Oleh: Hendy UP *)
Di siang bolong 6 Juli 2020, seorang Peneliti Utama (Dr. Rostiana) di sebuah Litbang Kementan Bogor membalas WA saya: "..... kami sedang menghadapi badai Eukaliptus di tengah pandemi .....". Maknanya kira-kira, kantornya sedang 'glomat' memroduksi jamu herbal dan kalung eukaliptus yang sedang viral di media TV, koran dan dunia maya.
Saya merasa perlu mengklarifikasi dari beliau sebagai 'orang dalam' Kementan, karena saya pernah bertemu langsung dengannya dan 'ngobrol' tentang prospek serai wangi dan lada di Bumi Silampari, beberapa bulan lalu. Beliau adalah pakar rempah dan fitofarmaka. Bahkan, beliau pernah ijin mengutip artikel saya di blog (www.andikatuan.net) perihal "Sejarah Lada Rawas Era 1800-an".
Muasal kehebohan ini berawal dari acara Kementan: "Launching Antivirus Corona Berbahan Eucalyptus" pada 8 Mei 2020, yang dibumbui Sang Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) bahwa 'mampu membunuh 80-100% Covid-19 (Kompas, 7/7/2020). Beberapa kalangan politisi mulai mempolitisir. Litbang Depkes dan Farmakolog yang merasa lebih 'pas' berikhtiar soal antivirus-memirus merasa kalah gesit. Mungkin! Tapi, apa salahnya jika Kementan menginisiasi pencarian antivirus dari bahan alam? Toh urusan rempah dan obat di bawah kewenangan Kementan.
Bumbu inilah yang bikin heboh nan viral, dan buru-buru 'diluruskan' oleh Kabanlitbang Kementan (Fadjry Djufri) bahwa produk yang berupa: jamu herbal, inhaler dan kalung eukaliptus itu, belum diuji praklinis (ke hewan), apatah lagi uji klinis (ke manusia) sebagai produk fitofarmaka anti Covid-19. "Baru tahapan registerasi hak paten di BPOM sebagai jamu herbal", katanya. Untuk memroduksi ketiga produk itu, Balitbang telah menggandeng PT. Eagle Indo Pharma sebagai mitra lisensi(Kompas, 6/7/2020).
Tapi karena derasnya antusiasme psikologi massa untuk segera mengakhiri era korona, maka viralitas berita ini mengundang gelombang pro-kontra. Waket DPD-RI Sultan B. Najamuddin mengkritik tajam: ".... Kementan itu fokus sajalah ngurusi pangan ..... boleh saja mengembangkan kalung anti korona, asalkan jangan menggunakan APBN...", kira-kira begitu makna verbatimnya (Republika.co.id: 7/7/2020).
Apa itu kalung sineol eukaliptus? Eukaliptus adalah jenis tumbuhan famili Myrtaceae yang konon berasal dari Tasmania-Australia. Ada 700 spesies, satu di antaranya (E. globulus atau Blue Gum) potensial mengandung zat antioksida (flavonoid) dan antiflamasi (tannin); terikat dalam minyak atsiri yang memiliki senyawa 1,8 eukaliptol atau yang lazim disebut seneol. Nah, virus korona itu terbagi dua: beta korona dan gamma korona. Si Covid ini termasuk beta korona yang tengah diuji Litbang Kementan. Jadi secara metodologis memang masih panjang tahapannya. Itu kata ahlinya.
Material inilah yang diteliti oleh Litbang Pertanian dengan melibatkan 3 institusi: Balai Besar Veteriner, Balit Tanaman Rempah & Obat, dan Balai Besar Lit Pascapanen, dengan tahapan kerja ilmiah Nanoteknologi. Yakni teknologi canggih untuk memanipulasi material pada skala atomik dan molekuler.
Materi super kecil ini, konon berdiameter 62-520 pikometer. Molekul hasil kombinasinya berukuran nanometer, yakni sepermilyar meter. Kita yang awam 'nanologi', tak perlu pusing membayangkan ini. He...he. Terlepas dari 'kemaharumitan' metodologis itu, saya mencoba memahami untuk menghargai ikhtiar Kementan dan para researchernya, dan berharap segera berkolaborasi dengan Litbang Depkes plus Perguruan Tinggi demi kemaslahatan ummat. Tak perlu heboh berebut antivirus dengan semangat ego sektoral, sementara ekonomi kerakyatan semakin berantakan!
. Ingat, rakyat kebanyakan hanya butuh: makan kenyang pagi-petang, hidup tidak tegang, beribadah khusyuk-tenang, wajah demokrasi tidak centang-perenang, pembegal-maling tidak lintang-pukang, pikiran tidak mengawang-awang, dan satu lagi Pemerintah jangan keseringan "ngasah parang". Allohua'lam bishshowab! [*]
Muarabeliti, 8 Juli 2020
*)Blogger: www.andikatuan.net
0 komentar:
Posting Komentar