Senin, 26 September 2016

MIMPI BERPIKIR ala BUPATI MUSIRAWAS

Oleh: Hendy UP

“Setiap kali pikiran saya dijejali isu aktual yang intens didiskusikan oleh masyarakat dan birokrat, ditayangkan TV berulang-ulang atau dihebohkan oleh dunia maya, saya sering kali ditimpa mimpi seolah-olah sedang berada di pusaran isu itu. Khawatir ikut pusing berputar-putar seperti penderita vertigo, lebih baik saya minggir dan bersiap tidur untuk bermimpi sembari berpikir”.

Mungkin karena primbon mimpiku sedang intens menyoroti isu politik-lokal,  malam Jumat Kliwon kemarin aku bermimpi jadi Bupati Mura. Sangat panjang mimpiku ini. Jika dikonversi ke satuan waktu, kira-kira berjangka 5 atau 10 tahun. Anehnya, mimpiku ini sangat detail dan terang, terjilid rapi dan bahkan burjudul-judul pula.

Pemikiran produk mimpiku kali ini adalah bersifat inspiratif-tendensius, yang bermakna sebagai sumber inspirasi bagi siapa pun. Atau analisis dangkal sekilas. Bisa juga sebagai sebuah sintesis aneka persoalan yang berkelit-kelindan; dan  sering kali gagal dihadirkan oleh Sekda, para Asisten, Staf Ahli Bupati atau bahkan para kepala SKPD. Maklumlah, mereka para birokrat itu senantiasa sibuk membangun akuntabilitas dan transparansi anggaran demi menghindari area yang “mengerikan” di balik kursi jabatannya.

Dalam mimpiku kali ini, begini.  Sebagai bupati, aku berpikir  jujur, bahwa rentang waktu satu dua tahun terakhir ini fisik dan psikisku sangat lelah. Semenjak memutuskan mencalonkan diri, mengundurkan diri dari PNS, memainkan lobi-lobi politik untuk meraih dukungan Parpol hingga mencari pasangan yang sepaham dan comfortable, sungguh amat sangat menguras pikiran. Dan itu bukanlah hal yang enteng, karena pada galibnya area politik dan hiruk-pikuknya jauh dari basis habitatku.

Kompleksitas kelelahan itu sungguh unidentifying dan bisa mendatangkan stres. Untungnya semenjak kecil aku dididik di lingkungan religius. Aku yakin betul, dzikir dan   shalatkulah yang senantiasa menyehatkan dan menyegarkan badan dan pikiran. Nasib seseorang ditentukan oleh kerja keras dan doa yang ikhlas. Aku yakin betul. Sejujurnya, aku banyak belajar strategi dari seorang Ridwan Mukti yang di luar dugaan, mampu memenangkan Pilkada 2005 lalu hampir tanpa dukungan birokrasi. Dalam kontestasi politik barusan,   keriuh-rendahan hari-hari pra dan pasca-Pilkada kunikmati sebagai pendewasaan diri untuk menjadi lebih matang. Juga sebagai wahana pendewasaan publik dalam belajar berpolitik. Bukankah itu substansi demokrasi Pancasila yang sebenarnya  lebih menjadi tanggung jawab politisi ketimbang birokrasi? Entahlah!

Kadang timbul rasa benci terhadap sekelompok orang, sekelompok masyarakat yang telah kubantu. Bahkan sekelompok teman dan anak-buah yang ternyata berbalik arah secara diam-diam atau terang-terangan. Aku cukup maklum, dan itulah salah satu item dari definisi politik-praktis. Aku berniat, dengan bismillah, akan berfikir sebagai negarawan. Mengayomi dan memperjuangkan nasib dan kesejahteraan warga Musi Rawas. Siapa pun mereka! Untuk itu, langkah pertama adalah melupakan dan melacikan daftar perolehan suara per TPS per desa per kecamatan agar tidak mengganggu ketulusan pengabdianku sesuai sumpah jabatan. Ini akan terasa sulit, tapi pasti aku bisa. Setidaknya secara bertahap.  Memelihara jaring-kemitraan dengan Tim Sukses akan kueratkan secara proposional dan profesional tanpa mengganggu keadilan dalam mengalokasikan sektor pembangunan wilayah. Hal ini demi kelanggengan program pembangunan Musi Rawas hingga 10 tahun ke depan. Insya Allah.

Dan seluruh kelelahan itu kini berbuah kebahagiaan, kedamaian dan tanggung jawab, begitu aku dilantik sebagai Bupati. Aku akan selalu berdoa, kiranya jabatanku ini akan memperluas ladang amal saleh dalam geriak hidupku, demi menyibakkan jalan menuju khusnul khotimah. Ini akan sangat menantang, di balik besarnya tantangan hawa nafsu syetan dan komplotannya.

Udara segar kawasan Margamulya pagi ini menyumbang ketenangan luar biasa. Shalat dan shalawatku subuh tadi sungguh nikmat rasanya untuk mengawali hari pertamaku sebagai ‘raja’ Musi Rawas. Tiba-tiba aku teringat nada tekanan Gubernur pada saat pelantikan. “…. Bupati dan Wakil Bupati harus mampu menjaga kekompakan untuk menunaikan janji-janji politik yang kalian ucapkan saat kampanye. Ingat itu! Dan banyak-banyaklah terjun ke masyarakat, ke lapangan. Tidak hanya menerima laporan para kepala SKPD dan Kades, karena sering kali hanya enak dibaca tetapi menyimpan bias yang menyesatkan…..”.

Dari meja makan, sekilas kulihat tumpukan berkas di meja kerja . Sebagai pegawai kawakan berpuluh-puluh tahun, rasanya hafal betul ragam isi dokumen itu. Sering kali aku gemes dengan para Asisten dan Sekda yang hanya menulis disposisi: “Dinaikkan untuk ditandatangani. Atau, Dinaikkan dan telah sesuai aturan. Atau, mohon petunjuk Bapak! Dan kalimat-kalimat standar disposisi yang bisa ditulis pegawai honorer. Jarang sekali disposisi Asisten atau Sekda yang menunjukkan kualifikasi pegawai golongan 4 layaknya sosok pejabat senior dengan kapasitas intelektual-profesional yang mumpuni. Aku ingin, disposisi itu menunjukkan rujukan  sejumlah aturan sebagai guide  prosedural yang bersifat taktis-operasional.

Tepat jam enam pagi, kupanggil ajudan dan sopir sembari menelpon Asisten II, Kadis PU-BM, Kadis PU-CK, Kepala Bappeda, Kadis Hubkominfo dan Kabag Kesra. Tak lupa, ku sms Bu Wabup agar memimpin apel pagi di halaman Pemda. Mobil meluncur ke arah Muarabeliti. Di  perbatasan kota, aku berhenti dan parkir di bawah gapura batas kota sambil menunggu bawahanku yang pasti kelabakan demi mendapat perintah mendadak di hari pertama bupati baru. Yang pertama muncul adalah Kepala Bappeda yang selalu siap graaak menerima perintah apa pun; disusul Kadishub, Kadis PU-BM dan PU-CK serta Kabag Kesra yang terlihat  kurang bergairah dan tampak agak jenuh.

Di bawah gapura, kuinstruksikan agar segera berkoordinasi dengan provinsi untuk proyek pelebaran jalan Lubukkupang-Muarabeliti. Aku sudah menerima sms, mungkin dari karyawan Pemda bahwa sejak diterapkannya finger print, jalan raya Muarabeliti pada jam berangkat dan pulang kantor sungguh sangat sibuk dan membahayakan pengendara mobil dan motor.  Akan lebih mengerikan jika berbarengan dengan masa mudik lebaran kelak.

Di tikungan maut Talangpuyuh yang pernah memakan korban seorang anggota DPRD versus PNS Peternakan, sebaiknya segera dilebarkan, diluruskan dan bikin dua jalur.  Menurut informasi, lokasi sepanjang pelurusan jalan itu hanya dimiliki oleh tiga orang. Ganti-untungnya bisa dikompromikan, dan bila perlu menggunakan UU Pembebasan Lahan yang baru karena jalan Lintas Tengah Sumatera ini berstatus jalan negara. Juga di Simpang Makam Pahlawan menuju Perumnas CPK dan  di depan SMA 2 Muarabeliti, agar didisain untuk pengamanan anak sekolah dan pegawai yang mengambil jalan shortcut menuju kawasan perkantoran Pemda. Juga jalan di lingkar Bundaran Polres yang bergelombang harus segera dimuluskan karena sering menghambat kendaraan dari arah Palembang.

Untuk menghindari kemacetan dan keruwetan di Simpang Pasarmuarabeliti, kuinstruksikan agar segera membangun jalan alternatif dari Bundaran AC ke Remayu yang telah dirintis sejak tujuh tahun lalu. Seingatanku DED jembatan itu telah disusun bersamaan dengan Jembatan Muarakati menuju Durianremuk pada tahun 2007 yang lalu.  Kemudian, dengan tertundanya pembangunan jalan dari Bundaran AC – Kampung Bali - Satan – Ekamarga menyambung jalan baru ke Stadion Petanang, Kadishub agar mengkaji ulang kemungkinan pemindahan jalur Bus AKAP dari Bundaran Polres ke Bumiagung – F. Trikoyo – Karangketuan atau shortcut ke Mataram – I.Sukomulyo – Paduraksa – Babat dan Terawas. Ini akan mengurangi kemacetatan di Simpangperiuk dan sekali gus menghidupkan jalur ekonomi sepanjang kawasan Tugumulyo/Terawas.

Sesampai di Masjid Agung Mura Darussalam, aku masuk ke dalam halaman parkir. Aku instruksikan kepada Kabag Kesra dan Kadis PUCK agar segera menyelesaikan biang kebocoran masjid kebanggaan Musi Rawas. Memalukan dan menyedihkan, masjid semegah itu bocor-banjir di saat shalat Jumat atau hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Area masjid seluas 200 m x 350 m dan Alun-alun itu agar senantiasa bersih, rapi, hijau dan asri. Area parkir masjid yang terluas di pinggir jalan lintas, tampak  bergelombang, kalau hujan berubah menjadi hamparan air. Mungkin elevasinya menurun karena dulunya adalah timbunan tanah merah tanpa dipadatkan secara sempurna.

Untuk pemeliharaan dan pemanfaatan area masjid, sebaiknya dijadikan laboratorium praktek lapangan bagi anak SPMA dan SMA atau anak-anak pelajar di kawasan Muarabeliti. Di sudut-sudut belakang, yang kini centang-perenang oleh limbah bangunan dan terkesan tidak terawat, mungkin  dapat ditanamami pepaya kalina, buah naga  atau bunga-bungaan yang ditata rapi nan asri. Area perkemahan Pramuka, bisa didekatkan dan dipusatkan di Masjid Agung.

Bangunan baru yang belum pernah dimanfaatkan di sektor kanan barat laut masjid, sungguh sangat disayangkan.  Aku berpikir akan sangat baik untuk dijadikan PAUD Islami atau sejenisnya. Atau Islamic Center plus perpustakaan.  Harus segera dicari model pengelolaannya agar Masjid Agung ini menjadi pusat perubahan peradaban dan modernisasi kultural dalam bingkai Islamiyah. Aku bermimpi, secara futuristik-dimensional, masjid agung ini bisa dijadikan model pendekatan spiritual  bagi pelajar dan pemuda Musi Rawas untuk menghindri narkoba dan dampak kenakalannya. Generasi tua, biarlah berlalu. Sejarah baru generasi berkeadaban yang “cerdas-mencerahkan”  dan “santun menyejukkan”  harus diukir.  Aku teringat motto TV-Muhammadiyah dan Aswaja-TV. Insya Allah ini akan menjadi  landasan utama membangun generasi religius-kultural  sesuai visi Musi Rawas Darussalam.

Rombongan kuarahkan ke Ruko Agropolitan. Kuinstruksikan agar dinas terkait memantau secara berkala kebersihan ruko dan penataan area parkir. Di depan Bank Sumsel dan Toko Manisan Agus, siring drainase yang kotor dan busuk menyengat harus dibersihkan.  Ini tugas siapa? Lihat perjanjian kontraknya!  Area parkir tidak semestinya gersang, harus rimbun dan asri. Di depan gapure Bali, aku instruksikan agar kompleks pure Bali dimanfaatkan, dirawat dan ditata taman-tamannya. Koordinasikan dengan tokoh masyarakat Bali dan Kandepag untuk pemanfaatannya.

Tiba-tiba aku tercenung. Di ibukota ini sudah ada Masjid Agung dan Pure Bali. Mana Gerejanya?, bisikan dalam hati. Kutanya para kepala SKPD yang semuanya sudah berhaji. Tapi tak ada yang menjawab. Aku berpikir, sebagai bupati bagi semua warga Musi Rawas, harus adil dan bijak. Berpikir  negarawan. Aku teringat Bung Karno yang membangun Masjid Istiqlal berhadapan dengan Gereja Katedral. Maka aku perintahkan Asisten II untuk berkoordinasi dengan instansi terkait demi mewujudkan gagasan ini. Kuakui, ini adalah hal sensitif karena menyangkut komprehensi pemahaman keagamaan yang kompleksitasnya multi-rumit. Dalam urusan peribadatan ummat, tidak boleh ada mayokrasi versus minokrasi.  Aku teringat buku setebal tafsir Ibnu Katsir yang membahas hal ini. Karya Yudi Latif yang berjudul “Negara Paripurna” dan “Mata Air Keteladanan” itu, sungguh memberi banyak informasi yang relevan dengan tugas pejabat negara seperti aku.

Maka, akan aku perintahkan kepada instansi terkait untuk mengadakan kedua buku itu dan dibagikan kepada para pejabat, anggota DPRD dan tokoh masyarakat.  Aku menilai, daya baca para birokrat Pemda amat sangat kurang. Jangankan membaca buku-buku ilmiah populer, membaca dan memahami Pedum dan Juknis pun sering keliru-keliru. Masyarakat kita memang maunya instan, bukan bersemangat mencari rujukan yang valid dan mengkomparasinya secara cerdas-teliti.

Aku dan rombongan berkeliling Bundaran Agropolitan Center. Aku teringat temanku pensiunan yang dulu menjabat Kabag Pembangunan di era Ridwan Mukti, katanya luas Bundaran AC lebih kurang 78 hektar. Mau diapakan yah, areal seluas ini? Dari jalan lingkar luar bundaran masih tersisa lebih kurang 50 meter sepanjang bundaran yang dirancang untuk Ruko sekeliling bundaran. Tapi kulihat tak ada batas tugu permanen. Kalau dibiarkan tak dipatok permanen, pasti akan diklaim oleh masyarakat karena harga tanah semakin mahal. Demi memandang   Ruko-ruko yang belum dimanfaatkan dan bangunan gudang serta bangunan-bangunan lainnya, aku berniat akan mengevaluasi total-komprehensif untuk bahan pengambilan kebijakan ke depan.

Aku meluncur kembali ke Bundaran Polres. Dari Pos Polisi, aku melihat masih ada baliho yang bertuliskan: “DI SINI AKAN DIBANGUN PUSAT PEMERINTAHAN”.  Seingatku, ini dipasang tahun 2006, kegiatan  Bagian Pembangunan. Aku suruh bongkar, karena sudah tidak relevan dan mengganggu pemandangan ke arah kantor Bupati. Memandangi gedung baru Kantor Bupati, aku agak kecewa. Desainnya terkesan kuno dan tidak wah. Kalah oleh kantor Bupati Kepahyang yang mirip Capitol Hill. Sayang sekali.  Seharusnya gedung ini lebih mundur ke belakang, sehingga terlihat luas, setidaknya seperti Pemda Tabapingin. Ah, sudahlah. Halaman  gedung yang rendah dan bakal banjir perlu ditimbun tinggi. Perdu repuhan yang masih serut di depan gedung kantor Bupati dan DPRD baru agar segera dibersihkan dan ditata. Dan, Pak Kadis PU-CK mengangguk ta’zim, sambil memikirkan rencana APBD-Perubahan.

Di dalam, mobil aku berpikir, harus segera membangun Pendopo Bupati di Muarabeliti. Aku berkeliling ke arah Dinas PU. Ada areal cukup luas tidak dimanfaatkan. Dulu diwacanakan untuk kavlingan anggota DPRD, tapi rasanya belum tuntas.  Aku akan cek status hukumnya. Tiba-tiba aku teringat lahan luas di belakang Mapolres.  Dulunya didesain ada jalan antara PLN dan tembok Mapolres ke arah jalan Makam Pahlawan.  Ada baiknya, di belakang BPN dan Kemenag dibangun Pendopo Bupati, biar mendekati Polres.  Dan di ujung jalan Makam Pahlawan dulu dirancang untuk Markas Kodim Musi Rawas. Tapi tiba-tiba ada usulan Kadis, bahwa ada areal 35 hektar di pinggir sungai Temam yang dulu direncanakan untuk membangun Lapangan Golf. Akhirnya aku putuskan, agar Asisten II menyiapkan  jadwal rapat untuk membahas hal-hal urgen di minggu pertama jabatanku.

Aku terbangun dari mimpi di tengah dalu.  Aku bergegas ke kamar mandi, dan aku menyiapkan kantuk untuk melanjutkan mimpi berpikir yang terpotong. Bismika allohuma ahya wa amuts. ***)


*) Penulis adalah peminat masalah sosial-budaya lokal dan pemerhati birokrasi.

KARTOMAS & PILWAKO LUBUKLINGGAU

Oleh:  Hendy UP

Kartomas adalah nama seseorang dan bukan siapa-siapa. Secara fungsional-historik, sama seperti Sudirman, Panjaitan, Suprapto dan Sukarno-Hatta; sebuah nama yang karena peran dan  eksistensi semasa hidupnya, kemudian diabadikan sebagai nama jalan agar dikenang sepanjang masa.

Jasad Kartomas telah lama terbujur dan tulang-belulangnya niscaya telah punah-menanah. Kuburnya ada di tengah permukiman semenjak tahun 1970-an, di RT 03 Kelurahan  Karangketuan Kec. Lubuklinggau Selatan II. Dia adalah perantau asal Jawa sebagai ‘anak-buah’ kepercayaan Keluarga Pembarap Sulton yang juga paman Pangeran Muhamad Amin Ratoe Asmaraningrat, Pesirah Marga Proatin Lima. Tepatnya, adik kandung bungsu dari istri Abdullah yang bernama Sari Menan 
dipersunting oleh Pembarap Sulton. Nama Kartomas,  kini diabadikan sebagai nama jalan sepanjang  800 meter yang menghubungkan ‘Dam Payung Sohe’ di Karangketuan (Lubuklinggau) ke Desa Ketuanjaya – Airsatan – Kampung Bali dan Bundaran Agropolitan Center  (Kab. Musirawas).

Alkisah, sebelum era otonomi daerah, jalan Kartomas merupakan jalan inspeksi irigasi yang kewenangan pengelolaannya berada pada Dinas Pengairan Provinsi Sumsel. Ketika di tahun 1990-an kebun kelapa milik Haji Machmud Amin dikavlingkan dan menjadi permukiman baru, jalan inspeksi itu dinamai jalan Kelapa. Dan ketika di tahun 1999, surat anak saya dari Yogya nyasar ke jalan Kelapa di Batuurip, saya merasa perlu berkoordinasi dengan aparat desa dan tokoh masyarakat untuk menamakan jalan kami agar memiliki nilai sejarah dan unik.  Dan munculah nama Kartomas sebagai sosok yang diyakini sebagai pemukim pertama di Dukuh Talangdarat Karangketuan.

Jalan Kartomas kini merupakan aset infrastruktur  dasar bagi Pemkot Lubuklinggau. Perlu diingat, bahwa bagi kepala daerah yang negarawan, memahami aset strategis seperti: jalan, jembatan, sekolahan dan Puskesmas adalah aset yang berdimensi kemanusiaan sehinga tidak lagi berpikir: siapa yang memanfaatkan aset tersebut; apakah warga Lubuklinggau atau warga daerah lain.  Jika pemahaman pejabat negara sudah berada pada level ‘sufistik’ seperti itu, maka itulah ladang amal saleh bagi pejabat yang niscaya kelak akan mengalir balasannya di alam akhirat.

Secara ekonomis, jalan Kartomas merupakan akses penting bagi sebagaian besar warga Karangketuan (juga sebagian warga Ekamarga-Siringagung) yang berusahatani dan beternak ikan  di wilayah Ketuanjaya, Satan dan Kampung Bali. Di samping  sebagai akses utama  bagi warga Ketuanjaya (Musirawas) yang keluar ke Lubuklinggau dan Tugumulyo, juga merupakan  akses penting bagi pengunjung Pesantren  Syifaul Jannah Airsatan. Maka, jika jalan Kartomas yang kini rusak parah bisa diperbaiki atau setidaknya ditimbun darurat sebagaimana mestinya, niscaya masyarakat Lubuklinggau dan Musirawas akan sangat berterima kasih, dan tentu  pejabatnya akan selalu diingat serta didoakan memperoleh balasan dari Allah SWT dengan  memudahkan segala urusannya.

Di masyarakat Karangketuan, ada sekilas ‘rumor politik’ bahwa tidak diperhatikannya jalan Kartomas selama tiga tahun terakhir ini adalah terkait dengan Pilwako tempo hari.  Mudah-mudahan rumor ini tidak benar. Memang adalah fakta, bahwa perolehan suara Nanan-Sulaiman (Nan-Suko) di Karangketuan dikalahkan oleh pasangan lain.  Jika kita berpikir lebih bestari dan mencoba  memahami peta sosio-politik saat itu, adalah cukup wajar akan kekalahan suara pasangan Nan-Suko.  Perlu diingat bahwa secara emosional-etnologis, mayoritas warga Karangketuan adalah berasal dari suku yang sama  dengan pasangan kompetitor yang meraih suara terbanyak. Di masyarakat kita yang masih tradisional-paternalistik, gejala tersebut sesungguhnya sangat linier dengan derajat intelektual masyarakat kita yang masih pada taraf ‘belajar berdemokrasi’, yakni lebih bersandar pada emosionalitas  daripada rasionalitas dalam menentukan pilihan Wako-Wawako.

Tapi kembali ke tesis negarawan, seorang Wako-Wawako yang disumpah untuk mengayomi seluruh rakyatnya, maka seyogyanya begitu dilantik sebagai Wako-Wawako, segeralah melacikan seluruh catatan ‘distribusi perolehan suara Pilkada’ yang akan mengganggu ketulusan berbakti kepada seluruh ummat yang dipimpinnya.   Atau, meminjam istilah SA Wasesa (2011) – demi membangun ‘political branding’, akan lebih bijak jika Wako-Wawako segera membangun jalan Kartomas sebagai investasi Pilwako 2017 guna menambah peluru di medan peperangan kelak. Wallahu ‘alam.

*) Penulis adalah peminat masalah sosial-budaya lokal.    

TEORI PEUBAH KOMPLEKS DLM MEMILIH KEPALA OPD

Oleh: Hendy UP

Tanpa disadari, ternyata para Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota seringkali menggunakan  teori peubah kompleks dalam memilih para pembantunya; baik pada level menteri maupun kepala perangkat daerah. Pemilihan Arcandra Tahar   president at Petroneering in Houston sebagai menteri ESDM adalah contohnya.


     Bisa  dipastikan, belum ada pakar dan pengamat politik di Indonesia yang menyebutkan teori ini dalam konteks birokrasi, khususnya dalam pemilihan pejabat selevel menteri.  Ketika iseng melacak biodata Arcandra Tahar pascapenunjukannya sebagai menteri, saya menemukan kemiripan dengan teori peubah kompleks dalam persamaan matematika.

     Bagi para sarjana matematika atau sarjana ilmu eksakta lainnya, niscaya pernah akrab dengan teori peubah kompleks, yang mampu menghitung transformasi besaran sudut  dan arah kurva dalam sebuah himpunan persamaan bilangan riil (bilangan rasional dan irrasional). Jika hasil transformasi mendapatkan besaran sudut yang sama tetapi tidak memedulikan arah kurva, maka menurut Jacobian  disebut peta konformal-isogonal. 

      Analoginya adalah bahwa seorang Arcandra Tahar sebagai profesional yang memiliki kompetensi dan integritas (besaran sudut) adalah menjadi faktor utama bagi Jokowi ketika menentukan pilihannya, tanpa memedulikan  dari mana  arahnya (nonpartai politik).   Lantas, apa kaitannya dengan teori memilih kepada SKPD?  Mari kita kupas pasal-pasal yang terkait dengan pembahasan ini.

     Dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), istilah Satuan Kerja Perangkat Daerah  diganti menjadi Perangkat Daerah. Ketentuan tentang Perangkat Daerah diatur di  dalam Pasal 232 UU Pemda, yang selanjutnya diuraikan  dalam PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (PP-PD). Kriteria, prosedur dan persyaratan serta kewenangan Gubernur/Bupati/Walikota untuk mengangkat kepala perangkat daerah diatur dalam Pasal 233 hingga 235 UU Pemda.

     Pasal 233 UU Pemda, yang diperjelas di dalam  pasal 98 PP-PD menyebutkan bahwa  pejabat kepala Perangkat Daerah wajib memenuhi persyaratan kompetensi: teknis, manajerial, dan sosial-kultural serta kompetensi pemerintahan. Kompetensi teknis dibuktikan dengan ijazah pendidikan formal, sertifikat Diklat fungsional dan pengalaman kerja; kompetensi manajerial dibuktikan dengan sertifikat Diklat struktural atau manajemen dan pengalaman kepemimpinan. Kriteria kompetensi sosial-kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk (agama, suku, budaya) dalam konteks wawasan kebangsaan. 

      Sedangkan kompetensi pemerintahan dibuktikan dengan sertifikat dari Menteri Dalam Negeri. Seluruh peraturan tentang sertifikasi kompetensi tersebut sayangnya belum terbit, baik dari kementerian teknis/lembaga nonkementerian maupun kementerian Dalam Negeri.

       Bisa saja, seluruh persyaratan administrasi kompetensi tersebut  dipenuhi oleh semua calon pejabat, walaupun saat ini ada area abu-abu tentang kriteria kompetensi sosial-kultural dan pemerintahan.  Namun perlu dicatat bahwa  tidak ada jaminan bahwa calon yang memiliki seluruh sertifikat yang dipersyaratkan  adalah orang  yang benar-benar kapabel dan “cocok” untuk memangku jabatan sebagai kepala perangkat daerah, khususnya terkait dengan kesamaan “gaya kepemimpinan” sang kepala daerah. Atau, kendati pun semua persyaratan kompetensi terpenuhi, akan tetapi sang Gubernur/Bupati/ Walikota bisa  menambahkan variabel  tentang: integritas dan loyalitas  dengan pendefinisian versi  kepala daerah sendiri. 

    Derivasi dari item integritas dan loyalitas bisa saja dijabarkan ke dalam aspek hubungan etnikal-geneologis (keluarga), emosional-historikal (Timses) dan/atau asosional-politikal (titipan orang Parpol) atau gabungan ketiga aspek tersebut. Dalam dunia birokrasi, hal ini merupakan kewajaran; karena bagaimana mungkin seorang kepala daerah akan menunjuk  pembantunya dari orang-orang yang diragukan loyalitas dan integritasnya.

     Dalam analogi teori peubah kompleks, sebutlah semua persayaratan sertifikat kompetensi ini adalah besaran sudut kurva; sedangkan komponen integritas dan loyalitas  diibaratkan arah kurva, maka kemungkinan model petanya adalah sbb: (1) Kepala Daerah akan memilih peta konformal, artinya akan memilih pejabat yang memenuhi seluruh persyaratan kompetensi plus aspek integritas dan loyalitas versi kepala daerah, termasuk aspek keterlibatan Timses yang pernah berjuang saat Pilkada atau orang titipan Parpol; (2)  Kepala Daerah akan memilih peta konformal-isogonal, yakni akan memilih pejabat yang memenuhi seluruh persyaratan kompetensi, walaupun tidak  terlibat  Timses dan tidak perlu mengakomodir orang titipan dari Partai Politik.

      Dalam prakteknya, peta politik birokrasi  tidak sesederhana yang digambarkan. Niscaya akan ditemui varian komponen yang lebih  rumit daripada peta konformal-birokratik.  Dalam teori Peubah Kompleks terdapat dasar aksiomatik yang berupa enam asas: komutatif/asosiatif penjumlahan, komutatif/asosiatif perkalian, ketertutupan dan asas distributif. 

    Keenam asas tersebut adalah merupakan landasan atas “hak prerogatif” kepala daerah. Kepala daerah boleh saja mengotak-atik himpunan bilangan dengan menambah atau mengali komponen angka bahkan mendistribusikan secara tertutup dalam rangka  memilih pembantunya dari orang-orang yang benar-benar mumpuni.

     Artinya, siapa pun calon kepala perangkat daerah yang  dipilih, harus dipastikan adalah orang yang mampu menjabarkan visi-misi kepala daerah (dengan segala inovasi dan kreatifitasnya) dan berani mengambil risiko apa pun atas jabatan yang diembannya. Dengan kata lain, seorang kepala perangkat daerah wajib khatam aturan teknikal, manajerial dan finansial-keuangan. Bukan malah terus harus diajari Sang Kepala Daerah. Instrumen telaah staf  yang diajukan oleh kepala perangkat daerah kepada kepala daerah, adalah indikator kreatifitas dan keluasan wawasan seorang kepala perangkat daerah. Namun sayang, instrumen tersebut jarang sekali naik ke Gub/Bup/Walkota.  Wallahu’alam.***)

*) Penulis adalah pemerhati birokrasi 

MAS GOTRI

Oleh: Hendy UP

Pada momentum seruputan terakhir ngopi tengah malam, tiba-tiba teringat seorang teman. Namanya Gotri. Atau, mungkin Suyanto. Barangtentu pikiranku tertindas oleh berita koran Musirawas Ekspres, “Lagi, Tiga Pejabat Mura Hengkang”. Kata hengkang, dalam ilmu rasa bahasa mengesankan terusir atau diusir. Artinya seolah ada nuansa proses “thrown out on disaster” (diusir dalam bencana).

Aku mamanggilnya Mas Gotri. Karena aku lebih tua, Mas bermakna Dimas, antonim dari Kangmas. Di berita itu, Mas Gotri akan hengkang dari Musi Rawas, tepatnya dari kampung G1 Mataram. Mungkin merantau ke kerajaan  Majapahit  atau Singosari. Bisa juga ‘berladang’ mengadu nasib di Marga Seluma Bengkulu sembari mempercepat  gelar doktornya. Aku menduga, jika kelak titelnya sudah diraih, jangan-jangan Mas Gotri akan ‘ditarik’ seniornya saat di Birmingham London, Mas Mardiasmo yang kini Wa-Menkeu, untuk hijrah ke Kerajaan Nusantara. Wallohu a’lam.

Postur tubuhnya semampai,  kurus-lentur cenderung ceking. Tampilan perilakunya sederhana, merepresentasikan umumnya alumni UGM.  Dandanannya jauh dari necis dan perlente, apatah lagi trendi. Kadang tak peduli jejak setrika dan jauh dari  kesan kostum  birokrat.  Orang yang hanya menilai kostum akan salah duga. Dan aku   percaya bahwa Mas Gotri bukan tipe birokrat-pejabat, tapi lebih pantas sebagai pelukis atau seniman patung. Sebagaimana tipologi Jawa-Jogya, aksentuasinya selalu terjaga, nada bicaranya tetap merendah kendati dibentak anggota dewan yang ‘sok marah’. Sepanjang masa pertemananku, aku belum pernah melihat  wajahnya marah, paling banter agak memerah.  Sangat piawai mengendalikan rongga tawa, dan selebihnya hanya menguar senyum nan sulit diduga.

Antara tahun 2004 - 2007, kami sama-sama berada di satu lini.  Sekretariat Daerah Musi Rawas sebagai Kabag. Hingga tahun 2012 kami sering berada dalam satu Tim Kerja, khususnya dalam ‘mengotak-atik’ draft KUA - PPAS dan APBD. Menyerasikan paragraf LKPJ hingga  menyusun pidato-pidato khusus Sang Bupati. Sebanyak teman yang aku kenal, Mas Gotri bisa dibilang agak langka. Sebagai birokrat, Ia senantiasa konsisten dengan konstitusi, sangat disiplin dalam mematuhi aturan. Memahami SOP dan meneladaninya dengan istiqomah.

Jarang sekali absen dari undangan rapat, yasinan bahkan  undangan perkawinan.  Sangat piawai memetakan persoalan teknis bidangnya, tanpa kehilangan pijakan makro atas kompleksitas agregat masalah yang berkelit-kelindan di lapangan. Fasih menghitung dampak  dari indeks gini rasio (IGR), sensitif dengan kata defisit anggaran serta trengginas mengkalkulasi eskalasi belanja Pemda. Cepat memahami filosofi sebuah program tanpa kehilangan argumentasi taktis-operasional yang bakal menghadang. Ini dimungkinkan, karena otaknya yang sangat cemerlang dan sabar menyintesis berbagai persoalan.  Ketika orang baru pada tahap menganalisis masalah, Mas Gotri sudah merancang konsep sintesis saran. Tidak heran, jika atasan pertamanya - Pak Drs. H. Mulyanto, Kabag Ekonomi kala itu – mengatakan bahwa nilai test CPNS-nya 100.  Sayangnya, Mas Gotri bukan tipe komunikator yang memikat, layaknya pejabat yang merasa sok tahu tapi sesungguhnya tak banyak tahu, plus keliru-keliru.  Dan satu lagi, Mas Gotri bukan tipe orang yang mau bicara tentang  urusan tupoksi orang lain.

Gotri adalah kosa kata Jawa. Jadi tidak pas kalau dicari di kamus Indonesia. Dalam KBBI Pustaka Phoenix, gotri berarti mimis kecil. Anak yang main tembak-tembakan, pelurunya yang bulat kecil-kecil itu namanya gotri. Silinder penggerak roda sepeda agar berputar solid, perlu diganjal benda bulat terbuat dari baja. Itu namanya gotri. Agar lancar terkendali, gotri-gotri itu perlu dilumuri paslin atau oli. Jadi, gotri memang tersembunyi maqomnya, tapi berfungsi sebagai penahan gaya putaran baik yang sentrifugal maupun sentripetal. Bahkan bisa menembus benda keras  jika didorong-tekan oleh letupan tenaga senapan.

Dulu, di sela-sela kerja lembur, kami sering ngobrol ngalor-ngidul. Soal seni,  birokrasi, agama dan kebudayaan, serta sastra-bahasa dan  hal-ikhwal yang kami sukai. Sesekali  kami  ngobrol di kampung Mataram dan suatu saat ngobrol nyantai di teras rumah Ketuan. Jika Anda singgah di Tongseng Mataram Tugumulyo, tergantunglah beberapa lukisan  karya Mas Gotri. Sapuan kuas naturalistiknya, sungguh nyaris persis dengan benda aslinya. Nuansa kelembutan kucing belang dan topi SD yang kusam-temaram, niscaya menunjukkan kesahajaan kalbunya.  Ini menyiratkan kebeningan jiwa yang terkoneksi dengan otak kanan, melengkapi  kecerdasan intelektualnya di otak kiri. Ibarat dalil keseimbangan harga sebuah kehidupan, titik temu suplai dan demand-nya   berada pada area yang pas ekuibriliumnya, titik noktah  latifah.  Kelebihan lainnya adalah canggih berpikir abstrak alias mencongak. Jika sedang menyusun laporan rincian keuangan untuk naskah pidato Bupati, tiba-tiba laptop dan kalkulator macet, maka otak Mas Gotri layak menjadi substitusinya.

Keahlian khususnya adalah akuntansi. Eskalasi ilmunya linier 3B: Bulaksumur - Birmingham hingga Bengkulu. Tidak heran bila bertahun-tahun dipercaya mengurusi neraca kekayaan dan hutang-piutang Pemda Musi Rawas. Dari Bupati Soeprijono – Ibnu Amin – Zulkarnain - Ridwan Mukti hingga Hendra Gunawan. Memang, sebagai seorang teman aku bisa merasakan kejenuhannya. Terlalu lama mengurusi hal yang sama, bertengger di eselon yang sama, wajarlah tersirat semburat kejenuhan. Ditambah kementokan pangkat golongan di level Pemda kabupaten,  long distance private  dengan pihak keluarga, serta keinginan segera meraih titel doktoralnya, Mas Gotri cukup rasional memilih hijrah untuk eskalasi kariernya. Mungkin juga hanya batu loncatan. Dan  sungguh amat sangat tepatlah Pak Bupati Hendra merestuinya. Karena menurut fatwa birokrasi yang paling kuno, jika seorang atasan menutup jalan bagi obsesi kemaslahatan hidup bawahannya, maka sesungguhnya tiada kedzoliman-birokratik yang melebihinya. Allohu’alam. Semoga hijrah Mas Gotri penuh barokah. Amiiin!!

*) Penulis adalah peminat Sastra-Humaniora, mukim di Lubuklinggau. 

BILA KARTINI SILAMPARI MELONCAT PAGAR

Oleh: Hendy UP
Peminat Sastra Humaniora, mukim di Lubuklinggau

Bila Kartini masa kini, khususnya wanita karier dan ibu-ibu pejabat pernah membaca novel “Wanita”  karya Paul I Wilman, niscaya akan mengagumi tokoh utama Theodora yang super-allusion. Theodora pemberani yang cantik nan cerdas ini mampu ‘menaklukan’ sekian tokoh penting di kerajaan Macedonia, hingga akhirnya ia sendiri yang menjadi Ratu sesungguhnya. Ia merumuskan dan mengendalikan kompleksitas persoalan negara dan kekuasaannya cukup  di meja makan, di balik kelambu rest-area,  sembari menyantap buah naga dan durian hingga memabokkan.

Novel dua jilid itu terjemahan dari “The Woman”, dan saya berulang kali membacanya di tahun 1975 di sela-sela minggu tenang ujian. Sungguh mengesankan! Saya ‘ainul yakin bahwa si Paul terinspirasi oleh dongengan Byzantium atau Yunani kuno yang sangat berbeda budaya dan keluhuran wanitanya. Sebagaimana saya yakin bahwa si Paul belum sempat membaca “Door Duisternis tot Licht”  yang terbit di Gravenhage tahun 1912 tentang kehebatan seorang Kartini Indonesia.

Kemarin sore, keponakan saya yang masih kelas 4 SDN Muarabeliti, menyodorkan tanya yang mengejutkan. “Wak, apa beda Hari Kartini dengan Hari Ibu?”. Saya tergagap dibuatnya.  Memang, bila sekilas direnungkan, substansi Hari Kartini tak berbeda jauh dengan Hari Ibu. Hanya beda bulan, beda SK Panitia, beda-beda dikit pidato sambutan pejabatnya, tapi sama-sama ‘menyibukkan’ para istri pejabat, dan ‘agak’ merepotkan rakyat desa terutama dalam hal alokasi anggaran perayaanya. Tentu saja, mungkin saya keliru duga. Karena sesungguhnya semakin banyak media ekspresi bagi wanita Indonesia, semakin meningkat pula progres pencapaian emansipasi wanita terhadap kaum pria. Kata siapa!!!

Pertanyaannya, di koordinat mana titik keseimbangan emansipasi wanita? Apakah masih dalam absis budaya atau ordinat agama? Atau, hanya mengikuti ‘trend setter’ wanita kota? Jika kita telaah  hal yang pertama, diskusi dan perdebatannya pasti panjang kemana-mana. Tetapi jika pada area agama, kita cukup sa’mina watona. Dan bagi wanita muslimah, posisi  koordinatnya berada pada angka 114 (surat) dan 6.600 (ayat). Carilah di sana, niscaya kita percaya bahwa Tuhan menciptakan wanita dalam takaran kodrati dan skenario manuver-Nya. Wallahu a’lam.

Sekadar pura-pura ngerti, nasihat Syaikh Ahmad Jad dalam “Fikih Sunnah Wanita, Panduan Lengkap Menjadi Muslimah Shalihah”, sungguh sangat lengkap membahas posisi wanita dan hal-ikhwal adaptasinya dalam dunia kontemporer.  Kitab terbitan Pustaka Al-Kautsar yang diterjemahkan Masturi Irham dan Nurhadi, Lc  ini sangat memadai untuk mencari titik koordinat- substansial antara Hari Kartini dengan kodratiyah wanita muslimah.

Semangat Kartini hari ini, wajib kita transformasikan ke kedalaman jiwa wanita yang semakin heroik religiusitasnya tanpa kekeringan budaya makna yang berada dalam situs websitenya.  Dalam bahasa Muarabelitinya: metodologi pencarian maqom kewanitaan Indonesia  tidak boleh keluar dari situs ‘Wanita Indonesia Dotkom’.  Sedangkan multi-tracking variantnya bisa: Muslimah Dotkom, Katholik Dotkom dan seterusnya.

Harus diingat, bahwa Kartini adalah seorang muslimah Jawa yang hidup melintasi abad 19 ke 20. Lahir pada Senin Paing, 21 April 1879 dan wafat pada 17 September 1904, tiga hari setelah melahirkan anak laki satu-satunya: Soesalit.  Sang ayah, RM Adipati Sosroningrat yang juga Bupati Jepara bersama istrinya Ngasirah mencetak karakter Kartini dalam nuansa pendidikan Islami, walaupun dalam suasana pengekangan terhadap ekspresionisme budaya.   Dalam suratnya kepada Nona Zeehandelaar 9 Januari 1901, Kartini menulis: “Kecerdasan fikiran penduduk Bumi Putera tiada akan maju dengan pesatnya, apabila kaum wanita itu ketinggalan dalam usaha tersebut. Perempuan harus jadi pembawa peradaban”.

Kata kunci dalam memahami peradaban adalah harmoni.  Harmoni dalam masyarakat multi-kultural akan meningkatkan ‘religious-literacy’ yang berarti mampu memahami agama sendiri sembari terbuka terhadap agama orang lain (lita’arafu). Jika diterjemahkan pesan moral Kartini tentang peradaban  yang akan dibangun perempuan, maka hal ini berarti bahwa pertama-tama para wanita wajib mematuhi syariat agama yang dianutnya tanpa merendahkan cara berbusana dan berbudaya wanita agama lain.

Insya Allah, suatu saat kelak, muslimah di Provinsi Silampari Raya tak  lagi: meloncat pagar dengan rambut terjurai, sibuk memainkan peran Theodora untuk mengatur warna pelangi sembari menyantap buah naga bersama Sang Raja yang sibuk menandatangani dokumen negara.

Hari Kartini, 22 Desember 2015

***(*)***

HARI IBU PERKASA

Menurut penelitian, ternyata para wanita lebih perkasa daripada pria.  Sederhana cara mengujinya: lihatlah istri atau ibu kita, seberapa banyak  mereka ‘bergerak-kerja’ dari pagi buta hingga menjelang malam syahdu. Jikalau kaum pria jujur, niscaya tak sanggup membantah statement ini!

Sudah hampir tiga tahun saya jarang sekali menginjak pekarangan Pemda Tabapingin; tetapi karena terikat kontrak kerja penyusunan sebuah buku, saya harus ‘ngantor’ di oproom Pemda seminggu full menjelang Hari Ibu 2014. Sesekali, sembari menunggu ‘word saving 544 halaman’ laptop kuno yang agak lemot, saya melemaskan otot  punggung sambil ‘menikmati’ dari balik jendela, hiruk-pikuk para wanita di halaman Pemda. Sungguh euporia para wanita itu tampaknya ditumpah-ruahkan di Hari Keperkasaannya ini.  Ada lomba joged-nyanyi dangdut ‘sakitnya ku di sini’  yang heboh-meriah, seolah-olah kurs dollar masih di bawah Rp. 11.000,-.
Ada pula ‘permainan’ bola kaki berdaster, yang lebih seru tepuk-tangannya ketimbang mutu overbolanya. Mungkin karena Pak Bupati dan pejabat teras ikut Tim Bola Daster itu. Tentu saja PSSI tidak peduli dengan klub kaya ginian,   karena mereka sedang pusing  menyelidik  ‘sepak bola gajah’ atau kemungkinan ada sepak bola mamalia  lainnya. Saya teringat komentar seorang teman: “permainan sepok-bola daster, panjat pinang dan lain-lain, sesungguhnya kepiawaian Belanda untuk ‘meninabobokan’ rakyat jajahan agar mereka lupa bahwa mereka  inlanders”.

Hari Ibu 2014 ini agaknya lebih meriah ketimbang tahun-tahun lalu. Mungkin karena ekstase kegembiraan akumulatif tahunan setelah sebelas bulan capek kerja; atau mungkin bagi para istri pejabat ingin menambah credit point menjelang isu mutasi yang menyebar di minggu ini. Kehadiran bapak-bapak pejabat mudah dimaklumi, mungkin karena mereka lebih betah di luar kantor demi menghindari tamu tak diundang di akhir tahun.

Okelah, itu semua tak terlalu penting!  Tapi yang harus diapresiasi di Hari Ibu adalah bahwa mereka sungguh perkasa. Saya teringat cukilan disertasi Carol Hetler, “Female Headed Households in a Circular Migration Village in Central Java” , yang meneliti desa Jaten Wonogiri (1984) tentang seluk-beluk wanita yang menjadi kepala rumah tangga (KRT).  Definisi KRT di sini adalah: mencari nafkah (harian atau bulanan),  mengelola keuangan (budgetting cash flow), menyelenggarakan perdapuran, mengatur tetek-bengek anak sekolah hingga ke urusan luar rumah.

 Jumlahnya cukup mencengangkan! Di Desa Jaten 14%, Jawa Tengah 18,3%, DIY 20,5%, Jawa Timur 20,4%.   Untuk tingkat nasional, pada tahun 1971 tercatat 18,3% dan naik menjadi 22,7%  tahun 1980. Dengan semakin sulitnya lapangan kerja di perdesaan – sehingga terjadi migrasi besar-besaran kaum lelaki ke kota – kini jumlahnya mendekati angka 25%-an.  Carol menyebut status KRT de jure untuk kasus ditinggal suami mati atau cerai (single parent).  Kategori lain KRT de facto, yakni ditinggal suami sementara. Ada pula kasus lain, si istri yang migran ke kota (sebagai PRT atau karyawan pabrik) meninggalkan suami dan anak-anaknya; si istri juga KRT de facto di kota rantaunya.  Jika wanita KRT de jure dan de facto digabung, jumlahnya menjadi 40% untuk kasus desa Jaten.

Pengorbanan wanita untuk keberlangsungan hidup keluarganya sungguh wajib diapresiasi. Kata emansipasi tampaknya menjadi kosa kata basi di era ini. Bahkan, adagium kuno ‘mangan ora mangan kumpul’, sudah lama berbalik: ‘gak penting kumpul angger iso mangan’.   Derasnya arus migran ke kota, sesungguhnya buah dari pembangunan sektor ekonomi dan manufakturing yang terpusat di kota-kota besar.  Munculnya gagasan Agropolitan Distrik ala Bupati Ridwan Mukti sesungguhnya untuk mencegah migrasi kaum pria dan wanita ke Lubuklinggau, Palembang atau kota-kota di Jawa yang tidak hanya banjir uang tapi juga banjir ekstasi-sabu, banjir bandang hingga lumpur-sampahnya membikin jalanan macet.

Keperkasaan kaum wanita di Muarabeliti-Muarakelingi-Muaralakitan dan Muararupit, bisa kita buktikan setiap hari, khususnya di musim berladang. Lihatlah!  Ketika di pagi buta menuju ladang, sang wanita menggendong anak batita, menggandeng anak balita, menyungging brunang-rotan di kepala; sementara sang suami melenggang di belakangnya dengan menghunus parang-panjang. Seolah ta’ peduli  dengan keperkasaan  kaum wanita. Tentu saja para wanita di desa-desa juga ta’ peduli dengan perayaan Hari Ibu, karena mereka sesungguhnya jauh lebih perkasa ketimbang kaum ibu yang di hari ibu berlomba bola daster dan joged-nari. “Sakitnya tu di sini”, sindir wanita dusun sambil menunjuk keningnya demi  menyaksikan euphoria Hari Ibu para pegawai.

Hari Ibu, 22 Desember 2014

***(*)***

Senin, 02 Maret 2015

ABOUT

About:

     Selamat datang di rumahku…! Jikalau Anda hadir dengan santun, maka aku akan sangat senang menyambutmu. Barang tentu tak banyak jamuan yang...

Minggu, 01 Maret 2015

BUKU: SEJARAH BUPATI MUSIRAWAS 1945-2015

Buku: Dari Periode ke Periode Bupati Musi Rawas 1945-2015

  Tidak banyak pemerintah daerah dan/atau sejarawan di Indonesia yang tertarik membukukan perjalanan sejarah para bupati/gubernur atau bahkan tokoh masyarakatnya. Pemerintah Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan yang dinahkodai oleh Ridwan Mukti sebagai bupati periode 2005-2010 dan 2010-2015, telah mampu mengisi kekosongan sejarah yang langka itu.

    Kabupaten Musi Rawas telah mencatat 20 sosok bupati yang silih berganti sejak tahun 1945 hingga tahun 2015 ini. Ridwan Mukti adalah sosok bupati Musirawas ke-20 yang dipilih langsung oleh rakyat dan dianggap cukup fenomenal dengan meluncurkan gagasan Musi Rawas Darussalam, berikut berbagai terobosan visionernya. Kini, Kabupaten Musi Rawas yang terbentuk pada 20 April 1943 itu telah berhasil melambungkan namanya ke level nasional. Keberhasilan ini niscaya merupakan kerja kolektif yang berkesinambungan mulai dari bupati pertama R. Abu Samah hingga Dr. Drs. Ridwan Mukti, MH.

    Jika Anda berminat melacak sejarah Bupati Musi Rawas, buku “Dari Periode ke Periode Bupati Musi Rawas 1945-2015” karya Muhamad Nizar, M.Epid. dan Dr. Suganda P. Pasaribu,  dengan editor antara lain Hendy UP. ini merupakan buku yang pas untuk merangsang gairah baca Anda. Khususnya tentang catatan  sejarah sebuah daerah. 


Download Gratis

Sabtu, 31 Januari 2015

DESA F. TRIKOJO, RIWAJATMOE DOELOE...

  Desa F. Trikoyo Kecamatan Tugumulyo Kab. Musirawas terbentuk pada 1938, merupakan eks kolonisasi Hindia Belanda di zaman Gub. Jenderal terakhir Jonkheer Tjarda van Starkenborgh (1936-1942). Disertasi KJ Pelzer (1945) “The Pioneer Settlement in The Asiatic Tropics” mencatat, jumlah transmigran yang ditempatkan di 15 desa Toegoemoeljo Coloni hingga 1940 sebanyak 2.486 KK dengan rincian: 614 KK pada tahun 1937; 859 KK pada tahun 1938; 423 KK pada tahun 1939 dan 590 KK pada tahun 1940.

     Sembari merajut-merekonstruksi sejarah bari Musi Rawas, saya tergerak memungut serpihan catatan yang tercecer di sudut-sudut perkampungan Bumi Silampari, melacak berbagai dokumen lama, mewawancarai narasumber langka dan berselancar di dunia maya bersama mBah Gugel yang serba nYahoo. Untuk memperoleh data yang sahih, memang diperlukan ekstra kesabaran mengkroscek antardata, mengkonfrontir antarnarasumber dan bahkan menguji sumber pustaka dan kredibilitasnya.

   Adalah H. Satirin bin Sordjo (80 th) di F. Trikoyo, salah satu dari sedikit tokoh lama yang berhasil diwawancarai beberapa waktu yang lalu. Beliau adalah saksi sejarah yang pada umur 3 tahunan dibawa orangtuanya sebagai transmigran dari Nganjuk. Diceritakan bahwa asal-usul warga F. Trikoyo didominasi transmigran gelombang kedua (1938) dari Nganjuk (Jatim) dan Boyolali (Jateng). Dalam perjalanannya, kemudian masuk secara perorangan (atau kelompok) dari daerah lain seperti Jogya dan lain-lain. Wilayah Kecamatan Tugumulyo dahulu termasuk resort Marga Proatin Lima (Muarabeliti), hingga terpisah pada tahun 1978 ketika terbentuk tiga pemerintahan marga di eks Kolonisasi Tugumulyo, yakni Marga Ekamulya, Dwimulya dan Trirahayu.

  Lazimnya penamaan desa eks transmigrasi, memang di awali dengan urutan abjad atau nomer unit transmigrasi, semisal Desa A, B, C dan seterusnya; atau dengan urutan nomor Satuan Pemukiman (SP). Akan tetapi ada fakta menarik tentang pengurutan abjad nama-nama desa di Tugumulyo. Ada abjad yang ‘dilewati’, sementara ada abjad yang dinominasi (dipecah). Desa G. Mataram, bermetamorfosis menjadi G1. Mataram dan G2. Dwijaya. Demikian juga desa Q. Buminoto menjadi Q1. Tambahasri dan Q2. Wonorejo, kemudian P1 Mardiharjo dan P2 Purwakarya serta desa-desa lainnya.

   Yang masih misterius adalah abjad N yang tidak digunakan, dan dilewati setelah abjad M. Sitiharjo meloncat ke O. Mangunharjo. Misteri huruf N pasti ada sejarahnya. Untuk melacaknya, teman saya berseloroh: “Carilah di KITLV Leiden atau tanyakan kepada Ricklefs di Stanford”. Barangtentu generasi kini banyak juga yang tidak tahu bahwa dahulu ada Proyek Transmigrasi Z tahun 1958, yang gagal terealisir, yakni di Desa Manaresmi, yang kelak tetap menjadi bagian wilayah Marga Proatin V Kecamatan Muarabeliti Kabupaten Musi Rawas.

   Bagi sementara kalangan, F. Trikoyo dipersepsi sebagai sebuah desa yang lebih ‘maju’ dibandingkan desa-desa lain di Kecamatan Tugumulyo. Dalam bahasa yang lebih lugas, masyarakat F. Trikoyo dinilai relatif lebih kritis, agak ‘ngeyel’, kurang bisa ‘dimobilisir’ oleh kekuatan mana pun; dan oleh karena itu dalam peta ‘politik lokal’, F. Trikoyo memiliki catatan tersendiri bagi para Caleg dan Cabup yang ‘bertarung’ di masa lalu. Diperlukan multi metode provokatif bagi siapa pun yang ingin meraih simpatik warga F. Trikoyo, dan tampaknya masih berlaku hingga sekarang.

     Bagi yang tertarik untuk mengeksplore peta ‘sosio-politik’ desa F. Trikoyo, kiranya perlu upaya penggalian panjang dari sejarah lahirnya, dominasi warga asalnya (Nganjuk dan Boyolali), dan variabel-variabel lain yang memengaruhi karakteristik warga “Bok Lor” yang dua dekade lalu dipersepsi relatif lebih ‘nasionalis-sekuler’ daripada warga ‘Blok Kidul’ yang relative lebih ‘religius-fundamentalis’ khususnya pasca masuknya spirit Islam yang ditandai dengan berdirinya Pesantren Walisongo dengan segala aktifitas sosialnya.

     Di era tahun 1980-an – ketika kran berpolitik relatif dikekang - pastilah masih sangat terasa sekam ‘persaingan politik’ antara dua kelompok tersebut. Keberadaan tokoh-tokoh partai lama yang memiliki pengaruh kuat di ‘Blok Lor’ dan masuknya spirit Islam di ‘Blok Kidul’ diduga kuat sangat mewarnai dialektika ‘politik lokal kedesaan’, sehingga masyarakat F. Trikoyo sudah terbiasa dalam nuansa kompetitif-dialektis dan berbeda pandangan dengan beragam pemikiran; yang tanpa disadari ternyata kelak menyuburkan sikap kritis masyarakatnya dalam beberapa dekade terakhir ini. Tentu saja, faktor pendidikan rata-rata masyarakat dan banyaknya jumlah pegawai negeri tidak bisa diabaikan pengaruhnya dalam kelindan narasi perpolitikan di tubuh F. Trikoyo.

  Di era kemandirian desa sebagaimana diamanatkan UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, hal ini akan menjadi ‘pemicu positif’ bagi lahirnya desa otonom yang kelak benar-benar mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini dimungkinkan, karena bandul kekuasaan akan berada setimbang antara eksekutif (pemerintah desa) dan legislatif (BPD) serta daya kritis masyarakat di lain pihak. Dan desa F. Trikoyo berpotensi menjadi desa percontohan pelaksanaan UU Otonomi Desa, sekali gus bisa menjadi ‘Laboratorium Politik Perdesaan’ yang mampu mengeleminir maraknya ‘politik uang’ dalam pemilihan calon legislator, calon kepala daerah serta praktek-praktek transaksional lainnya dalam berbagai bidang kehidupan politik-kemasyarakatan.

   Kembali ke sejarah F. Trikoyo, berdasarkan beberapa narasumber dan catatan di kantor desa, di awal terbentuknya desa F. Trikoyo dipimpin oleh Lurah Pawiro Sudarmo (1938-1943). Jika kita kaitkan dengan situasi saat itu, pastilah jabatan lurah belum dipilih secara langsung. Sebutan lurah mungkin hanyalah mengadopsi dari tradisi Jawa dan Pak Lurah pastilah merupakan figur yang memiliki prasyarat pemimpin dengan aspek ketokohannya. Ketika zaman pendudukan Jepang (1943), Lurah Pawiro Sudarmo digantikan oleh Lurah Pardi Sastro Sumito hingga pecahnya clash action agresi Belanda ke-2 tahun 1949. Hingga tahun 2014 ini, Desa F. Trikoyo telah dipimpin oleh 6 (enam) orang Lurah/Kepala Desa dengan berbagai perubahan undang-undang yang mengatur mekanisme pemilihan kepala desa. Dari ke-enam Lurah tersebut, terdapat 3 (tiga) Lurah yang menjabat sangat lama yakni selama 20 tahun dan 19 tahun. Keenam Lurah tersebut dan periode masa jabatannya adalah sbb:

No. Nama Lurah/Kades Periode Masa Jabatan (th)

Pawiro Sudarmo 1938 – 1943


Pardi Sastro Sumito 1943 – 1949


HR. Sutowihardjo (Harjotani) 1949 – 1969 (20 tahun)


Mahdi Supardjo 1969 – 1988 (19 tahun)


Umar Abdul Djabar, BA 1988 – 2008 (20 tahun)


Sriyanto 2008 – 2014


    Pendokumentasian sejarah lokal kedesaan perlu semakin digalakkan menyongsong pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, karena aset desa yang berada di dalam batas wilayah desa harus dikelola secara bijak tanpa menimbulkan perseteruan dengan desa tetangga. Sejarah asal-usul desa sangat penting untuk menentukan batas-batas desa yang di dalamnya mengandung konsekuensi kewajiban memelihara aset desa; apatah lagi jika di perbatasan desa tetangga kita terdapat sumber penghasilan yang potensial menimbulkan konflik antardesa.

BUKIT KELAM: HULU MUSI & KELINGI

    Mungkin banyak orang tak tahu bahwa hulu sungai Musi dan Kelingi ternyata bersumber dari gundukan bukit yang sama, yakni Bukit Kelam di utara Kota Curup. Jika Anda berkendara dari Curup menuju Muaraaman Lebong, di kawasan wisata Tabarenah, terbentanglah jembatan yang cukup panjang. Itulah jembatan sungai Musi. Sedangkan hulu sungai Kelingi, adalah tumpahan air Danau Mas Bestari yang menampung aliran sungai Jelatang, Pengajin, Lerak dan sungai Danau yang mengalir dari sisi timur Bukit Kelam.

  Ketika saya Dalam mengumpulan bahan penyusunan buku “Atlas Eks Onder Afdeeling Moesi Hoeloe: Sejarah dan Potensi Pengembangan Budaya dan Sumberdaya”, saya melacak peta kuno Belanda tahun 1926 yang me-refer map as Hindie (peta Belanda) tahun 1060 dan direvisi tahun 1943 dan 1945. Walaupun dicetak tahun 1945, dibandingkan dengan peta-peta baru produksi JANTOP TNI-AD 1976 atau Bakorsurtanal, peta zaman Belanda tersebut lebih detail dan jelas, walaupun untuk membacanya perlu bantuan kamus Belanda-Indonesia karya Toean A.M. Hasjim. Peta itu tampaknya lebih untuk menunjukkan teritori Residentie Palembang dan Benkoelen, yakni batas wilayah Onder Afdeeling Moesi Hoeloe dan Redjang tahun 1926.

      Bukit Kelam setinggi lk. 1.959 meter dpl berada di hamparan pegunungan anak Bukit Barisan, yang menyembul di kawasan utara kota Curup Kabupaten Rejanglebong. Ada tiga bukit berbeda yang disebut masyarakat sebagai Bukit Kelam, yakni Bukit Kelam Barat, Tengah dan Timur. Di utara Bukit Kelam ke arah Kabupaten Lebong dan Kepahiang terdapat Bukit Hulusimpang, Bukit Basa, Bukit Pasu, Bukit Condong, Bukit Biring, Bukit Lalang, Pegunungan Beus dll. Itulah gugusan pegunungan yang mengalirkan anak-anak sungai Musi, yakni: Air Dendan, Air Betung, Air Duku, Air Simpang dll.

      Sedangkan dari sisi timur gugusan Bukit Kelam, mengalir tiga sungai agak besar: paling utara adalah sungai Selat, yang miliuk-liuk hingga di Desa Belumai - Tanjungsanai dan bermuara di Watas Lubuklinggau terjun ke sungai Kelingi. Di selatannya mengalir sungai Apo, yang bermuara di sungai Kelingi di Desa Airapo. Dan di sisi paling selatan, di bawah rembesan Danau Mas Bestari mengalirlah hulu sungai Kelingi. Dibandingkan sungai Beliti, sungai Kelingi ternyata lebih panjang mengular-meliuk melintasi desa-desa sepanjang jalan utama lintas Kepalacurup – Lubuklinggau- Muarakelingi dan akhirnya bertemu kembali dengan “saudara tuanya” yakni sungai Musi di Muarakelingi.

       Sungai Musi yang memiliki panjang lebih kurang 750 km, melintasi dua provinsi dan 9 wilayah kabupaten/kota hingga bermuara di Laut Jawa. Ketujuh kabupaten/kota itu adalah: Kabupaten Rejanglebong, Kepahiang, PALI, Empatlawang, Musirawas, Muratara (di Muararawas), Musibanyuasin, Banyuasin dan Kota Palembang. Dan sejarah kuno mencatat, posisi strategis sungai Musi dan kesembilan anak sungainya, dahulu kala, adalah sebagai jalur transportasi utama dari pusat pemerintahan dan perdagangan di Palembang ke wilayah Musi Uluan di zaman Sriwijaya, Kesultanan Palembang, Penjajahan Belanda dan Jepang hingga pascakemerdekaan RI.

   Sungai Musi adalah saksi bisu lalu-lintas perdagangan karet, kopi, batu bara dan hasil bumi lainnya di zaman kerajaan hingga pascakemerdekaan. Sungai Musi jualah yang menjadi saksi sejarah pelarian petinggi Kerajaan Sriwijaya dan loyalisnya ketika dikalahkan oleh tentara (perompak) Cina, Majapahit, Mataram, dari pusat pemerintahan Palembang ke daerah Musi Uluan.

     Di zaman otonomi daerah sekarang ini, kelestarian sumber air dan keselamatan daerah aliran sungai (DAS) Musi dan anak-anaknya seperti sungai Kelingi dan Beliti sangat dipengaruhi oleh keutuhan kawasan hulu Musi yang berada di Kabupaten Rejanglebong dan Kepahiang, yang notabene bukan wilayah kendali Pemerintah Kota Lubuklinggau dan Musirawas serta kabupaten lain di hilirnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa di masa yang akan datang sangat diperlukan kerjasama multi-partied antarpemerintahan yang dikoordinasikan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah pusat, dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya air dan dampak lainnya seperti banjir dan sedimentasi sungai Musi.

  Silang sengketa antara Pemerintah Kota Lubuklinggau dengan Pemerintah Rejanglebong tentang pengelolaan sumber air PDAM bebeapa waktu yan lalu, adalah isyarat penting akan pentingnya kerjasama dwi-partied antarkedua pemerinahan. Lagi-lagi kearifan dan kebestarian kepala daerah untuk melihat masa depan akan ancaman bencana alam adalah tanggung jawab moral yang menjadi tolok-ukur sebagai pemimpin-negarawan; bukan pemimpin dari usungan partai politik an sich! Itulah ciri azasi pemimpin yang amanah sebagai penyelamat umat generasi bangsa di zaman kemudian. ***)