Senin, 07 Januari 2019

WARUNG KOPI INTELIGENSIA

Aku memanggilnya Mas Mul, asli Kebumen Jawa Tengah. Kami berteman akrab sejak awal 1975 dan ‘bubar blas’ pada akhir 1977, sama-sama meninggalkan kota Purwokerto. Dia meneruskan kuliah ke Yogya, mendalami filsafat, dan aku melancong ke berbagai kota untuk kemudian terdampar di Muarabeliti demi mengais sesuap nasi.
Kami tak sesekolah, justeru keakraban kami terbangun karena sama-sama ‘ngekost’ di gang yang sama di kawasan Kaumanlama. Lebih karib-akrab ketika sama-sama ‘bergulat-diskusi’ di perkumpulan PII. Setelah 32 tahun berpisah, just suddenly dipertemukan Tuhan; di tahun 2009, bulan 9 sekitar jam 9 malam. Qodarulloh, sebuah pertemuan tak terduga di warung kopi, di pinggir selokan Mentaram, Pogung nDalangan – Bulaksumur, Yogyakarta. 
Setelah berpelukan erat melepas ‘rindu-dendam’ tak terperikan, kami membuka obrolan seru tentang sinopsis perjalanan ‘serial liku kehidupan’ dan ‘perakitan sosial-intelektual’ kami masing-masing selama era yang terpisahkan. Sedemikian serunya, sehingga tak terasa kami mengakhiri perjumpaan itu nyaris dini hari. Pak Lik pemilik warung kopi agaknya ikut menikmati obrolan ‘humaniora’ kami yang tak jelas pangkal-ujungnya, apatah lagi tema-judulnya. 
Sesampai di kamar kost, anak saya yang sedari tadi ‘bengong’ demi menyaksikan keakraban kami, tiba-tiba bertanya: “Pa, apa beda intelektual dengan inteligensia yang didiskusikan dengan kawan Papa?”. Aku jujur tak bisa menjelaskan kepada anakku - mahasiswa teknik UGM - yang niscaya tak bisa menerima penjelasan ‘non-intelek’ sebagaimana dia mencerna dalil-dalil ‘mekanika fluida’ atau ‘perpindahan kalor’ yang biasa diterima dari dosennya. 
Dalam KBBI Edisi Baru (Tim Pustaka Phoenix, 2009), kedua kata itu diartikan agak berbeda tipis. Setipis integumen, selaput lapisan penutup kulit dalam ilmu anatomi tumbuhan. Walaupun sama-sama berasal dari akar kata ‘intel’, tetapi pemaknaan sosiologisnya tidaklah serupa. ‘Intelektual’ diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan daya nalar (wawasan, pemikiran) yang tinggi berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Juga bisa diartikan sebagai orang terpelajar, cendekiawan atau ilmuwan. 
Orang yang gagal membangun konklusi dengan cara mengabaikan mekanisme nalar yang benar nan ‘bebas-nilai’, mungkin untuk kepentingan politik tertentu, itulah yang disebut Rocky Gerung sebagai ‘dungu’. Sedangkan ‘inteligensia’ lebih menunjuk kepada komunitas atau kaum: kaum cerdik pandai, kaum terpelajar atau para cendekiawan. 
Menurut Yudi Latif (2012, hal. 14) dalam disertasinya “Inteligensia Muslim dan Kuasa”, diakui bahwa mendefinisikan kata ‘intelegensia’ dan ‘intelektual’ merupakan sesuatu yang problematik, karena kedua istilah itu telah diartikan secara tumpang tindih, khususnya dalam wacana ‘sejarah dan politik’ di Indonesia. Tak ada pemahaman bahwa masing-masing memiliki genealogi dan formasi sosialnya sendiri-sendiri, sehingga keduanya merujuk pada suatu konsep dan fenomena sosial yang berbeda. 
Adalah Mohammad Hatta, ketika berpidato di hadapan sivitas akademika UI tanggal 11 Juni 1957 dengan judul “Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia”, menafsirkan kata ‘inteligensia’ sebagai sinonim dari ‘intelektual’. Barang tentu, menurut Yudi Latif, Hatta menggunakan konsepsi intelektual yang dipakai Benda dalam karyanya yang mashur “Pengkhianatan Kaum Intelektual” (La Trahison des Clercs). Para pemikir Eropa Barat hingga awal abad XIX, juga di Indonesia yang secara intelektual berafiliasi ke ‘Jagat Eropa’, pada umumnya menganut aliran pemikiran yang sama. Sebutlah Robert Michels, Selo Sumardjan, Arief Budiman atau Daniel Dhakidae, hampir tak membedakan istilah ‘inteligensia’ dan ‘intelektual’. 
Akan tetapi, sosiolog Vladimir CN (1983) dan Aleksander Gella (1976) memiliki intensi yang lain tentang dua kata itu. Inteligensia, kata Vladimir, adalah sebagai sekelompok orang yang memiliki karakteristik tersendiri dan berada di luar tatanan sosial yang ada, baik berupa sistem kelas maupun status tradisionalnya. Inteligensia adalah berbeda dari formasi-formasi sosial konvensional seperti perhimpunan profesi atau kelompok status tertentu. Inteligensia disatukan bukan oleh standar kehidupan ekonomis atau kepentingan profesi, namun terutama oleh kesamaan sikap tertentu dan oleh penerimaan terhadap ‘warisan budaya adi-luhung yang melampaui batas-batas nasional geografiknya. 
Terlepas dari perdebatan dua kata itu, temanku Mas Mul ternyata sungguh telah mencapai level inteligensia yang tak mau diatur birokrasi, dengan meninggalkan profesi dosennya. Satu keyakinannya yang kuat bahwa: “filosofi kehidupan manusia harus memanjakan gairah berfikir dan menaikkan libido kearifan budaya serta mampu menepikan hal- ikhwal hitungan margin-niaga”. Allohu’alam. 

Oleh: Hendy UP *)
*) Penulis adalah penikmat sastra humaniora. Mukim di Lubuklinggau. [29/12/2018]

0 komentar:

Posting Komentar