Oleh: Hendy UP
Peminat Sastra Humaniora, mukim di
Lubuklinggau
Bila Kartini masa kini, khususnya wanita
karier dan ibu-ibu pejabat pernah membaca novel “Wanita” karya Paul I Wilman, niscaya akan mengagumi
tokoh utama Theodora yang super-allusion. Theodora pemberani yang cantik nan
cerdas ini mampu ‘menaklukan’ sekian tokoh penting di kerajaan Macedonia,
hingga akhirnya ia sendiri yang menjadi Ratu sesungguhnya. Ia merumuskan dan
mengendalikan kompleksitas persoalan negara dan kekuasaannya cukup di meja makan, di balik kelambu rest-area, sembari menyantap buah naga dan durian hingga
memabokkan.
Novel dua jilid itu terjemahan dari “The Woman”, dan saya berulang kali
membacanya di tahun 1975 di sela-sela minggu tenang ujian. Sungguh mengesankan!
Saya ‘ainul yakin bahwa si Paul terinspirasi oleh dongengan Byzantium atau Yunani
kuno yang sangat berbeda budaya dan keluhuran wanitanya. Sebagaimana saya yakin
bahwa si Paul belum sempat membaca “Door Duisternis tot Licht” yang terbit di Gravenhage tahun 1912 tentang
kehebatan seorang Kartini Indonesia.
Kemarin sore, keponakan saya yang masih kelas 4 SDN Muarabeliti, menyodorkan
tanya yang mengejutkan. “Wak, apa beda Hari Kartini dengan Hari Ibu?”. Saya
tergagap dibuatnya. Memang, bila sekilas
direnungkan, substansi Hari Kartini tak berbeda jauh dengan Hari Ibu. Hanya
beda bulan, beda SK Panitia, beda-beda dikit pidato sambutan pejabatnya, tapi
sama-sama ‘menyibukkan’ para istri pejabat, dan ‘agak’ merepotkan rakyat desa terutama
dalam hal alokasi anggaran perayaanya. Tentu saja, mungkin saya keliru duga.
Karena sesungguhnya semakin banyak media ekspresi bagi wanita Indonesia, semakin
meningkat pula progres pencapaian emansipasi wanita terhadap kaum pria. Kata
siapa!!!
Pertanyaannya, di koordinat mana titik
keseimbangan emansipasi wanita? Apakah masih dalam absis budaya atau ordinat
agama? Atau, hanya mengikuti ‘trend setter’ wanita kota? Jika kita telaah hal yang pertama, diskusi dan perdebatannya
pasti panjang kemana-mana. Tetapi jika pada area agama, kita cukup sa’mina
watona. Dan bagi wanita muslimah, posisi koordinatnya berada pada angka 114 (surat) dan
6.600 (ayat). Carilah di sana, niscaya kita percaya bahwa Tuhan menciptakan
wanita dalam takaran kodrati dan skenario manuver-Nya. Wallahu a’lam.
Sekadar pura-pura ngerti, nasihat Syaikh Ahmad Jad dalam “Fikih Sunnah
Wanita, Panduan Lengkap Menjadi Muslimah Shalihah”, sungguh sangat lengkap
membahas posisi wanita dan hal-ikhwal adaptasinya dalam dunia kontemporer. Kitab terbitan Pustaka Al-Kautsar yang
diterjemahkan Masturi Irham dan Nurhadi, Lc
ini sangat memadai untuk mencari titik koordinat- substansial antara
Hari Kartini dengan kodratiyah wanita muslimah.
Semangat Kartini hari ini, wajib kita transformasikan ke kedalaman jiwa
wanita yang semakin heroik religiusitasnya tanpa kekeringan budaya makna yang berada
dalam situs websitenya. Dalam bahasa
Muarabelitinya: metodologi pencarian maqom kewanitaan Indonesia tidak boleh keluar dari situs ‘Wanita
Indonesia Dotkom’. Sedangkan multi-tracking
variantnya bisa: Muslimah Dotkom, Katholik Dotkom dan seterusnya.
Harus diingat, bahwa Kartini adalah seorang muslimah Jawa yang hidup
melintasi abad 19 ke 20. Lahir pada Senin Paing, 21 April 1879 dan wafat pada
17 September 1904, tiga hari setelah melahirkan anak laki satu-satunya:
Soesalit. Sang ayah, RM Adipati
Sosroningrat yang juga Bupati Jepara bersama istrinya Ngasirah mencetak
karakter Kartini dalam nuansa pendidikan Islami, walaupun dalam suasana
pengekangan terhadap ekspresionisme budaya.
Dalam suratnya kepada Nona Zeehandelaar 9 Januari 1901, Kartini menulis:
“Kecerdasan fikiran penduduk Bumi Putera tiada akan maju dengan pesatnya,
apabila kaum wanita itu ketinggalan dalam usaha tersebut. Perempuan harus jadi
pembawa peradaban”.
Kata kunci dalam memahami peradaban adalah harmoni. Harmoni dalam masyarakat multi-kultural akan
meningkatkan ‘religious-literacy’ yang berarti mampu memahami agama sendiri
sembari terbuka terhadap agama orang lain (lita’arafu). Jika diterjemahkan
pesan moral Kartini tentang peradaban
yang akan dibangun perempuan, maka hal ini berarti bahwa pertama-tama
para wanita wajib mematuhi syariat agama yang dianutnya tanpa merendahkan cara
berbusana dan berbudaya wanita agama lain.
Insya Allah, suatu saat kelak, muslimah di
Provinsi Silampari Raya tak lagi: meloncat
pagar dengan rambut terjurai, sibuk memainkan peran Theodora untuk mengatur warna
pelangi sembari menyantap buah naga bersama Sang Raja yang sibuk menandatangani
dokumen negara.
Hari Kartini, 22 Desember 2015
***(*)***
0 komentar:
Posting Komentar