Tampilkan postingan dengan label TEKNOLOGI-LINGKUNGAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TEKNOLOGI-LINGKUNGAN. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Agustus 2020

JANGAN BAKAR JERAMI!

JANGAN BAKAR JERAMI!

Oleh: Hendy UP *)

     "Saudara-saudaraku, sedusun seirigasi! Menghadapi kemarau ini, jangan sekali-kali membakar jerami, sampah, baliho bekas.... opo wae lah! Apolagi spanduk yang ada fotooo ..... Pokoknya hindari asap! Ya, saudara-saudaraku seee .....".

     Tiba-tiba dipotong pemuda Haykal: "Maksud Pak Kadus .... foto Habib Rizieq! .... Saudara seiman! Semazhab! Pak Kadus.... perlu diingat yaa, .... di dusun kita ini multi-etnik, multi-agama, multi-profesi, multi-partai! Jangan coba-coba kami ini diadu-kambing...!" (Di dusun itu memang sudah tak ada domba, terlarang oleh Distannak Mura).

      Interupsi Haykal itu nadanya terkendali, terukur intonasinya, tanpa basa-basi tengik. Memang Haykal ini dijoloki 'milenial-nakal'; sepupu jauh Udin Beliti yang raib entah kemana setelah didatangi tiga orang 'asing' pada Ahad kemarin. Menjelang adzan maghrib. Mungkin imbas cuitan twitternya!

    Pak Kadus kaget! Gagap-gelagapan: "Wahai anakku Haykal, maksud saya itu..... maksud Pak Lik ituuuu .... foto seorang tokoh, siapa wae! Saudara .... se... kaliyyaaan! Bukan seiman! Makanya, kalau ada pejabat lagi pidato jangan dipotong. Tonton hingga tamat, biar dak gagal panen ..... eh .... paham", suara Kadus pelan, terbata-merah, agak gemetaran.

    .Perseteruan itu, ternyata residu-politik Pilkades masa lalu yang menanah-lumpur, mengendap-resap hingga ke bulu-bulu akar rumput lapangan bola.

     Konon, 'inner-cycle' dzuriyat Pak Kadus ini melimpah di seantero pojok dusun. Terbilang 'hogih': agen beras, gilingan padi tiga, traktor empat, warung sembako dua ruko dan hobbi nyembur duit kalau ada pesta orgen tunggal. Apatah lagi sewaktu nyalon Kades kalah tempo hari.

     Sialnya, yang menang adalah Pak Lik-nya Haykal. Tiga kali kontestasi Pilkades, selalu berhadapan dua kubu: kaum konservatif-tradisional vs progresif-radikal. Musuh bebuyutan!

     Tapi konon, IQ Kadus itu agak jongkok. Di Jawa dulu, tiga kali pindah kuliah, sekolah partikelir, akreditasi BAN-PT level C. Sebelas tahun tak tamat, dijemput paksa ortu, seanak-bininya. Ternyata kuliah nyambi 'mbojo'! Karena ambisius menempel titel, qodarullah akhirnya tamat juga. S1entah dimana!

     Ijazah itulah modal nyalon Kades tempo hari. Makanya, bahasa pidatonya sering ngacau, pakai istilah-istilah yang 'gak genah', logikanya loncat tupai. Lucu! Agak cerdik-culas dan punya keahlian tunggal: nyogok!

     Adapun si Haykal, adalah pemuda cerdas, nakal-milenial. Konon, mBah Buyutnya dulu sekampung Bung Karno, Blitar. Tapi Neknangnya orang Belitilama. Setamat SMP, Haykal hijrah ke Gontor. Kota Malang-Jogya-Bogor, hafal hingga gang buntunya. IQ-nya tegak-punjul, tamat S1 dua prodi, summa cum laude S2 Fisika Nuklir dari Univ. ternama. Pernah iseng ikut-ikutan jadi 'hacker'. Gara-gara si Covid, lantas tertunda ambil beasiswa S3 di almamaternya Mas Gotri: Birmingham, UK.

     Proposal risetnya mencengangkan: "Explosive Power Straw and Material Smoke of Indonesian Politics" (Dayaledak Jerami dan Material Asap Politik Indonesia). Mungkin si Haykal agak mengidap kelainan jiwa ringan: skizoid-skizotipal. Mirip gila-edan nomor 13 yang disebut Gendeng. Kendaklah ongah .. Kal!

      Mirip dengan Kadus, si Haykal juga punya keahlian. Ganda: sombong dan anti kerja Tim! Mau menang sendiri. Ketika dikoreksi judul proposal risetnya, Haykal mulai congkak: "Saya punya Kamus Grammar, stuktur gramatikal, tiga bahasa ....". Mata sombongnya berbinar.

     Pikiran Pak Kadus dan Haykal pasti ada benarnya. Hanya, keduanya beda pandang; diperparah oleh sikap dasar memendam-dendam. Karena IQ pas-pasan, Kadus tak piawai meramu. Larangan membakar jerami, pasti urgen; untuk mengurangi dampak perubahan iklim selaras dengan 17 butir Sustainable Development Goals.

     Tapi ya, mbokyao ... nggak usah diramu dengan berita viral minggu ini tentang pembakaran spanduk Habieb Rieziq! Biarlah, itu urusan para-pihak. Kita di kampung, cukup berdoa untuk keberkahan negeri ini. Allohua'lam bishshowab!

Muarabeliti, 4 Agustus 2020

Blogger: www.andikatuan.net

Kamis, 09 Juli 2020

SINEOL: KALUNG ANTIKORONA?

Oleh: Hendy UP *)

      Di siang bolong 6 Juli 2020, seorang Peneliti Utama (Dr. Rostiana) di sebuah Litbang Kementan Bogor membalas WA saya: "..... kami sedang menghadapi badai Eukaliptus di tengah pandemi .....". Maknanya kira-kira, kantornya sedang 'glomat' memroduksi jamu herbal dan kalung eukaliptus yang sedang viral di media TV, koran dan dunia maya.

     Saya merasa perlu mengklarifikasi dari beliau sebagai 'orang dalam' Kementan, karena saya pernah bertemu langsung dengannya dan 'ngobrol' tentang prospek serai wangi dan lada di Bumi Silampari, beberapa bulan lalu. Beliau adalah pakar rempah dan fitofarmaka. Bahkan, beliau pernah ijin mengutip artikel saya di blog (www.andikatuan.net) perihal "Sejarah Lada Rawas Era 1800-an".

     Muasal kehebohan ini berawal dari acara Kementan: "Launching Antivirus Corona Berbahan Eucalyptus" pada 8 Mei 2020, yang dibumbui Sang Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) bahwa 'mampu membunuh 80-100% Covid-19 (Kompas, 7/7/2020). Beberapa kalangan politisi mulai mempolitisir. Litbang Depkes dan Farmakolog yang merasa lebih 'pas' berikhtiar soal antivirus-memirus merasa kalah gesit. Mungkin! Tapi, apa salahnya jika Kementan menginisiasi pencarian antivirus dari bahan alam? Toh urusan rempah dan obat di bawah kewenangan Kementan.

      Bumbu inilah yang bikin heboh nan viral, dan buru-buru 'diluruskan' oleh Kabanlitbang Kementan (Fadjry Djufri) bahwa produk yang berupa: jamu herbal, inhaler dan kalung eukaliptus itu, belum diuji praklinis (ke hewan), apatah lagi uji klinis (ke manusia) sebagai produk fitofarmaka anti Covid-19. "Baru tahapan registerasi hak paten di BPOM sebagai jamu herbal", katanya. Untuk memroduksi ketiga produk itu, Balitbang telah menggandeng PT. Eagle Indo Pharma sebagai mitra lisensi(Kompas, 6/7/2020).

     Tapi karena derasnya antusiasme psikologi massa untuk segera mengakhiri era korona, maka viralitas berita ini mengundang gelombang pro-kontra. Waket DPD-RI Sultan B. Najamuddin mengkritik tajam: ".... Kementan itu fokus sajalah ngurusi pangan ..... boleh saja mengembangkan kalung anti korona, asalkan jangan menggunakan APBN...", kira-kira begitu makna verbatimnya (Republika.co.id: 7/7/2020).

     Apa itu kalung sineol eukaliptus? Eukaliptus adalah jenis tumbuhan famili Myrtaceae yang konon berasal dari Tasmania-Australia. Ada 700 spesies, satu di antaranya (E. globulus atau Blue Gum) potensial mengandung zat antioksida (flavonoid) dan antiflamasi (tannin); terikat dalam minyak atsiri yang memiliki senyawa 1,8 eukaliptol atau yang lazim disebut seneol. Nah, virus korona itu terbagi dua: beta korona dan gamma korona. Si Covid ini termasuk beta korona yang tengah diuji Litbang Kementan. Jadi secara metodologis memang masih panjang tahapannya. Itu kata ahlinya.

     Material inilah yang diteliti oleh Litbang Pertanian dengan melibatkan 3 institusi: Balai Besar Veteriner, Balit Tanaman Rempah & Obat, dan Balai Besar Lit Pascapanen, dengan tahapan kerja ilmiah Nanoteknologi. Yakni teknologi canggih untuk memanipulasi material pada skala atomik dan molekuler.

      Materi super kecil ini, konon berdiameter 62-520 pikometer. Molekul hasil kombinasinya berukuran nanometer, yakni sepermilyar meter. Kita yang awam 'nanologi', tak perlu pusing membayangkan ini. He...he. Terlepas dari 'kemaharumitan' metodologis itu, saya mencoba memahami untuk menghargai ikhtiar Kementan dan para researchernya, dan berharap segera berkolaborasi dengan Litbang Depkes plus Perguruan Tinggi demi kemaslahatan ummat. Tak perlu heboh berebut antivirus dengan semangat ego sektoral, sementara ekonomi kerakyatan semakin berantakan!

  .  Ingat, rakyat kebanyakan hanya butuh: makan kenyang pagi-petang, hidup tidak tegang, beribadah khusyuk-tenang, wajah demokrasi tidak centang-perenang, pembegal-maling tidak lintang-pukang, pikiran tidak mengawang-awang, dan satu lagi Pemerintah jangan keseringan "ngasah parang". Allohua'lam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 8 Juli 2020

*)Blogger: www.andikatuan.net

Kamis, 31 Januari 2019

REVOLUSI SETETES GETAH PARA

Entah sejak kapan tak terlacak, tanaman karet adalah simbol ekonomi masyarakat Musirawas~Sumbagsel, bahkan seantero Andalas hingga Nusa Borneo.

Masyarakat Silampari bari, khususnya suku Musi Lembak yang menghuni Daerah Aliran Sungai Musi Uluan menyebut tanaman karet dengan istilah 'para'. Itulah nama aslinya ketika ditemukan seorang petani di pinggiran sungai Amazon yang bermuara di Samudera Atlantik, setelah meliuk~liuk melintasi lima negara: Brazilia, Peru, Kolombia, Ekuador dan Bolivia.

Komunitas Muarabeliti atau  suku Musi Uluan dan Lembak pada umumnya, yg mukim di kawasan eks Marga Proatin Lima, Sindang Kelingi Ilir, Batu Kuning Lakitan Ulu Terawas, Selangit, Tiang Pungpung Kepungut, Proatin XI hingga sepanjang Musi Ilir  tidak menyebut 'balam' atau 'kahet', sebagaimana masyarakat Sarolangun~Rawas atau Pasemah~Pagaralam. 

Adalah Charles Goodyear ~saudagar Massachusetts~ secara tak sengaja menjatuhkan adukan lateks para yang dicampur belerang ke tungku panas. Ajaib..  Tak meleleh..!  Keajaiban di tahun 1839 itu mengakhiri belenggu keterbatasan fungsi lateks dan memasuki babak baru revolusi industri~ekonomi dunia. 

Batang para memancarkan lateks putih sejenis polimer yang disebut 'elastomer'. Tanpa campuran sulfur belerang, lateks akan lembek pada temperatur tinggi, dan kaku~regas pada suhu rendah; dan mudah terurai oleh mikrobia dalam hitungan tahun.

Proses vulkanisasi Goodyear yang mengaduk lateks plus belerang pada suhu tinggi, akan mengikat rantai polimer yang panjang~berangkai dengan rantai pendek atom sulfur; dan membentuk gugus molekul tunggal raksasa yang sangat kuat~regas namun elastis.

Ban kendaraan adalah contohnya. Didesain bersifat lentur~ elastis namun tahan aus hingga ribuan kilometer berputar. Bahkan untuk kendaraan mewah para milyarder sekaliber Raja Salman atau Bill Gates masih dilapisi material anti ozon dan ultra violet.

Namun ternyata, buangan limbah ban kendaraan dan semua sampah polimer, kelak menjadi tantangan "inovasi lingkungan" karena sulit diurai oleh mikrobia hingga jutaan tahun. Yang berbahaya, bakaran ban kendaraan dan semua limbah polimer akan melepas karbon dan jelaga~ pekat yang potensial mencemari atmosfir hingga lapis stratosfir.

*) Penulis adalah peminat  sejarah dan budaya lokal. [Maret 3, 2017]





Rabu, 05 Oktober 2016

JEDOL, KAVITASI & JALAN BERLUBANG


 Oleh : Hendy UP

Jikalau hasil riset Mas Pudji tentang kemungkinan penggunaan
'jedol para' (slab getah karet) untuk pengganti aspal segera dilirik Pemerintah,
barangkali jalan-jalan aspal berlobang di Musi Rawas dan
Lubuklinggau tidak semakin meluas-melebar,
dan anggaran pembangunan aspalisasi jalan bisa agak ditekan.

 Adalah seorang periset dari Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir
Badan Tenaga Atom, mas Pudji Untoro, telah berinovasi sejak tahun 2006 untuk mencari alternatif pengganti aspal yang semakin langka. Dengan kreativitasnya, ia menggunakan tranducer yakni komponen keramik yang menghasilkan getaran mekanik dan mengeluarkan frekuensi ultrasonik ketika mendapatkan aliran listrik. Alat yang diimpor dari Cina ini banyak ditemui di pasar dengan harga murah, yakni Rp 200 ribuan per unit. Alat ini bisa dibuat portabel dengan dilengkapi generator, sehingga mudah dibawa ke lapangan.
     Bahan pengganti aspal tersebut terdiri dari getah karet, semen dan pasir dengan formulasi tertentu. Mas Pudji si periset yang diwawancarai wartawan Kompas, belum memberi nama hasil temuannya; tanpa bermaksud mendahului penemunya, untuk di Musi Rawas dan Lubuklinggau bisa saja dinamai ”Asdol” akronim dari aspal jedol. Konon, di daerah yang sulit memperoleh getah karet, bisa digantikan dengan limbah ban bekas dengan teknologi devulkanisasi. Akan tetapi di Musi Rawas, persoalan bahan baku jedol lebih mudah memperolehnya.

Gelembung Kavitasi

      Alat tranducer yang menyalurkan getaran ultrasonik dengan frekuensi 20-100 kh ke 4 liter getah karet yang baru disadap akan menghasilkan gelembung kavitasi. Gelembung mikro kavitasi tersebut bersuhu 2 ribu derajat celcius, dan akan langsung pecah ketika mendapat pendinginan mendadak dari cairan getah karet.  Dalam waktu 10 menit, 4 liter getah karet yang dialiri frekuensi ultrasonik 1 unit tranducer belum berubah panasnya, akan tetapi kualitas daya rekatnya sudah berubah. Dan pada saat inilah material pasir dan semen siap dicampurkan dengan tambahan zat aditif khusus yang sedang dipatenkan oleh Mas Pudji.

Peluang dan Tantangan  

     Bagi inovator di Musi Rawas dan Lubuklinggau, peluang menindaklanjuti kreativitas Mas Pudji sangat terbuka. Para mahasiswa dan para bisnisman bisa menyongsong teknologi ini dengan lebih serius mencari tahu dari sumbernya. Soal alat teknologi bisa dicari, bahkan kapasitas tranducer asli yang hanya mampu untuk 4 liter getah karet bisa dimodifikasi lebih besar. Bahan baku getah karet sangat melimpah-ruah, terhampar dari Rantauserik Muarabeliti hingga Sungaijernih di Rawasulu.
     Jika kita hitung secara mencongak saja,  kebun karet di Musi Rawas dan Kota Lubuklinggau seluas 200 ribu hektar dengan produksi lateks 10 liter saja per hektar per hari, maka bahan baku tentu bukan hal yang jlimet-jlimet amat.  Akan tetapi, dengan rendah hati Mas Pudji mengakui bahwa teknologi tersebut baru diujicoba di jalan aspal Kompleks Puspitek Serpong dan lingkungan RT-nya. Dan sudah dua tahun lebih jalan aspal berlobang yang ditampal asdol Mas Pudji ternyata belum rusak.
      Betapa pun masih prematurnya hasil riset Mas Pudji, akan tetapi secara keilmuan pasti hal itu sangat prospektif terutama bagi daerah-daerah penghasil karet. Bagi Pemerintah Daerah, yang anggaran pembangunannya masih cupet, tentulah bisa lebih diefisienkan, paling tidak anggaran rutin untuk tampal-menampal jalan berlubang tidak tersedot oleh belanja modal aspal yang semakin mahal; langka pula!

                   (* Penulis adalah pemerhati inovasi teknologi).

                         Artikel Opini Mureks, 23 Juli 2010)

Sabtu, 31 Januari 2015

BUKIT KELAM: HULU MUSI & KELINGI

    Mungkin banyak orang tak tahu bahwa hulu sungai Musi dan Kelingi ternyata bersumber dari gundukan bukit yang sama, yakni Bukit Kelam di utara Kota Curup. Jika Anda berkendara dari Curup menuju Muaraaman Lebong, di kawasan wisata Tabarenah, terbentanglah jembatan yang cukup panjang. Itulah jembatan sungai Musi. Sedangkan hulu sungai Kelingi, adalah tumpahan air Danau Mas Bestari yang menampung aliran sungai Jelatang, Pengajin, Lerak dan sungai Danau yang mengalir dari sisi timur Bukit Kelam.

  Ketika saya Dalam mengumpulan bahan penyusunan buku “Atlas Eks Onder Afdeeling Moesi Hoeloe: Sejarah dan Potensi Pengembangan Budaya dan Sumberdaya”, saya melacak peta kuno Belanda tahun 1926 yang me-refer map as Hindie (peta Belanda) tahun 1060 dan direvisi tahun 1943 dan 1945. Walaupun dicetak tahun 1945, dibandingkan dengan peta-peta baru produksi JANTOP TNI-AD 1976 atau Bakorsurtanal, peta zaman Belanda tersebut lebih detail dan jelas, walaupun untuk membacanya perlu bantuan kamus Belanda-Indonesia karya Toean A.M. Hasjim. Peta itu tampaknya lebih untuk menunjukkan teritori Residentie Palembang dan Benkoelen, yakni batas wilayah Onder Afdeeling Moesi Hoeloe dan Redjang tahun 1926.

      Bukit Kelam setinggi lk. 1.959 meter dpl berada di hamparan pegunungan anak Bukit Barisan, yang menyembul di kawasan utara kota Curup Kabupaten Rejanglebong. Ada tiga bukit berbeda yang disebut masyarakat sebagai Bukit Kelam, yakni Bukit Kelam Barat, Tengah dan Timur. Di utara Bukit Kelam ke arah Kabupaten Lebong dan Kepahiang terdapat Bukit Hulusimpang, Bukit Basa, Bukit Pasu, Bukit Condong, Bukit Biring, Bukit Lalang, Pegunungan Beus dll. Itulah gugusan pegunungan yang mengalirkan anak-anak sungai Musi, yakni: Air Dendan, Air Betung, Air Duku, Air Simpang dll.

      Sedangkan dari sisi timur gugusan Bukit Kelam, mengalir tiga sungai agak besar: paling utara adalah sungai Selat, yang miliuk-liuk hingga di Desa Belumai - Tanjungsanai dan bermuara di Watas Lubuklinggau terjun ke sungai Kelingi. Di selatannya mengalir sungai Apo, yang bermuara di sungai Kelingi di Desa Airapo. Dan di sisi paling selatan, di bawah rembesan Danau Mas Bestari mengalirlah hulu sungai Kelingi. Dibandingkan sungai Beliti, sungai Kelingi ternyata lebih panjang mengular-meliuk melintasi desa-desa sepanjang jalan utama lintas Kepalacurup – Lubuklinggau- Muarakelingi dan akhirnya bertemu kembali dengan “saudara tuanya” yakni sungai Musi di Muarakelingi.

       Sungai Musi yang memiliki panjang lebih kurang 750 km, melintasi dua provinsi dan 9 wilayah kabupaten/kota hingga bermuara di Laut Jawa. Ketujuh kabupaten/kota itu adalah: Kabupaten Rejanglebong, Kepahiang, PALI, Empatlawang, Musirawas, Muratara (di Muararawas), Musibanyuasin, Banyuasin dan Kota Palembang. Dan sejarah kuno mencatat, posisi strategis sungai Musi dan kesembilan anak sungainya, dahulu kala, adalah sebagai jalur transportasi utama dari pusat pemerintahan dan perdagangan di Palembang ke wilayah Musi Uluan di zaman Sriwijaya, Kesultanan Palembang, Penjajahan Belanda dan Jepang hingga pascakemerdekaan RI.

   Sungai Musi adalah saksi bisu lalu-lintas perdagangan karet, kopi, batu bara dan hasil bumi lainnya di zaman kerajaan hingga pascakemerdekaan. Sungai Musi jualah yang menjadi saksi sejarah pelarian petinggi Kerajaan Sriwijaya dan loyalisnya ketika dikalahkan oleh tentara (perompak) Cina, Majapahit, Mataram, dari pusat pemerintahan Palembang ke daerah Musi Uluan.

     Di zaman otonomi daerah sekarang ini, kelestarian sumber air dan keselamatan daerah aliran sungai (DAS) Musi dan anak-anaknya seperti sungai Kelingi dan Beliti sangat dipengaruhi oleh keutuhan kawasan hulu Musi yang berada di Kabupaten Rejanglebong dan Kepahiang, yang notabene bukan wilayah kendali Pemerintah Kota Lubuklinggau dan Musirawas serta kabupaten lain di hilirnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa di masa yang akan datang sangat diperlukan kerjasama multi-partied antarpemerintahan yang dikoordinasikan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya air dan dampak lainnya seperti banjir dan sedimentasi sungai Musi.

  Silang sengketa antara Pemerintah Kota Lubuklinggau dengan Pemerintah Rejanglebong tentang pengelolaan sumber air PDAM bebeapa waktu yan lalu, adalah isyarat penting akan pentingnya kerjasama dwi-partied antarkedua pemerinahan. Lagi-lagi kearifan dan kebestarian kepala daerah untuk melihat masa depan akan ancaman bencana alam adalah tanggung jawab moral yang menjadi tolok-ukur sebagai pemimpin-negarawan; bukan pemimpin dari usungan partai politik an sich! Itulah ciri azasi pemimpin yang amanah sebagai penyelamat umat generasi bangsa di zaman kemudian. ***)