Tampilkan postingan dengan label PERTANIAN-PEDESAAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PERTANIAN-PEDESAAN. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Agustus 2020

BERBURU HANTU AYO

BERBURU HANTU AYO!

Oleh: Hendy UP *)

     Dalam beberapa pekan ini, media lokal mengangkat lead tentang air irigasi yang hilang. Koran Mureks 10 Agustus 2020 menulis: "Petani Ngadirejo Berburu Air". Sebagai insan-tani, jiwa saya bergumam: "Apakah air telah 'reinkarnasi' menjadi 'supernatural being' di desa-desa sehingga perlu diburu melibatkan Babinsa?

     Sebelum musim kemarau pun, ibarat mulut sudah berbuih-buih, sendi jemari nan letih menulis, tentang kondisi irigasi di Musirawas. Pada 13 Agustus 2019, di koran Mureks saya menulis: "Kisah Hilangnya Air dan Dinas Pengairan". Intinya adalah betapa pentingnya Dinas Pengairan di Musirawas, dan betapa 'gagal-pahamnya" para kreator UU Pemda (UU No. 23/2014) di Batavia ketika merumuskan Pasal 12.

     Saya juga pernah menulis artikel provokatif: "Menggugat Pasal 12 UU Pemda" (Mureks, 12-12-2018), karena Pemerintah gagal memahami hakikat 'kebutuhan-dasar' masyarakat, sehingga di pasal 12 tertulis bahwa "pangan adalah termasuk urusan wajib non-pelayanan dasar.

     Padahal UU Pangan yang 'lex-specialis' mengatakan sebaliknya! Betapa naifnya negara agraris ini! Tapi, mungkin saja saya yang salah tafsir terhadap UU itu; alias gila nomor sepuluh yang keren disebut dungu!

     Apakah hilangnya air irigasi DI Kelingi-Tugumulyo ada kaitannya dengan hilangnya Dinas Pengairan Musirawas? Mengapa ketika masih ada Dinas Pengairan dulu juga terjadi kekeringan? Lantas apa makna-hubungannya dengan Pemda Musirawas menerbitkan Perda No. 3/2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B)?

     Jawabannya bisa debatable. Dan jangan sekali-kali mengadakan "zoom-minar" dengan mengundang Haykal si "milenial-nakal" dari Muarabelitilama, karena bisa memproduksi novel-fiksi sekebat tebal. That's unlogic! Tapi, begini! Ketika Pemda Mura menyusun OPD, tampaknya tidak berkutik menggoalkan Dinas Pengairan, karena terikat oleh Pasal 37 PP 18/2016 juncto Lamp. II bidang ke-PU-an.

     Dari 18 item variabel bobot, hanya 6 item dengan bobot maksimal 16 yang terkait dengan terbentuknya Dinas Pengairan. Nilai bobot yang tidak mungkin membentuk OPD Dinas Pengairan. Untuk kondisi kini, jika variabel jumlah sungai dan panjang sungai bisa dihitung ulang dan lebih realistis-lapangan (utk menambah bobot); dan telah adanya revisi lampiran UU Pemda tentang pembagian urusan pengelolaan irigasi, serta dibatalkannya UU No. 7/2004 tentang SDA oleh Mahkamah Konstitusi, maka ada peluang dibentuknya Dinas Pengairan Musirawas di masa mendatang.

     Tapi itu upaya bersama yang agak jangka nenengah-panjang. Yang dibutuhkan petani sekarang adalah: "bisakah air irigasi nyampai ke Ngadirejo, Mataram, Mangunharjo, Rejosari, Kertosari atau bahkan ke ujung Purwodadi? Kaum tani sangat pedih teriris air.

     Cobalah kita lihat! Di Siringagung air bergulung-gulung. Di DAM PAYUNG SOHE, air melimpah-ruah ke sungai Ketuan. Bahkan sungai Ketuan yang berfungsi sebagai "siring- avour" yang dulunya didesain Belanda hanya untuk pembuangan darurat jika jadwal perehaban, kini meluber membanjiri kolam-kolam siapa sepanjang sungai Ketuan hingga entah kemana!

     Lantas dimana hilangnya air irigasi? Maka, lacaklah lagi bersama para BABINSA -BABINKAMTIB sepanjang jaman. Bila perlu menggerakkan para DUKUN AIR se wilayah eks Kolonisasi Toegoemuljo. Karena kita khawatir, AIR IRIGASI sudah berubah jadi HANTU AYO! Allohua'lam bishshowab!

Muarabaliti, 10 Agustus 2020 *) Blogger: www.andikatuan.net

Senin, 06 Juli 2020

STAGFLASI PASCAKORONA

STAGFLASI PASCAKORONA: AYAM VERSUS CABE?

Oleh: Hendy UP *)

     Di awal Juli 2020, Kepala BPS Suhariyanto merilis data bahwa harga ayam ras dan telornya adalah penyumbang inflasi terbesar komponen pangan untuk Juni 2020. Kontribusinya: ayam 0,14% dan telor 0,04% terhadap angka inflasi yg sebesar 0,18%.

     Alasannya karena peternak mandiri kehabisan modal usaha, pasokan pakan terhambat transportasinya sehingga produksinya anjlog. Bahkan telur ayam 'dituding' sebagai biang-kerok gejolak harga tak menentu (volatile price) di 86 kota yang diukur berdasarkan indeks harga konsumen (IHK)-nya.

     Di sisi lain, komoditas cabe merah, rawit, bawang putih, minyak goreng dan gula pasir, harganya anjlok. Komoditas ini mengalami deflasi. Bawang putih dan cabe merah menyumbang 0,07% terhadap deflasi Juni 2020 kemarin.

     Lagi-lagi, Permendag No. 7 tahun 2020 yg mengatur harga langit-langit tak ada gunanya. Pada akhirnya, hukum ekonomi pasar masih berdalil klasik: harga di pasar berada pada kekuatan supplay & demand; bukan pada aturan harga legal formal di atas kertas.

      Volatile-price telor ayam ini ternyata terasa di manapun; juga di Lubuklinggau, sebagaimana dirilis Kepala BPS Lubuklinggau Eka Yuliani (Harian Silampari, 3 Juli 2020). Angka inflasi Juni 2020 untuk Kota Lubuklinggau sebesar 0,31%; inflasi kumulatif sebesar 1,31% dan YoY sebesar 1,37%.

      Memang, sejak dahulu kala hantu inflasi harga pangan sangat ditakuti oleh pemerintah terutama menjelang lebaran, paceklik atau pageblug. Tapi kaum tani malah berdoa agar terjadi inflasi harga komoditas pangan dan kebun, asalkan 'cost input' material saprotannya (terutama pupuk) konstan.

      Soal inflasi, Mang Udin Dusun Muarabeliti dan Lik Parjo Megangsakti sungguh tak peduli, apa itu inflasi, deflasi apatah lagi stagflasi. Sa'karepmu Broth .....!

     Tapi soal kendali-mengendali harga pangan ternyata pemerintah tak berkutik, mati-kutu! Bahkan kini, sudah bertahun-tahun justru terjadi deflasi harga karet (para) yang membuat masyarakat kehilangan ghiroh berkebun. Sungguh, kini ekonomi pedesaan Negeri Silampari sedang terjerembab.

     Lihat saja data perputaran uang di BI yg melemah dan laporan NPL (Non Performing Loan) perbankan yang meninggi. Banyaknya papan merk 'DIJUAL' di depan rumah dan lokasi usaha, adalah indikator banyaknya kreditur nunggak angsuran. Jika rasio NPL perbankan mendekati angka 5%, niscaya akan berkelindan dengan profitabilitas, rentabilitas, likuiditas perbankan dan aneka tas-tas lainnya.

     Mayoritas kaum tani kita, yang lebih pas disebut 'peasent' (tani pas-pasan) ketimbang disebut 'farmer' (pengusaha tani), sama sekali tidak paham dengan 'teori ekonomi gombal'. Bagi petani padi misalnya, yang penting ada jaminan pasokan air irigasi, tersedia bibit unggul dan pupuk dengan harga terjangkau, serta harga jual beras yang memadai. Pun bagi pekebun karet, ada bantuan kredit peremajaan kebun dan harga jual jedol (slab) tidak 'gila'; minimal 1 kg jedol para dusun setara dengan harga 1 hingga 2 kg beras. Itu sudah cukup untuk menggairahkan ekonomi pedesaan. Kini sekilo para tak sampai sekilo beras!

     Target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 antara -0,4% hingga 2,3%. Tapi Lembaga Kerjasama Ekonomi & Pembangunan (OECD) memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi akan berada pada angka -2,8 hingga -3,9%. Buru-buru Sri Mulyani meralat bahwa akibat bla bla bla, pertumbuhan ekonomi TW II 2020 akan terkonstraksi hingga -3,1%.(Kompas, 3 Juli 2020).

       Kondisi inilah yang dikhawatirkan para ahli ekonomi bakal terjadi stagflasi. Stagflasi adalah kondisi perekonomian negara dengan tingkat output rendah yg dibarengi oleh inflasi. Kondisi sekarang ini, jika tidak ada langkah kongkrit Pemerintah untuk menjaga basis ekonomi kerakyatan (UMKM) dan penyetopan kran impor, gejalanya mengarah ke stagflasi. Dalam kamus, stagflasi disebabkan oleh kekuatan ganda: kurangnya permintaan agregat secara relatif terhadap potensial PNB; dan meningkatnya cost input aneka usaha masyarakat. Mudah-mudahan ini tidak akan terjadi. [*]

Muarabeliti, 4 Juli 2020 *)

Rabu, 14 Agustus 2019

KISAH HILANGNYA AIR & DINAS PENGAIRAN

Manakala berkeliling ke pedesaan di kawasan irigasi Merasi -Megangsakti, ada saja kehangatan nan tulus dalam konteks silaturahmi 'berwarganegara'. Ada hangatnya 'teh tubruk' dan rebus jagung-ubi yang tak mungkin hadir dlm 'silaturahmi' model paket tera-giga dunia maya.
Ada pertukaran humor ala kampung yang menyisipkan pesan moral tentang aneka persoalan sosial-ekonomi pedesaan yg genuin; bukan rekayasa politik-etis sebagaimana silaturahmi para politikus menjelang perhelatan Pileg-Pilkada atau balas jasa elektabilitas.


Dan 'petang-ahae' itu, di beranda rumah kawan lama yang mantan Kontak Tani, muncul kisah tentang hilangnya air dan Dinas Pengairan. Ada geriap cerita model partisipasi pembangunan desa pasca-lahirnya UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dan derivasinya yakni PP No. 43 Tahun 2014. Ada pula kelindan filosofis lahirnya Perda Mura Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Tentu saja, foklore itu murni bersifat 'gesah-kedesaan' dan saya menangkapnya dalam konteks aturan formal regulatifnya.


Malam harinya, saya bermenung- kontemplatif dlm insinuasi-empatik akan aneka persoalan pedesaan yang sering kali gagal ditangkap oleh Pemerintah Daerah, apatah lagi oleh Pusat dan Provinsi, yang semakin terhijab oleh hiruk-pikuk 'politik-viral' yang hanya sesekali menyentuh bumi. Sayangnya kulit bumi mulai kehilangan unsur hara 'moral-esensialnya': kejujuran dan kebersamaan!


Mengapa di musim kemarau, air menghilang dari siring irigasi yang mulai nyata dari Bendung Kelingi (BK) 5 Desa A. Widodo? Padahal di BK 3 Ketuan air masih melimpah? Semua petani tahu jawabannya. Dan para pejabat-birokrat insya Alloh faham basis persoalannya.


Minggu-minggu ini ada ratusan hektar tanaman padi yang potensial puso, jikalau tak ada upaya gerakan pengawalan air oleh Tim Khusus, hingga benar-benar sampai di petak sawah kawasan Tugumulyo, Purwodadi, Sumberharta dan Muarabeliti. Aneka alat sedot air yang didrop Kementan/Dinas Pertanian ke Klp Tani tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya air yang mau dipompa-sedot tidak tersedia: "Cul ayoa..... Boss!", kata Mang Ran, sang mantan Ketua Klp. Tani "SUSAH-HONDJO".


Adapun hilangnya Dinas Pengairan Kab. Mura, jangan salahkan Pemda dan DPRD. Bertanyalah kepada 'para oknum' yang menyusun UU Pemda (UU No. 23 Thn 2014) khususnya Pasal 12, dan para teknokrat penyusun PP No. 18 Th 2016 tentang Perangkat Daerah.


Sebagai insan pertanian; saya tak habis pikir, kenapa 'urusan pangan' tidak dikategorikan sbg urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Padahal sdh ada UU Pangan yang lahir 2 tahun sebelum lahirnya UU Pemda yang 'menyesatkan' urusan pangan itu. Lebih kacau lagi, ternyata di Pasal 1 ayat (13) PP 18 Th 2016 itu sendiri menyebutkan bahwa "pelayanan dasar adalah pelayananan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara". Apakah pangan bukan kebutuhan dasar warga negara??? Kekacauan bernalar yg luar biasa.!


Akibat mindset yang kacau tentang karakteristik pangan (khususnya beras) dan proses bio-agronomisnya, maka hilanglah seluruh kosa kata 'dinas pengairan dan irigasi' di dalam UU Pemda dan PP 18/2016 tersebut. Ini tidak ada kaitannya dengan dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 ttg Sumberdaya Air oleh keputusan MK No. 85/PUU- XI/2013.


Kembali ke Pasal 37 PP No. 18 Th 2016 yang membagi urusan pemerintahan wajib dan pilihan, tidak dimungkinkan dibentuknya Dinas Pengairan yang seyogyanya akan mem-backup sektor pertanian. Ke-32 urusan yang bisa dilaksanakan oleh Pemda kab/kota tidak ada nomenklatur ttg urusan pengairan.


Di dalam Lampiran II bidang Ke-PU-an pada PP No. 18 Th 2016, dari 18 indikator hanya ada 6 item dengan total bobot 16. Dengan total bobot sebesar itu, maka hanya dimungkinkan keberadaan jabatan Kabid Pengairan yang nyantol pada Dinas ke-PU-an di level kabupaten. Yah... daripada musnah sama sekali.


*) Pemerhati birokrasi dan sosial pedesaan

Selasa, 09 Juli 2019

NTP DAN TUNGGAKAN WONG CILIK

Dalam beberapa bulan ini, kita disuguhi aneka berita "menyedihkan" yang disajikan koran lokal terbitan Bumi Silampari. Secara tiras-konvensional, Koran-koran itu hanya beredar di kawasan Silampari. 

Namun secara online, - dalam kode id.maya - berita itu bisa dibaca oleh warga Dusun Edensor di Inggris Utara hingga suku Maori di Negeri Aotearoa Pasifik, sekitar seribu kilometer di selatan Kepulauan Fiji. 

Judul berita itu adalah: tunggakan listrik, pemutusan air PAM dan pajak kendaran yg menunggak. Simaklah: (1) Tunggakan listrik Rayon Muarabeliti per 22 November 2018 mencapai Rp. 4,8 milyar, dari total pelanggan 14.004. Pada 19 Januari 2019 telah diputus 64 sambungan pelanggan, dan akan menyusul 544 pelanggan. Dominasi penunggak adalah di  Megangsakti, Muaralakitan dan Tugumulyo. (2) Tunggakan pajak kendaraan bermotor per 22 Feb 2019 wilayah SAMSAT Musirawas mencapai Rp. 4.491.821.500,- (29.075 kendaraan) include denda Rp. 1.185.443.375,- Didominasi kendaraan umum sebanyak 22.058 unit (76%). (3) Tunggakan air bersih BLUD-SPAM Muarabeliti per 25 Feb 2019 mencapai Rp. 241.968.451,- Pada tahun 2018 telah diputus sambungan  SPAM  sebanyak 47 pelanggan dari total pelanggan 7.111. 

Di sisi lain, kita membaca Berita Resmi Statistik (https://musirawaskab.bps.go.id) bahwa: Nilai Tukar Petani (NTP) Sumsel utk Oktober 2018 naik 0,16%; ekonomi Sumsel TW 4-2018 tumbuh 6,04%; inflasi Sumsel Jan 2019 sebesar 0,15% dan NTP Sumsel Des 2018 turun 0,98%. 

Berita tentang aneka tunggakan itu, jika kita lacak di wilayah Sumsel, rupanya setali tiga uang dengan kondisi mayoritas kabupaten di Sumsel. Artinya secara umum kondisi masyarakat Sumsel  mengalami penurunan daya beli. 

Nggak usah pakai riset mendalam, hampir pasti ini akibat rendahnya harga-harga komoditas rakyat utamanya karet dan sawit yg terpuruk dalam beberapa tahun ini; tidak seimbang dg naiknya aneka harga barang-jasa yg harus dibeli oleh masyarakat. Rantai lapangan kerja di perdesaan menyempit, karena produktivitas investasi sektor riil menurun. Secara alamiyah, biasanya menyuburkan illegal trading barang haram plus meningkatnya potensi kriminalitas di siang hari apatah lagi di malam kelam. 

Dari dua jenis berita itu: tunggakan rakyat dan data rilis BPS, sekilas ada yg tidak paralel dalam logika awam. Logika wong cilik tidak perlu-perlu 'amat' diuji statistik; cukup dirasakan dan diciumi nafas pagi rakyat perdusunan. Bukan hanya sekadar mengotak-atik aneka variabel independen nonparametrik mengikuti teori rumit Mang Kruskal Wallis. 

Data  statistik itu kadang hanya laris berbuih-buih di ruang seminar, dan segera sirna tak bermakna manakala menyaksikan betapa kini kaum proletar antri berdesakan di sudut kelam di bawah "baleho agung" para Caleg, bersiul sunyi menunggu "sedekah rupiah utk elektabilitas". 

Kata kuncinya adalah ketidakmampuan membayar tagihan akibat menurunnya daya beli, yakni kemampuan keluarga/masyarakat utk memperoleh suatu barang/jasa guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan yg paling mendasar adalah: pangan, sandang, papan, air bersih, listrik dan lapangan kerja. Untuk melakukan ikhtiar kinerja sehari-hari diperlukan kendaraan bermotor atau alat transportasi umum. 

Karena lokus tiga jenis tunggakan itu ada di Musirawas, saya membayangkan teori matematik himpunan-irisan, begini:  seandainya Rumah Tangga A adalah yg diputus saluran listriknya, juga telah diputus aliran SPAM-nya, sialnya dia juga yang nunggak bayar pajak motornya. Jika dia akan berikhtiar  mencari pekerjaan, niscaya tidak leluasa menaiki motornya karena berpeluang besar ditangkap Polisi di jalanan. 

Dan perlu dicatat bahwa dari tiga jenis tunggakan itu, jumlah RT yang potensial diputus "nyawa" hidupnya niscaya semakin banyak. Pertanyaan simpelnya: "sudahkah negara berpihak kepada kaum tani dan rakyat perdesaan yang kini 'terendam air hingga ke leher' dan terseok-seok di lumpur demokrasi ekonomi?". 

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial-budaya lokal

Sabtu, 26 Januari 2019

LADA RAWAS SUMSEL PERNAH JAYA DI TAHUN 1800~AN


Lada alias merica (Piper nigrum) ternyata pernah menjadi komoditas unggulan dari Rawas~Muratara Sumsel di era Kolonial Belanda sekitar tahun 1800-an. Hal ini terungkap dalam buku karya P. De Roo De Faille 1928 berjudul "Dari Zaman Kesultanan Palembang" yang diterjemahkan LIPI tahun 1971.

Menurut De Sturler (1843) yang dikutip De Roo De Fille, pada tahun 1729 ~1803 wilayah Rawas dan sekitarnya pernah ditargetkan 20 ribu pikul per tahun yang wajib disetor ke Kompeni. Sultan Palembang menjual ke Kompeni seharga 7 ringgit Spanyol; dan Sultan membeli dari rakyat seharga 1 ringgit Spanyol (f.2.20) dalam sistem perdagangan "tiban~tukon".

Diceritakan bahwa dalam sistem tiban~tukon, Raja atau Sultan mengirim ke daerah Uluan Musi barang-barang: kain, garam dan besi utk membuat alat pertanian; dan Raja membeli barang produk rakyat (lada) sebagai alat tukarnya. Baik barang yg didatangkan dari luar maupun barang produksi rakyat  harganya ditentukan oleh Raja. Selisih harga kedua jenis barang itulah yg menjadi pendapatan Raja dan sebagiannya untuk menyetor ke kas Kompeni.

Terlepas dari sistem "tiban~tukon" di era Kesultanan~Kompeni, Pemda Muratara kini  berpeluang mengembangkan komoditas lada di wilayah Rawas. Dokumen sejarah bari tersebut cukuplah dijadikan referensi 'ilmiah~agronomis' bahwa tanah dan agroklimat wilayah Rawas cocok utk pengembangan komoditas lada.

Tanaman famili Peperaceae ini memang cocok di lahan podsolik, lateritic hingga ultisol dengan ketinggian 300 hingga 1.100 m dpl; curah hujan antara 2000~3000 mm/tahun dan pH (potensial~Hidrogen) 5,5 ~7,0. Kandungan karbohidrat dalam 100 gram lada sekitar 64 gram, kalium 1.329, serat pangan 25 gram dan 251 kcal.

Budidaya lada milenial seperti dilansir Republika.co.id per 6 Agust 2018 adalah sistem tanaman perdu dengan jarak tanam 1 x 2 m, dengan populasi 4.500 pohon per hektar.  Hasil panen  pertama bisa mencapai 900 kg per hektar, panen tahun ketiga bisa 2.250 kg. Dengan harga sekarang sekitar Rp. 30 ribu per kg, maka pendapatan per hektar bisa tembus di angka Rp. 67 jutaan per hektar. 

Di tengah harga karet yang tak kunjung menaik dengan problem persyaratan mutu ekspornya; sementara perlakuan "dumping" minyak sawit yang nyata menjelang "era~ industri 4.0" yang terus diseminarkan di forum MEA, ada baiknya lada perdu segera "didemplotkan" di wilayah Rawas. Siapa tahu di era budidaya lada yang canggih ini,  hasilnya bisa berlipat~lipat. Allohu'alam...! 

Senin, 07 Januari 2019

DAYANGRINDU SILAMPARI

Oleh: Hendy UP *)

Di sela-sela makan siang di Inna Garuda Hotel kawasan Malioboro Yogya, saya iseng bertanya kepada seorang narasumber. Apa yang paling mengesankan dari daerah kami Musirawas Sum-Sel? Agak jeda sesaat, lalu dijawab sekenanya. “Dayangrindu…! Nasinya harum, pulen…. Luar biasa!”. Saya tahu bahwa dia pernah berkunjung ke Kecamatan BTS Ulu Cecar Kab. Musirawas dan sekitarnya, sebagai konsultan sebuah perusahaan migas. Dialog itu terjadi 24 Juni 2008, ketika saya menghadiri FGD tentang “charity model” atas pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR).


Dalam KBBI, dayang berarti gadis pelayan bagi permaisuri atau putri para raja; sedangkan rindu, salah satu maknanya adalah merasa ingin sekali bertemu. Barangkali penamaan padi/beras dayangrindu dahulu kala, dilekatkan dengan rasa dan harumnya beras dayangrindu sehingga siapa pun yang pernah menikmatinya senantiasa merindukannya.

Nama Dayangrindu ternyata bukan monopoli masyarakat Silampari saja. Masyarakat Muaraenim, Lahat dan Baturaja; sebagaimana masyarakat Jambi, Bengkulu dan Lampung juga mengenalnya. Bahkan Lampung memiliki cerita rakyat “Tetimbasi Si Dayangrindu” yang manuskripnya konon tersimpan di perpustakaan Leiden, Munich, Dublin dan London. Cerita yang mengisahkan ‘kasih tak sampai’ antara putri mahkota Kerajaan Tanjung Iran dengan Ki Bayi Radin dari Batin Pasak (Marga Rambang) itu, sungguh melegenda walaupun mulai dilupakan oleh generasi “jaman now”. 

Dayangrindu Silampari adalah salah satu varietas lokal padi ladang yang terlanjur dikenal sebagai ciri khas masyarakat Musirawas. Sentral populasinya berada di Jayaloka dan sekitarnya. Dari hasil uji galur selama lima musim, ternyata rasa dan harumnya beras Dayangrindu melekat secara genetik. Sifat-sifat inilah yang dipertahankan, sembari membuang sifat lemahnya seperti: umur panjang dan batang tinggi yang mempermudah rebah. Kita tidak pernah tahu, sejak kapan sifat-sifat bawaan ini tercipta di Bumi Silampari. Mungkin ratusan atau bahkan jutaan tahun lamanya seiring dengan proses adaptasi terhadap tanah dan agroklimat Musirawas. 

Budidaya padi ladang memang dimulai semenjak era nomaden hingga manusia mengenal perkebunan. Sejarah mencatat bahwa mula pertama padi ditemukan diduga kuat di lembah sungai Yang Tse dan Hui di era Kaisar Shen Nung, lebih kurang 14.000 tahun yang lampau. Padi jenis ini disebut Oryza sativa Japonica. Sebagian ahli lain menyebutkan bahwa padi berasal dari India, yang disebut Oryza sativa Indica. 

Demi melestarikan plasma nutfah tanaman lokal nan langka, Pemda Musi Rawas telah lama berupaya untuk mematenkan varietas ini ke lembaga yang berwenang. Pada tahun 1991-an, seorang Penyuluh Pertanian Musirawas, yakni Ir. Damhuri pernah mengusulkan Dayangrindu ke Balai Penelitian Padi Sukamandi untuk diproses sebagai varietas padi lokal Musirawas dan dipatenkan sebagai kekayaan plasma nutfah Nusantara. Namun sayang, upaya mulia tersebut belum berhasil, karena terkendala oleh biaya dan lamanya proses pemurnian varietas padi. 

Alhamdulillah pada 1 Maret 2012, telah terjalin kerja sama Litbangyasa antara Pemda Musirawas (Dinas Pertanian) dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang membuka jalan bagi upaya permurnian varietas padi lokal Dayangrindu. Kerja sama itu terus berlanjut hingga sekarang, bahkan penguatan kerja sama itu tercermin dengan terbentuknya Silampari Agro Techno Park (ATP) pada tahun 2016 yang diinisiasi oleh BATAN dengan terbitnya Per-Bup Musirawas No. 72 Tahun 2016. 

Kerja sama semakin menguat ketika terikat secara Tripartid antara BATAN – Pemda – Unmura, untuk memurnikan varietas Dayangrindu. Melalui proses “iradiasi benih” di laboratorium Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) BATAN, proses panjang yang konvensional di Balitpa Sukamandi, kini dapat diperpendek hanya 5-6 musim tanam untuk memperoleh galur murni. Berlokasi di Balai Benih Tugumulyo yang juga menjadi Basecamp ATP, proses pemurnian galur murni Dayangrindu telah dimulai pada tahun 2013. Diawali dengan proses iradiasi benih dengan sinar Gamma dosis 200 gy dan 300 gy, diteruskan dengan seleksi lapangan pada MT 2014 hingga MT 2017/2018 yang akan dipanen pada minggu kedua Maret 2018 ini. 

Rapat evaluasi pada 1 Maret 2018, dirumuskan bahwa untuk mematenkan varietas padi Dayangrindu masih memerlukan beberapa langkah lanjutan, yakni: uji daya hasil, uji adaptasi (multi lokasi) kerjasama dengan Kementerian Pertanian, uji hama penyakit, uji kualitas hasil, dan pemberkasan dokumen proposal pelepasan varietas. 

Jikalau kelak tercapai pelepasan varietas Dayangrindu, baik sebagai varietas padi nasional maupun varietas padi lokal, maka Pemda Musirawas akan mencatat sejarah telah mampu memperjuangkan hak paten varietas lokal Musirawas sebagai salah satu tanaman yang dilindungi keberadaannya sebagaimana diatur UU Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Mudah-mudahan menambah koleksi penghargaan atas inovasi Pemda Musirawas di sektor pertanian. 


*) Penulis adalah Kepala Agro Techno Park BATAN. Mukim di Kawasan Mirasi Tugumulyo Musirawas Sumsel.

PENAS TANI: DARI MASA KE MASA

Oleh: Hendy UP *)


Pekan Nasional (Penas) Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional XV akan berlangsung di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam pada bulan Mei 2017 mendatang. Di bulan ini, di setiap provinsi di seantero Nusantara tengah berlangsung Pekan Daerah (Peda) sebagai lembaga antara untuk menyatukan visi-misi dan gagasan segar lokalistik-daerah yang akan dibawa para KTNA provinsi ke gelanggang Penas XV di NAD kelak.

Peda KTNA tingkat Provinsi Sumsel diselenggarakan di Lubuklinggau yang berlangsung dari tanggal 17 – 22 Oktober 2016 pekan ini. Perhelatan Penas/Peda KTNA, sesungguhnya merupakan rangkaian sejarah pergulatan dan pergolakan panjang nan melelahkan para kaum tani, semenjak rezim Orde Lama Bung Karno hingga Orde Muta’akhir Mas Jokowi-JK.

Dalam usianya yang ke-45 tahun, harus diakui bahwa pelaksanaan Penas Petani-Nelayan Indonesia agaknya semakin kehilangan magi-nya. Di tengah keprihatinan yang menyayat kaum tani kini, di tengah kondisi Nilai Tukar Petani (NTP) yang semakin merosot tajam-menghujam mendekati angka 100, di tengah kondisi-rumit kalkulasi Indeks Gini Rasio (IGR) yang semakin menjauh dari angka nol; kiranya tidaklah berlebihan jika kita semakin wajib berkontemplasi, seberapa besar efek-manfaat atas hiruk-pikuk perhelatan Penas dan Peda di era otonomi ini.

Kondisi miris kaum tani tersebut bukanlah narasi yang ‘didramatisir’ sama sekali. Ini sebuah fakta on the field ! Luapan harapan akan harga ‘jedol parah’ yang bikin sumringah, harga tandan buah sawit yang segera melejit, serta semburat kuning hamparan padi yang akan dipanen tanpa serangan wereng-ekplosif, agaknya belum dirasakan kaum tani. Mungkin esok atau lusa, kita berharap lagi…!, seperti syair Koes Plus di era 70-an. Petani lagi-lagi masih bungkam: bahwa air irigasi from Watervang tidak pernah rela singgah di Q. Tambahasri, apatah lagi nyasar ke petak-petak sawah di Kecamatan Purwodadi secara rutin terkendali. Beruntunglah warga di Siringagung-Ketuan-Tanahperiuk, D. Tegalrejo dan sebagian Satan Ulu yang bisa berfoya-foya membendung irigasi dengan batu-bata dan besi-terali, seolah limpahan air irigasi dikirim Tuhan secara khusus hanya untuk dirinya dan tetangga kanan-kiri yang tak tahu diri.

Butir-butir pemikiran sekitar itulah, antara lain yang seyogyanya menjadi bahan permenungan para delegasi kaum tani di ajang Peda dan Penas Petani. Masyarakat tani sangat berharap, bahwa kejernihan hati dan kecerdasan intelektual serta kebijakan moral-spiritual para delegasi kaum tani di gelanggang Peda ini, harus mampu menangkap substansi dan saripati kebutuhan dasar kaum tani yang akan diperniagakan mati-matian di ajang Penas XV di Aceh kelak. Kita semua berharap, jikalau Presiden Jokowi hadir di Penas XV kelak, mestinya akan mampu menangkap ungkapan kebutuhan dasar kaum tani agar tak tergilas pasar bebas ASEAN yang semakin terasa dan tercium keringat persaingannya.

Dalam catatan perjalanan Penas, memang tidaklah setiap perhelatannya dihadiri Presiden RI. Penas VI di Simalungun dihadiri Presiden Soeharto pada tahun 1986; Penas XII di Banyuasin juga dihadiri Presiden SBY pada tahun 2007. Sekadar mengingat perjalanan sejarah Penas Petani dari waktu ke waktu berikut ini diuraikan catatan Penas I hingga Penas XIV.

No
Nama PENAS
Tempat, Waktu
Tema
1
PENAS I
Pertemuan Petani-Nelayan
Cihea, Cianjur, Jawa Barat
18-25 Sep 1971
Meningkatkan Peranan Petani dalam Program Pembangunan Pertanian
2
PENAS II
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan
Wringintelu, Jember, Jatim
23-29 Jun 1974
Meningkatkan Partisipasi Petani-Nelayan dlm Pembangunan Lima Tahun II
3
PENAS III
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Sempidi, Badung, Bali
20-24 Apr 1980
Keserasian Kegiatan Pembangunan Usaha Tani-Nelayan dg Kesempatan Kerja dan Pendapatan Klg dg Kelestarian Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam
4
PENAS IV
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Tawia, HST, Kalsel
22-27 Jun 1981
Tingkatkan Produksi dan Pengadaan Pangan bagi Kesejahteraan Bangsa dan Umat Manusia
5
PENAS V
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Probolinggo, Lampung Tengah, Lampung
22-25 Agu 1983
Meningkatkan Kemampuan, Peranan dan Peranserta Petani-Nelayan sebagai Upaya utk Mencapai Pertanian Tangguh
6
PENAS VI
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan
Bandarmarihat, Simalungun, Sumut
22-27 Jul 1986
Mewujudkan Petani-Nelayan Tangguh Dlm. Menyukseskan Lepas Landas Pemb. Pertanian Melalui Peningkatan Peranan KTNA Dlm Kelembagaan Ekonomi Perdesaan yang Sehat dan Kuat.
7
PENAS VII
Pertasikencana *)
Pangkep, Sulawesi Selatan
08-16 Jul 1988
Memantapkan Keterpaduan Kelompok Tani-Nelayan dan KUD utk Mewujudkan Petani Tangguh dan Keluarga Sejahtera

8
PENAS VIII
Pertasikencana
Mungkid, Magelang, Jateng
Juli 1991
Memantapkan Petani-Nelayan Tangguh, KUD Mandiri dan KB Mandiri yg Berwawasan Lingkungan Guna Mewujudkan Kelg. Sejahtera
9
PENAS IX
Pertasikencana
Gerung, Lombok Barat, NTB
16-22 Jul 1996
Melalui Agribisnis, Koperasi Mandiri dan Pembangunan Kelg. Sejahtera, Kita Tingkatkan Kualitas SDM dan Pengentasan Kemiskinan
10
PENAS X
Agribisnis
Tasikmalaya, Jawa Barat
20-25 Okt 2001
Melalui Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri Kita Tingkatkan Kesejahteraan Petani-Nelayan

11
PENAS XI
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan
Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara
05-10 Jun 2004
Dengan Membangun Kepemimpinan Kontak Tani-Nelayan, Kita Kembangkan Kemitraan Agribisnis menuju Petani-Nelayan Mandiri
12
PENAS XII
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Banyuasin, Palembang Sum-Sel
07-12 Jul 2007
Dengan Revitalisasi Pertanan Kita Tingkatkan Kemandirian dan Kemitraan Menuju Kesejahteraan Petani-Nelayah
13
PENAS XIII
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan

Tenggarong, Kutai Kartanegara, KalTim
18-22 Jun 2011
Melalui Pemberdayaan Petani-Nelayan dan Penguasaan Teknologi Tepatguna Kita Kembangkan Daya Saing Pereknomian Nasional Dlm Rangka Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan
14
PENAS XIV
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Kepanjen, Malang, Jawa Timur
07-21 Jun 2014
Memantapkan Kepemimpinan dan Kemandirian Kontak Tani Nelayan Dlm Rangka Pengembangan Kemitraan dan Jejaring Usaha Tani Guna Mewujudkan Kesejahteraan Petani-Nelayan.


*) Pertasikencana kependekan dari Pertanian, Koperasi, Keluarga Berencana, yakni kerja sama penggabungan peringatan Hari Krida Pertanian, Koperasi dan KB.

Lubuklinggau, 17 Oktober 2016. 


*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial-pertanian dan perdesaan, mukim di Lubuklinggau.