Oleh: Hendy UP *)
Politik menurut Ridwan Saidi (almarhum), pada dasarnya adalah bagaimana ikhtiar-ikhtiar perumusan kehendak dilakukan, dan bagaimana pula proses perumusan itu berlangsung (Tempo, 9 Mei 1987).
Tentu saja, pada saat itu Ridwan Saidi sedang berbicara tentang idealitas kinerja politisi yang sudah duduk di kursi parlemen dan sedang berjuang keras merealisasikan ide dan gagasannya dalam paket praktis-ideologis yang disebut program partai politik.
Untuk mewujudkan cita-cita para politisi yang berjiwa negarawan (bukan petugas parpol an-sich), diperlukan prasyarat keilmuan dasar tentang politik dan kaidah terapannya. Misalnya, harus faham tentang konsep bernegara (yang berke-Tuhanan), bagaimana beramaliyah dalam melaksanakan kekuasaan yang diamanahkan, bagaimana adab dalam mengambil keputusan, dan bagaimana menyusun dan menerapkan publik-policy, serta bagaimana pula memprioritaskan alokasi sumberdaya yang serba terbatas.
Semakin tinggi level kedudukan para politisi (DPR, DPD, DPRD), seyogyanya semakin tinggi pula prasyarat keilmuan dan wawasannya. Keilmuan dan wawasan, biasanya dikaitkan dengan jenjang kesarjanaan yang diperoleh dari bangku sekolah. Walaupun, seringkali tidak selalu linier antara tingginya jenjang pendidikan (formal) dengan tingginya keilmuan dan luasnya wawasan; apatah lagi jika dihubungkan dengan adab dan perilaku politiknya. Itu setidaknya menurut Bung Miriam Budiardjo (2008) seorang pakar ilmu politik yang khatam berbagai teori politik berikut kebusukannya.
Lantas apa itu Politik Praktis?
Menurut sohib saya yang jebolan FISIF-UGM tapi tetap qona'ah sebagai "petani totok" di kebun ortunya: "Adalah aktivitas politik yang terkait langsung dengan lembaga politik yang legal-konstitusional". Tentu saja, tambah sohib saya: "amaliyah tersebut berkelindan dengan urusan penyelenggaraan negara dalam proses pelaksanaan kekuasaan pemerintahan, baik di level pemerintah pusat maupun daerah. Termasuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik di tingkat akar rumput di setiap jengkal tanah air kita".
Agar tidak terjadi in-efisiensi sumberdaya, dibuatlah instrumen politik praktis yang disebut Daerah Pemilihan (Dapil). Tapi peta 'perdapilan' itu tidak harus menggugurkan idealisme dan tanggung jawab moral dalam berjihad di medan politik. Misalnya, jika terjadi aneksasi wilayah oleh negara asing di Pulau Talihe dan Pulau Bangka di utara Provinsi Sulawesi Utara, maka para politisi di parlemen dari Dapil manapun harus ikut bersuara dan berjuang mengenyahkan penjajah itu.
Menjadi politisi, masih kata sohib saya, sangat berpeluang menjadi orang mulia dengan jaminan sorga, tetapi sekaligus bisa sengsara dengan predikat kandidat penghuni neraka. Dan, jangan lupa, yang kelak panjang hisabnya di padang masyar, mungkin amaliyah politisi yang berkaitan dengan politik praktis. Seperti pertanyaan: apa motivasi awal antum masuk politik praktis? Mengapa antum sebagai politisi yang beragama X, kok memilih partai Y dalam berjihad membela rakyat konstituennya? Berapa habis biaya untuk melobi pengurus partai di berbagai level sehingga memperoleh selembar rekomendasi dari Ketum Partai antum? Dari mana uang antum peroleh? Dari mertua kaya atau oligarki hitam?
Sebelum sempat minum dan menyeka keringat di pelipis, disambung pertanyaan dari Malaikat lainnya: Dari mana uang yang antum peroleh untuk mengisi amplop serangan petang, dini hari dan utamanya di waktu fajar hingga syuruk?
Dan, sedemikian lamanya durasi hisab bagi para politisi kelak, maka seyogyanya LURUSKAN DULU NIAT ANTUM, UNTUK APA MENJADI POLITIKUS sebelum terjun ke kolam politik praktis! Allohu'alam bishshowab!
*) Muarabeliti SUMSEL, 3 Mei 2023
0 komentar:
Posting Komentar