Sabtu, 26 Januari 2019

LADA RAWAS SUMSEL PERNAH JAYA DI TAHUN 1800~AN


Lada alias merica (Piper nigrum) ternyata pernah menjadi komoditas unggulan dari Rawas~Muratara Sumsel di era Kolonial Belanda sekitar tahun 1800-an. Hal ini terungkap dalam buku karya P. De Roo De Faille 1928 berjudul "Dari Zaman Kesultanan Palembang" yang diterjemahkan LIPI tahun 1971.

Menurut De Sturler (1843) yang dikutip De Roo De Fille, pada tahun 1729 ~1803 wilayah Rawas dan sekitarnya pernah ditargetkan 20 ribu pikul per tahun yang wajib disetor ke Kompeni. Sultan Palembang menjual ke Kompeni seharga 7 ringgit Spanyol; dan Sultan membeli dari rakyat seharga 1 ringgit Spanyol (f.2.20) dalam sistem perdagangan "tiban~tukon".

Diceritakan bahwa dalam sistem tiban~tukon, Raja atau Sultan mengirim ke daerah Uluan Musi barang-barang: kain, garam dan besi utk membuat alat pertanian; dan Raja membeli barang produk rakyat (lada) sebagai alat tukarnya. Baik barang yg didatangkan dari luar maupun barang produksi rakyat  harganya ditentukan oleh Raja. Selisih harga kedua jenis barang itulah yg menjadi pendapatan Raja dan sebagiannya untuk menyetor ke kas Kompeni.

Terlepas dari sistem "tiban~tukon" di era Kesultanan~Kompeni, Pemda Muratara kini  berpeluang mengembangkan komoditas lada di wilayah Rawas. Dokumen sejarah bari tersebut cukuplah dijadikan referensi 'ilmiah~agronomis' bahwa tanah dan agroklimat wilayah Rawas cocok utk pengembangan komoditas lada.

Tanaman famili Peperaceae ini memang cocok di lahan podsolik, lateritic hingga ultisol dengan ketinggian 300 hingga 1.100 m dpl; curah hujan antara 2000~3000 mm/tahun dan pH (potensial~Hidrogen) 5,5 ~7,0. Kandungan karbohidrat dalam 100 gram lada sekitar 64 gram, kalium 1.329, serat pangan 25 gram dan 251 kcal.

Budidaya lada milenial seperti dilansir Republika.co.id per 6 Agust 2018 adalah sistem tanaman perdu dengan jarak tanam 1 x 2 m, dengan populasi 4.500 pohon per hektar.  Hasil panen  pertama bisa mencapai 900 kg per hektar, panen tahun ketiga bisa 2.250 kg. Dengan harga sekarang sekitar Rp. 30 ribu per kg, maka pendapatan per hektar bisa tembus di angka Rp. 67 jutaan per hektar. 

Di tengah harga karet yang tak kunjung menaik dengan problem persyaratan mutu ekspornya; sementara perlakuan "dumping" minyak sawit yang nyata menjelang "era~ industri 4.0" yang terus diseminarkan di forum MEA, ada baiknya lada perdu segera "didemplotkan" di wilayah Rawas. Siapa tahu di era budidaya lada yang canggih ini,  hasilnya bisa berlipat~lipat. Allohu'alam...! 

0 komentar:

Posting Komentar