marga Proatinlima, Kec. Muarabeliti Kab. Musirawas. Pada tahun 2001, Dusun Karangketuan  berubah status menjadi Kelurahan Karangketuan Kecamatan Lubuklinggau Selatan, Kota Lubuklinggau. 
      Al-kisah, jika kita lacak agak  ke belakang, ternyata ada kait-kelindan antara aspek pembangunan infrastruktur ekonomi dan transportasi di wilayah Muarabeliti-Lubuklinggau,  dengan masuknya para perantau dari berbagai wilayah. Seperti pepatah, jika ada gula, maka datanglah semut. 
       Pasca~dibukanya Onderneming Tabapingin (1919) dan Kolonisasi Tugumulyo (1937-1940) serta diresmikannya jalur kereta api Muarasaling - Lubuklinggau (1 Juni 1933), maka Muarabeliti dan Lubuklinggau semakin dikenal oleh masyarakat Sumatera Selatan, tak terkecuali masyarakat dari Kabupaten Lahat. Kemajuan dan prospek kemakmuran kawasan Muarabeliti- Lubuklinggau semakin menggaung di mana-mana. Salah satu desa yang masyarakatnya sedang mencari peluang untuk mencoba penghidupan baru di daerah lain adalah masyarakat desa Lubuktube di wilayah Marga Penjalang Suku Empayang Kikim dan Saling Ulu (PSEKSU). 
     Patut diduga, keputusan para tokoh Lubuktube untuk bermigrasi ke Karangketuan itu terinspirasi oleh tetangga desanya dari Gumay Ulu yang dianggap telah sukses bermigrasi dan membentuk Desa Siringagung  Marga Proatinlima beberapa tahun sebelumnya. 

B. Migrasi nan Visioner
     Untuk melacak jejak awal sejarah Kelurahan Karangketuan, saya menemui  tiga tokoh yang sekaligus pelaku sejarah keberadaan  desa Karangketuan. Saya mewawancarainya pada tanggal 5 dan 7 Agustus 2023,  dan diulang beberapa kali  kepada tokoh kunci untuk konfirmasi. Ketiga narasumber tersebut adalah: (1) Sdr. Djawaludin bin Genti (77 tahun), Bawaludin (60 th) dan Deroh (82 th). Ketiganya adalah mantan Kades dan/atau Lurah Karangketuan. 
     Dikisahkan oleh Sdr. Djawaludin, bahwa pada akhir tahun 1956, datanglah ke kampung Airketuan (kini Karangketuan), rombongan imigran lokal dari Dusun Lubuktube, Marga PSEKSU, Kecamatan  Lahat. Rombongan imigran  tahap pertama ini  terdiri dari 18 KK (secara bertahap) berikut anak-istrinya. Mula-mula berangkat 5 KK sebagai pioner, lalu disusul yang lain hingga berjumlah 18 KK hingga akhir tahun 1956. 
    Menurutnya, perjuangan para orangtua berpindah ke Karangketuan sangatlah gigih,  penuh harapan dan sekaligus melelahkan.  Kala itu, berangkat dari dusun Lubuktube menggunakan rakit bambu, berhanyut di sungai Kikim menuju Desa Bungamas. Kemudian dengan menyewa kendaraan truk mengangkut  seluruh properti rumah tangga dan alat-alat pertanian menuju Karangketuan. Ke-18 KK ini secara bergantian menyewa mobil truk dalam bulan yang sama berpindah ke Karangketuan yang saat itu disebut  Airketuan. 
     Sebelum keberangkatan rombongan, terlebih dahulu  dilakukan survei awal oleh tiga tokoh, yakni Saudara Kisum, Uni dan Sumbat. 
      Ke-18 KK  tersebut adalah: (1) Kisum, (2) Uni, (3) Sumbat, (4) Amal, (5) Ba'al, (6) Maradin, (7) Djamil, (8) Toni, (9) Sum, (10) Unip, (11) Satip, (12) Barun, (13) Juni, (14) Giwas, (15) Djohim, (16) Genti, (17) Hamidun, dan (18) Muhamad. 
      Pada saat wawancara berlangsung,   ke-18 KK  yang merupakan pioner  penghuni Desa Karangketuan tersebut ternyata telah wafat semua. Allohumaghfirlahum warhamhum wa afihi wa'fu anhum. Semoga kegigihannya dalam memperjuangkan keberlangsungan hidup generasi dzuriyatnya, mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa ta'ala. [Bersambung... ]
     
*) Muarabeliti SUMSEL, 7 Agustus 2023
    Resunting 6 Mei 2024

Jumat, 11 November 2022

JEJAK PESIRAH & MARGA DI SUMBAGSEL [1]

Oleh: Hendy UP *) 

     Generasi milenial Sumatera Selatan kini, niscaya mengenal kata 'pesirah' sebagai produk jasa Bank Sumsel-Babel dalam bentuk tabungan. Padahal, kata 'pesirah'  itu sejatinya diadopsi dari bahasa asli daerah Sumbagsel yang bermakna pejabat kepala Marga sekaligus ketua adat di wilayah Marga tersebut. 
     Kata 'marga' sendiri dalam KBBI memiliki banyak makna. Dalam artikel ini, kata  marga dimaknai sebagai sistem pemerintahan otonom   di tingkat pedusunan yang awalnya diikat secara genealogis (kekerabatan) dan/atau teritorial (wilayah geografis) dengan menjunjung tinggi norma adat (berbasis syariat agama Islam) serta melestarikan  tutur bahasa lokal (sukubangsa) yang berasaskan Undang- undang Simbur Cahaya. 
     Namun demikian, pasca-intervensi Kolonial Belanda, pemahaman tentang sistem pemerintahan Marga mengalami pergeseran, sehingga seolah-olah Marga itu hanya  sebuah entitas administratif pemerintahan an sich di tingkat Onderdistrik di bawah pengawasan pejabat Belanda terendah  yakni Controleur. 
      Kapan sistem Pemerintahan Marga dimulai? 
Belum diketemukan secara pasti kapan sistem pemerintahan Marga dimulai. Arlan Ismail (2004) dalam bukunya "Marga di Bumi Sriwijaya: Sistem Pemerintahan, Kesatuan Masyarakat Hukum Daerah Uluan Sumatera Selatan", tidak menuliskan secara pasti kapan sistem Marga mulai terbentuk. 
      Ada sementara dugaan, bahwa sistem Pemerintahan Marga dalam bentuknya yang sederhana telah ada  jauh sebelum era Kesultanan Palembang (1629-1825), terutama di wilayah Uluan Palembang. Setelah era Kesultanan Palembang, lembaga pemerintahan adat  asli  tersebut dipayungi dan berlandaskan UU Simbur Cahaya. 
      Namun demikian, kodifikasi hukum adat Simbur Cahaya mulai dilaksanakan oleh Kol. De Brauw pada 1854 atas perintah Residen Palembang Van Den Bosche. 
     Pada tahun 1865 mulai dilakukan pencetakan kodifikasi UU Simbur Cahaya dengan aksara Arab-Melayu (Arab pegon),  terdiri dari 5 bab dengan 178 pasal,  dengan rincian sebagai berikut: 
[1] Bab I, terdiri 32 pasal, tentang Adat  Bujang-Gadis dan Kawin (Verloving Huwelijh, Echtscheiding); 
[2] Bab II, terdiri 29 pasal, tentang  Aturan  Marga (Marga Verordeningen);
[3]  Bab III, terdiri 34 pasal, tentang Aturan Dusun dan Berladang (Doesoen en Landbouw Verordeningen); 
[4] Bab IV, terdiri 19 pasal, tentang  Aturan  Kaum (Gaestelijke Verordeningen);
[5] Bab V, terdiri 64 pasal, tentang Adat  Perhukuman (Strafwetten).
    Seiring dengan dinamika kepentingan penguasa Kesultanan Palembang dan intervensi Kolonial Belanda dari era VOC hingga  Pemerintah Hindia Belanda, UU Simbur Cahaya mengalami beberapa kali revisi. Perubahan terakhir adalah atas putusan dan permusyawaratan utusan para Kepala Anak Negeri di Palembang pada tanggal 2 ~ 6 September 1927. 
     Menurut K. Wantjik Saleh, S.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Palembang yang mengantarkan  edisi baru per 5 Februari 1970 (terbitan Badan Penerbit Suara Rakjat, dicetak NV Meru Palembang), bahwa UU Simbur Cahaya adalah merupakan "Hukum Adat Tertulis" karya Sinuhun Sesuhunan Palembang bersama para menteri dan alim ulama di tahun 1630-an. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti, Hari Pahlawan 2022



Kamis, 20 Oktober 2022

PARA CAMAT MUARABELITI (1)

Oleh: Hendy UP *) 

     Sebutan jabatan "camat" secara yuridis-konstitusional, baru dikenal sejak diundangkannya  PP No. 50 Tahun 1963 tentang Pernyataan Mulai Berlakunya Penyerahan Pemerintahan Umum Kepada Daerah  sebagaimana diamanatkan oleh  UU No. 6 Tahun 1959.    Di dalam Pasal 3 ayat (2) antara lain disebutkan bahwa Asisten Wedana disetarakan dengan jabatan Camat. Di era Kolonial Belanda, jabatan Wedana adalah Kepala Distrik, dan Asisten Wedana setara dengan Kepala Onderdistrik. 
     Dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, struktur-hierarkis jabatan Camat dalam susunan organisasi Pemda Tk II semakin jelas dan kuat. UU tersebut berpasangan dengan UU No. 19 Tahun 1965 yang sama-sama ditandatangani  pada 1 September 1965. UU ini berjudul "Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tk. III di Seluruh Wilayah RI". Namun sayang, kedua UU yang disahkan pada 1 September 1965 tersebut belum sempat dilaksanakan karena terjadi tragedi G-30S/PKI.
     Kedua UU tersebut merupakan amanat atas Tap MPRS No. II/MPRS/1960, yang merespon gejolak di beberapa daerah yang tidak puas dengan rumusan UU tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebelumnya (UU No. 1 Tahun 1957) yang dianggap terlalu sentralistik dan belum memberikan otonomi secara penuh kepada daerah swatantra (daerah otonomi). 
     Sekadar kilas-balik, sejak proklamasi RI, UU yang secara substansial  mengatur otonomi daerah adalah UU No. 1 Tahun 1945 tanggal 23 November  1945 tentang Komite Nasional Daerah, terdiri atas 6 pasal dan bersifat darurat untuk merespon gejolak di daerah agar mendukung NKRI. Tiga tahun kemudian terbit UU No. 22 Tahun 1948, dan khusus untuk wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) diundangkan UU No. 44 Tahun 1950 yang secara substansial nyaris tidak berbeda. Kedua UU tersebut, kala itu sudah sangat desentralistik (otonomi) dalam bentuk "swapraja" dan "swatantra". Hal inilah yang dikhawatirkan oleh beberapa pejabat pusat berpotensi akan terjadinya gejolak perpecahan di daerah. Oleh karena itu, diterbitkanlah UU Pemda yang kembali "sentralistik" yakni UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 
     Jika kita telaah secara tekstual, di dalam UU No. 18 Tahun 1965 Pasal 2 ayat (1)  disebutkan bahwa: "Wilayah NKRI terbagi habis dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan sbb: (a) Provinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tk I; (b) Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Dati II; (c) Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Dati III".
     Artinya, sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga tahun 1965, sebutan jabatan "camat" belum secara legal-formal diterapkan dalam sistem kepemerintahan daerah. Namun demikian, pada tahun 1955, Prof. Mr. Soenarko dalam bukunya "Susunan Negara Kita Jilid IV" sudah menyebutkan: "... swatantra tingkat ketiga yang terendah dapat berwujud sebagai kota kecil, mungkin kecamatan, himpunan  beberapa desa, suatu marga, dsb".
     Semenjak terbentuknya Provinsi Sumatera Selatan pada 15 Agustus 1950 (PP No. 21 Tahun 1950) hingga tahun 1965, kedudukan Pasirah/Kepala Marga selaku kepala adat masih sangat dominan di masyarakat. Bahkan dalam beberapa sektor pemerintahan khususnya pelaksanaan bidang hukum pidana/perdata di wilayah marga, lebih berperan Pasirah ketimbang pejabat Wedana dan Asisten Wedana/Camat. Oleh karena itu , pasca-diundangkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah pun jabatan Pasirah lebih populer ketimbang Camat atau Asisten Wedana. [Bersambung]


*) Muarabeliti, 17 Oktober 2022

JEJAK PEJUANG BRN AIRTEMAM (2)

Oleh: Hendy UP  *) 

     Pada awalnya, lembaga ini bernama Dewan Rekonstruksi Nasional (1951-1952), kebijakannya bersifat sentralistik, berada di bawah Perdana Menteri dengan melibatkan 8 kementerian. Maklumlah pada saat itu sistem ketatanegaraan kita menganut asas demokrasi  parlementer (1949-1959). 
     Terbentuknya DRN ini merupakan pengejawantahan dari tugas-tugas Biro Demobilisasi Nasional (PP No. 15 Th 1950) yang berhasrat ingin segera mengembalikan para eks pejuang kemerdekaan ke tengah-tengah masyarakat pasca-Agresi Militer Belanda ke-1 dan ke-2. Namun upaya ini dianggap gagal karena terlalu banyak yang mengatur (8 kementerian) dan tidak melibatkan kepala daerah yang berada di lokasi penampungan para eks pejuang BRN. 
     Dengan terbentuknya BRN yang hanya berada di bawah Mendagri dan difungsikannya Cabang/Anak Cabang BRN di kabupaten yang dikepalai oleh bupati, maka koordinasi di lapangan lebih solid dan penyediaan lahan untuk anggota BRN mulai menemui titik terang. 
     Pasca-terbitnya PP No. 16 Th 1954, Bupati selaku Ketua Anak Cabang BRN Musirawas telah menyiapkan calon lokasi BRN di Eks Erpacht Airtemam. Namun masih terkendala oleh status kepemilikan lahan (masih milik perusahan asing). Baru pada tahun 1958 kelak, dengan terbitnya UU No. 86 Th 1958 tentang Nasionalisasi Perusahan Belanda, maka kejelasan status calon lokasi BRN mulai terang benderang. 
     Maka mulailah dipetakan calon lahan BRN seluas lk 450 hektar. Yakni, jika dari arah Lubuklinggau menuju Muarabeliti, maka mulai dari Jln. Simpang Airtemam (sebelah kanan) masuk ke dalam, menyeberangi jembatan Mesat (SMPN No. 9) terus ke SD Negeri Airtemam, terus lagi menyeberangi sungai Temam hingga ke Blok 20.
     Kemudian, mulai dari jalan Simpang Temam ke arah  hilir sepanjang Jalinteng Sumatera hingga sekitar SDN No. 63 Lubukkupang, adalah lokasi BRN. Adapun lahan di sebelah kiri jalan raya adalah berstatus tanah marga yang kini menjadi perkampungan dan beberapa bangunan lain, seperti SPBU Lubukkupang, Kompleks Pendidikan Yadika, Perumahan Citra Regency dan RM Singgalang. Adapun lokasi Hotel Dafam adalah eks lokasi  BRN yang telah dijual oleh pemiliknya. 
      Ketika mBah Suwarto ditanya tentang keberadaan para pejuang BRN  kini, dengan nada sedih mBah Warto mengisahkan bahwa hanya tinggal dirinya yang masih  hidup. Adapun para anggota BRN yang masih mampu diingat mBah Warto adalah: (1) Hardjo Bandowi selaku koordinator, (2) Supardi (sebagai Lurah BRN), (3) Soewarto pengurus BRN, (4) Soehoed, (5) Mar'an, (6) Surono, kelak menjadi guru SD, (7) Parmanto, (8) Budi Santoso, (9) Soemitro, (10) M. Kadam, (11) Abukori, (12) Sukardjo, (13) Sumardi, (14) Sumardjo, (15) Sampan Haryanto, (16) Sukastin, (17) Sutiono, (18) Kosim, (19) Slamet Banyumas, (20) Suharto, (21) Sutisno, (22) Tengoredjo, (23) Suratno, (24) M. Banu, dan  (25) Markum. Sedangkan nama-nama pejuang sisanya perlu kesabaran kita untuk mengingatnya kembali! [Tamat]

*) Muarabeliti,  9 September 2022

JEJAK PEJUANG BRN AIRTEMAM (1)

Oleh: Hendy UP  *)
     
      Bagi generasi milenial kini, istilah BRN niscaya sangatlah asing. BRN adalah singkatan dari Biro Rekonstruksi Nasional, sebuah lembaga resmi Pemerintah yang dibentuk pada tahun 1951. Awalnya bernama Dewan Rekonstruksi Nasional, tapi kemudian direvisi  menjadi BRN (vide PP  Thn 1951 No. 12,  jo PP Thn 1954 No. 16).
     Tugas lembaga ini adalah menyelenggarakan  pembinaan dan/atau penampungan eks pejuang kemerdekaan RI (sociale instelling) khususnya dari Jawa yang tidak teregister ke dalam lembaga organik TNI. Bentuk penampungannya melalui program transmigrasi khusus ke pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Mereka adalah eks para anggota: (1) Badan Keamanan Rakyat (BKR), (2) Heiho, (3) Peta, (4)  Koninklijke Nederlands Indische Leger  (KNIL), (5) Laskar Hisbullah, dan laskar-laskar lainnya. 
     Di Sumatera yang ada hanya di Sumbagsel, yakni di Musirawas dan Lampung Barat. Di Musirawas berada di area eks Erpacht Perkebunan Airtemam. Sedangkan di Lampung Barat berada di Desa Sukapura Kec. Sumberjaya yang konon hingga kini masih memperjuangkan hak sertifikat tanahnya.
     Pada tahun 1954 hingga tahun 2001, Kampung Airtemam  ini termasuk ke dalam wilayah Dusun Loeboekkupang Kecamatan Muarabeliti.  Namun sejak terbentuk Pemkot Lubuklinggau (UU No. 7 Tahun 2001), Airtemam berstatus sebagai kelurahan dalam wilayah Kecamatan Lubuklinggau Selatan I. 
     Al-kisah, pada awal Agustus 1953, mBah Suwarto yang berasal dari kota Semarang diberangkatkan ke Sumatera bersama 124 orang veteran perang lainnya. Pada saat itu pemuda Suwarto baru berusia 27 tahun dan lajang. Ke-125 eks pejuang itu berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. 
      Saat ini, satu-satunya eks pejuang BRN yang masih hidup adalah Mbah Suwarto yang telah berusia 98 tahun, lebih tua dua tahun dari Ratu Elizabeth II yang baru saja wafat pada Jumat, 9 September 2022.
     "Mula-mula kami ditempatkan di barak penampungan di Metro Lampung. Pada hari 17 Agustus 1953, kami mengikuti upacara HUT RI ke-8 di Metro. Kami  diberi pelatihan tentang pertanian selama 3 bulan", cerita mBah Warto yang kini berusia 98 tahun, dengan 8 anak plus 24 cucu dan 21 cicit. Kendati keriput kulitnya tampak mengerut, dan gigi-giginya sudah mulai tanggal, namun semangat juangnya masih berbinar-binar demi mengingat masa lalunya. Daya ingatnya sungguh sangat menakjubkan! 
     "Sesampainya di Lubuklinggau pada sekitar  awal Januari 1954, kami ditampung di barak penampungan selama 3 bulan, yakni di depan Eks Gedung DPRD Musirawas di Tabapingin. Rupanya sedang dipersiapkan calon lokasi permukiman permanen untuk kami di Dusun Lubukkupang", tutur mBah Warto. 
     "Kami sebanyak 125 orang BRN memperoleh lahan seluas 450 hektar, tapi rumahnya bikin sendiri. Lokasinya adalah eks tanah Erpacht Perkebunan Karet Airtemam. Setiap KK memperoleh lahan sekitar 3,6 ha. Batas lokasi BRN adalah sebelah selatan jalan Raya Trans Sumatera. Mulai dari sekitar SDN No. 63 hingga ke jalan Simpang Airtemam. Terus masuk ke Temam Dalam  hingga ke Blok 20 di seberang sungai Temam", cerita Mbah Warto yang kini menggunakan tongkat untuk berjalan. 
     "Ketika Bung Karno meresmikan Jayaloka di Hutan Kungku pada hari Rabu, 11 April 1956, kami semua hadir pada upacara penyambutannya di Simpang Lubukbesar. Bupati Moesi Rawas pada waktu itu adalah Moch. Arief", sambung Mbah Warto. 
[Bersambung.... ]

*) Muarabeliti, 9 September 2022

ONDERNEMING TABAPINGIN 1919 (3)

Oleh: Hendy UP *) 

     Tabapingin, pada dekade awal abad ke-19 adalah sebuah dusun tua. Mungkin terbentuk sekitar tahun 1600-an, atau jauh sebelum itu. Sekirab dengan dusun-dusun tua lainya dalam Marga Proatinlima, yaitu: Muarabeliti, Pedang, Tanahperiuk,  dan Kayuara. Bayangkan, di kala itu dusun Kayuara masih masuk wilayah Marga Proatinlima, artinya belum terbentuk Marga Sindang Kelingi Ilir. 
     Pada tahun 1906, wilayah Dusun Tabapingin masih sangat luas. Di selatan berbatas dengan sungai Temam/Desa Jukung dan di utara berbatasan dengan sungai Megang. Kelurahan Rahmah kini (dulu Tabarejo) adalah areal Dusun Tabapingin.  
     Sedangkan Onderneming Tabapingin, yang pada tahun 1922 masih mencakup perkebunan karet Nv Airtemam, berada di dua wilayah marga yakni Marga Proatin Lima  (Tabapingin dan Tanahperiuk). Sedangkan di wilayah Marga Tiang Pungpung Kepungut mencakup Dusun Muarakati, Jukung dan Airkati.
      Izin pendirian Onderneming Tabapingin pada era Gubernur General (GG) AWF Idenburg (1909-1916), namun baru dilaksanakan  pada era GG JP Graaf Limburg Stirum (1916-1921). Ijin Onderneming Tabapingin adalah hak erfpacht  dengan masa sewa 75 tahun; bukan hak Opstal atau hak Eigendom. 
      Menurut M. Tauchid  dalam bukunya "Masalah Agraria" (1952; hal 41), istilah Erfpach berasal dari kata "erfelijk" (turun- temurun) dan "pacht" berarti persewaan. Jadi hak erfpacht adalah hak sewa atas tanah dengan kewajiban membayar sewa tiap-tiap tahun. 
      Dengan aturan Burgerlijk Wetboek Pasal 720 dan UU Erfpacht (Stbl. 1904 No. 304 juncto Stbl. 1912 No. 349), maka Gubernur General Kolonial di Batavia berhak menyewakan tanah kepada partikelir atau badan hukum.
      Di dalam dokumen "Memorie van Overgave" (dokumen serah terima aset), awal pemilik Onderneming Tabapingin adalah perusahan "Nederlandsch Indie Land Syndicaat" (NILS) dengan luasan 4.500 bouws (3.150 ha) pada tahun 1918.  Mulai membuka lahan untuk  sawit pada tahun 1919 dan untuk karet pada tahun 1922.
     Masa tanam sawit adalah mulai tahun 1920 hingga 1922 dengan total luas 573 hektar (59.399 batang). Sedangkan pembangunan pabrik minyak sawit dimulai pada tahun 1926 dan selesai pada September 1927 dengan total dana sebesar  f. 150.000. Mahalnya pabrik ini dikarenakan sulitnya mobilisasi alat karena belum ada jalan rel kerera api. 
     Sedangkan penanaman karetnya dimulai tahun 1922 dengan  luas 4.200 bouws (2.940 ha). Pada tahun 1926, perkebunan karet Onderneming Tabapingin dikelola oleh Siantar Cultuur Maatschappy yang berpusat di Amsterdam. Menurut penuturan Sofian Zurkasi  (85 tahun) yang diwawancarai pada Maret 2022, bahwa sebelum dibangun rel khusus (lori) untuk mengangkut Crude Palm Oil (CPO) dari Tabapingin (lokasinya kini di Kel. Rahma) ke Airkati, pengangkutan hasil kebun sawit Tabapingin dan karet Airtemam adalah melalui pelabuhan sungai Musi di Muarakelingi. 
      Namun setelah tahun 1933 dibangun rel KA Kertapati ~ Lubuklinggau, maka pengangkutan hasil kebun adalah melalui jalur kerera api ke Palembang. 
     Hingga tahun 1939, di Hindia Belanda tercatat sebanyak 66 perusahaan perkebunan besar dengan luas areal  sekitar 100.000 hektar. Beberapa maskapai yang terkenal adalah: HVA, RCMA, Socfin, Asahan Cultuur Mij, LCB Mayang, Deli Mij dan S. Liput Cultuur Mij. 
     Di era Jepang, Onderneming Tabapingin mulai direncanakan diganti tanaman pangan dan pabrik sawit dihentikan. Pada tahun 1947 ke bun milik Belanda dan orang asing dikembalikan ke pemiliknya, namun Onderneming Tabapingin rusak total, seperti di Oud Wassenar, Ophir Sumbar dan Karanginou Aceh. 
     Karena kerusakan kebun yang sangat parah, maka Onderneming Tabapingin diterlantarkan sebagai eks tanah erfpacht hingga dikuasai negara RI dan  dibagi-bagian kepada masyarakat serta lembaga pemerintah. [Tamat]
 
*) Muarabeliti, 21Juni 2022
    

ONDERNEMING TABAPINGIN 1919 (2)

Oleh: Hendy UP *) 

       Bagi pembaca di luar wilayah "Negeri Silampari Bari" (Musirawas, Lubuklinggau, Muratara), khususnya luar Sumatera Selatan, barangpasti perlu dipahamkam tentang apa ituTabapingin. Dahulu, setidaknya hingga tahun 1980, Tabapingin  adalah nama sebuah dusun dalam wilayah Marga Proatin Lima Kecamatan Muarabeliti, Kabupaten Musi Rawas. Kala itu, batas wilayah Kec. Muarabeliti dengan Kec. Lubuklinggau adalah jalan Kelabat Talangjawa ~ Lubuklinggau.
     Namun, semenjak Jumat 30 Oktober 1981 dengan terbitnya PP No. 38, DusunTabapingin menjadi bagian wilayah Kota Administratif Lubuklinggau, sebelum terbentuknya Kota Lubuklinggau sebagai daerah otonom pada 21 Juni 2001. 
     Pada era Bupati Syueb Tamat (1980-1990), Tabapingin naik status menjadi pusat pemerintahan (centrale overheid) Kabupaten Dati II Musirawas. Namun pada tahun 2004, secara  de jure pusat pemerintahan Kab. Musirawas dipindahkan ke Muarabeliti, walaupun secara de facto baru pindah pada tahun 2019. ***
      Keberadaan Onderneming (perkebunan) Tabapingin dalam peta ekonomi dunia pada abad ke-19, dapat dilacak pada era Kolonial Belanda khususnya pasca-bangkrutnya VOC pada 31 Desember 1799. 
      Dalam catatan Yudi Latif (2011) yang mengutip para tokoh "politik etik" semisal Peter Brooschooft wartawan koran "De Locomotief" dan Theodore van Deventer (partai Liberal Demokratik Belanda),  kita mendapat catatan bahwa antara tahun 1800-1840 pemerintah Belanda menghadapi berbagai persoalan pelik.
       Yakni perang dengan Prancis dan Inggris, menghadapi separatis di Provinsi Belgia (merdeka tahun 1830), perang dengan para mujahid di Nusantara (Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Palembang, dll). Hal ini diperparah oleh sisa hutang VOC hingga 40-an juta gulden serta tekanan Partai Liberal Demokratik di dalam internal pemerintahan. 
     Pasca-perjanjian London (17 Maret 1824) yang menyepakati pembagian wilayah jajahan antara Inggris dan Belanda, maka Pulau Jawa, Sumatera, Maluku dan Irian Barat dikuasai Belanda. Demi memulihkan kas negara, maka ditunjuklah Gubernur Jenderal (GG) Johannes Graaf van Den Bosch (1830-1833),  GG Baud (1833-1836), GG De Eerens (1836-1840), GG Graaf van Hogendorp (1840-1841) dst untuk melaksanakan Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang sangat menyengsarakan rakyat Nusantara. 
      Karena Cultuurstelsel dikritik habis-habisan oleh opisisi (Partai Liberal Demokratik),  maka pada 9 April 1870 Belanda mengubah kebijakan dengan menerbitkan UU Agraria (Agrarische Wet). UU ini sangat diskriminatif dan dualistik, di satu sisi mengatur hak tanah rakyat Nusantara dengan hukum adat, sementara bagi pemodal asing berlaku hukum perdata Eropa (Burgerlijk Wetboek) dengan HGU 75 tahun. 
     Demi menarik investasi besar-besaran di bidang perkebunan pasca-revolusi industri di Eropa, maka dibuat aturan pertanahan yang aneh-aneh. Yakni ada tanah hak partikelir (overheidsrechten), tanah hak benda (zakelijke rechten) dan tanah perseorangan (persoonlijke rechten). Jenis hak benda dirinci lagi menjadi: hak eigendom (masa selama-lamanya), hak opstal dengan masa kepemilikan 30-75 tahun, dan hak erfpach (75 tahun). 
       Onderneming Tabapingin (dan Airtemam) adalah jenis  tanah erfpach dengan HGU 75 tahun. Karena posisi Tabapingin dalam peta ekonomi Sumatera sangat jauh di hulu sungai Moesi dan terisolir (belum ada jalur kareta api), maka bagi investor Eropa relatif kurang menarik. Baru pada tahun 1919, perusahaan Land Syndicaat Hindia Belanda membuka areal onderneming seluas 4.500 bouws (3.150 hektar). 
       Penanaman dimulai pada tahun 1920 hingga 1922  dengan total luas 880 bouws (616 ha) sekitar 59.399 batang. Namun pada tahun 1922,  pihak manajemen membuka lagi perkebunan karet Aertemam. Pada tahun 1926-1927, perusahan membangun pabrik CPO (crude palm oil) dengan biaya f. 150.000  karena  mahalnya biaya angkut. Adapun total karyawannya: 4 orang administratur  bangsa Eropa, kuli kontrak 202 orang dan kuli bebas 25 orang. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti, 5 Juni 2022

ONDERNEMING TABAPINGIN 1919 (1)

Oleh: Hendy UP *) 

     Suatu hari di akhir Agustus 2004, aku menginap di gedung tua nan unik peninggalan  Belanda. Gedung itu dulu bernama RISPA: kokoh, agak-agak horor, namun tegak-tegap berwibawa. Menjulang tinggi di kompleks yang terawat rapi di jalan Brigjen Katamso Medan. Rasa-rasanya hanya sepelemparan batu dari Masjid Maimun yang legendaris itu. 
      Kala itu, tiba-tiba aku teringat gedung tua serupa, persis bersebelahan dengan tembok tinggi sekolahanku di Purwokerto. Gedung itu, seperti kehilangan keangkuhan masa lalunya, semayup menatap Tugu Bundaran yang gagah tinggi menjulang, membelah jalan  Gatot Subroto. Konon, gedung tua itu adalah eks kantor  Residen Banyumas di masa Kolonial Londo. Mirip-mirip desain arsitekturnya, sama-sama horor nan mengerikan! 
      Kembali ke gedung RISPA. Konon dibangun tahun 1916, untuk lembaga Algemeene Vereeniging van Rubber Planters ter Oostkust van Sumatera (AVROS), atau Perhimpunan Pengusaha Perkebunan Karet di Pantai Timur Sumatera. Kala itu, Gubernur Jenderal AWF Idenburg di kota hujan Buitenzorg sedang mimikul beban berat dari Ratu Wilhelmina binti Willem III, agar memacu produksi  karet, sawit dan teh di  tanah jajahan demi menumpuk pundi-pundi kas negara. 
      Ada trauma getir masa lampau, ketika kas negara defisit, provinsi Belanda Selatan memerdekakan diri menjadi negara  Belgia di tahun 1830, karena "nang adong hepeng" untuk menumpas separatisme. Maklum, kala itu kas Nederland terkuras, bahkan berhutang 40-an juta gulden untuk memberangus Pangeran Diponegoro dan Janissary terakhirnya.
      Pasca~kemerdekaan RI, di tahun 1957 lembaga itu menjadi Research Institut of the Sumatera Planters Association (RISPA). Pada 24 Desember 1992 berubah nama menjadi Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Dan entah sejak kapan, gedung tua itu difungsikan sebagai "basecamp" para peneliti Kebun Induk Marihat  atau para tamu dari Bogor dan Jakarta. ***
      Siang itu, setelah merampungkan pembicaraan awal tentang rencana kemitraan antara Dinas Perkebunan Musirawas dengan PPKS Medan, saya diajak keliling perpustakaan di kompleks lembaga penelitian itu. Saya membeli beberapa buku. Saat pamitan,  saya "disangoni" pula berbagai jurnal dan buku-buku terbitan PPKS. Salah satu bukunya adalah berisi tentang sejarah persawitan di Indonesia, yang menorehkan nama "Tabapingin" tahun 1870 di wilayah Onderafdeeling Moesi Oeloe. 
      Ternyata nama Tabapingin telah mendunia semenjak tahun 1870.  Kebetulan, saya pernah membaca arsip peta kuno Belanda di kantor BPN. Peta itu "me-refer map as Hindie" tahun 1906 sebagai wilayah Residentie Palembang & Benkoelen. Mengagetkan!        
      Ternyata dalam peta itu, hanya tertera: Tebingtinggi, Moearabeliti, Moearakelingi, Soeroelangoen, Tabapingin, dan Moearaaman. Tidak ada Loeboeklinggau atau Tjoeroep dalam peta.Agaknya, nama-nama desa tersebut berkaitan dengan jalur transportasi sungai dan potensi komoditas sawit, karet atau tambang emas. ***

Riwayat Sawit Tabapingin
      Al-kisah, pasca-Belanda menikmati hasil "Tanam Paksa" berupa limpahan uang dari menjual komoditas perkebunan di pasar dunia, merasa perlu menarik investor dari Eropa dengan cara mengundangkan Agrarische Wet, sebagai daya tarik usaha  sekaligus jaminan lamanya kepemilikan HGU. 
     Di sisi lain, para ahli botani di Kebun Raya Bogor telah berhasil mengembangbiakkan 4 biji sawit yang dibawa dari Bourbon Mauritius dan Hortus Amsterdam pada tahun 1848. Setelah cukup berumur, mulailah diujilapangankan di beberapa lokasi di Jawa dan Sumatera. 
     Mula-mula di Keresidenan Banyumas Jateng (1856-1870), Muaraenim Sumsel (1869), Tabapingin Sumsel (1870), Belitung Sumsel (1890) dan Banten (1895). Tampaknya sedari awal, kelima daerah ini adalah kawasan yang paling feasible dari aspek agroklimat dan kesuburan lahan untuk perkebunan sawit. Tapi mengapa pada fase-fase selanjutnya justeru daerah Sumatera Utara dan Riau  yang lebih berhasil mengembangkan sawit?  Pasti ada jawabnya!  [Bersambung... ]

*) Muarabeliti,  3 Juni 2022