Oleh:
Hendy UP
Tanpa
disadari, ternyata para Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota seringkali menggunakan
teori peubah kompleks dalam memilih para
pembantunya; baik pada level menteri maupun kepala perangkat daerah. Pemilihan
Arcandra Tahar president at Petroneering in Houston sebagai
menteri ESDM adalah contohnya.
Bisa dipastikan, belum ada pakar dan pengamat
politik di Indonesia yang menyebutkan teori ini dalam konteks birokrasi,
khususnya dalam pemilihan pejabat selevel menteri. Ketika iseng melacak biodata Arcandra Tahar pascapenunjukannya
sebagai menteri, saya menemukan kemiripan dengan teori peubah kompleks dalam
persamaan matematika.
Bagi
para sarjana matematika atau sarjana ilmu eksakta lainnya, niscaya pernah akrab
dengan teori peubah kompleks, yang mampu menghitung transformasi besaran sudut dan arah kurva dalam sebuah himpunan
persamaan bilangan riil (bilangan rasional dan irrasional). Jika hasil
transformasi mendapatkan besaran sudut yang sama tetapi tidak memedulikan arah
kurva, maka menurut Jacobian disebut peta konformal-isogonal.
Analoginya
adalah bahwa seorang Arcandra Tahar sebagai profesional yang memiliki
kompetensi dan integritas (besaran sudut) adalah menjadi faktor utama bagi
Jokowi ketika menentukan pilihannya, tanpa memedulikan dari mana
arahnya (nonpartai politik). Lantas,
apa kaitannya dengan teori memilih kepada SKPD? Mari kita kupas pasal-pasal yang terkait
dengan pembahasan ini.
Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda), istilah Satuan Kerja Perangkat Daerah diganti menjadi Perangkat Daerah. Ketentuan
tentang Perangkat Daerah diatur di dalam
Pasal 232 UU Pemda, yang selanjutnya diuraikan dalam PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat
Daerah (PP-PD). Kriteria, prosedur dan persyaratan serta kewenangan
Gubernur/Bupati/Walikota untuk mengangkat kepala perangkat daerah diatur dalam
Pasal 233 hingga 235 UU Pemda.
Pasal 233 UU Pemda, yang diperjelas di
dalam pasal 98 PP-PD menyebutkan bahwa pejabat kepala Perangkat Daerah wajib memenuhi
persyaratan kompetensi: teknis, manajerial, dan sosial-kultural serta
kompetensi pemerintahan. Kompetensi teknis dibuktikan dengan ijazah pendidikan
formal, sertifikat Diklat fungsional dan pengalaman kerja; kompetensi manajerial
dibuktikan dengan sertifikat Diklat struktural atau manajemen dan pengalaman
kepemimpinan. Kriteria kompetensi sosial-kultural diukur dari pengalaman kerja
berkaitan dengan masyarakat majemuk (agama, suku, budaya) dalam konteks wawasan
kebangsaan.
Sedangkan kompetensi pemerintahan dibuktikan dengan sertifikat dari
Menteri Dalam Negeri. Seluruh peraturan tentang sertifikasi kompetensi tersebut
sayangnya belum terbit, baik dari kementerian teknis/lembaga nonkementerian
maupun kementerian Dalam Negeri.
Bisa saja, seluruh persyaratan administrasi
kompetensi tersebut dipenuhi oleh semua
calon pejabat, walaupun saat ini ada area abu-abu tentang kriteria kompetensi
sosial-kultural dan pemerintahan. Namun
perlu dicatat bahwa tidak ada jaminan
bahwa calon yang memiliki seluruh sertifikat yang dipersyaratkan adalah orang
yang benar-benar kapabel dan “cocok” untuk memangku jabatan sebagai
kepala perangkat daerah, khususnya terkait dengan kesamaan “gaya kepemimpinan” sang
kepala daerah. Atau, kendati pun semua persyaratan kompetensi terpenuhi, akan
tetapi sang Gubernur/Bupati/ Walikota bisa menambahkan variabel tentang: integritas dan loyalitas dengan pendefinisian versi kepala daerah sendiri.
Derivasi dari item
integritas dan loyalitas bisa saja dijabarkan ke dalam aspek hubungan etnikal-geneologis
(keluarga), emosional-historikal (Timses) dan/atau asosional-politikal (titipan
orang Parpol) atau gabungan ketiga aspek tersebut. Dalam dunia birokrasi, hal
ini merupakan kewajaran; karena bagaimana mungkin seorang kepala daerah akan menunjuk pembantunya dari orang-orang yang diragukan
loyalitas dan integritasnya.
Dalam analogi teori peubah kompleks, sebutlah
semua persayaratan sertifikat kompetensi ini adalah besaran sudut kurva; sedangkan
komponen integritas dan loyalitas diibaratkan arah kurva, maka kemungkinan model
petanya adalah sbb: (1) Kepala Daerah akan memilih peta konformal, artinya akan
memilih pejabat yang memenuhi seluruh persyaratan kompetensi plus aspek
integritas dan loyalitas versi kepala daerah, termasuk aspek keterlibatan Timses
yang pernah berjuang saat Pilkada atau orang titipan Parpol; (2) Kepala Daerah akan memilih peta
konformal-isogonal, yakni akan memilih pejabat yang memenuhi seluruh
persyaratan kompetensi, walaupun tidak
terlibat Timses dan tidak perlu mengakomodir
orang titipan dari Partai Politik.
Dalam
prakteknya, peta politik birokrasi tidak
sesederhana yang digambarkan. Niscaya akan ditemui varian komponen yang
lebih rumit daripada peta
konformal-birokratik. Dalam teori Peubah
Kompleks terdapat dasar aksiomatik yang berupa enam asas: komutatif/asosiatif
penjumlahan, komutatif/asosiatif perkalian, ketertutupan dan asas distributif.
Keenam
asas tersebut adalah merupakan landasan atas “hak prerogatif” kepala daerah.
Kepala daerah boleh saja mengotak-atik himpunan bilangan dengan menambah atau
mengali komponen angka bahkan mendistribusikan secara tertutup dalam rangka memilih pembantunya dari orang-orang yang benar-benar
mumpuni.
Artinya, siapa pun calon kepala perangkat
daerah yang dipilih, harus dipastikan adalah
orang yang mampu menjabarkan visi-misi kepala daerah (dengan segala inovasi dan
kreatifitasnya) dan berani mengambil risiko apa pun atas jabatan yang
diembannya. Dengan kata lain, seorang kepala perangkat daerah wajib khatam
aturan teknikal, manajerial dan finansial-keuangan. Bukan malah terus harus diajari
Sang Kepala Daerah. Instrumen telaah staf yang diajukan oleh kepala perangkat daerah
kepada kepala daerah, adalah indikator kreatifitas dan keluasan wawasan seorang
kepala perangkat daerah. Namun sayang, instrumen tersebut jarang sekali naik ke
Gub/Bup/Walkota. Wallahu’alam.***)
*) Penulis adalah pemerhati birokrasi
0 komentar:
Posting Komentar