Selasa, 21 Juli 2020

GENERASI PENDOBRAK

GENERASI: PENDOBRAK, PENERUS & PENIKMAT

Oleh: Hendy UP *)

     Lagi-lagi, Bung Udin Muarabeliti si milenial nakal membuat ulah-aneh: bicara tentang psiko-antropologi. Padahal ia hanyalah tukang 'motong-para' yang harga jedolnya (slab) masih sangat parah. Bergerak antara 6.000 - 8.000 perak per kilo.

     Katanya, dalam kajian karakteristik generasi, khususnya ihwal 'elan-vital' kehidupan sosial kultur Indonesia, terbagi menjadi 3 karakter generasi: pendobrak, penerus dan penikmat.

      Sebagaimana lazimnya ilmu sosial, selalu ada 'status antara' atau kombinasi karakter; tidak hitam putih. Misalnya: agak berkarakter penerus tetapi agak-agak penikmat. Si Udin barangkali tidak sedang bicara kultur Indonesia. Terlalu luas. Mungkin hanya sebatas subkultur Silampari Bari wilayah Sumbagsel yang diwariskan ke generasi kini.

     Tetapi kini ada cabang ilmu spesialisasi baru: psiko-antropologi. Yakni ilmu yang mengkaji perkembangan manusia dan enkulturasi dengan kelompok budaya tertentu yang terkait dengan pengalaman sejarah dan bahasanya. Inilah yang melahirkan konsep kognisi, emosi dan persepsi etnologis yang kelak membentuk karakteristik generasi di wilayah kultur tertentu.

      Sebenarnya, sedari dulu masyarakat Nusantara sudah memiliki sejarah hitam karakter generasi: antara lain akibat benturan 3 jenis karakter dalam satu jalur nukleus-geneologis. Dua beradik kandung Anak-Raja yang berbeda karakter: penerus dan penikmat, niscaya potensial berbenturan pada zuriyatnya, bahkan bisa pada dirinya jika tanpa basis agama yang kuat.

     Sebagai teladan bari: Prabu Kameswara adalah founder kerajaan Kahuripan kuno. Ia adalah sang pendobrak. Salah satu anaknya, yang bernama Prabu Airlangga (1.019-1.042 M) adalah generasi penerus yang sukses dan bijak. Ketika Airlangga menua, demi kedamaian turunannya yang dua orang, maka kerajaan Kahuripan dibagi dua: Jenggala (kelak menjadi Singosari) dan Panjalu (kelak menjadi Kediri).

     Tetapi apa lacur? Kedua jalur dzuriyatnya berbeda karakter dan berseteru hingga babak-belur dan saling memutuskan silaturakhim. Setelah perang sedarah beberapa generasi, alhasil pertumpahan darah itu menyatukan kembali eks wilayah Kahuripan yang berdarah-darah, dan kemudian berubah menjadi Kerajaan Kediri dengan Raja Agungnya Prabu Jayabaya (1.042-1.222). Itu adalah salah satu contoh: betapa perbedaan karakter generasi yang sulit didamaikan ternyata mengelamkan peradaban.

     Contoh generasi pendobrak di Musirawas antara lain adalah: para Pesirah/Kepala Marga di awal pembentukan marga. Setidaknya ada 18 Marga asli di wilayah eks Onderafdeeling Musi Ulu Rawas yang kemudian bubar, akibat lahirnya Permendagri sebagai derivasi atas UU No. 5 Thn 1979 tentang Desa. Era kemargaan berakhir pada 1 April 1983. Siapakah generasi PENERUS dan PENIKMAT-nya pasca bubarnya Marga? Anda bisa menginventarisir lebih lengkap di sekitar Anda. Ini penting sebagai ibroh generasi milenial.

      Contoh lagi, generasi Pendobrak di era Kolonisasi Toegoemuljo mungkin mereka para transmigran pertama di tahun 1937-1940, yang hanya menempati 20 desa sebelum NKRI terbentuk. Mereka membuka hutan belantara demi kemaslahatan anak-dzuriyatnya. Beberapa di antara mereka berhasil! Tapi selalu saja mewarisi dua jenis generasi yang dominan: penerus dan penikmat!

     Yang mengerikan, di era digital-milenial kini, jika orangtua tak berhati-hati membangun karakter bijak lalu menyekolahkan anaknya ke sekolah sekuler, maka orangtua bagaikan memelihara anak MACAN di dalam rumah sendiri. Siap-siaplah kita diterkam tengah dalu! Allohua'alam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 20 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan.net

TANTANGAN KORAN LOKAL

TANTANGAN KORAN LOKAL DI ERA MILENIAL

Oleh: Hendy UP *)

     Mengamati berita Lipos Online (Senin 20 Juli 2020) tentang acara Gathering Tim Linggau Pos (LP) dan Linggau Pos Online (LPO), ada metafora tergantung dari statement GM-LP Budi Santoso. Rombongan sedang berada di perbukitan Danau Mas Harun Bastari. "Kita sedang berada di wisata perbukitan, maka lihatlah ke bawah agar mengetahui apa yang harus kita lakukan ke depan". Begitu kira-kira makna verbatimnya.

      Sebagai peminat bahasa dan pemerhati koran lokal, saya menangkap ada semiotika tantangan dan harapan dari pelaku bisnis koran (kertas). Ada semacam 'kegalauan' akan nasib koran kertas. Di Ultah Mureks ke-12 tempo hari, saya menulis artikel bersambung tentang ideologi dan bisnis media lokal di era pascakorona. Ada pesaing baru hadir: medsos!

     Kasus 'Koin Prita' yang dikabulkan MA, mengukuhkan medsos sebagai pilar demokrasi kelima. Sedangkan pers konvensional tetap diakui para ahli sebagai pilar ke-4. Bisakah kelak berubah? Bisa. Jika koran tidak lagi peduli menempatkan bisnis tanpa ideologi.

     Tidak hanya itu, melimpahnya informasi hingga dusun-teluk, ternyata mengancam eksistensi koran dan TV. Kendati pun, ruahnya info medsos itu lebih banyak sumpah-serapah, ketimbang berita yang patut dipercaya. Konon, di medsos itu lebih banyak 'ghibah' dan 'pamer-diri' ketimbang aspek edukasi dan literasi.

      Saya sungguh prihatin terhadap koran lokal yang harus berperang melawan 'makhluk medsos' yang liar nirkendali, delirium, merampok jam produktif masyarakat hingga lupa diri. Bahkan, segmen masyarakat tertentu (terpelajar?) mirip alumni RS Jiwa yang kehabisan stok valium jika ketinggalan ponsel atau baterainya ngedrop.

      Jika koran lokal (kertas) ingin bertahan hidup di "ERA NDAK KARUAN PASCAKORONA", maka harus tetap menggenggam ideologi pers dalam keseimbangan bisnis. Ideologi pers yang utama adalah edukasi dan literasi. Pengelola industri koran wajib cerdas mengelola informasi yang bermutu: nirhoaks, nirsara, bernilai moral-edukatif, santun-humanis, tegas dan teruji validitas/kredibilitas data yang dipublish. Kecepatan waktu siar menjadi pemicu kredibilitas koran.

     Prinsip dasar "bisnis" koran niscaya harus jalan untuk mengelola kehidupan: demokrasi, perusahaan dan karyawan. Jika tiras koran Lipos antara 5-9 ribu eksemplar, harga koran sekian, maka untungnya mudah dikalikan. Income utama koran adalah jasa iklan, pungutan langganan tetap dan jual eceran. Berapa totalnya, mudah dikalkulasi!

     Sekadar kritik, iklan di Lipos Online sungguh variatif. Tapi saya menyangkan! Prihatin berat: kok ada iklan seronok yang tak santun. Pornografis! Subhanalloh!

     Tapi ingat, di era teknologi analog- digital kini dan kelak, informasi akan cenderung gratis. Maka, para penjual informasi non-virtual akan kehilangan pelanggan. Jadi jasa iklan akan lebih dominan asalkan banyak pengunjung yang 'like and share' dan lamanya durasi.

     Jangan bermimpi Lipos akan mampu bersaing dengan koran nasional yg semakin mengglobal; maka perbanyaklah konten lokal yang dikemas secara cerdas. Butuh SDM wartawan, redaktur dan news editor yang militan dan anti 'kopipaste' kebablasan. Litbang Lipos harus diperkuat, data updating tak boleh henti dan rajin sharing dengan tokoh lokal. Bila perlu sediakan RUBRIK EDITORIAL yang menunjukkan idealisme dan entitas ideologi Lipos.

     Yang perlu dipikirkan petinggi Lipos kini: menyusun desain bisnis lokal model milenial yang memungkinkan MERGER ASET KORPORASI antara teknologi ANALOG dengan DIGITAL. Bahasa lugasnya: GABUNGKAN MANAJEMEN Mureks, LinggauPos, Silampari Post dan TVSilampari.

     Saya sangat yakin, ide dan gagasan ini sudah ada dilaci Bung Dahlan Iskan. Tapi ibarat eskalasi pandemi Korona, perlu transisi NEW NORMAL sembari mengamati geriyak Kabinet Jokowi yang agak mutung pascarapat "kemarahan" bulan lalu. Allohua'lam bishshowab! [*]

Muarabeliti, 20 Juli 2020

*) Blogger: www.andikatuan..net