Selasa, 16 Juli 2019

MELACAK SEJARAH IBUKOTA MUARABELITI (2)

Ibukota Muarabeliti sesungguhnya adalah dusun baru, pindahan dari Muarabelitilama yang dahulu merupakan ibumarga Proatin V, berlokasi di seberang sungai Kelingi (belakang eks Kontrolir/kantor Camat) yang kini menjadi KPU Mura. Kapan perpindahan itu terjadi?

Fakta sejarah mencatat bahwa ketika kekuasaan Belanda mulai memerhatikan daerah luar Jawa sbg potensi pengembangan ekonomi, penataan sistem pemerintahan mulai merambah wilayah Sumatera termasuk daerah Musi Uluan. Pada 1907, terjadi penggabungan Onderdistrict Muarabeliti dan Muarakelingi menjadi Onderafdeeling Musi Ulu dg ibukota Muarabeliti. Pada era itulah diduga dibangun Pusat Controleur di Muarabeliti yang jejak bangunannya masih dpt kita saksikan hingga kini.

Namun segera setelah terbangunnya rel KA dari Palembang - Lahat ke Lubuklinggau (1933), serta merta ibukota pemerintahan Onderafdeeling Musi Ulu berpindah ke Lubuklinggau; dan sejak saat itulah Muarabeliti praktis menjadi "dusun-tuo" yang tak diminati.


Roda sejarah kembali berputar, ketika di tahun 2001 terjadi pemekaran wilayah Musirawas dan melahirkan DOB Kota Lubuklinggau (UU No. 7 Thn 2001). Dengan keputusan Bupati Mura No. 385/Kpts/2003 yang dikuatkan keputusan DPRD Mura No. 08/Kpts/DPRD/2004, maka Muarabeliti kembali muncul sebagai "dusun-tuo" yang rejuvenasi dan menjelma sebagai ibukota Musirawas "Agropolitan". Jadi secara faktum-historical, keberadaan ibukota Muarabeliti terkait erat dengan: Bupati Ibnu Amin, Ridwan Mukti dan Hendra Gunawan.


Selama era kemargaan (1875-1983) tercatat setidaknya ada 10 figur pesirah/depati. Menurut Sofian Zurkasie (2018) perkiraan masa kekuasaannya adalah: Depati Abdullah Bute (1875-1880), Trusin (1880-1890), Azis (1890-19900), Kodir (1900-1905), Depati Achmad bin Tigar (Pedang) (1905-1907), Djuragan (1907-1909), Mohd. Amin Ratoe Asmaraningrat (1909-1946), M. Daiman (1946-1950), Bachtiar Amin (1950-1967), dan terakhir Oemar Hasan (1967-1983). Dihapusnya sistem pemerintahan kemargaan pada tahun 1983 adalah konsekuensi terbitnya UU No. 5 Thn 1979 ttg Pemerintahan Desa dan Kpts Gub. Sumsel No. 142/Kpts/III/1983 tgl 24 Maret 1983.


Perpindahan ibumarga ke Muarabelitibaru diduga kuat di era Pangeran M. Amin, pasca dibangunnnya kantor Controleur Muarabeliti sejalan dengan pembukaan jalur darat dari Tebingtinggi-Muarabeliti-Muaraaman (pusat pertambabgan emas) di era Belanda. Namun bisa jadi, perpindahan ibumarga dari Muarabelitilama ke Muarabelitibaru diselingi era perpindahan ke Pasarmuarabeliti sebelum akhirnya digunakan sebagai markas perang Belanda dan dibangun Controleur Onderafdeeling Musi Ulu.


Di akhir era kemargaan (1970an-1983), sejalan dg kemajuan dan terbentuknya 3 marga baru (1 April 1978) di wilayah eks Kolonisasi Tugumulyo (Marga Ekamulya, Dwimulya dan Trirahayu), ibumarga Proatin V telah berpindah ke Simpangperiuk dengan Pasirah Oemar Hasan sebagai pesirah terakhir dan penutup era kemargaan.


Semenjak Muarabeliti naik kelas menjadi ibukota Musirawas, telah terjadi perubahan tata ruang wilayah yang memungkinkan pertumbuhan kawasan ekonomi baru walaupun menuntut kecerdasan ekstra dan kearifan lokal adiluhung dari pejabat Pemerintah Daerah dlm penataan wilayahnya sehingga mampu belajar dari "cerita buruk" kota-kota lama yang terlanjur mengabaikan keseimbangan lingkungan.


Ada baiknya, sebelum ibukota Muarabeliti terlanjur "crowded dan centang- perenang" dalam penataan kawasan: permukiman, industri, kawasan terbuka hijau, daerah tangkapan air dan kawasan komoditas pertanian dan lain-lain, perlu disiapkan desain "LAND CONSOLIDATION (LC)" yang menjadi rujukan dasar dalam pengembangan tata ruang wilayah. Desain LC adalah dokumen dan peta detail penataan ibukota yang perlu diperjuangkan serius oleh Pemerintah Daerah dan DPRD.


Seperti kata pepatah: "... pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mampu meninggalkan legasi utk senantiasa di kenang sepanjang masa...".


*) Penulis adalah peminat sejarah dan budaya lokal Silampari

0 komentar:

Posting Komentar