Senin, 26 September 2016

HARI IBU PERKASA

Menurut penelitian, ternyata para wanita lebih perkasa daripada pria.  Sederhana cara mengujinya: lihatlah istri atau ibu kita, seberapa banyak  mereka ‘bergerak-kerja’ dari pagi buta hingga menjelang malam syahdu. Jikalau kaum pria jujur, niscaya tak sanggup membantah statement ini!

Sudah hampir tiga tahun saya jarang sekali menginjak pekarangan Pemda Tabapingin; tetapi karena terikat kontrak kerja penyusunan sebuah buku, saya harus ‘ngantor’ di oproom Pemda seminggu full menjelang Hari Ibu 2014. Sesekali, sembari menunggu ‘word saving 544 halaman’ laptop kuno yang agak lemot, saya melemaskan otot  punggung sambil ‘menikmati’ dari balik jendela, hiruk-pikuk para wanita di halaman Pemda. Sungguh euporia para wanita itu tampaknya ditumpah-ruahkan di Hari Keperkasaannya ini.  Ada lomba joged-nyanyi dangdut ‘sakitnya ku di sini’  yang heboh-meriah, seolah-olah kurs dollar masih di bawah Rp. 11.000,-.
Ada pula ‘permainan’ bola kaki berdaster, yang lebih seru tepuk-tangannya ketimbang mutu overbolanya. Mungkin karena Pak Bupati dan pejabat teras ikut Tim Bola Daster itu. Tentu saja PSSI tidak peduli dengan klub kaya ginian,   karena mereka sedang pusing  menyelidik  ‘sepak bola gajah’ atau kemungkinan ada sepak bola mamalia  lainnya. Saya teringat komentar seorang teman: “permainan sepok-bola daster, panjat pinang dan lain-lain, sesungguhnya kepiawaian Belanda untuk ‘meninabobokan’ rakyat jajahan agar mereka lupa bahwa mereka  inlanders”.

Hari Ibu 2014 ini agaknya lebih meriah ketimbang tahun-tahun lalu. Mungkin karena ekstase kegembiraan akumulatif tahunan setelah sebelas bulan capek kerja; atau mungkin bagi para istri pejabat ingin menambah credit point menjelang isu mutasi yang menyebar di minggu ini. Kehadiran bapak-bapak pejabat mudah dimaklumi, mungkin karena mereka lebih betah di luar kantor demi menghindari tamu tak diundang di akhir tahun.

Okelah, itu semua tak terlalu penting!  Tapi yang harus diapresiasi di Hari Ibu adalah bahwa mereka sungguh perkasa. Saya teringat cukilan disertasi Carol Hetler, “Female Headed Households in a Circular Migration Village in Central Java” , yang meneliti desa Jaten Wonogiri (1984) tentang seluk-beluk wanita yang menjadi kepala rumah tangga (KRT).  Definisi KRT di sini adalah: mencari nafkah (harian atau bulanan),  mengelola keuangan (budgetting cash flow), menyelenggarakan perdapuran, mengatur tetek-bengek anak sekolah hingga ke urusan luar rumah.

 Jumlahnya cukup mencengangkan! Di Desa Jaten 14%, Jawa Tengah 18,3%, DIY 20,5%, Jawa Timur 20,4%.   Untuk tingkat nasional, pada tahun 1971 tercatat 18,3% dan naik menjadi 22,7%  tahun 1980. Dengan semakin sulitnya lapangan kerja di perdesaan – sehingga terjadi migrasi besar-besaran kaum lelaki ke kota – kini jumlahnya mendekati angka 25%-an.  Carol menyebut status KRT de jure untuk kasus ditinggal suami mati atau cerai (single parent).  Kategori lain KRT de facto, yakni ditinggal suami sementara. Ada pula kasus lain, si istri yang migran ke kota (sebagai PRT atau karyawan pabrik) meninggalkan suami dan anak-anaknya; si istri juga KRT de facto di kota rantaunya.  Jika wanita KRT de jure dan de facto digabung, jumlahnya menjadi 40% untuk kasus desa Jaten.

Pengorbanan wanita untuk keberlangsungan hidup keluarganya sungguh wajib diapresiasi. Kata emansipasi tampaknya menjadi kosa kata basi di era ini. Bahkan, adagium kuno ‘mangan ora mangan kumpul’, sudah lama berbalik: ‘gak penting kumpul angger iso mangan’.   Derasnya arus migran ke kota, sesungguhnya buah dari pembangunan sektor ekonomi dan manufakturing yang terpusat di kota-kota besar.  Munculnya gagasan Agropolitan Distrik ala Bupati Ridwan Mukti sesungguhnya untuk mencegah migrasi kaum pria dan wanita ke Lubuklinggau, Palembang atau kota-kota di Jawa yang tidak hanya banjir uang tapi juga banjir ekstasi-sabu, banjir bandang hingga lumpur-sampahnya membikin jalanan macet.

Keperkasaan kaum wanita di Muarabeliti-Muarakelingi-Muaralakitan dan Muararupit, bisa kita buktikan setiap hari, khususnya di musim berladang. Lihatlah!  Ketika di pagi buta menuju ladang, sang wanita menggendong anak batita, menggandeng anak balita, menyungging brunang-rotan di kepala; sementara sang suami melenggang di belakangnya dengan menghunus parang-panjang. Seolah ta’ peduli  dengan keperkasaan  kaum wanita. Tentu saja para wanita di desa-desa juga ta’ peduli dengan perayaan Hari Ibu, karena mereka sesungguhnya jauh lebih perkasa ketimbang kaum ibu yang di hari ibu berlomba bola daster dan joged-nari. “Sakitnya tu di sini”, sindir wanita dusun sambil menunjuk keningnya demi  menyaksikan euphoria Hari Ibu para pegawai.

Hari Ibu, 22 Desember 2014

***(*)***

0 komentar:

Posting Komentar