Senin, 26 September 2016

BILA KARTINI SILAMPARI MELONCAT PAGAR

Oleh: Hendy UP
Peminat Sastra Humaniora, mukim di Lubuklinggau

Bila Kartini masa kini, khususnya wanita karier dan ibu-ibu pejabat pernah membaca novel “Wanita”  karya Paul I Wilman, niscaya akan mengagumi tokoh utama Theodora yang super-allusion. Theodora pemberani yang cantik nan cerdas ini mampu ‘menaklukan’ sekian tokoh penting di kerajaan Macedonia, hingga akhirnya ia sendiri yang menjadi Ratu sesungguhnya. Ia merumuskan dan mengendalikan kompleksitas persoalan negara dan kekuasaannya cukup  di meja makan, di balik kelambu rest-area,  sembari menyantap buah naga dan durian hingga memabokkan.

Novel dua jilid itu terjemahan dari “The Woman”, dan saya berulang kali membacanya di tahun 1975 di sela-sela minggu tenang ujian. Sungguh mengesankan! Saya ‘ainul yakin bahwa si Paul terinspirasi oleh dongengan Byzantium atau Yunani kuno yang sangat berbeda budaya dan keluhuran wanitanya. Sebagaimana saya yakin bahwa si Paul belum sempat membaca “Door Duisternis tot Licht”  yang terbit di Gravenhage tahun 1912 tentang kehebatan seorang Kartini Indonesia.

Kemarin sore, keponakan saya yang masih kelas 4 SDN Muarabeliti, menyodorkan tanya yang mengejutkan. “Wak, apa beda Hari Kartini dengan Hari Ibu?”. Saya tergagap dibuatnya.  Memang, bila sekilas direnungkan, substansi Hari Kartini tak berbeda jauh dengan Hari Ibu. Hanya beda bulan, beda SK Panitia, beda-beda dikit pidato sambutan pejabatnya, tapi sama-sama ‘menyibukkan’ para istri pejabat, dan ‘agak’ merepotkan rakyat desa terutama dalam hal alokasi anggaran perayaanya. Tentu saja, mungkin saya keliru duga. Karena sesungguhnya semakin banyak media ekspresi bagi wanita Indonesia, semakin meningkat pula progres pencapaian emansipasi wanita terhadap kaum pria. Kata siapa!!!

Pertanyaannya, di koordinat mana titik keseimbangan emansipasi wanita? Apakah masih dalam absis budaya atau ordinat agama? Atau, hanya mengikuti ‘trend setter’ wanita kota? Jika kita telaah  hal yang pertama, diskusi dan perdebatannya pasti panjang kemana-mana. Tetapi jika pada area agama, kita cukup sa’mina watona. Dan bagi wanita muslimah, posisi  koordinatnya berada pada angka 114 (surat) dan 6.600 (ayat). Carilah di sana, niscaya kita percaya bahwa Tuhan menciptakan wanita dalam takaran kodrati dan skenario manuver-Nya. Wallahu a’lam.

Sekadar pura-pura ngerti, nasihat Syaikh Ahmad Jad dalam “Fikih Sunnah Wanita, Panduan Lengkap Menjadi Muslimah Shalihah”, sungguh sangat lengkap membahas posisi wanita dan hal-ikhwal adaptasinya dalam dunia kontemporer.  Kitab terbitan Pustaka Al-Kautsar yang diterjemahkan Masturi Irham dan Nurhadi, Lc  ini sangat memadai untuk mencari titik koordinat- substansial antara Hari Kartini dengan kodratiyah wanita muslimah.

Semangat Kartini hari ini, wajib kita transformasikan ke kedalaman jiwa wanita yang semakin heroik religiusitasnya tanpa kekeringan budaya makna yang berada dalam situs websitenya.  Dalam bahasa Muarabelitinya: metodologi pencarian maqom kewanitaan Indonesia  tidak boleh keluar dari situs ‘Wanita Indonesia Dotkom’.  Sedangkan multi-tracking variantnya bisa: Muslimah Dotkom, Katholik Dotkom dan seterusnya.

Harus diingat, bahwa Kartini adalah seorang muslimah Jawa yang hidup melintasi abad 19 ke 20. Lahir pada Senin Paing, 21 April 1879 dan wafat pada 17 September 1904, tiga hari setelah melahirkan anak laki satu-satunya: Soesalit.  Sang ayah, RM Adipati Sosroningrat yang juga Bupati Jepara bersama istrinya Ngasirah mencetak karakter Kartini dalam nuansa pendidikan Islami, walaupun dalam suasana pengekangan terhadap ekspresionisme budaya.   Dalam suratnya kepada Nona Zeehandelaar 9 Januari 1901, Kartini menulis: “Kecerdasan fikiran penduduk Bumi Putera tiada akan maju dengan pesatnya, apabila kaum wanita itu ketinggalan dalam usaha tersebut. Perempuan harus jadi pembawa peradaban”.

Kata kunci dalam memahami peradaban adalah harmoni.  Harmoni dalam masyarakat multi-kultural akan meningkatkan ‘religious-literacy’ yang berarti mampu memahami agama sendiri sembari terbuka terhadap agama orang lain (lita’arafu). Jika diterjemahkan pesan moral Kartini tentang peradaban  yang akan dibangun perempuan, maka hal ini berarti bahwa pertama-tama para wanita wajib mematuhi syariat agama yang dianutnya tanpa merendahkan cara berbusana dan berbudaya wanita agama lain.

Insya Allah, suatu saat kelak, muslimah di Provinsi Silampari Raya tak  lagi: meloncat pagar dengan rambut terjurai, sibuk memainkan peran Theodora untuk mengatur warna pelangi sembari menyantap buah naga bersama Sang Raja yang sibuk menandatangani dokumen negara.

Hari Kartini, 22 Desember 2015

***(*)***

0 komentar:

Posting Komentar