Oleh: Hendy UP
Pada momentum seruputan
terakhir ngopi tengah malam, tiba-tiba teringat seorang teman. Namanya Gotri.
Atau, mungkin Suyanto. Barangtentu pikiranku tertindas oleh berita koran
Musirawas Ekspres, “Lagi, Tiga Pejabat Mura Hengkang”. Kata hengkang, dalam
ilmu rasa bahasa mengesankan terusir atau diusir. Artinya seolah ada nuansa proses
“thrown out on disaster” (diusir dalam bencana).
Aku
mamanggilnya Mas Gotri. Karena aku lebih tua, Mas bermakna Dimas, antonim dari
Kangmas. Di berita itu, Mas Gotri akan hengkang dari Musi Rawas, tepatnya dari
kampung G1 Mataram. Mungkin merantau ke kerajaan Majapahit atau Singosari. Bisa juga ‘berladang’ mengadu
nasib di Marga Seluma Bengkulu sembari mempercepat gelar doktornya. Aku menduga, jika kelak titelnya
sudah diraih, jangan-jangan Mas Gotri akan ‘ditarik’ seniornya saat di
Birmingham London, Mas Mardiasmo yang kini Wa-Menkeu, untuk hijrah ke Kerajaan Nusantara.
Wallohu a’lam.
Postur tubuhnya semampai, kurus-lentur cenderung ceking. Tampilan
perilakunya sederhana, merepresentasikan umumnya alumni UGM. Dandanannya jauh dari necis dan perlente,
apatah lagi trendi. Kadang tak peduli jejak setrika dan jauh dari kesan kostum
birokrat. Orang yang hanya
menilai kostum akan salah duga. Dan aku percaya bahwa Mas Gotri bukan tipe birokrat-pejabat,
tapi lebih pantas sebagai pelukis atau seniman patung. Sebagaimana tipologi
Jawa-Jogya, aksentuasinya selalu terjaga, nada bicaranya tetap merendah kendati
dibentak anggota dewan yang ‘sok marah’. Sepanjang masa pertemananku, aku belum
pernah melihat wajahnya marah, paling banter
agak memerah. Sangat piawai
mengendalikan rongga tawa, dan selebihnya hanya menguar senyum nan sulit diduga.
Antara tahun 2004 - 2007, kami sama-sama
berada di satu lini. Sekretariat Daerah
Musi Rawas sebagai Kabag. Hingga tahun 2012 kami sering berada dalam satu Tim
Kerja, khususnya dalam ‘mengotak-atik’ draft KUA - PPAS dan APBD. Menyerasikan
paragraf LKPJ hingga menyusun pidato-pidato
khusus Sang Bupati. Sebanyak teman yang aku kenal, Mas Gotri bisa dibilang agak
langka. Sebagai birokrat, Ia senantiasa konsisten dengan konstitusi, sangat
disiplin dalam mematuhi aturan. Memahami SOP dan meneladaninya dengan
istiqomah.
Jarang sekali absen dari undangan rapat,
yasinan bahkan undangan perkawinan. Sangat piawai memetakan persoalan teknis
bidangnya, tanpa kehilangan pijakan makro atas kompleksitas agregat masalah
yang berkelit-kelindan di lapangan. Fasih menghitung dampak dari indeks gini rasio (IGR), sensitif dengan
kata defisit anggaran serta trengginas mengkalkulasi eskalasi belanja Pemda. Cepat
memahami filosofi sebuah program tanpa kehilangan argumentasi taktis-operasional
yang bakal menghadang. Ini dimungkinkan, karena otaknya yang sangat cemerlang
dan sabar menyintesis berbagai persoalan. Ketika orang baru pada tahap menganalisis
masalah, Mas Gotri sudah merancang konsep sintesis saran. Tidak heran, jika
atasan pertamanya - Pak Drs. H. Mulyanto, Kabag Ekonomi kala itu – mengatakan
bahwa nilai test CPNS-nya 100. Sayangnya,
Mas Gotri bukan tipe komunikator yang memikat, layaknya pejabat yang merasa sok
tahu tapi sesungguhnya tak banyak tahu, plus keliru-keliru. Dan satu lagi, Mas Gotri bukan tipe orang yang
mau bicara tentang urusan tupoksi orang
lain.
Gotri
adalah kosa kata Jawa. Jadi tidak pas kalau dicari di kamus Indonesia. Dalam KBBI
Pustaka Phoenix, gotri berarti mimis kecil. Anak yang main tembak-tembakan,
pelurunya yang bulat kecil-kecil itu namanya gotri. Silinder penggerak roda
sepeda agar berputar solid, perlu diganjal benda bulat terbuat dari baja. Itu
namanya gotri. Agar lancar terkendali, gotri-gotri itu perlu dilumuri paslin
atau oli. Jadi, gotri memang tersembunyi maqomnya, tapi berfungsi sebagai
penahan gaya putaran baik yang sentrifugal maupun sentripetal. Bahkan bisa
menembus benda keras jika didorong-tekan
oleh letupan tenaga senapan.
Dulu,
di sela-sela kerja lembur, kami sering ngobrol ngalor-ngidul. Soal seni, birokrasi, agama dan kebudayaan, serta sastra-bahasa
dan hal-ikhwal yang kami sukai. Sesekali
kami
ngobrol di kampung Mataram dan suatu saat ngobrol nyantai di teras rumah
Ketuan. Jika Anda singgah di Tongseng Mataram Tugumulyo, tergantunglah beberapa
lukisan karya Mas Gotri. Sapuan kuas
naturalistiknya, sungguh nyaris persis dengan benda aslinya. Nuansa kelembutan
kucing belang dan topi SD yang kusam-temaram, niscaya menunjukkan kesahajaan
kalbunya. Ini menyiratkan kebeningan jiwa yang terkoneksi dengan otak
kanan, melengkapi kecerdasan
intelektualnya di otak kiri. Ibarat dalil keseimbangan harga sebuah kehidupan, titik
temu suplai dan demand-nya berada pada
area yang pas ekuibriliumnya, titik noktah
latifah. Kelebihan lainnya adalah
canggih berpikir abstrak alias mencongak. Jika sedang menyusun laporan rincian
keuangan untuk naskah pidato Bupati, tiba-tiba laptop dan kalkulator macet,
maka otak Mas Gotri layak menjadi substitusinya.
Keahlian
khususnya adalah akuntansi. Eskalasi ilmunya linier 3B: Bulaksumur - Birmingham
hingga Bengkulu. Tidak heran bila bertahun-tahun dipercaya mengurusi neraca
kekayaan dan hutang-piutang Pemda Musi Rawas. Dari Bupati Soeprijono – Ibnu
Amin – Zulkarnain - Ridwan Mukti hingga Hendra Gunawan. Memang, sebagai seorang
teman aku bisa merasakan kejenuhannya. Terlalu lama mengurusi hal yang sama,
bertengger di eselon yang sama, wajarlah tersirat semburat kejenuhan. Ditambah
kementokan pangkat golongan di level Pemda kabupaten, long distance private dengan pihak keluarga, serta keinginan segera
meraih titel doktoralnya, Mas Gotri cukup rasional memilih hijrah untuk
eskalasi kariernya. Mungkin juga hanya batu loncatan. Dan sungguh amat sangat tepatlah Pak Bupati Hendra
merestuinya. Karena menurut fatwa birokrasi yang paling kuno, jika seorang
atasan menutup jalan bagi obsesi kemaslahatan hidup bawahannya, maka
sesungguhnya tiada kedzoliman-birokratik yang melebihinya. Allohu’alam. Semoga
hijrah Mas Gotri penuh barokah. Amiiin!!
*) Penulis adalah peminat Sastra-Humaniora,
mukim di Lubuklinggau.
0 komentar:
Posting Komentar