Lada
alias merica (Piper nigrum) ternyata pernah menjadi komoditas unggulan
dari Rawas~Muratara Sumsel di era Kolonial Belanda sekitar tahun
1800-an. Hal ini terungkap dalam buku karya P. De Roo De Faille 1928
berjudul "Dari Zaman Kesultanan Palembang" yang diterjemahkan LIPI tahun
1971.
Menurut De Sturler (1843) yang dikutip De Roo De Fille,
pada tahun 1729 ~1803 wilayah Rawas dan sekitarnya pernah ditargetkan 20
ribu pikul per tahun yang wajib disetor ke Kompeni. Sultan Palembang
menjual ke Kompeni seharga 7 ringgit Spanyol; dan Sultan membeli dari
rakyat seharga 1 ringgit Spanyol (f.2.20) dalam sistem perdagangan
"tiban~tukon".
Diceritakan bahwa dalam sistem tiban~tukon, Raja
atau Sultan mengirim ke daerah Uluan Musi barang-barang: kain, garam dan
besi utk membuat alat pertanian; dan Raja membeli barang produk rakyat
(lada) sebagai alat tukarnya. Baik barang yg didatangkan dari luar
maupun barang produksi rakyat harganya ditentukan oleh Raja. Selisih
harga kedua jenis barang itulah yg menjadi pendapatan Raja dan
sebagiannya untuk menyetor ke kas Kompeni.
Terlepas dari sistem
"tiban~tukon" di era Kesultanan~Kompeni, Pemda Muratara kini berpeluang
mengembangkan komoditas lada di wilayah Rawas. Dokumen sejarah bari tersebut cukuplah dijadikan referensi 'ilmiah~agronomis' bahwa tanah dan
agroklimat wilayah Rawas cocok utk pengembangan komoditas lada.
Tanaman
famili Peperaceae ini memang cocok di lahan podsolik, lateritic hingga
ultisol dengan ketinggian 300 hingga 1.100 m dpl; curah hujan antara
2000~3000 mm/tahun dan pH (potensial~Hidrogen) 5,5 ~7,0. Kandungan
karbohidrat dalam 100 gram lada sekitar 64 gram, kalium 1.329, serat
pangan 25 gram dan 251 kcal.
Budidaya lada milenial seperti dilansir Republika.co.id
per 6 Agust 2018 adalah sistem tanaman perdu dengan jarak tanam 1 x 2
m, dengan populasi 4.500 pohon per hektar. Hasil panen pertama bisa
mencapai 900 kg per hektar, panen tahun ketiga bisa 2.250 kg. Dengan
harga sekarang sekitar Rp. 30 ribu per kg, maka pendapatan per hektar
bisa tembus di angka Rp. 67 jutaan per hektar.
Di tengah
harga karet yang tak kunjung menaik dengan problem persyaratan mutu
ekspornya; sementara perlakuan "dumping" minyak sawit yang nyata
menjelang "era~ industri 4.0" yang terus diseminarkan di forum MEA, ada
baiknya lada perdu segera "didemplotkan" di wilayah Rawas. Siapa tahu di
era budidaya lada yang canggih ini, hasilnya bisa berlipat~lipat.
Allohu'alam...!
0 komentar:
Posting Komentar