Jumat, 11 November 2022

JEJAK PESIRAH & MARGA DI SUMBAGSEL [1]

Oleh: Hendy UP *) 

     Generasi milenial Sumatera Selatan kini, niscaya mengenal kata 'pesirah' sebagai produk jasa Bank Sumsel-Babel dalam bentuk tabungan. Padahal, kata 'pesirah'  itu sejatinya diadopsi dari bahasa asli daerah Sumbagsel yang bermakna pejabat kepala Marga sekaligus ketua adat di wilayah Marga tersebut. 
     Kata 'marga' sendiri dalam KBBI memiliki banyak makna. Dalam artikel ini, kata  marga dimaknai sebagai sistem pemerintahan otonom   di tingkat pedusunan yang awalnya diikat secara genealogis (kekerabatan) dan/atau teritorial (wilayah geografis) dengan menjunjung tinggi norma adat (berbasis syariat agama Islam) serta melestarikan  tutur bahasa lokal (sukubangsa) yang berasaskan Undang- undang Simbur Cahaya. 
     Namun demikian, pasca-intervensi Kolonial Belanda, pemahaman tentang sistem pemerintahan Marga mengalami pergeseran, sehingga seolah-olah Marga itu hanya  sebuah entitas administratif pemerintahan an sich di tingkat Onderdistrik di bawah pengawasan pejabat Belanda terendah  yakni Controleur. 
      Kapan sistem Pemerintahan Marga dimulai? 
Belum diketemukan secara pasti kapan sistem pemerintahan Marga dimulai. Arlan Ismail (2004) dalam bukunya "Marga di Bumi Sriwijaya: Sistem Pemerintahan, Kesatuan Masyarakat Hukum Daerah Uluan Sumatera Selatan", tidak menuliskan secara pasti kapan sistem Marga mulai terbentuk. 
      Ada sementara dugaan, bahwa sistem Pemerintahan Marga dalam bentuknya yang sederhana telah ada  jauh sebelum era Kesultanan Palembang (1629-1825), terutama di wilayah Uluan Palembang. Setelah era Kesultanan Palembang, lembaga pemerintahan adat  asli  tersebut dipayungi dan berlandaskan UU Simbur Cahaya. 
      Namun demikian, kodifikasi hukum adat Simbur Cahaya mulai dilaksanakan oleh Kol. De Brauw pada 1854 atas perintah Residen Palembang Van Den Bosche. 
     Pada tahun 1865 mulai dilakukan pencetakan kodifikasi UU Simbur Cahaya dengan aksara Arab-Melayu (Arab pegon),  terdiri dari 5 bab dengan 178 pasal,  dengan rincian sebagai berikut: 
[1] Bab I, terdiri 32 pasal, tentang Adat  Bujang-Gadis dan Kawin (Verloving Huwelijh, Echtscheiding); 
[2] Bab II, terdiri 29 pasal, tentang  Aturan  Marga (Marga Verordeningen);
[3]  Bab III, terdiri 34 pasal, tentang Aturan Dusun dan Berladang (Doesoen en Landbouw Verordeningen); 
[4] Bab IV, terdiri 19 pasal, tentang  Aturan  Kaum (Gaestelijke Verordeningen);
[5] Bab V, terdiri 64 pasal, tentang Adat  Perhukuman (Strafwetten).
    Seiring dengan dinamika kepentingan penguasa Kesultanan Palembang dan intervensi Kolonial Belanda dari era VOC hingga  Pemerintah Hindia Belanda, UU Simbur Cahaya mengalami beberapa kali revisi. Perubahan terakhir adalah atas putusan dan permusyawaratan utusan para Kepala Anak Negeri di Palembang pada tanggal 2 ~ 6 September 1927. 
     Menurut K. Wantjik Saleh, S.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri Palembang yang mengantarkan  edisi baru per 5 Februari 1970 (terbitan Badan Penerbit Suara Rakjat, dicetak NV Meru Palembang), bahwa UU Simbur Cahaya adalah merupakan "Hukum Adat Tertulis" karya Sinuhun Sesuhunan Palembang bersama para menteri dan alim ulama di tahun 1630-an. [Bersambung... ]

*) Muarabeliti, Hari Pahlawan 2022