Dalam beberapa bulan ini, kita
disuguhi aneka berita "menyedihkan" yang disajikan koran lokal
terbitan Bumi Silampari. Secara tiras-konvensional, Koran-koran itu hanya
beredar di kawasan Silampari.
Namun secara online, - dalam kode id.maya - berita itu bisa dibaca oleh warga Dusun Edensor di Inggris Utara hingga suku Maori di Negeri Aotearoa Pasifik, sekitar seribu kilometer di selatan Kepulauan Fiji.
Judul berita itu adalah: tunggakan listrik, pemutusan air PAM dan pajak kendaran yg menunggak. Simaklah: (1) Tunggakan listrik Rayon Muarabeliti per 22 November 2018 mencapai Rp. 4,8 milyar, dari total pelanggan 14.004. Pada 19 Januari 2019 telah diputus 64 sambungan pelanggan, dan akan menyusul 544 pelanggan. Dominasi penunggak adalah di Megangsakti, Muaralakitan dan Tugumulyo. (2) Tunggakan pajak kendaraan bermotor per 22 Feb 2019 wilayah SAMSAT Musirawas mencapai Rp. 4.491.821.500,- (29.075 kendaraan) include denda Rp. 1.185.443.375,- Didominasi kendaraan umum sebanyak 22.058 unit (76%). (3) Tunggakan air bersih BLUD-SPAM Muarabeliti per 25 Feb 2019 mencapai Rp. 241.968.451,- Pada tahun 2018 telah diputus sambungan SPAM sebanyak 47 pelanggan dari total pelanggan 7.111.
Di sisi lain, kita membaca Berita
Resmi Statistik (https://musirawaskab.bps.go.id)
bahwa: Nilai Tukar Petani (NTP) Sumsel utk Oktober 2018 naik 0,16%; ekonomi
Sumsel TW 4-2018 tumbuh 6,04%; inflasi Sumsel Jan 2019 sebesar 0,15% dan NTP
Sumsel Des 2018 turun 0,98%.
Berita tentang aneka tunggakan itu, jika kita lacak di wilayah Sumsel, rupanya setali tiga uang dengan kondisi mayoritas kabupaten di Sumsel. Artinya secara umum kondisi masyarakat Sumsel mengalami penurunan daya beli.
Nggak usah pakai riset mendalam, hampir pasti ini akibat rendahnya harga-harga komoditas rakyat utamanya karet dan sawit yg terpuruk dalam beberapa tahun ini; tidak seimbang dg naiknya aneka harga barang-jasa yg harus dibeli oleh masyarakat. Rantai lapangan kerja di perdesaan menyempit, karena produktivitas investasi sektor riil menurun. Secara alamiyah, biasanya menyuburkan illegal trading barang haram plus meningkatnya potensi kriminalitas di siang hari apatah lagi di malam kelam.
Dari dua jenis berita itu: tunggakan rakyat dan data rilis BPS, sekilas ada yg tidak paralel dalam logika awam. Logika wong cilik tidak perlu-perlu 'amat' diuji statistik; cukup dirasakan dan diciumi nafas pagi rakyat perdusunan. Bukan hanya sekadar mengotak-atik aneka variabel independen nonparametrik mengikuti teori rumit Mang Kruskal Wallis.
Data statistik itu kadang hanya laris berbuih-buih di ruang seminar, dan segera sirna tak bermakna manakala menyaksikan betapa kini kaum proletar antri berdesakan di sudut kelam di bawah "baleho agung" para Caleg, bersiul sunyi menunggu "sedekah rupiah utk elektabilitas".
Kata kuncinya adalah ketidakmampuan membayar tagihan akibat menurunnya daya beli, yakni kemampuan keluarga/masyarakat utk memperoleh suatu barang/jasa guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan yg paling mendasar adalah: pangan, sandang, papan, air bersih, listrik dan lapangan kerja. Untuk melakukan ikhtiar kinerja sehari-hari diperlukan kendaraan bermotor atau alat transportasi umum.
Karena lokus tiga jenis tunggakan itu ada di Musirawas, saya membayangkan teori matematik himpunan-irisan, begini: seandainya Rumah Tangga A adalah yg diputus saluran listriknya, juga telah diputus aliran SPAM-nya, sialnya dia juga yang nunggak bayar pajak motornya. Jika dia akan berikhtiar mencari pekerjaan, niscaya tidak leluasa menaiki motornya karena berpeluang besar ditangkap Polisi di jalanan.
Dan perlu dicatat bahwa dari tiga jenis tunggakan itu, jumlah RT yang potensial diputus "nyawa" hidupnya niscaya semakin banyak. Pertanyaan simpelnya: "sudahkah negara berpihak kepada kaum tani dan rakyat perdesaan yang kini 'terendam air hingga ke leher' dan terseok-seok di lumpur demokrasi ekonomi?".
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial-budaya lokal
Namun secara online, - dalam kode id.maya - berita itu bisa dibaca oleh warga Dusun Edensor di Inggris Utara hingga suku Maori di Negeri Aotearoa Pasifik, sekitar seribu kilometer di selatan Kepulauan Fiji.
Judul berita itu adalah: tunggakan listrik, pemutusan air PAM dan pajak kendaran yg menunggak. Simaklah: (1) Tunggakan listrik Rayon Muarabeliti per 22 November 2018 mencapai Rp. 4,8 milyar, dari total pelanggan 14.004. Pada 19 Januari 2019 telah diputus 64 sambungan pelanggan, dan akan menyusul 544 pelanggan. Dominasi penunggak adalah di Megangsakti, Muaralakitan dan Tugumulyo. (2) Tunggakan pajak kendaraan bermotor per 22 Feb 2019 wilayah SAMSAT Musirawas mencapai Rp. 4.491.821.500,- (29.075 kendaraan) include denda Rp. 1.185.443.375,- Didominasi kendaraan umum sebanyak 22.058 unit (76%). (3) Tunggakan air bersih BLUD-SPAM Muarabeliti per 25 Feb 2019 mencapai Rp. 241.968.451,- Pada tahun 2018 telah diputus sambungan SPAM sebanyak 47 pelanggan dari total pelanggan 7.111.
Berita tentang aneka tunggakan itu, jika kita lacak di wilayah Sumsel, rupanya setali tiga uang dengan kondisi mayoritas kabupaten di Sumsel. Artinya secara umum kondisi masyarakat Sumsel mengalami penurunan daya beli.
Nggak usah pakai riset mendalam, hampir pasti ini akibat rendahnya harga-harga komoditas rakyat utamanya karet dan sawit yg terpuruk dalam beberapa tahun ini; tidak seimbang dg naiknya aneka harga barang-jasa yg harus dibeli oleh masyarakat. Rantai lapangan kerja di perdesaan menyempit, karena produktivitas investasi sektor riil menurun. Secara alamiyah, biasanya menyuburkan illegal trading barang haram plus meningkatnya potensi kriminalitas di siang hari apatah lagi di malam kelam.
Dari dua jenis berita itu: tunggakan rakyat dan data rilis BPS, sekilas ada yg tidak paralel dalam logika awam. Logika wong cilik tidak perlu-perlu 'amat' diuji statistik; cukup dirasakan dan diciumi nafas pagi rakyat perdusunan. Bukan hanya sekadar mengotak-atik aneka variabel independen nonparametrik mengikuti teori rumit Mang Kruskal Wallis.
Data statistik itu kadang hanya laris berbuih-buih di ruang seminar, dan segera sirna tak bermakna manakala menyaksikan betapa kini kaum proletar antri berdesakan di sudut kelam di bawah "baleho agung" para Caleg, bersiul sunyi menunggu "sedekah rupiah utk elektabilitas".
Kata kuncinya adalah ketidakmampuan membayar tagihan akibat menurunnya daya beli, yakni kemampuan keluarga/masyarakat utk memperoleh suatu barang/jasa guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan yg paling mendasar adalah: pangan, sandang, papan, air bersih, listrik dan lapangan kerja. Untuk melakukan ikhtiar kinerja sehari-hari diperlukan kendaraan bermotor atau alat transportasi umum.
Karena lokus tiga jenis tunggakan itu ada di Musirawas, saya membayangkan teori matematik himpunan-irisan, begini: seandainya Rumah Tangga A adalah yg diputus saluran listriknya, juga telah diputus aliran SPAM-nya, sialnya dia juga yang nunggak bayar pajak motornya. Jika dia akan berikhtiar mencari pekerjaan, niscaya tidak leluasa menaiki motornya karena berpeluang besar ditangkap Polisi di jalanan.
Dan perlu dicatat bahwa dari tiga jenis tunggakan itu, jumlah RT yang potensial diputus "nyawa" hidupnya niscaya semakin banyak. Pertanyaan simpelnya: "sudahkah negara berpihak kepada kaum tani dan rakyat perdesaan yang kini 'terendam air hingga ke leher' dan terseok-seok di lumpur demokrasi ekonomi?".
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial-budaya lokal