Rabu, 14 Agustus 2019

KISAH HILANGNYA AIR & DINAS PENGAIRAN

Manakala berkeliling ke pedesaan di kawasan irigasi Merasi -Megangsakti, ada saja kehangatan nan tulus dalam konteks silaturahmi 'berwarganegara'. Ada hangatnya 'teh tubruk' dan rebus jagung-ubi yang tak mungkin hadir dlm 'silaturahmi' model paket tera-giga dunia maya.
Ada pertukaran humor ala kampung yang menyisipkan pesan moral tentang aneka persoalan sosial-ekonomi pedesaan yg genuin; bukan rekayasa politik-etis sebagaimana silaturahmi para politikus menjelang perhelatan Pileg-Pilkada atau balas jasa elektabilitas.


Dan 'petang-ahae' itu, di beranda rumah kawan lama yang mantan Kontak Tani, muncul kisah tentang hilangnya air dan Dinas Pengairan. Ada geriap cerita model partisipasi pembangunan desa pasca-lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan derivasinya yakni PP No. 43 Tahun 2014. Ada pula kelindan filosofis lahirnya Perda Mura Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tentu saja, foklore itu murni bersifat 'gesah-kedesaan' dan saya menangkapnya dalam konteks aturan formal regulatifnya.


Malam harinya, saya bermenung- kontemplatif dlm insinuasi-empatik akan aneka persoalan pedesaan yang sering kali gagal ditangkap oleh Pemerintah Daerah, apatah lagi oleh Pusat dan Provinsi, yang semakin terhijab oleh hiruk-pikuk 'politik-viral' yang hanya sesekali menyentuh bumi. Sayangnya kulit bumi mulai kehilangan unsur hara 'moral-esensialnya': kejujuran dan kebersamaan!


Mengapa di musim kemarau, air menghilang dari siring irigasi yang mulai nyata dari Bendung Kelingi (BK) 5 Desa A. Widodo? Padahal di BK 3 Ketuan air masih melimpah? Semua petani tahu jawabannya. Dan para pejabat-birokrat insya Alloh faham basis persoalannya.


Minggu-minggu ini ada ratusan hektar tanaman padi yang potensial puso, jikalau tak ada upaya gerakan pengawalan air oleh Tim Khusus, hingga benar-benar sampai di petak sawah kawasan Tugumulyo, Purwodadi, Sumberharta dan Muarabeliti. Aneka alat sedot air yang didrop Kementan/Dinas Pertanian ke Klp Tani tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya air yang mau dipompa-sedot tidak tersedia: "Cul ayoa..... Boss!", kata Mang Ran, sang mantan Ketua Klp. Tani "SUSAH-HONDJO".


Adapun hilangnya Dinas Pengairan Kab. Mura, jangan salahkan Pemda dan DPRD. Bertanyalah kepada 'para oknum' yang menyusun UU Pemda (UU No. 23 Thn 2014) khususnya Pasal 12, dan para teknokrat penyusun PP No. 18 Th 2016 tentang Perangkat Daerah.


Sebagai insan pertanian; saya tak habis pikir, kenapa 'urusan pangan' tidak dikategorikan sbg urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Padahal sdh ada UU Pangan yang lahir 2 tahun sebelum lahirnya UU Pemda yang 'menyesatkan' urusan pangan itu. Lebih kacau lagi, ternyata di Pasal 1 ayat (13) PP 18 Th 2016 itu sendiri menyebutkan bahwa "pelayanan dasar adalah pelayananan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara". Apakah pangan bukan kebutuhan dasar warga negara??? Kekacauan bernalar yg luar biasa.!


Akibat mindset yang kacau tentang karakteristik pangan (khususnya beras) dan proses bio-agronomisnya, maka hilanglah seluruh kosa kata 'dinas pengairan dan irigasi' di dalam UU Pemda dan PP 18/2016 tersebut. Ini tidak ada kaitannya dengan dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 ttg Sumberdaya Air oleh keputusan MK No. 85/PUU- XI/2013.


Kembali ke Pasal 37 PP No. 18 Th 2016 yang membagi urusan pemerintahan wajib dan pilihan, tidak dimungkinkan dibentuknya Dinas Pengairan yang seyogyanya akan mem-backup sektor pertanian. Ke-32 urusan yang bisa dilaksanakan oleh Pemda kab/kota tidak ada nomenklatur ttg urusan pengairan.


Di dalam Lampiran II bidang Ke-PU-an pada PP No. 18 Th 2016, dari 18 indikator hanya ada 6 item dengan total bobot 16. Dengan total bobot sebesar itu, maka hanya dimungkinkan keberadaan jabatan Kabid Pengairan yang nyantol pada Dinas ke-PU-an di level kabupaten. Yah... daripada musnah sama sekali.


*) Pemerhati birokrasi dan sosial pedesaan