Senin, 07 Januari 2019

IDIOM MENTAL TEMPE

”... bodoh.. ndablegg..! Dasar otak tempe..!”. Itu ungkapan kemarahan guru saya di tahun 65-an ketika saya klas satu SD. Saya merasa trenyuh melihat pucatnya muka si Budi anak udik yang tetap strugle jalan kaki nyeker puluhan kilometer setiap pagi. Belakangan, si Budi konon sukses di Jakarta karena ulet dan tawakal menekuni bisnis tempe bungkus plastik dan menguasai market area Pulogadung dan Bekasi. 


Walaupun tempe sangat potensial sebagai pengganti protein hewani yang menjadi biang jantung koroner, tetapi bahan bakunya - tanaman kedele - sulit dikembangkan di Indonesia karena faktor agroklimat dan persaingan pasar dunia. 
Tempe asli bikinan mBok Siyem di Mirasi, konon mengandung protein nabati lebih 45% dan menjadi penghambat munculnya macam-macam penyakit termasuk jantung koroner, asam urat dan penyakit masa kini lainnya. Pantes saja, Mas Gotri kawan saya yang mukim di G1 Mataram tetap hobbi melahap tempe walaupun telah melanglang-buana dan mukim studi di Eropa. Konon juga, Dr. Ashadi Siregar ”Cintaku di Kampus Biru” – wong Batak yang lama mukim di Yogya - sudah tempe bacem mainded. 

Akan halnya ketela si ubikepar, sesungguhnya memiliki prospek strategis sebagai pengganti tepung impor untuk mengurangi terkurasnya devisa dan menjadi salah satu komoditas target pengembangan Menteri Suswono untuk mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Ubikepar alias ubirambat, memang gampang tumbuh dan cepat berumbi dengan potensi kandungan karbohidrat yang tinggi dan mudah diolah menjadi bahan makanan lokal nan bergizi. 

Kedaulatan dan Kemandirian Pangan  
Political will Pemerintah telah ditunjukkan dengan terbitnya Perpres Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Dan Bupati Musi Rawas telah pula menerbitkan Edaran Nomor 165/DTPH/2010 tentang Larangan Menghidangkan Makanan/ Penganan yang Berbahan Baku Impor (buahan dll) dalam acara resmi pemerintahan. Jikalau kemauan kuat Pemerintah diikuti oleh dukungan masyarakat tani dan diikuti oleh kiprah nyata swasta sebagai mitra petani dalam mendukung iklim usahatani kedelai dan umbi-umbian dari aspek agroindustrinya, maka niscaya image tempe dan ketela yang berlaku di zaman Bung Karno dulu akan berubah menjadi positif. 

Mental Tempe dan Politik Ketela 
Istilah mental tempe di zaman Bung Karno memiliki konotasi rendah, goblok, dibodohi dan sesuatu yang telmi. Tidak banyak orang tahu sejarah muncul istilah itu. Secara historis, konon, sesuai dengan suasana Era Berdikari waktu itu, Bung Karno menginginkan bangsanya tegak berdiri melawan kedzoliman penjajah dan maju pantang menyerah serta haram diinjak-injak martabat oleh bangsa asing. Nah, karena proses pembuatan tempe tradisional (Jawa) adalah melalui proses penginjakan kaki atas rendaman kedele, maka dipinjamlah material tempe tersebut sebagai analogi dalam ungkapan politik membangunkan spirit kebangsaan untuk melawan penjajah. 

Ada pun istilah mental ketela, muncul pada saat era kebangkitan politik pengembangan budaya nasional yang mulai digempur oleh budaya asing. Munculnya budaya Barat yang hedonistik, imitatif dan serba instan-bypass, mengilhami para sastrawan untuk mengiaskan upaya yang tak pantas dan melanggar etika-kepatutan dengan ”mengorbankan” ketelarambat. 

Ubikepar yang merambat di pekarangan saya di Karangketuan, ketika hendak dipanen pasti dicerabut dari akarnya. Akar umbinya diolah, daunnya dihibahkan untuk gurame atau diminta mBah Keling untuk umpan kambing. Di era modern dengan trend sosialita kini, sekelompok orang kampung yang sukses di kota besar menjadi entitas yang tercerabut dari akar budayanya; serba imitatif, pura-pura (dengan menunjukkan) tampil kekotaannya tapi di belakang dapur di kampungnya (sewaktu mudik), membakar umbi yang bercampur abu dapur. Yang lebih mengenaskan lagi, muda-mudi yang seharian berpanas-panasan di sawah kerja harian, upahnya dibelanjaan pulsa untuk bercanda-ria. Itulah barangkali, ungkapan mental ketela, yang tercerabut dari maqom-budayanya!.

Kita tak tahu kenapa kata-kata "tempe" menjadi simbol "kebodohan" atau "kedunguan" seseorang. Padahal kini fakta ilmiah menunjukkan bahwa tempe adalah makanan yang berprotein tinggi dan aman untuk mencegah "kedunguan" generaasi millenial.

Oleh : Hendy UP *)
*) Penulis adalah pemerhati Budaya Lokal.

0 komentar:

Posting Komentar