Senin, 26 September 2016

MAS GOTRI

Oleh: Hendy UP

Pada momentum seruputan terakhir ngopi tengah malam, tiba-tiba teringat seorang teman. Namanya Gotri. Atau, mungkin Suyanto. Barangtentu pikiranku tertindas oleh berita koran Musirawas Ekspres, “Lagi, Tiga Pejabat Mura Hengkang”. Kata hengkang, dalam ilmu rasa bahasa mengesankan terusir atau diusir. Artinya seolah ada nuansa proses “thrown out on disaster” (diusir dalam bencana).

Aku mamanggilnya Mas Gotri. Karena aku lebih tua, Mas bermakna Dimas, antonim dari Kangmas. Di berita itu, Mas Gotri akan hengkang dari Musi Rawas, tepatnya dari kampung G1 Mataram. Mungkin merantau ke kerajaan  Majapahit  atau Singosari. Bisa juga ‘berladang’ mengadu nasib di Marga Seluma Bengkulu sembari mempercepat  gelar doktornya. Aku menduga, jika kelak titelnya sudah diraih, jangan-jangan Mas Gotri akan ‘ditarik’ seniornya saat di Birmingham London, Mas Mardiasmo yang kini Wa-Menkeu, untuk hijrah ke Kerajaan Nusantara. Wallohu a’lam.

Postur tubuhnya semampai,  kurus-lentur cenderung ceking. Tampilan perilakunya sederhana, merepresentasikan umumnya alumni UGM.  Dandanannya jauh dari necis dan perlente, apatah lagi trendi. Kadang tak peduli jejak setrika dan jauh dari  kesan kostum  birokrat.  Orang yang hanya menilai kostum akan salah duga. Dan aku   percaya bahwa Mas Gotri bukan tipe birokrat-pejabat, tapi lebih pantas sebagai pelukis atau seniman patung. Sebagaimana tipologi Jawa-Jogya, aksentuasinya selalu terjaga, nada bicaranya tetap merendah kendati dibentak anggota dewan yang ‘sok marah’. Sepanjang masa pertemananku, aku belum pernah melihat  wajahnya marah, paling banter agak memerah.  Sangat piawai mengendalikan rongga tawa, dan selebihnya hanya menguar senyum nan sulit diduga.

Antara tahun 2004 - 2007, kami sama-sama berada di satu lini.  Sekretariat Daerah Musi Rawas sebagai Kabag. Hingga tahun 2012 kami sering berada dalam satu Tim Kerja, khususnya dalam ‘mengotak-atik’ draft KUA - PPAS dan APBD. Menyerasikan paragraf LKPJ hingga  menyusun pidato-pidato khusus Sang Bupati. Sebanyak teman yang aku kenal, Mas Gotri bisa dibilang agak langka. Sebagai birokrat, Ia senantiasa konsisten dengan konstitusi, sangat disiplin dalam mematuhi aturan. Memahami SOP dan meneladaninya dengan istiqomah.

Jarang sekali absen dari undangan rapat, yasinan bahkan  undangan perkawinan.  Sangat piawai memetakan persoalan teknis bidangnya, tanpa kehilangan pijakan makro atas kompleksitas agregat masalah yang berkelit-kelindan di lapangan. Fasih menghitung dampak  dari indeks gini rasio (IGR), sensitif dengan kata defisit anggaran serta trengginas mengkalkulasi eskalasi belanja Pemda. Cepat memahami filosofi sebuah program tanpa kehilangan argumentasi taktis-operasional yang bakal menghadang. Ini dimungkinkan, karena otaknya yang sangat cemerlang dan sabar menyintesis berbagai persoalan.  Ketika orang baru pada tahap menganalisis masalah, Mas Gotri sudah merancang konsep sintesis saran. Tidak heran, jika atasan pertamanya - Pak Drs. H. Mulyanto, Kabag Ekonomi kala itu – mengatakan bahwa nilai test CPNS-nya 100.  Sayangnya, Mas Gotri bukan tipe komunikator yang memikat, layaknya pejabat yang merasa sok tahu tapi sesungguhnya tak banyak tahu, plus keliru-keliru.  Dan satu lagi, Mas Gotri bukan tipe orang yang mau bicara tentang  urusan tupoksi orang lain.

Gotri adalah kosa kata Jawa. Jadi tidak pas kalau dicari di kamus Indonesia. Dalam KBBI Pustaka Phoenix, gotri berarti mimis kecil. Anak yang main tembak-tembakan, pelurunya yang bulat kecil-kecil itu namanya gotri. Silinder penggerak roda sepeda agar berputar solid, perlu diganjal benda bulat terbuat dari baja. Itu namanya gotri. Agar lancar terkendali, gotri-gotri itu perlu dilumuri paslin atau oli. Jadi, gotri memang tersembunyi maqomnya, tapi berfungsi sebagai penahan gaya putaran baik yang sentrifugal maupun sentripetal. Bahkan bisa menembus benda keras  jika didorong-tekan oleh letupan tenaga senapan.

Dulu, di sela-sela kerja lembur, kami sering ngobrol ngalor-ngidul. Soal seni,  birokrasi, agama dan kebudayaan, serta sastra-bahasa dan  hal-ikhwal yang kami sukai. Sesekali  kami  ngobrol di kampung Mataram dan suatu saat ngobrol nyantai di teras rumah Ketuan. Jika Anda singgah di Tongseng Mataram Tugumulyo, tergantunglah beberapa lukisan  karya Mas Gotri. Sapuan kuas naturalistiknya, sungguh nyaris persis dengan benda aslinya. Nuansa kelembutan kucing belang dan topi SD yang kusam-temaram, niscaya menunjukkan kesahajaan kalbunya.  Ini menyiratkan kebeningan jiwa yang terkoneksi dengan otak kanan, melengkapi  kecerdasan intelektualnya di otak kiri. Ibarat dalil keseimbangan harga sebuah kehidupan, titik temu suplai dan demand-nya   berada pada area yang pas ekuibriliumnya, titik noktah  latifah.  Kelebihan lainnya adalah canggih berpikir abstrak alias mencongak. Jika sedang menyusun laporan rincian keuangan untuk naskah pidato Bupati, tiba-tiba laptop dan kalkulator macet, maka otak Mas Gotri layak menjadi substitusinya.

Keahlian khususnya adalah akuntansi. Eskalasi ilmunya linier 3B: Bulaksumur - Birmingham hingga Bengkulu. Tidak heran bila bertahun-tahun dipercaya mengurusi neraca kekayaan dan hutang-piutang Pemda Musi Rawas. Dari Bupati Soeprijono – Ibnu Amin – Zulkarnain - Ridwan Mukti hingga Hendra Gunawan. Memang, sebagai seorang teman aku bisa merasakan kejenuhannya. Terlalu lama mengurusi hal yang sama, bertengger di eselon yang sama, wajarlah tersirat semburat kejenuhan. Ditambah kementokan pangkat golongan di level Pemda kabupaten,  long distance private  dengan pihak keluarga, serta keinginan segera meraih titel doktoralnya, Mas Gotri cukup rasional memilih hijrah untuk eskalasi kariernya. Mungkin juga hanya batu loncatan. Dan  sungguh amat sangat tepatlah Pak Bupati Hendra merestuinya. Karena menurut fatwa birokrasi yang paling kuno, jika seorang atasan menutup jalan bagi obsesi kemaslahatan hidup bawahannya, maka sesungguhnya tiada kedzoliman-birokratik yang melebihinya. Allohu’alam. Semoga hijrah Mas Gotri penuh barokah. Amiiin!!

*) Penulis adalah peminat Sastra-Humaniora, mukim di Lubuklinggau. 

0 komentar:

Posting Komentar