Tampilkan postingan dengan label SEJARAH LOKAL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH LOKAL. Tampilkan semua postingan

Selasa, 30 September 2025

[1] SEJARAH TUGUMULYO KAB. MUSIRAWAS, SUMSEL


Catatan: Hendy UP *]

1. Mukadimah

    Sepanjang penelusuran dokumen sejarah, baik di Arsip Nasional RI maupun Delpher Nationale Bibliotheek Belanda, kata Toegoemuljo seringkali berdekatan  dengan kata: colony, Moearabeliti, atau Onderafdeeling Moesi Oeloe. 
    Tahap awal Kolonisasi Tugumulyo Musirawas (bukan Tugumulyo OKI), terbangun antara tahun 1937~1940, bersamaan dengan terbentuknya 15 kampung/desa dengan total transmigran 2.486 KK dari Jawa Tengah & Jawa Timur. Lalu terhenti, karena masuk era penjajahan Jepang (1942-1945), dan kelak dilanjutkan pada era kemerdekaan RI sekitar tahun 1952 hingga 1954.
    Kelimabelas desa awal itu adalah: (1) A. Widodo,  (2) B. Srikaton, (3) C. Nawangsasi, (4) D. Tegalrejo, (5) E. Wonokerto, (6) F. Trikoyo, (7) G. Mataram, (8) H. Wukirsari, (9) I. Sukomulyo, (10) J. Ngadirejo, (11) K. Kalibening, (12) L. Sidoharjo, (13) M. Sitiharjo, (14) O. Mangunharjo, dan (15) P. Mardiharjo. Sedangkan desa yang terbentuk pasca-kemerdekaan RI antara tahun 1952 hingga 1954, adalah desa-desa: Q. Buminoto, R. Rejosari, S. Kertosari, T. Bangunsari, U. Pagarsari, dan V. Surodadi.
     Disertasi KJ Pelzer "Pioneer Settlement in The Asiatic Tropics" (1945: hal 222) menyebutkan: "In October 1940, this project had 15 desas, according to an oral statement by the Controleur at Loeboeklinggau. Six hundred and fourteen families had arrived in 1937, 859 in 1938, 423 in 1939, and 590 in 1940. An additional 2,500 families would fill the colony completely".
      Kata Tugumulyo berasal dari kata 'tugu' dan 'mulyo'. Dua kata itu diadopsi dari bahasa Jawa. Secara kajian toponomis, tugu adalah bangunan meninggi  berbentuk silinder meruncing ke atas, terbuat dari batu, bata atau material lain. Tugu, biasanya dibangun di pusat keramaian sebuah komunitas atau di persimpangan jalan sebagai penanda tumbuhnya sebuah peradaban baru. 
      Secara semantik-antropologis, kata tugu menyiratkan nuansa  "keramat", sehingga memaksa seseorang atau komunitas disekitarnya berimajinasi untuk mengingat suatu penanda peradaban baru yang tengah diperjuangkan dan kelak akan meninggalkan jejak ingatan melampaui generasinya .  Sedangkan kata 'mulyo' bermakna 'terpandang' atau 'terhormat'.
     Jadi, para "founding parents" Toegoemoeljo dahulu, niscaya mengidamkan sebuah tatanan masyarakat baru (yang berasal dari Jawa), yang maju secara ekonomi dan terhormat di mata masyarakat sekitarnya. Melahirkan generasi ksatria yang cerdas mencerahkan dan senantiasa mendorong kemajuan bersama. 
     Lebih jauh dari itu, di dalam kepercayaan kuno 'Kapitayan' yang hidup di Jawa jauh sebelum masuknya agama Hindu-Budha dan Islam, diyakini bahwa bangunan 'tugu' adalah tempat suci sebagai penjelmaan dari salah satu sifat utama 'keghoiban' Tuhannya yang disebut Sang Hyang Taya (Tunggal). 
     Untuk meraih sifat utama tersebut, para pemeluknya memerlukan sarana fisikal yang bisa disentuh oleh panca indra. Kedua sifat utama itu disebut "Tuah" dan "Tulah". Maka, simbolitas keramat itu diejawantahkan dalam berbagai benda yang mengandung kata "Tu" atau "To", seperti: Tugu (bangunan suci), Tumbak (senjata sakti), Topeng (perisai muka),Tosan (pusaka) atau  Topong (mahkota raja) dan lain-lain  [lihat: Atlas Walisongo, Agus Sunyoto, 2012, hal. 14].
     Sayang, para pelaku sejarah terutama tokoh transmigran dan pejabat yang terkait dengan penyelenggaraan transmigrasi, tidak banyak meninggalkan dokumentasi sejarah lokal yang bisa dibaca oleh generasi kini dan mendatang. 
      Alhamdulillah, penulis merasa beruntung pernah bertemu dan berbincang dengan sebagian kecil dari mereka. Antara lain:  Bpk. H. Oemar Hasan (mantan Pesirah Proatinlima), Bpk S. Darmadji (mantan Pesirah Trirahayu), Bpk M. Nuzli (tokoh Srikaton), Bpk  Lahuri, Bpk Satirin, Bpk Tauhid KTNA (tokoh F. Trikoyo) dan Bpk Rispan (mantan Lurah Q. Buminoto). 
    Penulis juga banyak membaca catatan kesaksian dari mBah RS. Soehoed (mantan Pimpinan Balai Pengobatan Tugumulyo) melalui  koleksi catatan sejarah anak menantunya (Drs. H. Sofian Zurkasie) yang juga mantan pejabat Pemda Musirawas yang bekerja sejak 1963 hingga 1995. [Bersambung...]

*) Muarabeliti SUMSEL, 21 Mei 2023
Resunting 30 September 2025
   

Senin, 29 September 2025

SEJARAH DIPERTA KAB. MUSIRAWAS SUMSEL [2]

Catatan: Hendy UP *]

4. Akhirnya Balik ke Beliti

    Pada tahun 2007, akhirnya kantor Dinas Pertanian berpindah ke kantor baru di Kompleks Pemda Muarabeliti. Pada saat itu, kepala dinasnya dijabat oleh Sdr. Abdul Muis M. Bakup, SP., dan bupatinya dijabat oleh Ridwan Mukti. 
    Dalam catatan, Dinas Tanaman Pangan & Hortikultura adalah salah satu dari tiga Organisasi Perangkat Daerah (OPD) pertama yang pindah ke Kompleks Pemda Muarabeliti. OPD  lainnya adalah Dinas Pendidikan dan Kantor Perpustakaan Daerah. Sekadar catatan, perpindahan ibukota Kab. Musirawas ke Muarabeliti adalah konsekuensi dari terbentuknya Pemkot Lubuklinggau berdasarkan  UU No. 7 Tahun 2001 tanggal 21 Juni 2001.

C. Perubahan Nomenklatur & Pejabat

    Berdasarkan data yang terangkum dari para narasumber yang kompeten, perubahan nomenklatur dan sirkulasi pejabatnya dapat diterakan sebagai berikut:

1. Sumadi [1948-1949: 
Ajun Landbouw Consulend menjadi Djawatan Pertanian Rakjat];

2. Mas Hanafi Sutisna [1949-1950: Djawatan Pertanian Rakjat];

3. Somad [1950-1954: Djawatan Pertanian Rakjat];

4. Kasim (Plt) [1954-1955: Djawatan Pertanian Rakjat];

5. Soemarno [1955-1959: Djawatan Pertanian Rakjat];

6. Nana Halim [1959-1960: Djawatan  Pertanian Rakjat];

7. Soemali [1960-1966: Djawatan Pertanian Rakjat];

8. Zakaria [1966-1968: Djawatan Pertanian Rakjat];

9. Abd. Hasibuan [1968-1973: Dinas Pertanian Rakjat Dati II];

10. Ir. Saidi Harun [1973-1976: Dinas Pertanian  Rakjat Dati II];

11. Ir. Arsjad Abdullah [1976: Dinas Pertanian Rakjat Dati II];

12. Ir. Idris Sapudin [1976-1981: Dinas Pertanian Dati II];

13. Ramli Hasan [1981-1986: Dinas Pertanian Tanaman Pangan];

14. Dachrul Makmur, B.Sc [1986-1992: Diperta Tan. Pangan];

15. Ir. Syazili Toyib [1992-1996: Diperta Tanaman Pangan];

16. Ir. H. Sumarno, MM [1996-2004:  Dinas Pertanian];

17. H. Abd Muis M. Bakup, SP., MM [2004-2009]: Dinas Tanaman Pangan & Hortikultura/ Dinas TPH];

18. Hendy UP [27 Oktober 2009 ~ 31 Maret 2012:  Dinas TPH];

19. Dr. Ir. H. Zaini Amin [1 April 2012 ~ 31 Desember 2012: Dinas TPH];

20. Ir. Mangaratua Sitorus (Plh) [23 ~ 31 Jan 2013, sepekan: Dinas TPH];

21. Ir. Primadina Surya (Plh) [1 Jan 2013 ~ Maret 2013: Dinas TPH];

22. Ir. Suharto Patih, MM [April 2013-Mei 2014: Dinas TPH];

23. Ir. Heriyanto [Mei 2014 ~ Sep 2018: Dinas TPH]; 

24. Ir. Suharto Patih, MM [Sept 2018 ~ Okt 2018: Dinas TPH];

25. Tohirin, SP (Plt) [Oktober 2018 ~ 2 Nov 2019: Dinas Pertanian & Peternakan/ Distannak];

26. Zuhri Syawal, SP, MSc, M.Eng [2 Nov 2019 ~ 6 Oktober 2022: Distannak);

27. Dr. Ir. Hayatun Novrida, MSi [6 Okt 2022 - sekarang: Distannak].

    Demikianlah uraian singkat tentang  Sejarah Dinas Pertanian Kabupaten Musirawas dari Ajun Landbouw Consulend hingga Distannak; Dari Jalan Puyuh hingga Muarabeliti. [Tamat]

Catatan:
(*) Terima kasih kepada Pak Haji Subarjo atas curahan dan koreksi datanya, terutama tentang nama-nama pejabat dan urutannya, serta kronologi perpindahan kantor. 
Juga terima kasih kepada Adinda Robi Mawardi Gumay atas curahan data periode jabatan kepala dinas pertanian, pasca saya purnabakti tahun 2012.

(**) Pengganti sementara atas terbitnya Masa Persiapan Pensiun (MPP) Sdr. Hendy UP, dijabat/dirangkap oleh Sdr. Raidusyahri, SH selaku Sekda Musirawas;

(***) Sebelum dijabat oleh Sdr. Ir. Primadina Surya, pernah dijabat sepekan oleh Sdr. Ir. Mangaratua Sitorus untuk kepentingan administrasi. 

*] Muarabeliti, Ahad 28 Sept 2025

Minggu, 28 September 2025

SEJARAH DINAS PERTANIAN KAB. MUSIRAWAS SUMSEL [1]

Catatan: Hendy UP *]

A. Mukadimah

    Jika kita membaca buku karya Mr. Amrah Muslimin yang berjudul "Ichtisar Perkembangan Otonomi Daerah 1903-1958"   
(Penerbit Djambatan Djakarta, 1960), maka kita akan menemukan data bahwa "dinas teknis" yang paling awal "diotonomikan" ke daerah adalah Dinas Pertanian (Ajun Landbouw Dienst) dan  Dinas PU (Openbare Warken Dienst) serta Dinas Sosial (Sociale Diensten). 
    Penyerahan urusan pertanian dari Pusat ke Daerah Swatantra Tk I Sum-Sel ditandai dengan terbitnya PP No. 41 Tahun 1951. Namun jauh sebelum itu, pada era Onderaafdeling Musi Ulu, telah dibentuk Ajun Landbouw Consulend (Kantor Pembantu Penerangan Pertanian) yang berada di Jalan Puyuh,  bersebelahan dengan Kantor Bupati Musirawas di Lubuklinggau kala itu. 
    Setelah terbit UU Darurat No. 4 Th 1956 jo Pasal 73 UU No. 1 Th 1957, tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tk II Musirawas, maka nama Ajun Landbouw Consulend (ALC) berubah secara resmi menjadi Djawatan Pertanian Rakjat. 

B. Dari ALC hingga Distanak

    Pada tahun 1950-an, saya tak bisa membayangkan sesepi apa kota Lubuklinggau. Foto-foto bari yang bisa kita lacak di "tropenmuseum.nl", sungguh tak lebih dari keramaian Pasar Surulangun Rawas atau Pasar Srikaton Tugumulyo tahun 1980-an.
    Jika kita sadari bahwa geliat Kampung Lubuklinggau mulai terjadi setelah terbangunnya stasiun KA (1933) dan berpindahnya ibukota Onderafdeeling Musi Ulu dari Muarabeliti (1934), maka tahun 1950-an itu, Lubuklinggau tak lebih dari sekadar ibukota Marga Sindang Kelingi Ilir yang hendak mulai berbenah diri. 
    Pasca-kembali ke  NKRI, setelah kekacauan era Demokrasi Liberal (1950-1959) & Demokrasi Terpimpin (1959-1965) serta dimulainya program swasembada pangan "Plan Kasimo", maka kebutuhan akan kantor Dinas Pertanian yang memadai mulai dirasakan. Menurut H. Subarjo (pensiunan PNS Diperta Mura yang diwawancarai tertulis pada 16-17 Feb  2022 dan 28 September 2025), nama lembaga dan lokasi kantor pertanian mengalami perubahan, sesuai dengan dinamika aturan ketatanegaraan dan sistem politik otononi daerah kala itu. 

1. Berkantor di Jalan Puyuh

    Tidak tercatat secara lengkap sejak kapan berdirinya Kantor Ajun Landbouw Consulend di Musirawas. Namun hingga tahun 1972 (saat Kadisnya dijabat oleh Pak Abdullah Hasibuan), kantor Pertanian masih berada di Jalan Puyuh (berseberangan dengan rumah pribadi Bupati Bachtiar Amin), masih berada di Kompleks Pemda Musi Ulu Rawas kala itu. Nomor tilpun kantor Djawatan Pertanian Rakyat adalah nomor 2, sedangkan nomor tilpun Bupati Musirawas adalah nomor 1. Sementara rumah jabatan kepala dinas berlokasi di Jln. Kaswari Talangbandung.  

2. Berkantor di Tabapingin

    Pada tahun 1973, kantor Djawatan Pertanian Rakjat dipindahkan ke Tabapingin. Tepatnya di sebelah lapangan tennis, yang kelak ditempati  oleh Kandep Transmigrasi Kab. Mura dan kemudian di tahun 2008 menjadi kantor Dinas Penanaman Modal  & Perizinan Terpadu Kab. Mura. Kala itu, kompleks perkantoran Pemda Musirawas di Tabapingin belum dibangun. Hanya ada kantor Cabang Dinas Perkebunan persis di lokasi JAM GADANG sekarang. 

3. Berkantor di Talangjawakiri

    Pada tahun 1975, ketika kepala dinas dijabat oleh Ir. Saidi Harun (1973-1976), kantor pertanian dipindahkan ke Talangjawakiri, atau tepatnya di Jalan Yos Sudarso No. 9 Lubuklinggau. 
    Ketika saya mulai bekerja di Diperta tahun 1978 hingga 1985, saya menyaksikan bahwa bangunannya sangat sederhana. Hanya berlantai semen, berdinding bata setengah tiang dan selebihnya papan kayu. Bangunan kantornya berbentuk L:  untuk ruang kepala, ruang Sekretariat Bimas, ruang para Kasi dan di bagian belakang ruang per-TU-an. Tidak ada jabatan Sekretaris, Kabid atau Kasubdin. 
    Di halaman depan, bersebelahan dengan bangunan kantor, ada bangunan rumah jabatan berukuran sekitar 6 × 8 meter yang ditempati oleh Pak Syarifudin Hasibuan (Kasi Bina Program). Dan di bagian belakang yang becek berkolam ada dua rumah papan (satunya panggung) yang ditempati oleh Pak Abuwazir (Kasi Produksi), dan Pak Wancik pensiunan pertanian. [Bersambung...]
   
*] Muarabeliti, Ahad 28 Sept 2025

Sabtu, 27 September 2025

PARA PEJABAT BBU TUGUMULYO

Catatan: Hendy UP *]

A. Mukadimah

    Bagi pembaca yang bukan alumni Dinas Pertanian dan/atau lembaga mitra non-organik (KTNA, HKTI, PERPADI, dll), barangtentu perlu dijelaskan apa itu Balai Benih Utama (BBU) Tugumulyo. 
    Adalah sebuah instalasi perbenihan  padi di bawah Dinas Pertanian Kab. Musirawas yang diberi tugas khusus untuk memroduksi (& menyebarkan/ menjual) benih padi bersertifikat (unggul & bermutu) guna memenuhi kebutuhan masyarakat tani di wilayah Kab. Musirawas dan sekitarnya. 
    Dahulu, lembaga ini berada di bawah Diperta Prov. SUMSEL, dan  dibentuk tahun 1969/1970 (awal PELITA I). Secara fungsional- teknokratik, lembaga ini merupakan binaan dan perpanjangan tangan dari BALAI BENIH INDUK (BBI) BELITANG milik Diperta Prov. SUMSEL. 

B. Awalnya Sebuah SUT

    Suatu hari di tahun 2000-an, ada cerita bahwa BBU ini dulunya sebuah sekolah non-formal yang disebut  Sekolah Usaha Tani (SUT). Benarkah? Maka, kucari para narasumber yang kompeten, untuk mengompilasi bahan analisis-sintesis demi membangun konklusi yang logis. 
    Dalam catatan, lahan BBU ini konon dibeli tahun 1958 di era Bupati Zainal Abidin Ning (1958-1964). Kala itu Kadistan Kab. Musi Ulu Rawas adalah Pak Soemarno (1955-1959). [Bedakan dengan Bapak Ir. H. Sumarno, MM, Kadistan yang menjabat tahun 1996-2004].
    Pak Soemarno adalah mantan Kepala SUT Tjurup Prov. Sumsel.(Prov. Bengkulu baru dibentuk pada 18 November 1968). Maka, ketika beliau menjabat sebagai Kadis, telah memiliki pengalaman untuk mendirikan & mengelola SUT. 
    Pasca-kepemimpinan Pak Soemarno dan dijabat oleh Pak Nana Halim (1959-1960), diteruskan oleh Pak Soemali (1960-1966) dan Pak Zakaria (1966-1968), konon SUT masih berjalan. Dua orang guru yang pernah mengajar di SUT tahun 1966-1967 antara lain adalah Ny. Syamsiatun dan Sukirman. 
    Ketika diwawancarai pada Selasa, 31 Mei 2022, Ny. Syamsiatun masih segar ingatannya bahwa SUT terdiri dari 3 lokal berdinding gedheg (anyaman bambu) dengan jumlah murid berkisar 30 siswa. Sayang beliau lupa, kapan SUT ini ditutup. Diduga kuat, bersamaan dengan terbentuknya BBU tahun 1969/1970.

C. Menjadi UPT & Para Pejabatnya

    Pasca-otonomi daerah, yakni tahun 2004, lembaga ini diserahkan kepada Pemda Mura dan berstatus UPT, yang berada di bawah Diperta Kab. Mura. Kepala UPT-nya bereselon 4-A, setara dengan eselon Kacabdin di tingkat kecamatan. 
    Lokasi kompleks BBU ini berada di Desa D. Tegalrejo, di pinggir jalan raya Lubuklinggau ~ Tugumulyo. Jika Anda berkendara dari Lubuklinggau menuju Pasar B. Srikaton, di sebelah kiri, akan terlihat gapura lengkung bertuliskan AGRO TECHNO PARK (ATP). Itulah kompleks BBU Tugumulyo. Adapun ATP adalah merupakan "pseudo lembaga" yang pernah lahir dari "rahim asing" dan salah musim, pernah singgah di BBU, hanya berumur 3 musim dalam inkubator yang bermuatan "nuklir". Dan kini telah raib: mati suri! 
    Berdasarkan data resmi Dinas Pertanian Kab.Mura (2010) dalam buku "Profil Pertanian: Sejarah, Ragaan & Gagasan. Dari Ajund Landbouw Consult hingga Dinas Tanaman Pangan & Hortikultura", disebutkan bahwa kompleks BBU ini terdiri dari: lahan sawah 6 hektar, gedung  perkantoran, instalasi pengolahan benih plus lantai jemur dan gudang aneka jenis alsintan. 
    Jangan lupa, di kompleks BBU juga ada lembaga sepupunya, yakni: UPT Perlintan. Juga ada instansi di bawah Dinas Pert. Prov Sumsel, yakni Lab. Hama Penyakit dan UPT Brigade Proteksi Tanaman. 
    Lantas, siapakah para kepala BBU Tugumulyo yang pernah menjabat? Menurut narasumber Pak H. Subarjo, (mantan kepala BBU) yang mulai mengabdi sebagai PNS Pertanian sejak 1 April 1972 (pensiun 1 Nov 2008), para pejabat itu adalah:
1. Arsi Selahib (seb 1972-1976);
2. M. Nuzli (Pjs. merangkap KCD);
3. Turseno;
4. S. Darmadji; 
5. Sofyan Ta'asim;
6. Ir. Subardi;
7. Ir. Sapriyadi;
8. H. Subardjo (2002 -2003);
9. Tujiman;
10. Ir. Achmad Herman;
11. Gito Surono;
12. Zulkarnaen, SP, dan
13. Kasan, SP (2023- sekarang). 

*] Muarabeliti, 26 September 2025

Jumat, 26 September 2025

JERAMBAH BELITI

Catatan: Hendy UP *]

     Ba'da subuhan, Selasa 16 September 2025 kemarin, berita tentang jerambah Muarabeliti mengalami "virus virtual". Penyebabnya, tanah penahan abutment yang berada di halaman KPU Musirawas longsor pascahujan semalaman. Untuk beberapa pekan ke depan, agaknya jerambah itu dikawal petugas khusus untuk mengatur lalu-lintas di atasnya. 

A. Cerita Bari Jerambah Besi

    Bagi masyarakat non-Sumbagsel, barangkali agak aneh di telinga dan bertanya-tanya: "apa makna kata jerambah?"
    Dalam KBBI, kata jerambah bermakna "lantai yang berada pada ketinggian, tidak beratap, tempat mencuci pakaian atau perabot dapur dan menjemurnya". 
     Dalam bahasa tutur masyarakat Muarabeliti (dan sekitarnya) kata jerambah adalah sinonim dari jembatan. Di era Kolonial Belanda, jerambah sering disebut "brug" dan    jerambah gantung disebut "hangbrug".
    Kapan jerambah Beliti pertama dibangun? Sepanjang pelacakan dokumen bari di portal "Klentenservice Koninklijke Bibliotheek, Nederland", saya belum menemukannya.
    Diduga kuat, awal rintisan jalan darat dari Palembang- Muaraenim - Lahat - Tebing/Empatlawang ke Muarabeliti, dimulai pascajatuhnya Kesultanan Palembang pada tahun 1821. Pada tahun 1825 dilakukan pemetaan daerah uluan Palembang oleh Muntinghe yang dikenal dengan "Onderdrucking Expeditie". Kemudian diperkuat oleh kebijakan Gubernur General JG Van den Bosch (1830-1933) pada awal era "Tanam Paksa" untuk memetakan seluruh lahan di Jawa & Sumatera demi  mencocokan kesesuaian lahan dengan komoditas yang dibutuhkan pasar Eropa.
    Terlepas dari soal kapan jerambah Beliti pertama kali dibangun, faktanya, dalam catatan sejarah, jerambah besi Muarabeliti pernah "dibumihanguskan" oleh Tentara Rakyat Indonesia (TRI) pada Rabu, 29 Desember 1948. Hal ini terjadi ketika Belanda melakukan Agresi Militer II, dan pasukan Belanda telah berada di Tebing Empatlawang akan menuju Muarabeliti dan Lubuklinggau. 
    Kemudian reruntuhan jerambah itu direnovasi kembali oleh TRI setelah Belanda kocar-kacir tak sanggup menghadapi pasukan khusus bambu runcing. 

B. Jerambah Beton Pak Harun

    Menurut Pak Sukirman (76 tahun), mantan mandor PT Waskita Karya (WK) yang diwawancarai Sabtu 29-1-2022,  jerambah beton Beliti yang kini masih kokoh, mula-mula dibangun pada tahun 1975 oleh sebuah perusahaan kontraktor, namun salah desain konstruksinya. Selama hampir 3 tahun pembangunan jerambah itu mangkrak total. 
     Pada tahun 1978, akhirnya tiang beton panyangga gelagar yang sudah dipasang di tengah sungai dibongkar habis oleh kontraktor baru yakni PT. Waskita Karya. Di bawah manager lapangan Pak Ir. Harun Husein (penulis mengenal akrab, sering ngopi bareng di Muarabeliti kala itu), akhirnya jerambah Beliti selesai dan diresmikan pada tahun 1981.
    Jembatan beton ini dibuat persis bersebelahan dengan jembatan besi lama dengan panjang 90 meter (15+ 60+15). Sebagai pembanding jembatan sungai Musi di Muaralakitan yang juga dibangun oleh PT Waskita Karya (1982-1985) bentangnya sepanjang 150 meter. 

C. Jerambah Beliti Putus

    Jumat pagi 8 Desember 1995, tiba-tiba jerambah Beliti putus, 8 mobil truck nyungsep ke sungai, satu orang wafat dan jalur transportasi Lintas Tengah Sumatera macet total hingga sebulan ke depan. 
    Berita ini termuat di koran Kompas edisi Sabtu (9-12-1995) yang kubaca di beranda rumah Pak Carik Asep Desa Lemahabang Kab. Karawang. Kala itu aku sedang ikut terlibat melaksanakan riset selama 6 bulan untuk menguji-coba metode baru "Pengendalian Hama Terpadu Dengan Mendayagunakan Musuh Alami" atas sponsorship sebuah lembaga pendidikan pertanian. 
    Padahal pekan itu, dari 11 hingga 17 Desember 1995 aku memperoleh cuti-riset dan hendak pulang ke Muarabeliti. Sial sekali, aku tak bisa pulang karena tak ada bus dari Jawa ke Sumatera yang melewati jalur Muarabeliti/Lubuklinggau.
    Dengan pasrah tawaqaltu al-Alloh, aku harus menunda pulang hingga beberapa bulan ke depan. Dalam hati aku berbisik: "man is proposis, but God is disposis".
    
*] Muarabeliti, 19 September 2025

BKLU TERAWAS

Catatan: Hendy UP *] 

    Bagi pembaca di luar wilayah SUMSEL, perlu dijelaskan bahwa Batu Kuning Lakitan Ulu (BKLU) Terawas adalah sebuah kecamatan di Kab. Musirawas yang terbentuk pada tahun 1969, dan membawahkan dua wilayah marga kala itu. Kedua marga itu adalah Marga Batu Kuning Lakitan (BKL) dan Marga Suku Tengah Lakitan Ulu (STLU). 
    Jika kita lacak dokumen sejarah bari, ternyata Kec. BKLU Terawas, adalah hasil pemecahan Keasistenan Lubuklinggau, Kewedanaan Musi Ulu yang di zaman Belanda disebut  Onderafdeeling Musi Ulu. 

 A. Cerita Bari Ulu Lakitan 

     Saya belum menemukan artikel kajian toponomis tentang nama Terawas & Selangit. Adakah legenda yang terkait dengan peradaban di kawasan sungai Rawas sehingga bernama "Te-Rawas"? Atau, adakah cerita mistik yang mengaitkan norma-adat suku ini dengan status "ketinggian peradaban" hingga menjulang tinggi "Selangit"? 
    Adakah benang merah pertalian darah-puyang masyarakat Terawas (dan Selangit) dengan sub-etnik Musi-Lakitan yang notabene terhubung langsung oleh jalur sungai Lakitan yang bermuara di sungai Musi? 
    Faktanya, wilayah hulu BKLU Terawas berada ditubir Bukit Barisan di kawasan Taman Nasional Kerinci-Seblat (TNKS) yang memiliki posisi strategis dalam menyimpan ketersediaan air dan pengendali banjir (catchmant area) di hilirnya. 
    Dahulu kala, sungai Lakitan yang berhulu di celah bukit kawasan Rejang adalah merupakan urat nadi perekonomian (dan budaya) masyarakat Terawas. Anak-anak sungai Lakitan seperti sungai Ba'al, Malus, Nilau, Megang dan lain-lain adalah tangan-tangan transformasi peradaban Lembak-Silampari yang kelak ikut andil mewariskan nilai-nilai luhur patriotisme ketika melawan laknatullah Kolonial Belanda  & Jepang. ***
    Tak terlacak dengan pasti, sejak kapan peradaban lokal memunculkan era kemargaan di wilayah Selangit- Terawas. Mungkin ratusan tahun silam, ketika masyarakat adat belajar bermusyawarah bersama "tetuo dusun" yang kelak melahirkan prinsip kepemimpinan asli dengan sebutan ilmiah "primus interpares", yang berarti  "yang pertama dari yang sederajat". 
    Maknanya adalah bahwa seorang pemimpin yang terpilih memiliki beberapa keunggulan personal, seperti kejujuran, cerdas di atas rata-rata dan berwibawa, sehingga disegani oleh masyarakat. 
     Dalam catatan, di kawasan ini terbentuk 2 marga yaitu: Marga Batu Kuning Lakitan berpusat di Dusun Selangit dan Marga Suku Tengah Lakitan Ulu berpusat di Terawas. 
     Bersumber dari "Zaak Almanak Zuid Sumatera" bertahun 1936, di wilayah Onderafdeeling Moesi Oeloe terdapat 10 marga, antara lain Marga Batu Kuning Lakitan dengan Pesirah Depati Tusin dan Marga Suku Tengah Lakitan Ulu dengan Pesirah Depati Pengandal Natamarga. 
    Dalam perkembangannya kelak, Marga BKL dipimpin oleh Pesirah Sani yang merupakan anak Depati Tusin, dan Marga STLU dipimpin oleh Pesirah Tap yang juga merupakan anak dari Depati Pengandal Natamarga, hingga berakhir masa kemargaan pada tahun 1983.

B. Terbentuk Kecamatan Baru 

    Pada era Gubernur SUMSEL H. Asnawi Mangku Alam (1967-1978) dan Bupati Musirawas dijabat oleh H. MochtarAman (1968-1979), terbitlah Kpts Gubernur tanggal 16 Mei 1969 Nomor: Pd/108/1969, tentang Pemecahan Keasistenan Kota Lubuklinggau. Maka lahirlah dua kecamatan baru yaitu: Kec. Lubuklinggau dan Kec. BKLU Terawas. 
    Berdasarkan catatan dari narasumber Drs. H. Sofian Zurkasie, para Camat yang pernah menjabat di Kec. BKLU Terawas antara lain adalah:
(1) Drs. Husni Bahar (1969-1972) berasal dari Tebing Empatlawang;
(2) Drs. H. Sofian Zurkasie (1972-1975) asli Muarabeliti, (3) Sahri Wahab eks Gindo berasal dari Jawa Barat, (4) Drs. Hamdani, (5) Drs. Cik Ali Manaf, (6) Drs. Sofianto, (7) Drs. Nurdin Amasin, (8) Drs. Amirul Mukminin, dst. 
    Pada saat ini, eks Kecamatan BKLU Terawas telah dimekarkan menjadi 3 (tiga) kecamatan, yakni: Kec. STLU Terawas, (2) Kec. Selangit (Perda Mura No. 3 Th 2002) dan  (3) Kec. Sumberharta (Perda Mura No. 6 Th 2006). 

*] Muarabeliti,  24 September 2025

Senin, 15 September 2025

JEJAK GENEALOGI BAPPEDA MUSIRAWAS SUMSEL [2]

Catatan: Hendy UP *]

D. Bappeda Provinsi & Kabupaten

    Pada akhir tahun 1960, semakin diperlukan akurasi data dari daerah untuk penyusunan pola dasar pembangunan  semesta berencana. Guna validasi data lapangan dalam rangka pendekatan sistem perencanaan modern, maka diperlukan lembaga penyusun "blue print" pembangunan di daerah. Oleh karena itu di Daerah Swatantra Tk. I (provinsi) dibentuklah Badan Koordinasi Pembangunan Daerah (Bakopda; vide Keppres No. 655 Th 1961). 
   Pada akhir Pelita I (1969-1974), dengan terbitnya  Keppres No.15 Th 1974, maka lembaga Bakopda di level provinsi diubah menjadi Bappeda Dati I, yang berfungsi utama menyusun dokumen Repelita II dan pola dasar pembangunan daerah setempat.

E. Bappeda Kab. Musirawas

     Semenjak dibentuk Bakopda di Prov. Sumsel (1962), hingga terbentuknya Bappeda Prov. Sumsel tahun 1974, urusan perencanaan pembangunan daerah di Kab. Mura ditangani oleh unit kerja yang berada di bawah Sekretariat Daerah. Mulai tahun 1975, urusan perencanaan pembangunan ini semakin dipandang strategis sehingga dikuatkan secara organik di dalam unit kerja Bag. Pembangunan. 
    Enam tahun kemudian, dengan terbitnya Kepres RI No. 27 Tahun 1980 dan Kepmendagri No.185 Tahun 1980, dibentuklah Bappeda di setiap kabupaten. Di Kab. Dati II Musirawas, lembaga Bappeda dibentuk pada akhir 1980 pada era Bupati Drs. H. Syueb Tamat (1980-1990). 
    Menurut Drs. H. Sofian Zurkasie, yang juga mantan Kabag Hukum (1970-1972); Kadispenda (1978-1984); Kabagpemcapil (1984-1987) dan Sekr-DPRD (1987-1995), sebelum dibentuk Bappeda Mura akhir 1980, fungsi perenc. pembangunan daerah ditangani oleh semacam Tim Khusus yang berada di bawah Setda yang kelak menjadi Bagian Pembangunan. Pada periode akhir Bupati Mochtar Aman (10-7-1968 s/d 7-9-1979) dan caretaker Bupati Cholil Azis, SH (7-9-1979 s/d  8-3-1980), pejabat yang menangani bidang perencanaan pembangunan adalah Drs. M. Djauhari. Ketika dibentuk Bappeda Mura, maka Sdr. Drs. M. Djauhari ditunjuk sebagai Ketua Bappeda yang pertama. 
   Jika kita lacak jejak genealogi pimpinan Bappeda Mura dari awal (1980) hingga kini (2024) adalah sebagai berikut: 
(1). Drs. M. Djauhari (1980 s/d 1983);
(2). Drs. H. Baidjuri Asir, MH (Juni 1983 s/d 16 Jan 1984);
(3). Drs. H. Iskandar Zulkarnain (16 Januari 1984 s/d 1992);
(4). Drs. H Karim AR (1992 s/d 1995);
(5). Drs. H. Zainudin, MM (1995 s/d 1998);
(6). Drs. John Hadi, MSi (1998-2001) 
(7). Drs. H. Mulyanto, MH (2001 s/d 2002);
(8). Ir. H. Fauzi Zakaria (2002 s/d 2004);
(9). Ir. H. Hendra Gunawan, SH, MM (2004 s/d 2010);
(10). H. Raidusyahri, SH, MM        (2010); 
(11). Dr. Ir. H. Suharto Patih, MM  (21-08-2010 s/d 27-03-2013); 
(12). Ir. Agus Setyono, MSi (27-3-2013 s/d 17-04-2014); 
(13). Dr. Ir. H. Suharto Patih, MM           (17-04-2014 s/d 23-07-2018);
(14). Dr. Ir. H. Nanti Kasih, MSi     (23-07-2018 s/d 2021); 
(15). Zuhri Syawal, SP., MSc. MEng  (2021 s/d  25-11-2021);
(16). Kgs. Efendi Feri, SSTP
(25-11- 2021 s/d 19-09- 2023);
(17). Erwin Syarif, ST, MM.  (29-9-2023 s/d sekarang). 

F. Perpindahan Kantor Bappeda

    Masih menurut Drs. H. Sofian Zurkasie, pada awalnya Bappeda menempati salah satu ruangan di Perkantoran Pemda Mura di Lapangan Merdeka, yang kini menjadi Kompleks Masjid Agung As-Salam Lubuklinggau. Pada sekira tahun 1985-1990, seiring pindahnya kantor Pemda Mura ke Tabapingin, maka dibangunlah gedung Bappeda dua lantai yang menyatu dengan Auditorium, Op-Room, dan Markas Satpol PP.  
    Lebih kurang 33 tahun Bappeda Mura bermarkas di Tabapingin, ketika akhirnya harus "bedol kantor" ke ibukota baru di Muarabeliti. Hal ini merupakan konsekuensi logis seiring dengan pemekaran wilayah Kab. Mura, yang melahirkan Kota Lubuklinggau di tahun 2001.
    Dan sejarah  mencatat bahwa Ibukota Kab. Musirawas telah kembali ke Muarabeliti pada tahun 2005, yang dahulu pernah dipindahkan ke Lubuklinggau oleh Kolonial Belanda pada Selasa 3 April 1934. Persis sembilan puluh tahun yang lalu. ***

*] Muarabeliti SUMSEL, 17 Desember 2024; Rewrite: 21 Juni 2025.

Minggu, 07 Juli 2024

PARA CAMAT MUARABELITI [2]

Catatan: Hendy UP *) 

      Secara antropologis, Muarabeliti memiliki jejak peradaban yang relatif lebih tua dibandingkan Lubuklinggau. Adagium kuno mengatakan,  tumbuhnya  peradaban di luar jazirah Arab, bermula dari "basin river community". Bahasa Belitinya, perkampungan pinggiran sungai, dimulai dari muara pantai ke arah hulu sungai.
     Dalam catatan sejarah,  ibukota Oaf Musi Ulu di Muarabeliti dipindahkan ke Lubuklinggau pada Selasa 3 April 1934. Hal ini didasarkan pada besluit Governour Generaal  Hindia Belanda (Staatsblad No. 186 Thn 1934). Sejak itu, keramaian dan perniagaan yang selama ratusan tahun menghidupkan Muarabeliti, praktis surut-melayu bagaikan seikat ronce melati di hari ketujuh. 
       Alhamdulillah, kesunyian Muarabeliti tak terlalu berlarut!  Hanya 71 tahun lamanya, Muarabeliti kembali berseri, setelah Presiden SBY pada 11 Nov 2005 menerbitkan PP No. 46 Tahun 2005 tentang Pemindahan Ibukota Kab. Musirawas dari Lubuklinggau ke Muarabeliti. Tentu saja peran Bupati Ibnu Amin sangatlah besar dalam mendorong pemindahan ibukota,  hingga terbitnya persetujuan DPRD Mura No. 8/Kpts/DPRD/2004  tanggal 24 Oktober 2004.
        Catatan detailnya, mula-mula pusat perkantoran Pemerintahan Moesi Oeloe Rawas  berada di Lapangan Merdeka (kini Masdjid Agung As-Salam). Lalu berpindah ke  Tabapingin di era Bupati Syueb Tamat (1980-1990), diteruskan era Nang Ali Solihin (1990-1995) dan era Radjab Semendawai (1995-1999). Baru pada tahun 2005 pulang kembali ke Muarabeliti, berproses dari era Bupati Ibnu Amin (2004-2005)  dilanjutkan era Ridwan Mukti (2005-2015), era Hendra Gunawan (2016-2021) hingga era Ratna Machmud (2021-2025). Namun demikian, dengan berpindah-pindahnya pusat perkantoran dan pemerintahan, agaknya banyak arsip sejarah yang hilang tercecer. 
         Tak terkecuali data dan dokumen  para pejabat Asisten Wedana/Camat Muarabeliti, kini sangat sulit dilacak. Saya mencoba melacak dokumen lama, dan mewawancara narasumber. Narasumber utama adalah Drs. H. Sofian Zurkasi dan H. Ali Burhan, BA. Kemudian Sdr. Gunadi dan Supriyanto. Mereka adalah Pensiunan Pejabat Pemda Mura dan ASN aktif yang terkait dengan bidang pemerintahan dan pernah bertugas di Muarabeliti. 
        Hingga tahun 2023 ini, tercatat 29 nama mantan Asisten Wedana/Camat Muarabeliti sejak tahun 1954-an. Namun demikian, data tentang rentang waktu masa jabatan para Camat tersebut masih terus divalidasi sehingga akan diperoleh data yang lebih akurat demi kesempurnaan catatan sejarah pemerintahan di Musirawas. 
     Ke-29  Camat tersebut adalah:
(1) As Wedana Raden Soekarta antara 1950-1953; (2) As Wedana Saleh Ayel  antara 1953-1955; (3) As Wedana RPM Arifin antara 1955-1961; (4) As Wedana A. Nam Bastari antara 1961-1967; (5) Camat Hasanudin P. Endawan antara 1967-1972; (6) Camat Madjid Usul antara 1972-1975; (7) Drs. Sanoesi antara Juni 1975-1979; (8) Drs. Muda Azhar Lubis antara 1979-1982; (9) Drs. Ruslan Sa'ad antara 1982-1983; (10) Drs. Nursehan Dundang antara 1983-1985; (11) Drs. Rozi Lihan antara 1985-1986; (12) Drs. Zainal Abidin antara 1986-1987; (13) Drs. Hamdani antara 1987-1990; (14) Plt. Drs. Ali Mamat (1990); (15) Drs. Yusuf Yasin antara 1990-1995; (16) H. Ali Burhan, BA antara 1995-1998;   (17) H. Basri Soni, BA., SH. antara 1998-2003; (18) Untung Supriyanto, S. Sos antara Juli 2003-2004; (19) Hj. Rita Mardiyah, S.Sos antara 2004-2005; (20) Kgs. Efendi Feri, SSTP. MSi antara 2005-2009; (21) Indra Bazid, SSos antara 2009-2011; (22) Musadik Nanguning, SIP antara 2011-2013; (23) A. Rahman, S.Sos antara 2013-2017; (24) Imam Musyadar SSTP, MSi antara 2017-2019; (25) Doddy Irdiawan antara 2019-2020; (26) Plt Hardiman, SSTP,  MAP antara 2020; (27) Badarudin, S.Sos antara 2020-2021; (28) Plt. Dicky Zulkarnain, SSTP, MSi. antara Maret 2021-Agustus 2021; (29) Sarjani, S. Sos, TMT 20 Agustus 2021 hingga 31 Maret 2023, digantikan oleh  Supriyadi S.Pd, M.Pd yg sebelumnya menjabat  Sekretaris Diknas Kab. Mura.  [***]
*) Muarabeliti, 17 Oktober  2022
      [Direvisi 10 Nov 2023]

Kamis, 20 Oktober 2022

PARA CAMAT MUARABELITI (1)

Oleh: Hendy UP *) 

     Sebutan jabatan "camat" secara yuridis-konstitusional, baru dikenal sejak diundangkannya  PP No. 50 Tahun 1963 tentang Pernyataan Mulai Berlakunya Penyerahan Pemerintahan Umum Kepada Daerah  sebagaimana diamanatkan oleh  UU No. 6 Tahun 1959.    Di dalam Pasal 3 ayat (2) antara lain disebutkan bahwa Asisten Wedana disetarakan dengan jabatan Camat. Di era Kolonial Belanda, jabatan Wedana adalah Kepala Distrik, dan Asisten Wedana setara dengan Kepala Onderdistrik. 
     Dengan diundangkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, struktur-hierarkis jabatan Camat dalam susunan organisasi Pemda Tk II semakin jelas dan kuat. UU tersebut berpasangan dengan UU No. 19 Tahun 1965 yang sama-sama ditandatangani  pada 1 September 1965. UU ini berjudul "Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tk. III di Seluruh Wilayah RI". Namun sayang, kedua UU yang disahkan pada 1 September 1965 tersebut belum sempat dilaksanakan karena terjadi tragedi G-30S/PKI.
     Kedua UU tersebut merupakan amanat atas Tap MPRS No. II/MPRS/1960, yang merespon gejolak di beberapa daerah yang tidak puas dengan rumusan UU tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah sebelumnya (UU No. 1 Tahun 1957) yang dianggap terlalu sentralistik dan belum memberikan otonomi secara penuh kepada daerah swatantra (daerah otonomi). 
     Sekadar kilas-balik, sejak proklamasi RI, UU yang secara substansial  mengatur otonomi daerah adalah UU No. 1 Tahun 1945 tanggal 23 November  1945 tentang Komite Nasional Daerah, terdiri atas 6 pasal dan bersifat darurat untuk merespon gejolak di daerah agar mendukung NKRI. Tiga tahun kemudian terbit UU No. 22 Tahun 1948, dan khusus untuk wilayah Negara Indonesia Timur (NIT) diundangkan UU No. 44 Tahun 1950 yang secara substansial nyaris tidak berbeda. Kedua UU tersebut, kala itu sudah sangat desentralistik (otonomi) dalam bentuk "swapraja" dan "swatantra". Hal inilah yang dikhawatirkan oleh beberapa pejabat pusat berpotensi akan terjadinya gejolak perpecahan di daerah. Oleh karena itu, diterbitkanlah UU Pemda yang kembali "sentralistik" yakni UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 
     Jika kita telaah secara tekstual, di dalam UU No. 18 Tahun 1965 Pasal 2 ayat (1)  disebutkan bahwa: "Wilayah NKRI terbagi habis dalam daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan tersusun dalam tiga tingkatan sbb: (a) Provinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tk I; (b) Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Dati II; (c) Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Dati III".
     Artinya, sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga tahun 1965, sebutan jabatan "camat" belum secara legal-formal diterapkan dalam sistem kepemerintahan daerah. Namun demikian, pada tahun 1955, Prof. Mr. Soenarko dalam bukunya "Susunan Negara Kita Jilid IV" sudah menyebutkan: "... swatantra tingkat ketiga yang terendah dapat berwujud sebagai kota kecil, mungkin kecamatan, himpunan  beberapa desa, suatu marga, dsb".
     Semenjak terbentuknya Provinsi Sumatera Selatan pada 15 Agustus 1950 (PP No. 21 Tahun 1950) hingga tahun 1965, kedudukan Pasirah/Kepala Marga selaku kepala adat masih sangat dominan di masyarakat. Bahkan dalam beberapa sektor pemerintahan khususnya pelaksanaan bidang hukum pidana/perdata di wilayah marga, lebih berperan Pasirah ketimbang pejabat Wedana dan Asisten Wedana/Camat. Oleh karena itu , pasca-diundangkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah pun jabatan Pasirah lebih populer ketimbang Camat atau Asisten Wedana. [Bersambung]


*) Muarabeliti, 17 Oktober 2022