Selasa, 24 Maret 2020

TENGGELAMNYA VAN DER WIJK (2)

MENGENANG ROMAN BARI: TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK (2)

Oleh: Hendy UP *)

      Pada mozaik ke-26 (hal 204), dituturkan bahwa pada 20 Oktober 1936, Zainuddin pulang dari Malang utk tugas jurnalistiknya. Masuk ke rumahnya di sudut gang di Surabaya dengan wajah muram nan murung. Sungguh jiwanya sangat menyesali. Akan tetapi, dendam kesumat cintanya dan arogansi kelelakianya telah mampu membentengi dan meredam getaran sinyal ketulusan jiwa yg sesungguhnya, kepada Hayati.

     Kemarin pagi, di rumah ini, dengan tegas nan ketus setengah mengusir Hayati yg memasrahkan cintanya dengan bahasa yang dalam, dari jiwa yang bertimbun luka nan ringkih terkoyak adat kampungnya; dari kegagalan perkawinannya dengan Azis atas pilihan tradisi lingkungannya, ninik-mamaknya.

     Dan pagi ini, di kamarnya, Zainuddin menerima surat panjang terakhir Hayati, berangkai 20 paragraf, yang dititipkan kepada sahabatnya Muluk. Maka dibacalah dengan perasaan nan gusar lagi bergetar:

      "Pergantungan jiwaku, Zainuddin! Kemana lagi langit tempatku bernaung, setelah engkau hilang dari padaku Zainuddin. Apakah artinya hidup ini bagiku kalau engkau pun telah memupus namaku dari hatimu!

      Sungguh besar sekali harapanku hendak hidup di dekatmu, akan berkhidmat kepadamu dg segenap daya dan upaya, supaya mimpi yg telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dpt segala kesalahan yg besar2 yg telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi.

     Tetapi cita2ku itu tinggal selamanya menjadi cita2, karena engkau sendiri yg menutupkan pintu di hadapanku: saya kau larang masuk, sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam kesakitan yg telah sekian lama bersarang dalam hatimu, yg selalu menghambat2 perasaan cinta yang suci.

     Zainuddin! Apakah artinya harta dan perbantuan itu bagiku, kalau bukan dirimu yg ada di dekatku? Saya turutkan permintaan itu, saya akan pulang. Tetapi percayalah Zainuddin bhw saya pulang ke kampungku, hanya dua yg kunantikan. Pertama kedatanganmu kembali, menurut janjiku yg bermula, yaitu akan menunggumu, biar berbilang tahun, biar berganti musim. Dan yg kedua, ialah menunggu maut, biar saya mati dg meratapi keberuntungan yg hanya bergantung di awang2 itu.

       "  .......... "

     Selamat tinggal Zainuddin! Selamat tinggal, wahai orang yg kucintai di dunia ini. Seketika saya meninggalkan rumahmu, hanya namamu yg tetap jadi sebutanku. Dan agaknya kelak, engkaulah yg akan terpatri dlm do'aku, bila saya menghadap Tuhan di akhirat.....

      Mana tahu, umur di dlm tangan Allah! Jika saya mati dahulu, dan masih sempat engkau ziarah ke tanah pusaraku, bacakanlah doa di atasnya, tanamkan di sana daun puding panca warna dari bekas tanganmu sendiri, utk jadi tanda bhw di sanalah terkuburnya seorang perempuan muda, yg hidupnya penuh dg penderitaan dan kedukaan, dan matinya diremuk rindu dan dendam.

       Mengapa suratku ini banyak membicarakan mati? Entahlah Zainuddin, saya sendiri pun heran, seakan2 kematian itu telah dekat datangnya. Kalau kumati dahulu dari padamu, jangan kau berduka hati, melainkan sempurnakanlah permohonan doa kpd Tuhan, moga2 jika banyak benar halangan pertemuan kita di dunia, terlapangkanlah pertemuan kita di akhirat, pertemuan yg tdk akan diakhiri lagi dg maut dan tdk dipisahkan oleh rasam-basi manusia....

       Selamat tinggal Zainuddin! Dan biarlah penutup surat ini kuambil perkataan yg paling enak kuucapkan di mulutku dan agaknya entah dg itu kututup hayatku ~ di samping menyebut kalimat syahadat ~ yaitu: aku cinta akan engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenangkan engkau...."

      Sambutlah salam dari: HAYATI.

*) Muarabeliti, Selasa 24 Maret 2020.

[Sumber: idem Novel HAMKA 1938-1]

TENGGELAMNYA VAN DER WIJK (1)

MENGENANG ROMAN BARI: TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK 1938.

Oleh: Hendy UP *)

     Adalah karya sastra monumental di tahun 1938 ~ 19thn sebelum aku dilahirkan ~ dari seorang ulama besar HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) di masa belianya. Pertama kali terbit di majalah "Pedoman Masyarakat" yang dipimpin oleh HAMKA sendiri pada tahun 1938. Usia beliau saat itu 31 tahun. Karya monumental lainnya adalah "Di Bawah Lindungan Ka'bah".

     Kemudian diterbitkan dlm bentuk buku roman oleh M. Syarkawi dua kali (1939 & 1949); dan mendapat kritikan keras dari kalangan agamawan karena dianggap menyalahi kebiasaan dan kelaziman adat tradisi kala itu (1938-1948). Penerbitan selanjutnya dikelola oleh PN. Balai Pustaka hingga ke-7. Mulai penerbitan ke-8 (1961) hingga ke-17 diurus oleh Penerbit Nusantara (swasta). Dan cetakan ke-18 (1986) dan seterusnya diterbitkan oleh PT. Bulan Bintang, yang dicetak oleh PT Midas Surya Grafindo, Jakarta dengan ISBN- 979-418-055-6.

      Roman kasih yang terkelindan antara Pemuda malang Zainuddin, 'gadih Minang' Hayati, Azis dan Khadijah dan Muluk itu terserak dalam 28 mozaik kisah, yakni:

1. Anak orang terbuang;
2. Yatim piatu;
3. Menuju negeri nenek moyang;
4. Tanah asal;
5. Cahaya hidup;
6. Berkirim-kiriman surat;
7. Pemandangan di dusun;
8. Berangkat;
9. Di Padangpanjang;
10. Pacu kuda dan pasar malam;
11. Bimbang;
12. Meminang;
13. Pertimbangan;
14. Pengharapan yang putus;
15. Perkawinan;
16. Menempuh hidup;
17. Jiwa pengarang;
18. Surat-surat Hayati kkp Khadijah;
19. Club anak Sumatera;
20. Rumah tangga;
21. Hati Zainuddin;
22. Dekat, tetapi berjauhan;
23. Surat cerai;
24. Air mata penghabisan;
25. Pulang;
26. Surat Hayati yang penghabisan;
27. Sepeninggal Hayati;
28. Penutup.

       Pada mozaik ke-25 "Pulang", dikisahkan begini: "Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936 kapal Van der Wijck yang menjalani ijin KPM dari Mengkasar telah berlabuh di Pelabuhan Tanjungperak. Kapal itu akan menuju Semarang, Tanjungpriuk dan terus ke Palembang. Penumpang-penumpang yg akan meneruskan pelayaran ke Padang harus pindah kapal di Pelabuhan Tanjungpriuk".

     Dan Hayati akan menaiki kapal itu, niatnya berlayar pulang ke Padang. Ternyata, qodarullah, di tengah laut Jawa 35 mil di barat Surabaya, Hayati menjemput ajalnya; setelah cintanya yang tulus ditolak dengan kejam-setikam oleh Zainuddin, karena dendam lelaki yang beralasan.

      Padahal, merongga di lubuk hati Zainuddin, sungguh hanya mencintai Hayati sepanjang hayatnya. Tetapi, gumpalan dendam cinta itu bergelulung berbuntal-buntal mengebat jantungnya, melingkari nuraninya. Dan diusirlah Hayati dengan sepedih hati. Sungguh kelak, sebuah penyesalan yg tak pernah dibayangkan akan membawa ajal kekasih satu-satunya sepanjang hidupnya.

      Pascaditolak cintanya, Hayati menorehkan seluruh cinta-jiwanya dalam berlembar-lembar kertas, yang ditinggalkan di ruang-tulis Zainuddin. Itulah lelehan jiwa Hayati yang menularkan virus kematian utk lelaki idamannya: Zainuddin ahli waris budaya dari Negeri Batipuh X Koto wilayah Padangpanjang.

[Bersambung ke Novel HAMKA (2)]

*) Muarabeliti, Senin 23 Maret 2020.

[Ditukil dari Roman Bari "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck", Penerbit Bulan Bintang, Jkt; Cet ke-18, 1986, 224 hal: 21 cm].