Selasa, 16 Juli 2019

TATABAHASA: MENYUKSESKAN, BUKAN MENSUKSESKAN

Di suatu petang ba'da magrib, secara 'empatmata' saya menghadap atasan langsung saya, Pak Sekda. Saya menyodorkan draf final pidato Bupati Musirawas yang akan dibacakan pada acara kunjungan Gubernur Syahrial Usman di Muaralakitan besok paginya. Itu terjadi antara tahun 2006 - 2007, kalau tak salah ingat. 

Mungkin karena perubahan jadwal kunjungan gubernur yang mendadak, saya menerima tugas yang sama sekali bukan Tupoksi saya. Tidak ada hubungan sama sekali antara jabatan saya dengan tugas 'suddenly' itu. Ba'da ashar tugas itu muncul. Mendadak... dak. Tapi... Okelah! Bukankah di poin terakhir Tupoksi setiap pejabat Republik ini ada frasa "melaksanakan tugas lain yang diberikan atasan"?

Pada momen hisapan terakhir rokok 'SURYA-16' Pak Sekda, yang asapnya membumbung langit-langit ruang tamu, dia menyerahan konsep pidato itu. Bersegeralah saya mencermati hasil koreksian di depan Sang Bigboss. Dari 6 halaman kuarto dengan 26 paragraf, ternyata ada dua kata yang dicoret Pak Sekda. Dua kata itu adalah kata "menyukseskan" dan "menyosialisasikan".


Merasa punya dalil tatabahasa yang cukup valid, saya mencoba menyodorkan argumen morfologis dengan sesantun mungkin. Saya pikir, kalau pun 'dimarah' dengan bahasa Pagaralam yang 'medok', saya sudah sangat siap. Saya katakan secara verbatim begini: "Kata jadian (konfiks) dengan pola 'me - kan', jika mengimbuh kata dasar yang diawali konsonan 's', maka huruf 's' nya luluh menjadi 'ny'.


Contohnya: sapu - menyapu; sisir - menyisir; sikat - menyikat; sembelih - menyembelih, dst. Kata sukses dan sosialisasi itu, walau diserap dari bahasa asing, namun sudah masuk ke dalam entri kosa kata Indonesia. Dengan demikian pola pembentukan konfiksnya wajib tunduk dg dalil baku Tatabahasa Indonesia, kecuali ada eksepsi atau alomorf yang diterakan di dalam KBBI.


Saya hitung, memerlukan tiga kali hisapan SURYA-16 untuk mengangguk- angguk agak kebingungan; sekilas ada 'kegalauan jiwa' Pak Seka. Antara percaya dan tidak akan argumen si 'HINDI' ini yang basis ilmunya 'sekadar' pertanian dan pedesaan.


Semburat keraguan ta' mampu ia sembunyikan; terlukis dalam 'mehan' Sang Bigboss. Akhirnya ia berfatwa: "Tapi kata menyukseskan itu belum lazim nDi..... yang biaso itu mensukseskan. Aku pecayo dengan Kabah, tapi gantilah sajeu... ".


Maka, sebagai 'anak-buah' yang loyal, dan demi mempercepat keputusan, saya terima 'dengan ikhlas' saran Sang Bigboss. Petang itu alhamdulillah saya mendapat ibroh dan himah. Betapa seorang anak buah seringkali harus memenuhi 'selera' Bigboss kendati tak masuk di hati. Dan ternyata dalil hukum bahasa yang benar harus dilanggar ketika dianggap menabrak tradisi kelaziman dalam 'politik birokrasi'. Allohu'alam bishowab..!


*) Pemerhati bahasa dan budaya lokal

0 komentar:

Posting Komentar