Menurut penelitian, ternyata para wanita
lebih perkasa daripada pria. Sederhana
cara mengujinya: lihatlah istri atau ibu kita, seberapa banyak mereka ‘bergerak-kerja’ dari pagi buta hingga
menjelang malam syahdu. Jikalau kaum pria jujur, niscaya tak sanggup membantah statement
ini!
Sudah hampir tiga tahun saya jarang sekali
menginjak pekarangan Pemda Tabapingin; tetapi karena terikat kontrak kerja
penyusunan sebuah buku, saya harus ‘ngantor’ di oproom Pemda seminggu full
menjelang Hari Ibu 2014. Sesekali, sembari menunggu ‘word saving 544 halaman’
laptop kuno yang agak lemot, saya melemaskan otot punggung sambil ‘menikmati’ dari balik jendela,
hiruk-pikuk para wanita di halaman Pemda. Sungguh euporia para wanita itu
tampaknya ditumpah-ruahkan di Hari Keperkasaannya ini. Ada lomba joged-nyanyi dangdut ‘sakitnya ku
di sini’ yang heboh-meriah, seolah-olah
kurs dollar masih di bawah Rp. 11.000,-.
Ada pula ‘permainan’ bola kaki berdaster,
yang lebih seru tepuk-tangannya ketimbang mutu overbolanya. Mungkin karena Pak
Bupati dan pejabat teras ikut Tim Bola Daster itu. Tentu saja PSSI tidak peduli
dengan klub kaya ginian, karena mereka
sedang pusing menyelidik ‘sepak bola gajah’ atau kemungkinan ada sepak
bola mamalia lainnya. Saya teringat komentar
seorang teman: “permainan sepok-bola daster, panjat pinang dan lain-lain,
sesungguhnya kepiawaian Belanda untuk ‘meninabobokan’ rakyat jajahan agar
mereka lupa bahwa mereka inlanders”.
Hari Ibu 2014 ini agaknya lebih meriah ketimbang
tahun-tahun lalu. Mungkin karena ekstase kegembiraan akumulatif tahunan setelah
sebelas bulan capek kerja; atau mungkin bagi para istri pejabat ingin menambah credit
point menjelang isu mutasi yang menyebar di minggu ini. Kehadiran bapak-bapak
pejabat mudah dimaklumi, mungkin karena mereka lebih betah di luar kantor demi
menghindari tamu tak diundang di akhir tahun.
Okelah, itu semua tak terlalu penting! Tapi yang harus diapresiasi di Hari Ibu
adalah bahwa mereka sungguh perkasa. Saya teringat cukilan disertasi Carol
Hetler, “Female Headed Households in a Circular Migration Village in Central
Java” , yang meneliti desa Jaten Wonogiri (1984) tentang seluk-beluk wanita
yang menjadi kepala rumah tangga (KRT).
Definisi KRT di sini adalah: mencari nafkah (harian atau bulanan), mengelola keuangan (budgetting cash flow),
menyelenggarakan perdapuran, mengatur tetek-bengek anak sekolah hingga ke
urusan luar rumah.
Jumlahnya cukup mencengangkan! Di Desa Jaten
14%, Jawa Tengah 18,3%, DIY 20,5%, Jawa Timur 20,4%. Untuk tingkat nasional, pada tahun 1971
tercatat 18,3% dan naik menjadi 22,7%
tahun 1980. Dengan semakin sulitnya lapangan kerja di perdesaan –
sehingga terjadi migrasi besar-besaran kaum lelaki ke kota – kini jumlahnya
mendekati angka 25%-an. Carol menyebut
status KRT de jure untuk kasus ditinggal suami mati atau cerai (single parent). Kategori lain KRT de facto, yakni ditinggal
suami sementara. Ada pula kasus lain, si istri yang migran ke kota (sebagai PRT
atau karyawan pabrik) meninggalkan suami dan anak-anaknya; si istri juga KRT de
facto di kota rantaunya. Jika wanita KRT
de jure dan de facto digabung, jumlahnya menjadi 40% untuk kasus desa Jaten.
Pengorbanan wanita untuk keberlangsungan
hidup keluarganya sungguh wajib diapresiasi. Kata emansipasi tampaknya menjadi
kosa kata basi di era ini. Bahkan, adagium kuno ‘mangan ora mangan kumpul’,
sudah lama berbalik: ‘gak penting kumpul angger iso mangan’. Derasnya arus migran ke kota, sesungguhnya
buah dari pembangunan sektor ekonomi dan manufakturing yang terpusat di
kota-kota besar. Munculnya gagasan
Agropolitan Distrik ala Bupati Ridwan Mukti sesungguhnya untuk mencegah migrasi
kaum pria dan wanita ke Lubuklinggau, Palembang atau kota-kota di Jawa yang
tidak hanya banjir uang tapi juga banjir ekstasi-sabu, banjir bandang hingga
lumpur-sampahnya membikin jalanan macet.
Keperkasaan kaum wanita di
Muarabeliti-Muarakelingi-Muaralakitan dan Muararupit, bisa kita buktikan setiap
hari, khususnya di musim berladang. Lihatlah!
Ketika di pagi buta menuju ladang, sang wanita menggendong anak batita,
menggandeng anak balita, menyungging brunang-rotan di kepala; sementara sang suami
melenggang di belakangnya dengan menghunus parang-panjang. Seolah ta’
peduli dengan keperkasaan kaum wanita. Tentu saja para wanita di
desa-desa juga ta’ peduli dengan perayaan Hari Ibu, karena mereka sesungguhnya jauh
lebih perkasa ketimbang kaum ibu yang di hari ibu berlomba bola daster dan joged-nari.
“Sakitnya tu di sini”, sindir wanita dusun sambil menunjuk keningnya demi menyaksikan euphoria Hari Ibu para pegawai.
Hari Ibu, 22 Desember 2014
***(*)***
0 komentar:
Posting Komentar