Sabtu, 09 Februari 2019

BELAJAR DARI KADES JOKO


Berkah dana desa yang ratusan juta tidak otomatis memandirikan warganya. Perlu sentuhan kreativitas, kejujuran, kerja keras dan kesungguhan sang "raja desa" yang diserahi kewenangan melalui UU Desa dan aturan derivasinya sebagai pedoman teknikalitas di lapangan.


Adalah Joko Silama, Kades Pakowabunta, Kec. Nuhon, Kab. Luwukbanggai Sulteng dengan kepiawaiannya mampu menggugah 'tidur lelap' warganya sembari mengubah 'mind set' kedusunannya memasuki dunia persaingan melalui sentuhan keteladan Sang Kades. Da'wah ekonominya dimulai dari rumah ibadah: masjid desa.

Malam itu, segera setelah dilantik sebagai Kades, ba'da shalat Isya berjamaah, Pak Kades berdiri mengumumkan bahwa seluruh warganya bergotong~royong  meratakan timbunan lahan masjid. Dan 'Sang Raja' terjun duluan memimpin kerja bakti. Usai gotong~royong malam itu, Kades Joko berkeliling ke dusun~dusun utk memastikan kondisi warganya: yang nelayan pesisir pantai, yang beternak sapi~kambing hingga yang bertani kebun kelapa dan hortikultura. 

Ia pun gusar atas predikat desanya yang senantiasa 'berkonflik~bebuyutan' dengan desa~desa tetangga. Masyarakatnya yang berkarakter 'keras' sebagaimana perangai warga pesisir pada umunya, secara perlahan ia da'wahi dengan penuh kelembutan nurani. Tak bosan~bosan...!  Dan hasilnya, tiga tahun menjabat Kades, ia terpilih menjadi Kades terbaik se Sulteng. 

Kades Joko adalah mantan Penyuluh Pertanian Swadaya: bisa ketua Taruna Tani, Kontak Tani atau pengurus Kontak Tani Nelayan Andalan(KTNA). Atas ketekunan dan kegigihannya berkiprah di pertanian, ia pernah 'magang tani' di Jepang. 

RPJM~Desanya sangat sederhana, 'to the point', tidak muluk~muluk tapi menukik kepada realitas lapangan. "Ini memang kerja berat, tapi kalau saya hanya sekedar omongan (teori) dan tidak dibarengi kerja keras, keteladanan dan doa, maka akan sangat sulit...", begitu keyakinan Kades Joko suatu waktu.

Dengan kecerdasan dan keyakinannya, yang pertama ia lakukan adalah memetakan aneka persoalan: terutama model pemberdayaan masyarakat. Da'wah ekonomik~kulturalnya dibangun dari masjid. Mula~mula memetakan problem ekonomi dengan cara menyusun kluster dengan prioritas berdasarkan kemampuan SDM dan dominasi sektor. Dana desa dimanfaatkan sesuai dengan pedoman PP No. 43 Tahun 2014; dan selalu istiqomah dengan aturan yang ada. Kebijakan yang diambil selalu dimusyawarahkan dengan BPD dan tokoh masyarakat.


Para petambak ikan difasilitasi dengan pembangunan areal empang seluas 15 hektar yang melibatkan 64 kk sebagai sarana usaha pokoknya. Yang beternak kambing dan sapi ia modali sapi dan kambing berikut pembinaan teknisnya. 

Khusus untuk para 'emak~emak' dilibatkan dalam proses pembuatan arang tempurung kelapa yang selama ini berserakan menyampah dan belum pernah dimanfaatkan menjadi sumber penghasilan keluarga. Ibu~ibu yang lain dibekali keterampilan membuat industri rumahan keripik pisang dan 'stik tulang ikan' yang, kemudian  justeru menjadi juara dan menjadi pavorit dalam lomba PKK se Kab. Luwukbanggai. Bahkan Kades Joko dan Timnya pernah belajar keterampilan 'olah~mengolah' pasca panen ikan ke Palembang.

Kades Joko memang tidak hanya cerdas dan sabar, tapi lebih dari itu. Yang dia kerjakan adalah ketulusan~kejujuran dan kerja keras tak henti~henti. Keteladanan dan kreativitasnya yang dibarengi doa tulusnya itulah yang senantiasa tak kekurangan ide untuk membangun kemandirian warganya. Karakter inilah yang menjadi 'branding' Kades Joko Silama.

Saya tidak sedang menganjurkan agar para Kades di Musirawas, Muratara atau Empatlawang dan Rejanglebong untuk studi banding ke Kades Joko. Karena seberapa pun sering para Kades studi banding ke daerah maju, pada akhirnya kembali kepada karakter dasar para Kades. Kades Joko adalah 'inspiring to build our dusun'.  Allohua'lam bishowab. [Disarikan dari: http://www.hidayatullah.com].

Kamis, 31 Januari 2019

REVOLUSI SETETES GETAH PARA

Entah sejak kapan tak terlacak, tanaman karet adalah simbol ekonomi masyarakat Musirawas~Sumbagsel, bahkan seantero Andalas hingga Nusa Borneo.

Masyarakat Silampari bari, khususnya suku Musi Lembak yang menghuni Daerah Aliran Sungai Musi Uluan menyebut tanaman karet dengan istilah 'para'. Itulah nama aslinya ketika ditemukan seorang petani di pinggiran sungai Amazon yang bermuara di Samudera Atlantik, setelah meliuk~liuk melintasi lima negara: Brazilia, Peru, Kolombia, Ekuador dan Bolivia.

Komunitas Muarabeliti atau  suku Musi Uluan dan Lembak pada umumnya, yg mukim di kawasan eks Marga Proatin Lima, Sindang Kelingi Ilir, Batu Kuning Lakitan Ulu Terawas, Selangit, Tiang Pungpung Kepungut, Proatin XI hingga sepanjang Musi Ilir  tidak menyebut 'balam' atau 'kahet', sebagaimana masyarakat Rawas~Sarolangun atau Pagaralam~Semendo.

Adalah Charles Goodyear ~saudagar Massachusetts~ secara tak sengaja menjatuhkan adukan lateks para yang dicampur belerang ke tungku panas. Ajaib..  Tak meleleh..!  Keajaiban di tahun 1839 itu mengakhiri belenggu keterbatasan fungsi lateks dan memasuki babak baru revolusi industri~ekonomi dunia. 

Batang para memancarkan lateks putih sejenis polimer yang disebut 'elastomer'. Tanpa campuran sulfur belerang, lateks akan lembek pada temperatur tinggi, dan kaku~regas pada suhu rendah; dan mudah terurai oleh mikrobia dalam hitungan tahun.

Proses vulkanisasi Goodyear yang mengaduk lateks plus belerang pada suhu tinggi, akan mengikat rantai polimer yang panjang~berangkai dengan rantai pendek atom sulfur; dan membentuk gugus molekul tunggal raksasa yang sangat kuat~regas namun elastis.

Ban kendaraan adalah contohnya. Didesain bersifat lentur~ elastis namun tahan aus hingga ribuan kilometer berputar. Bahkan untuk kendaraan mewah para milyarder sekaliber Raja Salman atau Bill Gates masih dilapisi material anti ozon dan ultra violet.

Namun ternyata, buangan limbah ban kendaraan dan semua sampah polimer, kelak menjadi tantangan "inovasi lingkungan" karena sulit diurai oleh mikrobia hingga jutaan tahun. Yang berbahaya, bakaran ban kendaraan dan semua limbah polimer akan melepas karbon dan jelaga~ pekat yang potensial mencemari atmosfir hingga lapis stratosfir.

*) Penulis adalah peminat  sejarah dan budaya lokal. Blogger: www.andikatuan.net. [Maret 3, 2017]





Selasa, 29 Januari 2019

WATERVANG 1941: MENELAN DANA 5,5 MILYAR

"The whole irrigation system of this colony was to have been completed by the end of 1942 at an estimated cost of 765,000 guilders". [KJ Pelzer, 1945, page 222].

Dalam kamus bahasa Belanda, watervang berarti perangkap air. Watervang Lubuklinggau selesai dibangun 1941, di jaman Governor General van Starkenborgh Stachouwer, GG terakhir di jaman Hindia Belanda.

Gbr. Pengerjaan Konstruksi Bendung Watervang, Lubuklinggau [antara 1939~1940]

Menurut catatan KJ Pelzer dalam "Pioneer Settlement in The Asiatic Tropics", proyek irigasi Watervang menghabiskan dana sekitar 765 ribu gulden. Jika kita konversi per hari ini, yakni satu gulden sekitar Rp. 7.300~an, maka Watervang menghabiskan dana sekitar Rp. 5,5 Milyar. Benarkah?

Angka sebesar itu sepertinya mustahil di jaman itu. Apakah nilai kurs rupiah saat ini yg sedemikian terpuruk, ataukah Pelzer salah kutip dokumen; atau bisa jadi....maaf sudah ada 'mark up' anggaran di era Kolonial itu? Allohu'alam...!

Tetapi jangan keliru sangka. Menurut Pelzer, dana sebesar itu termasuk utk konsultan perencana dan survei serta belanja modal membangun  jaringan irigasi hingga ke Tanahperiuk, Srikaton terus ke ujung F. Trikoyo, yang panjangnya sekitar 10 km. Bahkan, jaringan sepanjang 3,15 km dari Watervang dibangun dengan konstruksi khusus mengingat kondisi porositas tanah (pasir) yang rawan jebol.

Pasirah Marga Proatin Lima bersama 15 Lurah di Kolonisasi Tugumulyo antara tahun 1940-1941

Bendungan Watervang tidak bisa dipisahkan dengan sejarah kolonisasi Toegoemuljo  (1937~1940) di wilayah Marga Proatin V pada era Pasirah/Pangeran Amin Ratoe Asmaraningrat. Negosiasi diperkirakan tahun 1936~1937 utk mendapatkan izin lokasi kolonisasi (transmigrasi) dan area bendung Watervang, disinyalir cukup alot. Bahkan pihak Belanda pernah ragu utk meneruskan kolonisasi itu.

Dari 35 ribu hektar yg disurvei, akhirnya disepakati hanya 6.575 ha dan lokasinya bergeser ke D. Tegalrejo; desa Tanahperiuk tetap menjadi wilayah marga. Itu pun dengan syarat: areal seluas 2.735 hektar harus diperuntukan bagi warga pribumi Proatin V. Dan sisanya seluas 3.840 ha utk transmigran Javanese. Jangan lupa, kala itu wilayah marga Proatin V terbentang luas dari Muarabeliti hingga ke Tabapingin, tepatnya hingga di jalan Kelabat Talangjawa Lubuklinggau. Dalam catatan sejarah, marga Proatin Lima mencakup 5 dusun: Muarabeliti, Pedang, Tanahperiuk, Tabapingin dan Kayuara.

Fungsi awal Watervang adalah sebagai pemasok air irigasi utk persawahan sebagai salah satu realisasi  politik 'balas jasa' van Deventer: edukasi~emigrasi~irigasi. Niscaya tak pernah terbayangkan oleh Pangeran Amin dan van Deventer bahwa kelak akan terjadi diversifikasi fungsi Watevang, yakni sebagai objek wisata sejarah.

Booklet "Destinasi Wisata" Lubuklinggau barangkali telah disusun full color; namun ada baiknya bisa disajikan narasi sejarah Watervang yang faktual sebagai daya tarik bagi wisatawan manca negara. Mudah~mudahan.

  *) Penulis adalah peminat sejarah dan     budaya lokal.  Mukim di Lubuklinggau. Blogger:  www.andikatuan.net

Sabtu, 26 Januari 2019

LADA RAWAS SUMSEL PERNAH JAYA DI TAHUN 1800~AN


Lada alias merica (Piper nigrum) ternyata pernah menjadi komoditas unggulan dari Rawas~Muratara Sumsel di era Kolonial Belanda sekitar tahun 1800-an. Hal ini terungkap dalam buku karya P. De Roo De Faille 1928 berjudul "Dari Zaman Kesultanan Palembang" yang diterjemahkan LIPI tahun 1971.

Menurut De Sturler (1843) yang dikutip De Roo De Fille, pada tahun 1729 ~1803 wilayah Rawas dan sekitarnya pernah ditargetkan 20 ribu pikul per tahun yang wajib disetor ke Kompeni. Sultan Palembang menjual ke Kompeni seharga 7 ringgit Spanyol; dan Sultan membeli dari rakyat seharga 1 ringgit Spanyol (f.2.20) dalam sistem perdagangan "tiban~tukon".

Diceritakan bahwa dalam sistem tiban~tukon, Raja atau Sultan mengirim ke daerah Uluan Musi barang-barang: kain, garam dan besi utk membuat alat pertanian; dan Raja membeli barang produk rakyat (lada) sebagai alat tukarnya. Baik barang yg didatangkan dari luar maupun barang produksi rakyat  harganya ditentukan oleh Raja. Selisih harga kedua jenis barang itulah yg menjadi pendapatan Raja dan sebagiannya untuk menyetor ke kas Kompeni.

Terlepas dari sistem "tiban~tukon" di era Kesultanan~Kompeni, Pemda Muratara kini  berpeluang mengembangkan komoditas lada di wilayah Rawas. Dokumen sejarah bari tersebut cukuplah dijadikan referensi 'ilmiah~agronomis' bahwa tanah dan agroklimat wilayah Rawas cocok utk pengembangan komoditas lada.

Tanaman famili Peperaceae ini memang cocok di lahan podsolik, lateritic hingga ultisol dengan ketinggian 300 hingga 1.100 m dpl; curah hujan antara 2000~3000 mm/tahun dan pH (potensial~Hidrogen) 5,5 ~7,0. Kandungan karbohidrat dalam 100 gram lada sekitar 64 gram, kalium 1.329, serat pangan 25 gram dan 251 kcal.

Budidaya lada milenial seperti dilansir Republika.co.id per 6 Agust 2018 adalah sistem tanaman perdu dengan jarak tanam 1 x 2 m, dengan populasi 4.500 pohon per hektar.  Hasil panen  pertama bisa mencapai 900 kg per hektar, panen tahun ketiga bisa 2.250 kg. Dengan harga sekarang sekitar Rp. 30 ribu per kg, maka pendapatan per hektar bisa tembus di angka Rp. 67 jutaan per hektar. 

Di tengah harga karet yang tak kunjung menaik dengan problem persyaratan mutu ekspornya; sementara perlakuan "dumping" minyak sawit yang nyata menjelang "era~ industri 4.0" yang terus diseminarkan di forum MEA, ada baiknya lada perdu segera "didemplotkan" di wilayah Rawas. Siapa tahu di era budidaya lada yang canggih ini,  hasilnya bisa berlipat~lipat. Allohu'alam...! 

Senin, 07 Januari 2019

IDIOM MENTAL TEMPE

”... bodoh.. ndablegg..! Dasar otak tempe..!”. Itu ungkapan kemarahan guru saya di tahun 65-an ketika saya klas satu SD. Saya merasa trenyuh melihat pucatnya muka si Budi anak udik yang tetap strugle jalan kaki nyeker puluhan kilometer setiap pagi. Belakangan, si Budi konon sukses di Jakarta karena ulet dan tawakal menekuni bisnis tempe bungkus plastik dan menguasai market area Pulogadung dan Bekasi. 


Walaupun tempe sangat potensial sebagai pengganti protein hewani yang menjadi biang jantung koroner, tetapi bahan bakunya - tanaman kedele - sulit dikembangkan di Indonesia karena faktor agroklimat dan persaingan pasar dunia. 
Tempe asli bikinan mBok Siyem di Mirasi, konon mengandung protein nabati lebih 45% dan menjadi penghambat munculnya macam-macam penyakit termasuk jantung koroner, asam urat dan penyakit masa kini lainnya. Pantes saja, Mas Gotri kawan saya yang mukim di G1 Mataram tetap hobbi melahap tempe walaupun telah melanglang-buana dan mukim studi di Eropa. Konon juga, Dr. Ashadi Siregar ”Cintaku di Kampus Biru” – wong Batak yang lama mukim di Yogya - sudah tempe bacem mainded. 

Akan halnya ketela si ubikepar, sesungguhnya memiliki prospek strategis sebagai pengganti tepung impor untuk mengurangi terkurasnya devisa dan menjadi salah satu komoditas target pengembangan Menteri Suswono untuk mewujudkan ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan nasional. Ubikepar alias ubirambat, memang gampang tumbuh dan cepat berumbi dengan potensi kandungan karbohidrat yang tinggi dan mudah diolah menjadi bahan makanan lokal nan bergizi. 

Kedaulatan dan Kemandirian Pangan  
Political will Pemerintah telah ditunjukkan dengan terbitnya Perpres Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Dan Bupati Musi Rawas telah pula menerbitkan Edaran Nomor 165/DTPH/2010 tentang Larangan Menghidangkan Makanan/ Penganan yang Berbahan Baku Impor (buahan dll) dalam acara resmi pemerintahan. Jikalau kemauan kuat Pemerintah diikuti oleh dukungan masyarakat tani dan diikuti oleh kiprah nyata swasta sebagai mitra petani dalam mendukung iklim usahatani kedelai dan umbi-umbian dari aspek agroindustrinya, maka niscaya image tempe dan ketela yang berlaku di zaman Bung Karno dulu akan berubah menjadi positif. 

Mental Tempe dan Politik Ketela 
Istilah mental tempe di zaman Bung Karno memiliki konotasi rendah, goblok, dibodohi dan sesuatu yang telmi. Tidak banyak orang tahu sejarah muncul istilah itu. Secara historis, konon, sesuai dengan suasana Era Berdikari waktu itu, Bung Karno menginginkan bangsanya tegak berdiri melawan kedzoliman penjajah dan maju pantang menyerah serta haram diinjak-injak martabat oleh bangsa asing. Nah, karena proses pembuatan tempe tradisional (Jawa) adalah melalui proses penginjakan kaki atas rendaman kedele, maka dipinjamlah material tempe tersebut sebagai analogi dalam ungkapan politik membangunkan spirit kebangsaan untuk melawan penjajah. 

Ada pun istilah mental ketela, muncul pada saat era kebangkitan politik pengembangan budaya nasional yang mulai digempur oleh budaya asing. Munculnya budaya Barat yang hedonistik, imitatif dan serba instan-bypass, mengilhami para sastrawan untuk mengiaskan upaya yang tak pantas dan melanggar etika-kepatutan dengan ”mengorbankan” ketelarambat. 

Ubikepar yang merambat di pekarangan saya di Karangketuan, ketika hendak dipanen pasti dicerabut dari akarnya. Akar umbinya diolah, daunnya dihibahkan untuk gurame atau diminta mBah Keling untuk umpan kambing. Di era modern dengan trend sosialita kini, sekelompok orang kampung yang sukses di kota besar menjadi entitas yang tercerabut dari akar budayanya; serba imitatif, pura-pura (dengan menunjukkan) tampil kekotaannya tapi di belakang dapur di kampungnya (sewaktu mudik), membakar umbi yang bercampur abu dapur. Yang lebih mengenaskan lagi, muda-mudi yang seharian berpanas-panasan di sawah kerja harian, upahnya dibelanjaan pulsa untuk bercanda-ria. Itulah barangkali, ungkapan mental ketela, yang tercerabut dari maqom-budayanya!.

Kita tak tahu kenapa kata-kata "tempe" menjadi simbol "kebodohan" atau "kedunguan" seseorang. Padahal kini fakta ilmiah menunjukkan bahwa tempe adalah makanan yang berprotein tinggi dan aman untuk mencegah "kedunguan" generaasi millenial.

Oleh : Hendy UP *)
*) Penulis adalah pemerhati Budaya Lokal.

WARUNG KOPI INTELIGENSIA

Aku memanggilnya Mas Mul, asli Kebumen Jawa Tengah. Kami berteman akrab sejak awal 1975 dan ‘bubar blas’ pada akhir 1977, sama-sama meninggalkan kota Purwokerto. Dia meneruskan kuliah ke Yogya, mendalami filsafat, dan aku melancong ke berbagai kota untuk kemudian terdampar di Muarabeliti demi mengais sesuap nasi.
Kami tak sesekolah, justeru keakraban kami terbangun karena sama-sama ‘ngekost’ di gang yang sama di kawasan Kaumanlama. Lebih karib-akrab ketika sama-sama ‘bergulat-diskusi’ di perkumpulan PII. Setelah 32 tahun berpisah, just suddenly dipertemukan Tuhan; di tahun 2009, bulan 9 sekitar jam 9 malam. Qodarulloh, sebuah pertemuan tak terduga di warung kopi, di pinggir selokan Mentaram, Pogung nDalangan – Bulaksumur, Yogyakarta. 
Setelah berpelukan erat melepas ‘rindu-dendam’ tak terperikan, kami membuka obrolan seru tentang sinopsis perjalanan ‘serial liku kehidupan’ dan ‘perakitan sosial-intelektual’ kami masing-masing selama era yang terpisahkan. Sedemikian serunya, sehingga tak terasa kami mengakhiri perjumpaan itu nyaris dini hari. Pak Lik pemilik warung kopi agaknya ikut menikmati obrolan ‘humaniora’ kami yang tak jelas pangkal-ujungnya, apatah lagi tema-judulnya. 
Sesampai di kamar kost, anak saya yang sedari tadi ‘bengong’ demi menyaksikan keakraban kami, tiba-tiba bertanya: “Pa, apa beda intelektual dengan inteligensia yang didiskusikan dengan kawan Papa?”. Aku jujur tak bisa menjelaskan kepada anakku - mahasiswa teknik UGM - yang niscaya tak bisa menerima penjelasan ‘non-intelek’ sebagaimana dia mencerna dalil-dalil ‘mekanika fluida’ atau ‘perpindahan kalor’ yang biasa diterima dari dosennya. 
Dalam KBBI Edisi Baru (Tim Pustaka Phoenix, 2009), kedua kata itu diartikan agak berbeda tipis. Setipis integumen, selaput lapisan penutup kulit dalam ilmu anatomi tumbuhan. Walaupun sama-sama berasal dari akar kata ‘intel’, tetapi pemaknaan sosiologisnya tidaklah serupa. ‘Intelektual’ diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan daya nalar (wawasan, pemikiran) yang tinggi berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Juga bisa diartikan sebagai orang terpelajar, cendekiawan atau ilmuwan. 
Orang yang gagal membangun konklusi dengan cara mengabaikan mekanisme nalar yang benar nan ‘bebas-nilai’, mungkin untuk kepentingan politik tertentu, itulah yang disebut Rocky Gerung sebagai ‘dungu’. Sedangkan ‘inteligensia’ lebih menunjuk kepada komunitas atau kaum: kaum cerdik pandai, kaum terpelajar atau para cendekiawan. 
Menurut Yudi Latif (2012, hal. 14) dalam disertasinya “Inteligensia Muslim dan Kuasa”, diakui bahwa mendefinisikan kata ‘intelegensia’ dan ‘intelektual’ merupakan sesuatu yang problematik, karena kedua istilah itu telah diartikan secara tumpang tindih, khususnya dalam wacana ‘sejarah dan politik’ di Indonesia. Tak ada pemahaman bahwa masing-masing memiliki genealogi dan formasi sosialnya sendiri-sendiri, sehingga keduanya merujuk pada suatu konsep dan fenomena sosial yang berbeda. 
Adalah Mohammad Hatta, ketika berpidato di hadapan sivitas akademika UI tanggal 11 Juni 1957 dengan judul “Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia”, menafsirkan kata ‘inteligensia’ sebagai sinonim dari ‘intelektual’. Barang tentu, menurut Yudi Latif, Hatta menggunakan konsepsi intelektual yang dipakai Benda dalam karyanya yang mashur “Pengkhianatan Kaum Intelektual” (La Trahison des Clercs). Para pemikir Eropa Barat hingga awal abad XIX, juga di Indonesia yang secara intelektual berafiliasi ke ‘Jagat Eropa’, pada umumnya menganut aliran pemikiran yang sama. Sebutlah Robert Michels, Selo Sumardjan, Arief Budiman atau Daniel Dhakidae, hampir tak membedakan istilah ‘inteligensia’ dan ‘intelektual’. 
Akan tetapi, sosiolog Vladimir CN (1983) dan Aleksander Gella (1976) memiliki intensi yang lain tentang dua kata itu. Inteligensia, kata Vladimir, adalah sebagai sekelompok orang yang memiliki karakteristik tersendiri dan berada di luar tatanan sosial yang ada, baik berupa sistem kelas maupun status tradisionalnya. Inteligensia adalah berbeda dari formasi-formasi sosial konvensional seperti perhimpunan profesi atau kelompok status tertentu. Inteligensia disatukan bukan oleh standar kehidupan ekonomis atau kepentingan profesi, namun terutama oleh kesamaan sikap tertentu dan oleh penerimaan terhadap ‘warisan budaya adi-luhung yang melampaui batas-batas nasional geografiknya. 
Terlepas dari perdebatan dua kata itu, temanku Mas Mul ternyata sungguh telah mencapai level inteligensia yang tak mau diatur birokrasi, dengan meninggalkan profesi dosennya. Satu keyakinannya yang kuat bahwa: “filosofi kehidupan manusia harus memanjakan gairah berfikir dan menaikkan libido kearifan budaya serta mampu menepikan hal- ikhwal hitungan margin-niaga”. Allohu’alam. 

Oleh: Hendy UP *)
*) Penulis adalah penikmat sastra humaniora. Mukim di Lubuklinggau. [29/12/2018]

MENGGUGAT PASAL 12 UU PEMDA TAHUN 2014

Oleh: Hendy UP *) 

Menurut pasal 12 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pangan adalah urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Hal ini sungguh sangat kontradiktif dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang lahir dua tahun sebelumnya. Mengapa saat itu, birokrat di Kemendagri/Kementan dan anggota parlemen di Panja UU Pemda “terjangkit virus “gagal faham?  

     UU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) adalah salah satu UU yang secara natal-historikal cukup unik dan mengandung pasal terbanyak sepanjang sejarah UU tentang Pemda, yakni 27 bab dengan 411 pasal. Bandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 (134 pasal), dan UU No.32 Tahun 2004 (240 pasal). 

    Keunikan sejarah kelahirannya yang cukup langka adalah bahwa pada saat diundangkan (2 Oktober 2014), terbit pula dua Perppu secara bersamaan, yakni: (1) Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan (2) Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Pemda tersebut, yang hanya menghapus 2 huruf pada 2 ayat di 2 pasal yang berbeda. Pasal-pasal yang sebagian ayatnya dihapus adalah Pasal 101 dan Pasal 154, masing-masing pada ayat ke-1 huruf ke (d), dan kesemuanya tentang kewenangan DPRD baik di provinsi maupun di kabupaten/kota.
  
   Terasa tertinggal ‘kereta’, maka pada 18 Maret 2015 sejumlah 6 pasal disempurnakan lagi dengan terbitnya UU No. 9 Tahun 2015. Ini semua, sungguh sebuah UU yang sarat kepentingan “politik musiman”. Saya menyebutnya “politik-klimatologis” 
Nuansa politis dan ketegangan parlementaria di akhir pusaran pemerintahan SBY menjelang terbitnya UU Pemda ITU, bisalah kita lupakan sesaat dan cukuplah menjadi ibroh bagi warga bangsa. Tapi UU Pemda ini menyisakan persoalan mendasar yang menyangkut “urusan pemerintahan konkuren” yang menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah sebagai roh desentralisasi kekuasaan. 

  Sekadar pengingatan bersama bahwa pasca-reformasi 1998, asas manajemen pemerintahan terbagi atas tiga urusan, yakni: urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut yang terdiri dari 6 bidang adalah merupakan kewenangan mutlak Pemerintah Pusat, walaupun dalam penyelenggaraannya bisa dilaksanakan sendiri, bisa juga dilimpahkan kepada instansi vertikal di daerah atau kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat (Pasal 10).

   Sedangkan urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan (Pasal 9). 
Adapun urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dengan Pemda provinsi dan Pemda kabupaten/kota. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah inilah yang menjadi dasar pelaksanaan desentralisasi kekuasaan atau yang lazim disebut otonomi daerah, dan terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan (Pasal 11). 

  Urusan pemerintahan wajib terbagi atas dua kategori, yakni: (1) urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, dan (2) urusan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar. Enam jenis urusan pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar adalah: pendidikan, kesehatan, PUPR, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman/tibum/linmas dan sosial. Sedangkan 18 jenis urusan wajib non-pelayanan dasar antara lain adalah: tenaga kerja, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pangan, dan beberapa jenis urusan lainnya (Pasal 12). 

   Di dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggara Pemerintahan Daerah memprioritaskan pelaksanaan urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa pola perencanaan dan penggaran APBD akan memprioritaskan porsi anggaran untuk jenis urusan yang terkait dengan pelayanan dasar, tidak termasuk bidang pangan yang secara awam adalah justeru urusan yang sangat asasi dan mendasar sifatnya. 

  Pada pasal 12 UU Pemda dengan tegas menyatakan bahwa urusan pangan adalah ‘bukan urusan yang terkait dengan pelayanan dasar’. Hal ini sangat kontradiktif dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang lahir dua tahun sebelumnya. Di dalam konsideran menimbang diktum pertama pada UU tentang Pangan, dengan tegas dinyatakan bahwa “pangan adalah merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dijamin di dalam UUD 1945, sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas”. 

  Pada konsideran menimbang diktum kedua dinyatakan: “bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal”. 

   Sebagai insan pertanian yang pernah ‘menyungkur-lumpur’ dalam melintasi ‘era revolusi hijau hingga revolusi biru’ di akhir tahun 1970-an hingga 90-an, saya merasakan ada kejanggalan berfikir para petinggi dan anggota parlemen di negeri ini. Dan jangan lupa, pasal 12 ini potensial menjadi bahan ‘uji materi di MK’ bagi kalangan yang faham akan fungsi pangan sebagai hak asasi yang sangat mendasar bagi masyarakat. Sayang sekali hingga kini belum terdengar suara-suara itu. Barangkali isu pangan yang mendasar ini, dikalahkan oleh ‘hiruk-pikuk’ pertunjukan ‘Tonil Gendurwo yang Semakin Menyontoloyo”. 

    Jika para petinggi Republik ini ‘gagal faham’ dalam memaknai persoalan pangan, maka tunggulah masa ‘kelaparan rakyat’ kelak di kemudian hari, yang bisa memicu benih-benih ‘social-movement’ di tengah kesulitan ekonomi yang semakin terasa. Mudah-mudahan ‘kedunguan’ para petinggi Republik ini akan segera berakhir. Allohu’alam bishowab…..! 

*) Penulis adalah insan pertanian.      
Mukim di Lubuklinggau Sumsel.
[28/12/2018]

DAYANGRINDU SILAMPARI

Oleh: Hendy UP *)

Di sela-sela makan siang di Inna Garuda Hotel kawasan Malioboro Yogya, saya iseng bertanya kepada seorang narasumber. Apa yang paling mengesankan dari daerah kami Musirawas Sum-Sel? Agak jeda sesaat, lalu dijawab sekenanya. “Dayangrindu…! Nasinya harum, pulen…. Luar biasa!”. Saya tahu bahwa dia pernah berkunjung ke Kecamatan BTS Ulu Cecar Kab. Musirawas dan sekitarnya, sebagai konsultan sebuah perusahaan migas. Dialog itu terjadi 24 Juni 2008, ketika saya menghadiri FGD tentang “charity model” atas pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR).


Dalam KBBI, dayang berarti gadis pelayan bagi permaisuri atau putri para raja; sedangkan rindu, salah satu maknanya adalah merasa ingin sekali bertemu. Barangkali penamaan padi/beras dayangrindu dahulu kala, dilekatkan dengan rasa dan harumnya beras dayangrindu sehingga siapa pun yang pernah menikmatinya senantiasa merindukannya.

Nama Dayangrindu ternyata bukan monopoli masyarakat Silampari saja. Masyarakat Muaraenim, Lahat dan Baturaja; sebagaimana masyarakat Jambi, Bengkulu dan Lampung juga mengenalnya. Bahkan Lampung memiliki cerita rakyat “Tetimbasi Si Dayangrindu” yang manuskripnya konon tersimpan di perpustakaan Leiden, Munich, Dublin dan London. Cerita yang mengisahkan ‘kasih tak sampai’ antara putri mahkota Kerajaan Tanjung Iran dengan Ki Bayi Radin dari Batin Pasak (Marga Rambang) itu, sungguh melegenda walaupun mulai dilupakan oleh generasi “jaman now”. 

Dayangrindu Silampari adalah salah satu varietas lokal padi ladang yang terlanjur dikenal sebagai ciri khas masyarakat Musirawas. Sentral populasinya berada di Jayaloka dan sekitarnya. Dari hasil uji galur selama lima musim, ternyata rasa dan harumnya beras Dayangrindu melekat secara genetik. Sifat-sifat inilah yang dipertahankan, sembari membuang sifat lemahnya seperti: umur panjang dan batang tinggi yang mempermudah rebah. Kita tidak pernah tahu, sejak kapan sifat-sifat bawaan ini tercipta di Bumi Silampari. Mungkin ratusan atau bahkan jutaan tahun lamanya seiring dengan proses adaptasi terhadap tanah dan agroklimat Musirawas. 

Budidaya padi ladang memang dimulai semenjak era nomaden hingga manusia mengenal perkebunan. Sejarah mencatat bahwa mula pertama padi ditemukan diduga kuat di lembah sungai Yang Tse dan Hui di era Kaisar Shen Nung, lebih kurang 14.000 tahun yang lampau. Padi jenis ini disebut Oryza sativa Japonica. Sebagian ahli lain menyebutkan bahwa padi berasal dari India, yang disebut Oryza sativa Indica. 

Demi melestarikan plasma nutfah tanaman lokal nan langka, Pemda Musi Rawas telah lama berupaya untuk mematenkan varietas ini ke lembaga yang berwenang. Pada tahun 1991-an, seorang Penyuluh Pertanian Musirawas, yakni Ir. Damhuri pernah mengusulkan Dayangrindu ke Balai Penelitian Padi Sukamandi untuk diproses sebagai varietas padi lokal Musirawas dan dipatenkan sebagai kekayaan plasma nutfah Nusantara. Namun sayang, upaya mulia tersebut belum berhasil, karena terkendala oleh biaya dan lamanya proses pemurnian varietas padi. 

Alhamdulillah pada 1 Maret 2012, telah terjalin kerja sama Litbangyasa antara Pemda Musirawas (Dinas Pertanian) dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) yang membuka jalan bagi upaya permurnian varietas padi lokal Dayangrindu. Kerja sama itu terus berlanjut hingga sekarang, bahkan penguatan kerja sama itu tercermin dengan terbentuknya Silampari Agro Techno Park (ATP) pada tahun 2016 yang diinisiasi oleh BATAN dengan terbitnya Per-Bup Musirawas No. 72 Tahun 2016. 

Kerja sama semakin menguat ketika terikat secara Tripartid antara BATAN – Pemda – Unmura, untuk memurnikan varietas Dayangrindu. Melalui proses “iradiasi benih” di laboratorium Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) BATAN, proses panjang yang konvensional di Balitpa Sukamandi, kini dapat diperpendek hanya 5-6 musim tanam untuk memperoleh galur murni. Berlokasi di Balai Benih Tugumulyo yang juga menjadi Basecamp ATP, proses pemurnian galur murni Dayangrindu telah dimulai pada tahun 2013. Diawali dengan proses iradiasi benih dengan sinar Gamma dosis 200 gy dan 300 gy, diteruskan dengan seleksi lapangan pada MT 2014 hingga MT 2017/2018 yang akan dipanen pada minggu kedua Maret 2018 ini. 

Rapat evaluasi pada 1 Maret 2018, dirumuskan bahwa untuk mematenkan varietas padi Dayangrindu masih memerlukan beberapa langkah lanjutan, yakni: uji daya hasil, uji adaptasi (multi lokasi) kerjasama dengan Kementerian Pertanian, uji hama penyakit, uji kualitas hasil, dan pemberkasan dokumen proposal pelepasan varietas. 

Jikalau kelak tercapai pelepasan varietas Dayangrindu, baik sebagai varietas padi nasional maupun varietas padi lokal, maka Pemda Musirawas akan mencatat sejarah telah mampu memperjuangkan hak paten varietas lokal Musirawas sebagai salah satu tanaman yang dilindungi keberadaannya sebagaimana diatur UU Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Mudah-mudahan menambah koleksi penghargaan atas inovasi Pemda Musirawas di sektor pertanian. 


*) Penulis adalah Kepala Agro Techno Park BATAN. Mukim di Kawasan Mirasi Tugumulyo Musirawas Sumsel.

PENAS TANI: DARI MASA KE MASA

Oleh: Hendy UP *)


Pekan Nasional (Penas) Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional XV akan berlangsung di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam pada bulan Mei 2017 mendatang. Di bulan ini, di setiap provinsi di seantero Nusantara tengah berlangsung Pekan Daerah (Peda) sebagai lembaga antara untuk menyatukan visi-misi dan gagasan segar lokalistik-daerah yang akan dibawa para KTNA provinsi ke gelanggang Penas XV di NAD kelak.

Peda KTNA tingkat Provinsi Sumsel diselenggarakan di Lubuklinggau yang berlangsung dari tanggal 17 – 22 Oktober 2016 pekan ini. Perhelatan Penas/Peda KTNA, sesungguhnya merupakan rangkaian sejarah pergulatan dan pergolakan panjang nan melelahkan para kaum tani, semenjak rezim Orde Lama Bung Karno hingga Orde Muta’akhir Mas Jokowi-JK.

Dalam usianya yang ke-45 tahun, harus diakui bahwa pelaksanaan Penas Petani-Nelayan Indonesia agaknya semakin kehilangan magi-nya. Di tengah keprihatinan yang menyayat kaum tani kini, di tengah kondisi Nilai Tukar Petani (NTP) yang semakin merosot tajam-menghujam mendekati angka 100, di tengah kondisi-rumit kalkulasi Indeks Gini Rasio (IGR) yang semakin menjauh dari angka nol; kiranya tidaklah berlebihan jika kita semakin wajib berkontemplasi, seberapa besar efek-manfaat atas hiruk-pikuk perhelatan Penas dan Peda di era otonomi ini.

Kondisi miris kaum tani tersebut bukanlah narasi yang ‘didramatisir’ sama sekali. Ini sebuah fakta on the field ! Luapan harapan akan harga ‘jedol parah’ yang bikin sumringah, harga tandan buah sawit yang segera melejit, serta semburat kuning hamparan padi yang akan dipanen tanpa serangan wereng-ekplosif, agaknya belum dirasakan kaum tani. Mungkin esok atau lusa, kita berharap lagi…!, seperti syair Koes Plus di era 70-an. Petani lagi-lagi masih bungkam: bahwa air irigasi from Watervang tidak pernah rela singgah di Q. Tambahasri, apatah lagi nyasar ke petak-petak sawah di Kecamatan Purwodadi secara rutin terkendali. Beruntunglah warga di Siringagung-Ketuan-Tanahperiuk, D. Tegalrejo dan sebagian Satan Ulu yang bisa berfoya-foya membendung irigasi dengan batu-bata dan besi-terali, seolah limpahan air irigasi dikirim Tuhan secara khusus hanya untuk dirinya dan tetangga kanan-kiri yang tak tahu diri.

Butir-butir pemikiran sekitar itulah, antara lain yang seyogyanya menjadi bahan permenungan para delegasi kaum tani di ajang Peda dan Penas Petani. Masyarakat tani sangat berharap, bahwa kejernihan hati dan kecerdasan intelektual serta kebijakan moral-spiritual para delegasi kaum tani di gelanggang Peda ini, harus mampu menangkap substansi dan saripati kebutuhan dasar kaum tani yang akan diperniagakan mati-matian di ajang Penas XV di Aceh kelak. Kita semua berharap, jikalau Presiden Jokowi hadir di Penas XV kelak, mestinya akan mampu menangkap ungkapan kebutuhan dasar kaum tani agar tak tergilas pasar bebas ASEAN yang semakin terasa dan tercium keringat persaingannya.

Dalam catatan perjalanan Penas, memang tidaklah setiap perhelatannya dihadiri Presiden RI. Penas VI di Simalungun dihadiri Presiden Soeharto pada tahun 1986; Penas XII di Banyuasin juga dihadiri Presiden SBY pada tahun 2007. Sekadar mengingat perjalanan sejarah Penas Petani dari waktu ke waktu berikut ini diuraikan catatan Penas I hingga Penas XIV.

No
Nama PENAS
Tempat, Waktu
Tema
1
PENAS I
Pertemuan Petani-Nelayan
Cihea, Cianjur, Jawa Barat
18-25 Sep 1971
Meningkatkan Peranan Petani dalam Program Pembangunan Pertanian
2
PENAS II
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan
Wringintelu, Jember, Jatim
23-29 Jun 1974
Meningkatkan Partisipasi Petani-Nelayan dlm Pembangunan Lima Tahun II
3
PENAS III
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Sempidi, Badung, Bali
20-24 Apr 1980
Keserasian Kegiatan Pembangunan Usaha Tani-Nelayan dg Kesempatan Kerja dan Pendapatan Klg dg Kelestarian Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam
4
PENAS IV
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Tawia, HST, Kalsel
22-27 Jun 1981
Tingkatkan Produksi dan Pengadaan Pangan bagi Kesejahteraan Bangsa dan Umat Manusia
5
PENAS V
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Probolinggo, Lampung Tengah, Lampung
22-25 Agu 1983
Meningkatkan Kemampuan, Peranan dan Peranserta Petani-Nelayan sebagai Upaya utk Mencapai Pertanian Tangguh
6
PENAS VI
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan
Bandarmarihat, Simalungun, Sumut
22-27 Jul 1986
Mewujudkan Petani-Nelayan Tangguh Dlm. Menyukseskan Lepas Landas Pemb. Pertanian Melalui Peningkatan Peranan KTNA Dlm Kelembagaan Ekonomi Perdesaan yang Sehat dan Kuat.
7
PENAS VII
Pertasikencana *)
Pangkep, Sulawesi Selatan
08-16 Jul 1988
Memantapkan Keterpaduan Kelompok Tani-Nelayan dan KUD utk Mewujudkan Petani Tangguh dan Keluarga Sejahtera

8
PENAS VIII
Pertasikencana
Mungkid, Magelang, Jateng
Juli 1991
Memantapkan Petani-Nelayan Tangguh, KUD Mandiri dan KB Mandiri yg Berwawasan Lingkungan Guna Mewujudkan Kelg. Sejahtera
9
PENAS IX
Pertasikencana
Gerung, Lombok Barat, NTB
16-22 Jul 1996
Melalui Agribisnis, Koperasi Mandiri dan Pembangunan Kelg. Sejahtera, Kita Tingkatkan Kualitas SDM dan Pengentasan Kemiskinan
10
PENAS X
Agribisnis
Tasikmalaya, Jawa Barat
20-25 Okt 2001
Melalui Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri Kita Tingkatkan Kesejahteraan Petani-Nelayan

11
PENAS XI
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan
Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara
05-10 Jun 2004
Dengan Membangun Kepemimpinan Kontak Tani-Nelayan, Kita Kembangkan Kemitraan Agribisnis menuju Petani-Nelayan Mandiri
12
PENAS XII
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Banyuasin, Palembang Sum-Sel
07-12 Jul 2007
Dengan Revitalisasi Pertanan Kita Tingkatkan Kemandirian dan Kemitraan Menuju Kesejahteraan Petani-Nelayah
13
PENAS XIII
Pertemuan Kontak Tani-Nelayan

Tenggarong, Kutai Kartanegara, KalTim
18-22 Jun 2011
Melalui Pemberdayaan Petani-Nelayan dan Penguasaan Teknologi Tepatguna Kita Kembangkan Daya Saing Pereknomian Nasional Dlm Rangka Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan
14
PENAS XIV
Pertemuan Kontak Tani- Nelayan
Kepanjen, Malang, Jawa Timur
07-21 Jun 2014
Memantapkan Kepemimpinan dan Kemandirian Kontak Tani Nelayan Dlm Rangka Pengembangan Kemitraan dan Jejaring Usaha Tani Guna Mewujudkan Kesejahteraan Petani-Nelayan.


*) Pertasikencana kependekan dari Pertanian, Koperasi, Keluarga Berencana, yakni kerja sama penggabungan peringatan Hari Krida Pertanian, Koperasi dan KB.

Lubuklinggau, 17 Oktober 2016. 


*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial-pertanian dan perdesaan, mukim di Lubuklinggau.


Rabu, 05 Oktober 2016

JEDOL, KAVITASI & JALAN BERLUBANG


 Oleh : Hendy UP

Jikalau hasil riset Mas Pudji tentang kemungkinan penggunaan
'jedol para' (slab getah karet) untuk pengganti aspal segera dilirik Pemerintah,
barangkali jalan-jalan aspal berlobang di Musi Rawas dan
Lubuklinggau tidak semakin meluas-melebar,
dan anggaran pembangunan aspalisasi jalan bisa agak ditekan.

 Adalah seorang periset dari Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir
Badan Tenaga Atom, mas Pudji Untoro, telah berinovasi sejak tahun 2006 untuk mencari alternatif pengganti aspal yang semakin langka. Dengan kreativitasnya, ia menggunakan tranducer yakni komponen keramik yang menghasilkan getaran mekanik dan mengeluarkan frekuensi ultrasonik ketika mendapatkan aliran listrik. Alat yang diimpor dari Cina ini banyak ditemui di pasar dengan harga murah, yakni Rp 200 ribuan per unit. Alat ini bisa dibuat portabel dengan dilengkapi generator, sehingga mudah dibawa ke lapangan.
     Bahan pengganti aspal tersebut terdiri dari getah karet, semen dan pasir dengan formulasi tertentu. Mas Pudji si periset yang diwawancarai wartawan Kompas, belum memberi nama hasil temuannya; tanpa bermaksud mendahului penemunya, untuk di Musi Rawas dan Lubuklinggau bisa saja dinamai ”Asdol” akronim dari aspal jedol. Konon, di daerah yang sulit memperoleh getah karet, bisa digantikan dengan limbah ban bekas dengan teknologi devulkanisasi. Akan tetapi di Musi Rawas, persoalan bahan baku jedol lebih mudah memperolehnya.

Gelembung Kavitasi

      Alat tranducer yang menyalurkan getaran ultrasonik dengan frekuensi 20-100 kh ke 4 liter getah karet yang baru disadap akan menghasilkan gelembung kavitasi. Gelembung mikro kavitasi tersebut bersuhu 2 ribu derajat celcius, dan akan langsung pecah ketika mendapat pendinginan mendadak dari cairan getah karet.  Dalam waktu 10 menit, 4 liter getah karet yang dialiri frekuensi ultrasonik 1 unit tranducer belum berubah panasnya, akan tetapi kualitas daya rekatnya sudah berubah. Dan pada saat inilah material pasir dan semen siap dicampurkan dengan tambahan zat aditif khusus yang sedang dipatenkan oleh Mas Pudji.

Peluang dan Tantangan  

     Bagi inovator di Musi Rawas dan Lubuklinggau, peluang menindaklanjuti kreativitas Mas Pudji sangat terbuka. Para mahasiswa dan para bisnisman bisa menyongsong teknologi ini dengan lebih serius mencari tahu dari sumbernya. Soal alat teknologi bisa dicari, bahkan kapasitas tranducer asli yang hanya mampu untuk 4 liter getah karet bisa dimodifikasi lebih besar. Bahan baku getah karet sangat melimpah-ruah, terhampar dari Rantauserik Muarabeliti hingga Sungaijernih di Rawasulu.
     Jika kita hitung secara mencongak saja,  kebun karet di Musi Rawas dan Kota Lubuklinggau seluas 200 ribu hektar dengan produksi lateks 10 liter saja per hektar per hari, maka bahan baku tentu bukan hal yang jlimet-jlimet amat.  Akan tetapi, dengan rendah hati Mas Pudji mengakui bahwa teknologi tersebut baru diujicoba di jalan aspal Kompleks Puspitek Serpong dan lingkungan RT-nya. Dan sudah dua tahun lebih jalan aspal berlobang yang ditampal asdol Mas Pudji ternyata belum rusak.
      Betapa pun masih prematurnya hasil riset Mas Pudji, akan tetapi secara keilmuan pasti hal itu sangat prospektif terutama bagi daerah-daerah penghasil karet. Bagi Pemerintah Daerah, yang anggaran pembangunannya masih cupet, tentulah bisa lebih diefisienkan, paling tidak anggaran rutin untuk tampal-menampal jalan berlubang tidak tersedot oleh belanja modal aspal yang semakin mahal; langka pula!

                   (* Penulis adalah pemerhati inovasi teknologi).

                         Artikel Opini Mureks, 23 Juli 2010)