Kamis, 26 Maret 2020

PENGANTAR BUKU (3)

GUMAM: PENGALAMAN MENULIS DENGAN JARAK

Bagian  III

     "Saya bukan saja tidak menyadari adanya konflik itu. Bahkan tidak menyadari hubungan keduanya. Kalau saya menulis cerita fiksi, itu sajalah yang menjadi fokus. Saya merasa bahwa saya punya hubungan naif yang biasa dengan fantasi, yang dengan itu orang harus memulainya; kemudian saya berjuang dengan kata kerja, kata keadaan, atau koma. Dan saya jarang membayangkan apa jadinya cerita fiksi itu. Tentu saja, saya tidak pernah menulis fiksi sebagai ilustrasi dari gagasan yang ada pada diri saya sebagai penulis esai". Begitu pendapat lugas Novelis Susan Sondag, sebagaimana dikutip Ignas Kleden (1989), ketika mengantarkan "Catatan Pinggir II", karya Goenawan Muhamad.

      Sekali pun Susan itu mungkin benar dan jujur, hal itu tidaklah menafikan keperluan untuk melihat, apakah aku sebagai birokrat sekaligus penulis opini kritik kepada Pemerintah tidak melahirkan "modus vivendi" yang baru? Sebagai birokrat, aku berusaha bekerja sesuai dengan "TUPOKSI". Sepanjang karirku sebagai PNS di berbagai instansi, aku berusaha melaksanakan tugas pokok organisasi sebisa mungkin. Walau itu tidak mudah. Ada "job discription" sebagai panduan per eselon, per jabatan, walau kadang tak selamanya jelas. Sering campur-baur, dan selalu ada klausal Tupoksi yang sulit disangkal: "melaksanakan tugas yang diberikan atasan". Tafsirnya bisa melebar-jembar.

     Mungkin karena profesionalitas birokrasi pemerintahan saat ini masih sebatas ungkapan formal- labial. Entah sampai kapan masanya! Untuk melaksanakan Tupoksi, pada galibnya, pertama-tama diperlukan rujukan aturan: UU, PP, Per-Men, Per-Da, atau apa pun produk hukum yang wajib dibaca, dipahami dan direnungkan. Lantas, menuliskannya dalam proposal kebijakan administratif dan/atau teknis operasional.

     Tentu dengan argumentasi yang sehat dan kredibel. Ada Standar Operasional Prosedur (SOP) hingga Pedum dan Juknis. Birokrat, sesungguhnya senantiasa bekerja dengan huruf, kosa-kata, kalimat, paragraf, kadang retorika, hingga apostrof titik koma atau bahkan tanda tanya. Sebagai birokrat, aku bekerja dengan kosa-kata, kalimat dan paragraf.

     Pun pula sebagai penulis aku bergulat dengan material yang sama, menyusun serial paragraf. Aku kadang ber-aposisi dalam menyusun kalimat agar lebih susastra. Bahkan, sebagai penulis artikel, aku lebih leluasa berinovasi dalam membangun proposal, merumuskan dan menderivasi tema. Dalam menulis artikel, aku lebih bergairah menggali dan mempromosikan: ide baru yang "out of the box", mengungkit kosa kata "bari" yang lokalistik ke level nasional, membuat kosa-kata baru yang terdengar "aneh".

     Misalnya: membeliung, mendedag, melebar-jembar, pekat-lekat, kabur-baur, melejit-gesit, selip-melip dan banyak lagi; yang tidak mungkin ditemukan di KBBI atau KATEGLO Ivan Lanin. Motifku hanya berekreasi sembari berkreasi demi rasa bahasa, taste dan lebih pada "suka-suka gue". Dan itu menghadirkan kegembiraan dalam berkarya. Bukankah evoluasi bahasa apa pun selalu berkelindan dengan derap peradaban baru? Invensi dan inovasi baru? Demi kegembiraan dan kemaslahatan ummat?

     Ketika kesukaanku memunculkan kosa-kata "aneh" yang mengalir dari jiwaku, tiba-tiba aku disokong oleh genius lokal SILAMPARI yang menjulang namanya dengan vitalisme, kapitalisasi kata dan paragrafisasi cerita lokal Silampari. Dan kini telah meloncat jauh dari pusaran lubuk Silampari: ke kampung asing di Pakistan dan terus ke pusat peradaban dunia di Eropa.

      Dan entah akan kemana lagi kelak! Karya-karyanya melejit-gesit, membumbung langit, menapaki gemawan di puncak ionosfir. Bahkan merayap-kayap di belantara flora Nusantara yang berlekuk. Mendesis diam-diam, dan "meracuni" novelis lain yang merasa sudah mapan di zona nyaman.

     Itulah BENNY ARNAS, bujang genuin SILAMPARI yang memprovokasiku untuk segera membukukan arsip tulisanku ini. Padahal, karyaku ini tak lebih dari: GAGASAN LIAR-LIUR YANG MAHANGAWUR. Bukan apa-apa! [***]

Muarabeliti, 1 Desember 2019

PENGANTAR BUKU (2)

GUMAM: PENGALAMAN MENULIS DENGAN JARAK

Bagian  II

      Kebiasaan menulis dan membaca: mana yang lebih awal? Bagiku, berawal dari membaca. Setidaknya itu pengalamanku. Orang lain boleh beda pendapat. Tapi kini, setelah menulis menjadi hobi, membaca adalah ikhtiar pengayaan tulisan, pelacakan referensial, pemutahiran isu, data dan informasi, agar tak ketinggalan pokok bahasan. Kini, prosesnya menjadi paralel-serial. Menulis sembari membaca. Atau sebaliknya.

     Arkian, samar lamat-lamat, nun jauh di masa kecil, aku terbiasa menyaksikan ayahku membaca. Sambil menunggu ibu bertanak, Ayah mengaisku dengan kain di pinggang kiri, menyuapi mulutku dengan nasi atau ubi bakar; atau menggendongku di petang hari, ayahku senantiasa membaca. Membaca dan membaca! Entah apa yang dibaca, aku tak mungkin ingat!

     Di tahun 60-an, saat aku masih Balita, hidup di kampung, entah buku apa yang Ayah baca. Yang masih kuingat, jika ada momen penting, ayahku menulis di belakang pintu kamar: tanggal lahirku dan kakakku ada di sana. Menjual sapi ada di sana. Merehabilitasi rumah ada di sana. Pendeknya semua event yang dianggap monumental!

   Atau di blandongan belakang. Semacam 'dapur kotor' yang centang-perenang, bertumpuk aneka piranti tani: cangkul, bajak, garu dkk, bersebelahan dengan kandang kerbau-sapi; ayahku menulis dengan arang di dinding gedeg: tanggal lahir sapi atau hari mulai bajak sawah. Dan lain-lain. Dan ingatan itu melekat-pekat dalam pengalaman kecilku.

     Ketika menginjak masa SD-SMP aku mulai meniru, mencatat hal-hal penting di buku bekas, bagian belakang buku atau bekas kalender. Dan kala SPMA, aku mulai rutin mencatat kegiatan harian. Kadang tiap hari, dua hari kemudian, seminggu kemudian atau dirangkum setiap sebulan dan bahkan setiap akhir tahun. Semacam evaluasi diri menjelang menapaki tahun baru.

      Ternyata, kebiasaan itu berlanjut hingga menjadi PNS, baik sebagai staf bawahan maupun ketika aku harus membina banyak orang. Menulis artikel opini di koran, atau di blog/website, atau apa pun namanya, pada hakekatnya adalah menyampaikan pandangan, gagasan atau pemikiran secara personal.

     Ada adagium kuno bahwa menyampaikan gagasan yang (mungkin) benar kepada siapa pun, harus dengan cara yang benar, sopan-beretika dengan menggunakan pilihan diksi-narasi yang santun. Baik ketika berdiskusi langsung (apalagi dengan atasan), maupun ketika beropini di media cetak atau media maya-elektronika.

     Gagasan itu kadang berasal dari potret situasi, deskripsi, atau sebuah obsesi yang harus diraih dan diperjuangkan. Tapi tak jarang artikelku berupa kritik terhadap penguasa. Tentu dengan gaya bahasa santun, menyodorkan fakta baru atau gagasan alternatif atas kebijakan yang kuanggap kurang tepat. Dalam hal mengritik, kadang terasa dilematis. Dan pikiranku harus netral demi menyodorkan kebenaran.  Bahwa kemudian Sang Atasan tak setuju, itu persoalan lain. Yang penting aku sudah memberi "warning" jauh sebelum kondisi yang tak diharapkan nyata terjadi.

     Dulu, ketika aku masih menyandang baju "ESELON", aku paling suka membuat "Telaahan Staf". Dengan instrumen tata naskah ini, aku lebih leluasa mengemukakan argumen teknikalitas, rujukan aturan perundangan, latar belakang gagasan, bahkan tafsir konteks bahasan hingga ke alternatif keputusan bagi Sang Bigbos. Sayang, sependek amatanku, tidak banyak pejabat yang menyukainya. Apa penyebabnya? Wallohu a'lam!

     Melakoni dua pekerjaan yang sama sekali berbeda, barangkali lebih mudah. Tetapi agak sulit, manakala seorang birokrat, sekaligus menjadi pengritik kebijakan pemerintah. Seringkali aku agak gamang untuk menulis hal yang demikian berhimpit. Tapi aku harus tetap tegar demi menyampaikan kebenaran dan alternatif kebijakan.

      Tentu saja ini bukanlah suatu proposisi yang mutlak-absolut. Ada arsir yang samar, putus-putus, seperti yang dialami Susan Sontag yang novelis sekaligus esais dan kritikus sastra. Apa kata Susan? [***]

PENGANTAR BUKU (1)

GUMAM: PENGALAMAN MENULIS DENGAN JARAK

Bagian   I

Oleh: Hendy UP *)

      Pembukuan kumpulan artikel ini muasalnya berawal dari membaca-baca arsip tulisanku yang pernah dimuat di berbagai media cetak, dan sebagiannya telah terbundel sebagai "kliping koran" yang terserak. Ada di lempitan buku-buku, di map plastik agak berdebu-debu, yang bahkan terselip-melip di rak perpustakaan pribadi yang sunyi, horor nan "wingit". Maklum, ruangan perpustakaan itu semacam paviliun, menjorok- terpisah di halaman depan, sekaligus berfungsi sebagai ruang baca; sembari menunggu jika ada pelanggan dan pembeli air minum galonan berteknologi Reverse Osmosis System (RO). Yaa... sebelah luar paviliun itu, yang terhubung pintu besi, berfungsi sebagai ruang niaga untuk menjual air minum RO.

     Di ruang khusus 4 x 6 meter itu, dipajangi rak buku bertingkat lima dari plat besi siku, dan ternyata semakin sulit melacaknya jika ingin membaca ulang. Maklum, bundel kliping koran itu telah berumur. Ada artikelku yg ditulis tahun 1978, 1979 hingga akhir 1980-an, walaupun tak semuanya layak dibukukan. Ketika mulai membangun website dan mencoba menjadi blogger pada tahun 2014 ~ untuk sekadar merawat minat baca, menghalau kejenuhan dan menahan laju kepikunan ~ arsip tulisan itu diketik ulang secara bertahap.

     Di usia yang menua, mengetik berlama-lama sungguh menyiksa punduk pangkal leher, nyeri pegel-begel: otot nadi tulang punggung bagaikan tersegel kumparan kawat begel! Mata mulai cepat mengabur, berkaca-kaca, seakan terhalang bayang fotopsia, mirip penderita ablasio retina. Mula-mula ngetik di laptop ACER pentium yang semakin lemot, kemudian belakangan berganti menggunakan gawai untuk kepraktisan menulis: kapan dan di mana saja!

     Artikelku di koran, sering dimuat di rubrik opini. Tapi sejujurnya, itu hanya semacam gumaman orang kecil. Meminjam istilah Goenawan Muhamad, tak lebih dari sekadar marginalia, seperti beliau menjoloki CATATAN PINGGIR-nya. Marginalia adalah catatan di pinggir halaman buku yang sedang dibaca. Kadang bertinta merah, bertanggal baca, untuk menandai dan mengingatkan kembali pembacanya akan hal-hal penting yang termuat pada halaman itu. Catatan-catatan itu sendiri sebenarnya tak penting, kecuali merujuk kepada teks utama sebagai pokok bahasan.

     Jika diingat ulang, sejak mulai menulis, barangkali hampir mendekati duaratus buah artikel yang pernah diterbitkan berbagai koran, majalah, bulletin pertanian dari 1978 hingga 2019 ini. Ada Cerpen dan Cerbung yang berlatar romansia remaja. Ada tentang teknologi dan sosial pertanian, tentang kritik terhadap kebijakan pembangunan pedesaan; bahkan merambah ke soal sosial-keagamaan dan peradaban.

     Ada juga tulisan tentang seseorang, teman atau tokoh yang aku kagumi. Pendeknya, aku menulis tentang apa saja, yang kuanggap perlu diketahui, dipahami dan direnungkan oleh berbagai kalangan, khususnya tokoh masyarakat dan pejabat Pemerintah Pusat dan Daerah. Ya, semacam ikhtiar menyemai kreator peradaban! Tapi sejujurnya, kalau boleh mengurut prioritas atensi dan ketertarikan bidang, aku lebih nyaman dan 'PD' menulis tentang: sejarah, sastra-kebahasaan, humaniora, sosial pertanian dan pedesaan. Selebihnya, aku menulis tentang sesuatu jika ada rangsangan yang menyembulkan desire dan kuriositas.

     Yaa ..., ide menulis kadang muncul dari hasil membaca buku, koran, twitter, instagram, portal berita, blog sastra atau bahkan celotehan emak-emak di WA Grup. Juga dari restan memori setelah nonton tayangan film-tv, youtube, film pendek atau panjang. Bahkan sering kali berasal dari perjalanan kluyuran ke desa-desa, ngobrol "ngalor-ngidul" dengan sesiapa, atau bahkan pascamenyaksikan lingkungan yang asri, yang jorok centang-perenang nan berantakan!

     Atau hasil mengendus situasi fenomenal tentang sebuah isu yang sedang viral, dibincangkan masyarakat umum, baik di WA-Grup maupun Facebook. Semisal dampak dari: Narkoba, Corona virus, Pileg, Pilkada- Pilkades. Belakangan ada produk demokrasi baru tentang Pilsung Badan Permusyawaratan Desa. Yaa ... semacam lembaga legislatif di tingkat desa. [***]