Rabu, 05 Oktober 2016

JEDOL, KAVITASI & JALAN BERLUBANG


 Oleh : Hendy UP

Jikalau hasil riset Mas Pudji tentang kemungkinan penggunaan
'jedol para' (slab getah karet) untuk pengganti aspal segera dilirik Pemerintah,
barangkali jalan-jalan aspal berlobang di Musi Rawas dan
Lubuklinggau tidak semakin meluas-melebar,
dan anggaran pembangunan aspalisasi jalan bisa agak ditekan.

 Adalah seorang periset dari Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir
Badan Tenaga Atom, mas Pudji Untoro, telah berinovasi sejak tahun 2006 untuk mencari alternatif pengganti aspal yang semakin langka. Dengan kreativitasnya, ia menggunakan tranducer yakni komponen keramik yang menghasilkan getaran mekanik dan mengeluarkan frekuensi ultrasonik ketika mendapatkan aliran listrik. Alat yang diimpor dari Cina ini banyak ditemui di pasar dengan harga murah, yakni Rp 200 ribuan per unit. Alat ini bisa dibuat portabel dengan dilengkapi generator, sehingga mudah dibawa ke lapangan.
     Bahan pengganti aspal tersebut terdiri dari getah karet, semen dan pasir dengan formulasi tertentu. Mas Pudji si periset yang diwawancarai wartawan Kompas, belum memberi nama hasil temuannya; tanpa bermaksud mendahului penemunya, untuk di Musi Rawas dan Lubuklinggau bisa saja dinamai ”Asdol” akronim dari aspal jedol. Konon, di daerah yang sulit memperoleh getah karet, bisa digantikan dengan limbah ban bekas dengan teknologi devulkanisasi. Akan tetapi di Musi Rawas, persoalan bahan baku jedol lebih mudah memperolehnya.

Gelembung Kavitasi

      Alat tranducer yang menyalurkan getaran ultrasonik dengan frekuensi 20-100 kh ke 4 liter getah karet yang baru disadap akan menghasilkan gelembung kavitasi. Gelembung mikro kavitasi tersebut bersuhu 2 ribu derajat celcius, dan akan langsung pecah ketika mendapat pendinginan mendadak dari cairan getah karet.  Dalam waktu 10 menit, 4 liter getah karet yang dialiri frekuensi ultrasonik 1 unit tranducer belum berubah panasnya, akan tetapi kualitas daya rekatnya sudah berubah. Dan pada saat inilah material pasir dan semen siap dicampurkan dengan tambahan zat aditif khusus yang sedang dipatenkan oleh Mas Pudji.

Peluang dan Tantangan  

     Bagi inovator di Musi Rawas dan Lubuklinggau, peluang menindaklanjuti kreativitas Mas Pudji sangat terbuka. Para mahasiswa dan para bisnisman bisa menyongsong teknologi ini dengan lebih serius mencari tahu dari sumbernya. Soal alat teknologi bisa dicari, bahkan kapasitas tranducer asli yang hanya mampu untuk 4 liter getah karet bisa dimodifikasi lebih besar. Bahan baku getah karet sangat melimpah-ruah, terhampar dari Rantauserik Muarabeliti hingga Sungaijernih di Rawasulu.
     Jika kita hitung secara mencongak saja,  kebun karet di Musi Rawas dan Kota Lubuklinggau seluas 200 ribu hektar dengan produksi lateks 10 liter saja per hektar per hari, maka bahan baku tentu bukan hal yang jlimet-jlimet amat.  Akan tetapi, dengan rendah hati Mas Pudji mengakui bahwa teknologi tersebut baru diujicoba di jalan aspal Kompleks Puspitek Serpong dan lingkungan RT-nya. Dan sudah dua tahun lebih jalan aspal berlobang yang ditampal asdol Mas Pudji ternyata belum rusak.
      Betapa pun masih prematurnya hasil riset Mas Pudji, akan tetapi secara keilmuan pasti hal itu sangat prospektif terutama bagi daerah-daerah penghasil karet. Bagi Pemerintah Daerah, yang anggaran pembangunannya masih cupet, tentulah bisa lebih diefisienkan, paling tidak anggaran rutin untuk tampal-menampal jalan berlubang tidak tersedot oleh belanja modal aspal yang semakin mahal; langka pula!

                   (* Penulis adalah pemerhati inovasi teknologi).

                         Artikel Opini Mureks, 23 Juli 2010)