Selasa, 16 Juli 2019

MELACAK SEJARAH IBUKOTA MUARABELITI (1)

Kajian ahli geologi Oki Oktariadi (2010) bertajuk "Awal Peradaban Atlantis vs Sundaland" yang membentangkan peta sejarah sebaran gen Indonesia, kini menjadi basis rujukan rekonstruksi sejarah peradaban kota-kota tua Indonesia, yang diyakini awalnya merupakan desa-desa di pinggiran pantai, dan muara-muara sungai besar yang bisa dilayari 'perahu jukung' bahkan 'kapal lambung' di era bari prasejarah.

Bermula dari tesis Stephen Openheimer (1998) dalam "Eden in the East: The Drowned Continent of Southeast Asia", diyakini bhw nenek moyang bangsa- bangsa Eurasia berasal dari Sundaland (Nusantara). Hipotesis Heimer yang kontroversial itu dibangun dari riset yang ilmiah- kredibel nan holistik atas aspek: geologi, arkeologi, genetika, linguistik dan folklore serta mitologi Yunani kuno.

Dalam konteks kota-kota tua di Sumatera khususnya kawasan Silampari Raya yang merupakan wilayah Musi Uluan, Openheimer memperkuat temuan kajian lama George Coedes (1918) bhw kejayaan Sriwijaya setidaknya mulai terpancar pada tahun 671 M ketika Dapunta Hyang Sri Jayanasa berkuasa.


Dalam perkembangannya, wilayah Silampari merupakan posisi strategis karena memiliki potensi komoditas lada dan beras huma yang merupakan bahan pangan penduduk dan komoditas ekspor rempah ke manca negara. Belakangan, potensi emas di Muaraaman-Lebong, kopi dan karet di kawasan Musi Uluan menjadi pemacu berkembangnya kawasan Silampari baik dari jalur transportasi sungai Musi dan anak-anaknya maupun jalur darat dari Bengkulu yang lama dikuasai Inggris di era Raffles.


Belum ditemukan manuscrip kuno tentang keberadaan Muarabeliti secara detail di era kejayaan Sriwijaya, era VOC dan Kolonialisme Belanda hingga Kesultanan Palembang. Hanya saja, ketika Sultan Machmud Badaruddin II naik tahta 1803, desa Muarabeliti sudah tercatat sebagai batas wilayah pengendalian keamanan di Musi Uluan yang dirongrong oleh penguasa Inggris di Bengkulu.


Ketika pada 21 Juni 1818 terjadi perjanjian yang menyakitkan antara Belanda dg dua Sultan Palembang yang bermusuhan (SMB II sebagai Sultan Tua dan Najamuddin II sebagai Sultan Muda), penguasa Inggris di Bengkulu mengirimkan pasukannya ke Muarabeliti dan menancapkan bendera Inggris di Muarabeliti. Kemudian Muarabeliti dijadikan markas militer Inggris yang dipimpin oleh Letnan Haslam.


Patut diyakini bahwa pascaruntuhnya Sriwijaya, kemudian dikuasai "perompak Cina" selama ratusan tahun, muncullah Kerajaan Dharmasraya dan hegemoni Singasari dan Majapahit dari Jawa, desa-desa tua di muara sungai sudah bertumbuh secara tradisional. Pertumbuhan desa-desa tradisional itu mulai tertata ketika muncul Kesultanan Palembang di tahun 1552 di era penguasa pertama Ki Gede Ing Suro.


Pada era Aburahman Cinde Walang (1659 - 1706) mulai diperkenalkan UU Simbur Cahaya yang bernuansa Islam, dan era itulah mulai dikenal Depati yang membawahkan para Pesirah sebagai kepala marga sekaligus kepala adat. Pada tahun 1662 diresmikan (dikukuhkan?) tiga Pasirah di Musi Uluan yakni: Pasirah Marga Tanjungraya, Semangus dan Mandiaur. Pada tahun 1883 Marga Mandiaur berubah menjadi Marga Proatin XI beribukota di Muarakelingi.


Munurut catatan Drs. Sofian Zurkasie (2018), diduga kuat Marga Proatin V terbentuk pada 1875 dan beribukota di Muarabelitilama; jadi kelang beberapa tahun setelah pembentukan marga-marga di kawasan hilir Musi. Muarabeliti lama adalah dusun awal yang berlokasi di seberang sungai Kelingi (kini di seberang KPU Mura). Dahulu kala, Marga Proatin V terdiri atas 5 proatin yakni: Dusun Muarabelitilama, Pedang, Tanahperiuk, Tabapingin dan Kayuara. Belakangan, pada tahun 1929, dimekarkan menjadi Marga Sindangkelingi Ilir yang mencakup Kayuara hingga Gang Kelabat Talangjawa Lubuklinggau.


*) Penulis adalah pemerhati sejarah dan budaya lokal

0 komentar:

Posting Komentar