Oleh: Hendy UP *)
[Serial tulisan ini terutama merujuk kepada buku-buku: API SEJARAH (2 jilid) karya AM Suryanegara (2015), NEGARA PARIPURNA karya Yudi Latif (2011), SANG PANGERAN & JANISSARY TERAKHIR, karya Salim A. Fillah (2019), ATLAS WALISONGO karya Agus Sunyoto (2012), TAKDIR: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) karya Peter Carey (2014), PERGULATAN DUNIA PESANTREN editor M. Dawam Rahardjo (1985) dan SEJARAH PEMDA DI INDONESIA (2 jilid) karya Irawan Soejito (1976), serta berbagai sumber tertulis maupun video yang terdokumenter di laman media maya].
1. Mukadimah
Arkeolog Wilhelm Solheim, menyebutkan bahwa Nusantao adalah sebuah negeri di cincin khatulistiwa yang membentang di kawasan kepulauan Asia Tenggara. Patut diduga, sang arkeolog menangkap kata "Nuswantoro" dari para pelaut Jawadwipa, atau membaca manuskrip kuno yang tertulis Nuswantoro, yang kelak berubah sebutan menjadi Nusantara dan kemudian Indonesia.
Jauh sebelum era pra-kolonial, Nusantao dikenal sebagai sebuah negeri berdaulat dengan "gugus kemakmuran" (belt of prosperity) yang membentangi kawasan nan subur khatulistiwa; sebuah "negeri lautan yang ditaburi ribuan pulau" (archipelago). Archi bermakna kekuasaan, pelagos berarti lautan; bukan negeri kepulauan yang lebih mengisyaratkan bias daratan.
Yudi Latif (2011) menulis, bahwa sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Lautan juga mewarnai karakter keluasan pikiran penghuninya yang mampu menampung aneka ragam pola kehidupan, baik yang terafiliasi dengan ritual keyakinan-keagamaan maupun tradisi-budaya suku-suku bangsa dari aneka negeri yang jauh.
Mohammad Hatta (1963) melukiskan etos kelautan manusia Indonesia itu dengan sangat indah: "Laut yang melingkupi tempat kediamannya telah membentuk karakter nenek moyang kami. Irama tetap pecahan ombak yang berderai di tepi pantainya, sangat besar pengaruhnya atas timbulnya perasaan semangat bangsa. Anak-anak negeri yang menetap di tepi pantai, saban hari mengalami pengaruh alam yang tak berhingga, yang hanya dibatasi oleh kaki langit yang makin dikejar semakin menjauh".
Kemudian: "Bangsa-bangsa asing yang sering singgah dalam melakukan perniagaan dari negeri ke negeri, mendidik nenek moyang kami dalam pelbagai rupa, memberi petunjuk tentang aneka barang berharga dan strategi perniagaan. Pertemuan dengan bangsa-bangsa Hindi, Arab, Tionghoa dan lainnya, mengasah budi-pekertinya sehingga mampu menjadi tuan rumah yang ramah. Pada bangsa pelaut ini, keinginan untuk menempuh arah yang jauh senantiasa besar membakar jiwa. Dengan perahunya yang ramping, dilayarinya samudera luas tanpa gentar, ditempuhnya rantau yang jauh dengan tiada mengenal rasa takut".
Sebagai negeri kepulauan terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan yang berlimpah, Nusantao sejak dahulu menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai arus peradaban. Maka jadilah Nusantao sebagai taman sari peradaban bangsa-bangsa di seantero dunia.
Selain itu, jenius Nusantao juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur akibat muntahan lahar-debu dari deretan pegunungan vulkanik, terutama di Jawa, Bali dan Sumatera serta gugusan pulau-pulau di sepanjang Sunda Kecil hingga ke Tanah Papua. Tanah yang subur menumbuh-kembangkan segala macam: flora, fauna, misteri, khayalan, takhayul hingga pernik religi dan karakter ideologi-budayanya.
Sedari awal peradaban, etos agraris masyarakat Nusantao bersifat religius dan gotong-royong. Hal ini terbentuk dari kesadaran akan meringankan penggarapan lahan dan ancaman binatang liar secara bersama-sama. Religiusitasnya terbangun dari keyakinan akan "tenaga dahsyat" yang datang dari langit: tak tampak, tak mungkin terbayangkan namun dirasakan nyata. Itulah pengakuan awal nilai "ketauhidan" yang berada di luar nalar-akal manusia, yang kelak diyakini sebagai sosok Sang Hyang Taya dan disimbolkan dengan "lobang" kosong pada dinding mihrab bangunan suci Sanggar, tempat pemujaan dalam agama kuno Kapitayan.
*] Muarabeliti, 1 Oktober 2025